"Ayolah Ummi, Ayra sudah sehat. Ayra bosan kalau di rumah terus tanpa ada kegiatan." Chayra merengek pada Bu Ainun agar diizinkan ke Majelis Ta'lim. Sudah dua hari sejak kepulangannya dari Rumah Sakit, kerjaannya hanya rebahan di kamar.
"Ummi bilang besok, Nak. Kamu harus benar-benar pulih dulu."
"Ayra sudah benar-benar pulih, Ummi. Ini lihat..."
Chayra merenggangkan ototnya, menggerak-gerakan anggota tubuhnya di depan Bu Ainun.
"Iya, Ummi tau. Tapi nggak baik, Nak, baru sembuh langsung beraktivitas. Yang baik itu, istirahat dulu sampai benar-benar pulih."
Chayra mendengus mendengar jawaban Bu Ainun. "Kalau jalan-jalan di dekat kolam, boleh?"
Bu Ainun melirik Chayra. "Istirahat, Nak, Ummi bilang." Bu Ainun berlalu meninggalkan Chayra menuju dapur.
Chayra memanyunkan bibirnya, mendengus karena tidak suka dengan sikap Umminya. Menghembuskan nafasnya dengan kasar lalu melangkah masuk ke kamarnya.
Ketukan di pintu depan mengurungkan niat Chayra untuk masuk ke kamarnya. Baru memegang handel pintu kamar, dia berbalik lagi untuk membukakan tamu itu pintu depan.
"Assalamualaikum,"
"Wa'alaikumsalam," jawabnya sambil membuka pintu.
Mata Chayra berbinar senang saat melihat siapa yang datang. "Saras, Tania.." Chayra menghambur memeluk kedua sahabatnya itu. "Tumben kalian datang. Aku kangen banget sama kalian."
Saras dan Tania hanya tersenyum mendengar penuturan Chayra.
"Ayo, masuk dulu."Chayra menarik tangan Saras dan Tania agar masuk ke dalam rumah.
"Nggak enak sama Abah, sama Ummi." Ucap Saras.
"Iya, Ayra. Kita nggak enak sama Ummi." Tania diam sejenak sambil memperhatikan sekitar. "Ayra, sebenarnya kami kemari mau menyampaikan sesuatu sama kamu."
"Ayo, makanya kalian masuk dulu. Masa iya, kita ngobrol di depan pintu."
Saras meringis. "Kita ngobrolnya di pinggir kolam sana aja ya.." Ucapnya sambil menunjuk ke arah kolam ikan.
"Aku nggak diizinin kemana-mana sama Ummi."
Tania mengernyitkan alisnya mendengar pengakuan Chayra. "Kenapa, Ayra? Kamu kan sudah sembuh."
"Iya, tapi Ummi tidak mengizinkan aku keluar dari rumah ini sampai besok."
"Eh, Nak Saras, Nak Tania. Masuk, Nak. Kenapa ngobrol di depan pintu." Bu Ainun yang baru keluar dari dapur menyapa mereka. "Ayra, ajak teman kamu masuk, Nak."
"Sudah Ayra ajak dari tadi Ummi. Tapi mereka berdua menolak."
"Ihh, Ayra kok ngomong gitu sama Ummi." Ucap Tania.
"Memang begitu kenyataannya, kan." Ucap Chayra tanpa rasa bersalah.
Saras mencubit pelan lengan Chayra karena tidak bisa diajak kompromi.
"Udah, jangan saling menyalahkan. Ayo, Nak, masuk dulu." Bu Ainun kembali mempersilahkan mereka masuk. Chayra menarik pelan tangan Saras dan Tania agar mengikuti langkahnya. Mau tidak mau akhirnya mereka masuk juga.
Saras mendekatkan wajahnya ke dekat telinga Chyara ketika Bu Ainun berlalu dari hadapan mereka. "Ini masalah Ustadz Ghibran, Ayra." Saras berbisik agar tidak terdengar oleh Bu Ainun.
Chayra menautkan alisnya. "Ada apa dengan Ustadz Ghibran?" Tanyanya setengah berbisik.
Tania ikut mendekat, lalu mengeluarkan sebuah amplop dari saku baju gamis yang di kenakannya. "Ustadz Ghibran menitipkan ini untukmu." Ucapnya seraya menyerahkan amplop itu pada Chayra.
"Apa ini?" Tanyanya heran.
"Nanti kamu buka. Tapi kalau kamu tidak keberatan, kami juga ingin mengetahui apa isinya." Tania berucap dengan sedikit malu-malu.
"Issh, kamu ini. Biarkan Ayra buka dulu sendiri. Nggak baik dong, kalau kita terlalu kepo." Saras menepis tangan Tania yang terlihat gatal ingin membuka amplop itu.
Tania menyebikkan bibirnya. "Aku bilang, kan kalau Ayra tidak keberatan. Tapi kalau dia tidak mau, aku juga nggak akan maksa, kok."
"Mmm,bgini aja. Aku mau lihat dulu isinya. Kalau ini tidak bersifat pribadi, aku akan kasih tau kalian." Chayra mencoba memberi solusi.
"Ok!" Ucap keduanya kompak.
"Saras, kita balik, yuk! Nggak enak sama Ummi Ainun kalau kita lama-lama di sini."
"Nanti dulu dong. Aku kan baru bertemu kalian."
"Nanti kita temu kangen kalau kamu sudah bergabung lagi di Majelis Ta'lim." Tania mengerlingkan matanya pada Chayra.
Saras hanya menganggukkan kepala menyetujui ucapan Tania. "Ayo, Nia." Saras menarik tangan Tania.
"Assalamualaikum,"
Keduanya meninggalkan Chayra yang merenung lagi menikmati kesendiriannya.
"Wa'alaikumsalam,"
Chayra masuk ke dalam kamarnya. Dia menatap amplop yang masih di tangannya. Duduk di depan meja belajarnya sambil mengamati amplop itu. Hanya sebuah amplop putih. Tapi, benda itu mampu membuat Chayra penasaran apa isinya.
"Bismillahirrahmanirrahim.." Ucapnya lirih. Menyobek pelan bagian atas amplop itu. Perlahan membuka lipatan kertas di dalamnya.
Chayra tertegun melihat tulisan tangan yang sangat rapi. Kata demi kata berbaris rapi pada kertas putih yang sangat harum. Entah, berapa kali Ghibran menyemprotkan parfum di kertas itu, sehingga wanginya benar-benar melekat.
Chayra tersenyum melihat tulisan itu. Tulisan tangan seorang laki-laki yang mengaguminya.
Bismillahirrahmanirrahim..
Assalamualaikum, Zahra..
Maaf, kalau aku mengganggu waktumu..
Bagaimana kabarmu ?
Semoga selalu dalam lindungan yang Maha Mengetahui isi hati hambanya..
Zahra ..
Sebenarnya ada yang ingin laki-laki hina ini katakan padamu..
Tapi..
Aku tak bisa mengatakannya lewat kertas ini..
Aku ingin mendengar langsung dari mulutmu yang murah senyum itu..
Aku tidak tau, kenapa senyumanmu itu selalu membuat jantungku berdebar-debar tak menentu..
*Chayra Azzahra..
Aku ingin bertemu kamu*.
Aku tunggu kamu hari Kamis, ba'da shalat Ashar di ruangan kelas samping Majelis Ta'lim..
Aku tidak melarangmu mengajak satu atau dua temanmu, agar kita terhindar dari fitnah..
*Tapi..
Aku tidak bisa menerima alasanmu jika kau menolak untuk datang*..
Maafkan aku egois mengatakan ini
Karena aku benar-benar mengharapkan kedatanganmu..
Dari laki-laki hina yang diam-diam mengagumi
Ghibran Abdullah
_ _ _ _ _
Chayra masih diam menatap kertas yang berisikan tulisan tangan Ghibran. Apakah Ghibran benar-benar menaruh hati padanya?
Ia menarik nafas dalam lalu menghembuskannya dengan kasar. Dia benar-benar bingung. Apa yang akan dia lakukan sekarang.
Chayra meletakkan kertas itu di atas meja belajarnya. Dia keluar kamar untuk mencari Pak Ismail. Tapi sepertinya pak Ismail belum pulang. Dia bergegas ke dapur mencari Bu Ainun. Tapi, Bu Ainun juga tak ada. Hanya Bi Inah yang dia lihat di sana. Wanita paruh baya yang menjadi pembantu di rumah itu. Chayra melihat Bi Inah sedang asyik memotong sayuran sambil bernyanyi dangdut.
Chayra cekikikan sambil berjalan lebih mendekat pada wanita yang terlihat hampir seumuran dengan ibunya itu.
"Bi.." panggil Chayra dengan suara pelan.
Bi Inah diam. Dia celingukan mencoba mencari tau siapa yang memanggilnya. Dia tidak melihat Chyra yang sudah duduk berjongkok di belakang kursi yang didudukinya.
"Bi.. Inah..., Ummi mana?!"
"Allahuakbar, Astagfirullahal'adzim..!"
Bi Inah terlonjak kaget melihat Chayra yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. Sontak, tindakannya membuat tawa Chayra meledak.
"Ya Allah, Bi. Bi Inah terlihat sangat lucu.."
"Nak Ayra kenapa ngagetin Bibi?"
"Mau buat lelucon. Ayra bosan di dalam rumah, Bi. Aku nggak ada kegiatan."
Bi Inah menggeleng-gelengkan kepala sambil mengusap dadanya. "Nak Ayra tanya apa tadi sama Bibi?"
Chayra berhenti tertawa lalu menatap Bi Inah. "Ummi mana, Bi?"
"Ibu pergi ke pasar tadi. Nak Ayra perlu sesuatu, biar bibi yang siapkan?"
"Tidak, Bi. Ayra cuman mau ngomong sama Ummi."
"Oh kalau gitu, Nak Ayra tunggu Ibu pulang "
"Iya sudah mau gimana lagi. Makasih, Bi, udah buat Ayra tertawa."
Bi Inah tersenyum mengangguk sambil menatap kepergian Chayra. Gadis itu terlihat memasuki kamarnya.
* * *
Ba'da shalat isya, Chayra baru bisa berkumpul dengan pak Ismail dan Bu Ainun. Amrina yang baru pulang dari Majelis Ta'lim juga ikut berkumpul.
"Kata Bi Inah, kamu mencari Ummi tadi pagi. Kamu mau menanyakan apa, Nak?"
Bukannya menjawab pertanyaan Bu Ainun, Chayra malah beralih menatap Pak Ismail. Pak Ismail memperbaiki posisi duduknya.
"Ada apa, Nak?" Tanyanya pada Chayra.
"Ini masalah Ustadz Ghibran, Abah, Ummi."
"Ada apa dengan Ghibran, Nak?" Tanya Pak Ismail.
"Dia mengirimkan surat pada Ayra."
Pak Ismail tersenyum. Sedangkan Bu Ainun masih penasaran dengan kelanjutan kalimat keponakannya.
"Abah sudah menduganya sejak awal. Abah kan pernah bilang sama kamu, kalau Ghibran itu menaruh hati sama kamu."
"Yang jadi masalahnya sekarang dia mengajak Ayra bertemu, Abah. Tapi,Ayra takut melanggar aturan Pesantren. Makanya Ayra bilang dulu sama Abah. Kalau Abah bilang boleh, Ayra akan menemuinya. Tapi kalau Abah tidak mengizinkan, Ayra hanya akan membalas suratnya tanpa menemuinya."
"Kapan dia mengajakmu bertemu?" Tanya Pak Ismail lagi.
"Hari Kamis ba'da shalat Ashar."
"Dimana?"
"Di ruangan kelas samping Majelis Ta'lim."
"Temui dia!"
"Abah!" Bu Ainun terkejut mendengar jawaban suaminya.
"Abah bilang, temui dia, Nak!" Ucap Pak Ismail menegaskan.
"Abah!" Sentak Bu Ainun lagi. Bu Ainun menggeleng menatap suaminya.
Pak Ismail tersenyum menatap istrinya, lalu mengusap kepala Bu Ainun dengan lembut. "Ummi jangan khawatir. Ghibran tidak mungkin meminta Ayra datang sendiri. Benarkan, Ayra?" Pak Ismail beralih menatap Chayra.
Chayra hanya menganggukkan kepala.
"Tuh, kan benar kata Abah. Dia itu laki-laki shaleh, Nak."
"Laki-laki shaleh kok ngajak orang ketemuan." Sanggah Bu Ainun.
"Ummi, Abah kan sudah menjelaskan. Ghibran pasti tau batasannya. Dia itu laki-laki yang bisa dipegang ucapannya."
Bu Ainun mengangkat bahu. "Terserah Abah. Ummi tidak mau ikut campur kalau nanti ada teguran dari pengurus Pesantren."
Pak Ismail tersenyum menyeringai. "Kamu terlalu berlebihan, Sayang."
Chayra menganga tak percaya. "Wah, ternyata Abah juga bisa bilang sayang?"
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 251 Episodes
Comments
Sadiah
bener juga yg umi ainun bilang ngapain ketemuan walaupun ada temen nya.. soalnya itungan area pondok khawatir menimbulkan hal yg tadi baik kpda santri apa lagi ini ustadz
2022-11-04
0