Percakapannya dengan Pak Ismail dua hari yang lalu, membuat Chayra belum bisa berfikir dengan jernih sampai hari ini. Dia masih bingung dengan pendapat Pak Ismail tentang seorang Ghibran Abdullah. Apakah seistimewa itu seorang Ghibran di mata Pak Ismail.
Dia berjalan di pinggir kolam sendirian sore ini. Suasana di dekat kolam ikan itu agak ramai. Karena sebagian Santri menikmati waktu senggang mereka untuk bercengkrama bersama teman-teman mereka.
Bangku panjang yang biasa ia gunakan bersama Saras dan Tania ketika pagi hari, sore ini sudah dialih posisikan oleh lima orang Santriwati yang sedang menulis entah apa.
Chayra beralih menatap ke tengah kolam ikan. Dimana sebuah gazebo panjang berdiri kokoh di sana. Dia hanya beberapa kali ke sana ditemani oleh Saras dan Tania. Tempat itu juga penuh. Bangku-bangku kecil yang berjajar sepanjang kolam ikan itu juga hampir tak ada yang tersisa.
Chayra mengedarkan pandangannya mencari tempat kosong. Mukanya berbinar senang saat mendapatkan sebuah tempat duduk di bawah pohon nangka yang sedang berbuah lebat. Ia berlari kecil menghampiri tempat itu. Tepat di tengah jalan yang sering dilalui kendaraan. Sebuah motor matic terlihat melaju cukup kencang ke arahnya. Chayra tak bisa menghindar.
Brak!
Pengendara itu jatuh dari motornya. Chayra langsung tak sadarkan diri. Para Santriwati yang menyaksikan kejadian berteriak histeris.
Saras dan Tania yang baru akan menemui Chayra langsung berlari saat melihat kerumunan orang di pinggir kolam. Dia menerobos kerumunan para santri.
"Allahuakbar, Ayra!" Saras dan Tania berucap serentak. Menghampiri Chayra yang tergeletak tak sadarkan diri.
Tania berbalik menatap kerumunan Santri yang berdiri berkerumun di belakangnya. "Kenapa kalian bengong? Panggil Ummi Ainun atau siapapun yang kalian jumpai di sana." Tania berteriak kepada para Santri yang hanya jadi penonton tanpa melakukan tindakan
apapun. Seorang Santri berlari ke rumah Pak Ismail.
Laki-laki yang menabrak Chayra mencoba untuk bangkit. Lengan baju pada bagian sikunya bolong. Celana panjang yang dikenakannya, bagian lututnya juga bolong. Dia meringis pelan saat mengangkat tangannya untuk melepaskan helm yang sudah retak karena kejadian tadi. Mereka terkejut saat melihat wajah laki-laki di balik helm tadi.
"Ya Allah, Ustadz Ghibran?!" Para Santri membelalakkan matanya melihat siapa pria ceroboh yang menabrak seseorang di jalanan sepi seperti ini. Suasana semakin heboh..
Ghibran berusaha tersenyum lebar. Namun, tidak bisa di bohongi kalau dia sedang menahan sakit.
"Maafkan aku yang tidak berhati-hati. Aku terlalu ceroboh. Karena ini jalanan sepi, aku melajukan motor semauku. Aku.. aku akan membawanya ke rumah sakit terdekat." Ghibran meringis menahan sakit. Darah segar mengalir di telapak tangannya yang robek.
"Bagaimana Ustadz akan membawanya, sedangkan Ustadz juga butuh penanganan Dokter." Ucap Saras.
"Do'akan saya, semoga saya bisa." Ghibran berusaha bangkit. Namun, kakinya mati rasa dan tenaganya seperti terkuras habis.
Bu Ainun yang baru tiba langsung menangis histeris. "Cepat hubungi Ambulance!"
* * *
Di IGD rumah sakit, Bu Ainun masih sesenggukan menangisi Chayra yang belum juga sadarkan diri. Suara parau karena terlalu banyak menangis.
Ghibran yang berada di Brankar sebelah berusaha memejamkan mata. Dia benar-benar merasa bersalah. Suasana hatinya yang tidak tenang membuatnya bingung dan tidak bisa berfikir jernih.
Pak Ismail yang baru tiba langsung memeluk istrinya. Dia baru pulang dari seminar dan langsung meluncur ke Rumah Sakit.
"Ummi, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa Ayra tertabrak motor di lingkungan Pesantren?" Pak Ismail melontarkan pertanyaan pada istrinya yang masih sesenggukan dalam pelukannya.
Bu Ainun mendongak menatap suaminya yang berdiri di sampingnya. "Ummi juga kurang tau, Abah. Saat tiba di pinggir kolam tadi, Ayra sudah tak sadarkan diri. Ghibran juga terlihat lemas tadi. Telapak tangannya juga dijahit karena ada luka robekan yang dalam.
Pak Ismail terkejut mendengar jawaban istrinya. Menangkup kedua pipi Bu Ainun. "Coba Ummi ulangi ucapan Ummi."
Bu Ainun menautkan alisnya heran. "Kenapa?"
Pak Ismali menatap istrinya lekat. "Jadi Ghibran yang menabrak Ayra? Dimana dia sekarang? Bagaimana keadaannya? Kenapa Ummi tidak bilang dari tadi sore kalau Ghibran yang menabraknya?"
Bu Ainun melepas tangkupan tangan Pak Ismail dari pipinya. "Abah kalau nanya satu-satu. Ummi jadi bingung mau jawab yang mana."
"Astagfirullahal'adzim," Pak Ismail mengusap wajahnya dengan kasar. "Maafkan Abah, Ummi. Abah benar-benar terkejut." Beralih melirik Chayra yang sedang tertidur pulas. "Bagaimana keadaan Ayra sekarang?"
"Seperti yang Abah lihat. Dia belum sadarkan diri sampai sekarang. Kata Dokter sih, tidak ada luka dalam. Cuman, Ummi bingung kenapa dia belum sadar sampai sekarang." Bu Ainun menghela nafas berat sambil menatap Chayra.
"Apa Ummi sudah menghubungi Santi?"
"Sudah, Abah. Tapi, dia terdengar tenang dan tidak panik seperti Ummi. Dia hanya beristighfar berulang kali. Besok katanya dia akan kemari."
"Ummi bilang saja padanya l, kalau Ayra sudah baik-baik saja sekarang. Jadi, dia tidak perlu sampai kesini. Kasihan Bian, dia juga kan harus sekolah."
"Nanti Ummi hubungi dia lagi."
"Dimana Ghibran sekarang?" Pak Ismail kembali teringat pada Ghibran.
"Ada di sebelah." Jawab Bu Ainun.
"Abah mau menengok keadaannya sebentar." Pak Ismail langsung meninggalkan istrinya. Dia benar-benar khawatir dengan keadaan Ghibran.
Bukannya langsung mencari Ghibran di ruang sebelah, Pak Ismail malah keluar ruangan untuk mencari tau. Dia tidak mau salah masuk.
Tampak Rudi sedang duduk sendiri sambil memegang handphone di ruang tunggu lobi rumah sakit. Pak Ismail menghampirinya dan meminta Rudi untuk menemaninya menemui Ghibran.
"Assalamualaikum," ucap Pak Ismail dan Rudi saat sampai di depan Ghibran.
Ghibran langsung membuka matanya mendengar suara Pak Ismail. "Wa.. wa'alaikumsalam, Abah. Maafkan Ghibran, Abah. Ghibran benar-benar tidak bisa mengendalikan laju motor itu saat tiba-tiba Zahra berlari di depan Ghibran."
"Hmm..!" Rudi berdehem lalu mengalihkan pandangannya. "Dalam situasi seperti ini masih saja menyebutnya dengan panggilan khususnya." Rudi bergumam lirih, tetapi masih bisa didengar oleh Pak Ismail yang berdiri tepat di sampingnya.
Pak Ismail tersenyum. "Maafkan keponakan Abah yang agak ceroboh."
"Ini salah Ghibran, Abah. Ghibran yang ngebut. Ini semua bukan salah Zahra. Eh, Ayra."
"Sepertinya ada yang kamu sembunyikan dari Abah, Ghibran." Ujar pak Ismail.
"Maksud Abah apa?" Ghibran mengangkat kepalanya.
"Jangan bangun dulu, Ghibran. Keadaan kamu belum pulih." Tegur Rudi yang melihat Ghibran berusaha untuk bangun.
"Aku nggak enak sama Abah, Rud."
"Nggak apa-apa, Nak. Kamu sedang sakit. Abah ingin bertanya sesuatu padamu. Tapi, nanti kalau kamu sudah sembuh. Abah nggak enak kalau harus membahasnya sekarang."
"Silahkan, Abah. Ghibran nggak apa-apa kok. Cuma luka dikit aja."
"Kalau sampai dijahit bukan sedikit namanya, Nak. Apa kamu sudah menghubungi orang tuamu?"
"Belum, Abah. Tapi, Ghibran nggak mau menghubungi mereka. Abah kan tau dimana maminya kalau tau Ghibran kenapa-napa." Rudi menjawab pertanyaan Pak Ismail. Karena dia yakin pasti Ghibran akan mengatakan kalau dia sudah menghubungi orang tuanya.
"Jangan seperti itu, Nak. Kasihan orang tuamu."
"I.. iya, Abah. Nanti Ghibran hubungi kalau sudah pulih."
"Kalau begitu Abah ke Ayra dulu, ya. Istirahat yang cukup. Jangan terlalu banyak gerak biar kamu cepat pulih."
"Iya, Abah. Terimakasih nasihatnya. Sekali lagi Ghibran minta maaf."
Pak Ismail mengangguk seraya tersenyum. Mengucapkan salam lalu meninggalkan Ghibran dan Rudi.
* * *
Dua hari istirahat total di Rumah Sakit membuat Chayra benar-benar pulih. Ibunya, Bu Santi tidak jadi datang karena Bu Ainun dan Pak Ismail menjamin kalau Chayra putrinya baik-baik saja.
Sedangkan Ghibran, dia hanya istirahat beberapa jam di hari kejadian karena kondisinya baik-baik saja. Setelah telapak tangannya selesai di jahit, dia diperbolehkan kembali pulang.
Bu Ainun berkemas sambil menunggu Pak Ismail menjemputnya. "Nak, apa kamu sudah mengeluarkan semua barang-barangmu?" Tanyanya pada Chayra. Mereka sedang menunggu kedatangan Pak Ismail.
"Sudah, Ummi."
Bu Ainun mengamati pelipis keponakannya yang masih di perban. Mengusap pelan luka itu dengan tatapan penuh kekhawatiran.
Chayra tersenyum melihat tingkah Bu Ainun. "Sudah tidak apa-apa kok, Ummi." Meraih tangan Bu Ainun.
Perhatian mereka teralihkan pada tiga sosok pria yang berjalan beriringan tak jauh dari tempat mereka duduk.
"Assalamualaikum," ketiganya mengucap salam saat sudah sampai di depan kedua wanita itu.
Pak Ismail lebih mendekat pada Chayra."Apa kamu sudah benar-benar sehat, Nak?" Tanyanya pada Chayra. Dia melirik ke arah Ghibran dan Rudi yang berdiri sekitar empat langkah di belakangnya. "Ghibran tadi minta izin sama Abah untuk ikut menjemput Ayra karena dia merasa bersalah pada Ayra."
Chayra mengangguk. "InsyaAllah, Ayra susah sehat, Abah." Jawabnya tanpa menghiraukan kalimat Pak Ismail selanjutnya.
Ghibran sedikit mendekati pak Ismail. "Hmm, Zahra. M.. maafkan kecerobohanku yang mencelakaimu." Ucapnya dengan terbata-bata. Memberanikan diri menatap Chayra.
Chayra tersenyum. Senyuman yang selalu bisa membuat dada seorang Ghibran Abdullah berdebar-debar. "Seharusnya saya yang minta maaf sama Ustadz. Karena kalau saya tidak lari saat itu. Tentu Ustadz tidak akan menabrak saya. Ini semua terjadi karena kecerobohan saya."
Ghibran mengelus dadanya pelan. "T.. tidak, Zahra. Ini semua salahku."
Rudi menahan senyum melihat tingkah sahabatnya yang sedang bergejolak api cinta di dalam dadanya. Memang, Chayra terlihat lebih istimewa daripada kebanyakan wanita pada umumnya. Selain lemah lembut, gadis di depannya juga sangat gemar beristighfar.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 251 Episodes
Comments
Sadiah
knp gak sreng banget ya sama sosok gibran,, ribet tau orang panggilan nya Chayra pake panggil zahra,..
2022-11-03
0