"Hujannya sangat deras, Nak. Sebaiknya kita tidak usah ke Majelis Ta'lim sekarang." Bu Ainun menatap sekitar dengan raut wajah khawatir.
Chayra hanya diam. Dia terlihat ragu untuk mengiyakan ucapan Bu Ainun.
Bu Ainun menatap keponakannya. "Ayo, Nak, kita masuk. Kita shalat di rumah saja. Cuaca ini terlihat sangat tidak memungkinkan, kalau kita ke Majelis Ta'lim." Sambil menarik pelan tangan Chayra agar mengikutinya masuk ke dalam rumah. Namun, gadis itu tak bergeming. Dia masih duduk di kursi teras rumah. Hanya bisa berharap semoga hujan segera reda.
Chayra juga tidak tau kenapa. Pagi ini terasa sangat berat kalau dia tidak ke Majelis Ta'lim. Bingung juga, kenapa dia merasa seperti di tarik-tarik untuk mendatangi tempat itu.
Bu Ainun kembali duduk di samping keponakannya. Menepuk pelan pundak Chayra yang terlihat gelisah. "Ada apa, Nak? Kamu terlihat sangat gelisah. Apa ada sesuatu yang mengganjal hatimu?
Chayra menatap Bu Ainun. "Ayra juga tidak tau, Ummi. Pagi ini Ayra benar-benar merasa berat kalau tidak ke Majelis Ta'lim. Tapi kalau hujannya sangat lebat seperti ini, bagaimana Ayra akan pergi?"
Bu Ainun menatap heran pada Chayra. "Mm.. bagaimana kalau kita pergi menggunakan payung." Tawar Bu Ainun.
Chayra menatap Bu Ainun. "Hujannya sangat lebat, Ummi. Anginnya juga sangat kencang. Kita akan basah sebelum sampai tujuan."
"Kalau begitu kita shalat di rumah saja. Kalau cuacanya seperti ini, kemungkinan besar para Santri juga tidak ke majelis ta'lim. Kasihan mereka kalau harus kedinginan di sana."
Chayra menghela nafas berat. "Iya sudah, Ummi, ayo kita masuk."
Bu Ainun tersenyum lalu menggandeng tangan Chayra masuk kembali ke dalam rumah.
Tiba-tiba Pak Ismail muncul. Peci masih melekat di kepalanya menandakan kalau dia baru selesai melaksanakan shalat. "Kalian dari mana?" Tanyanya saat melihat istri dan keponakannya berdiri di dekat pintu.
"Eh, Abah. Tadi Ayra maksa Ummi untuk menemani Ayra ke Majelis Ta'lim, Abah. Tapi hujannya lebat sekali." Jawab Chayra segera, agar Pak Ismail tidak menyalahkan Bu Ainun.
Pak Ismail menggeleng-gelengkan kepala mendengarkan pengakuan Chayra. "Kalian mau duduk di mana kalau mau shalat di sana? Kalau hujan di sertai dengan angin kencang seperti ini, Majelis Ta'lim pasti basah semua."
Chayra manggut-manggut mendengar penjelasan pak Ismail. "Kalau begitu Ayra shalat di kamar, Abah."
Pak Ismail dan Bu Ainun mengangguk dan membiarkan Chayra masuk ke dalam kamarnya.
Usai shalat, Chayra mengambil handphonenya yang tergeletak di atas tempat tidur. Iseng, dia mencoba menghubungi nomor Alesha. Lama menunggu, tak ada jawaban. Dia tidak menyerah dan mencobanya sekali lagi.Tepat pada deringan ke lima...
"Halo, Assalamualaikum.." Tidak ada suara serak khas bangun tidur.
"Wa'alaikumsalam, Alhamdulillah, akhirnya usahaku membuahkan hasil."
Alesha yang di sebrang sana sedang rebahan di atas sajadah usai melaksanakan shalat tahajjud dua raka'at langsung bangun. Kaget mendengar suara temannya di seberang sana yang sudah menghilang satu bulan tanpa kabar. "Ayra! Ini beneran lho, kan? Gue nggak lagi mimpi kan?" Ucapnya sambil mencubit sebelah pipinya. "Aww.. sakit!" Ucapnya sambil mengusap pipinya yang tadi ia cubit.
"Lesha, kamu kenapa?" Chayra bertanya dengan nada hawatir.
"Gue nggak percaya kalau lho masih ingat sama gue. Tadi gue mencubit pipi gue. Kirain ini hanya mimpi." Diam sejenak. "Lho kemana aja, Ayra..? Sudah satu bulan lho hilang tanpa kabar. Lho tau, setiap hari Amira selalu nanyain tentang lho."
"Maafkan aku, Lesha. Handphoneku disita sama Abah. Jadi aku nggak bisa menghubungi siapa-siapa. Dengan Ibu aja, baru kemarin aku menghubunginya."
"Kenapa handphonemu disita?"
"Kata Abah, biar aku lebih cepat bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan Pesantren/."
"Kami sangat menghawatirkan lho, Ayra. Lho melewatkan banyak kejadian selama lho di sana."
Mendengar penuturan Alesha, Chayra memperbaiki posisi duduknya. "Kejadian apa maksud kamu?"
Alesha menarik nafas dalam. "Tentang perubahan Amira."
Chayra diam sambil terus mencari tau maksud Alesha. Dia berfikir, mungkin inilah waktunya dia mencari tau kejadian yang sebenarnya. Kejadian yang membuat Ardian sangat marah sampai akan melakukan misi balas dendam padanya.
"Ayra, apa lho masih di sana?"
Pertanyaan Alesha membuat Chayra sadar dari lamunannya.Eh, i..iya, Lesha, aku masih di sini. Kamu bilang apa tadi, Amira berubah?"
"Iya, Ayra. Lho pasti tidak percaya kalau melihatnya sekarang."
"Maksud kamu?"
"Amira istiqomah pakai hijab sekarang."
Chayra terkejut tapi bahagia mendengar penuturan Alesha. "Benarkah, Lesha?" Tanyanya, masih tidak percaya.
"Iya, dia bahkan menjaga jarak dengan kekasihnya itu. Dia masih berpacaran, tapi dia tau batasannya. Lho juga harus tau Ayra.."
"Apa?"
"Kemarin Ardian itu mengancam gue sama Tina. Lho tau penyebabnya? Karena Amira tidak mau lagi melakukan itu.. Lho pasti paham kan, maksud gue?"
"I..ya, a.. aku paham."
"Yang kami takutkan, kemarin Ardian mencari-cari lho. Dia bahkan mengancam Amira akan melakukan hal yang tidak wajar pada lho. Karena dia yakin, penyebab utama Amira menghindarinya adalah pengaruh dari lho.Karena pulang dari Hotel malam itu, kata Amira, dia pulang ke rumah lho."
"Dia memang pulang ke rumahku saat itu. Dan.. dia ambruk di depan pintu karena mabuk berat."
"Amira sudah menceritakan semuanya pada gue dan Tina. Dia juga menceritakan bagaimana Ardian memintanya untuk melayani pria bejat itu semalaman."
"Dia juga sempat ngigau kemarin pas aku bangunin, tapi dia nggak bisa bangun."
"Sudahlah, Ayra. Kenapa kita jadi bahas Amira sih. Kita kan belum kangen-kangenan."
Chayra tersenyum. "Iya, aku kangen banget sama kalian."
Alesha tersenyum, tetapi dia terdiam tidak menjawab ucapan Chayra. Dia baru ingat, kalau dia belum menanyakan sesuatu kepada Chayra. "Mmm.., Ayra.."
"Iya, Lesha. Ada apa?"
"Mm.., maaf, gue mau nanya sesuatu sama lho."
Chayra mengernyit heran. "Kamu mau nanya apa?"
"Mmm.. selama lho di sana, apa Ardian pernah menghubungi lho?" Alesha bertanya ragu.
Chayra terdiam, berfikir sejenak. Dia tidak mungkin menceritakan kejadian sebenarnya.Akhirnya, mencoba menghindar dari pertanyaan Alesha adalah pilihan yang tepat. Mau berbohong, dia tidak pandai berbohong. "Kok jadi bahas itu, sih?! Kan, tadi katanya mau kangen-kangenan sama aku."
Alesha menghembuskan nafasnya dengan kasar. "Gue hanya hawatir kalau dia benar-benar mengganggu lho, Ayra."
"Sudah, ah jangan bahas hal yang tidak enak dibahas."
Azan subuh terdengar berkumandang dari Masjid Santri. Chayra menyudahi panggilannya dengan Alesha. Dia berjanji akan menghubunginya lagi di lain waktu. Tidak lupa juga ia titipkan salam untuk dua temannya yang lain.
* * *
Pagi ini, Pak Ismail menunggu Chayra di Ruang Keluarga. Ada hal yang harus dia bahasdengan Chayra. Namun, dia ingin membahasnya sambil bersantai dan bercengkrama bersama keluarga.
Chayra yang baru keluar dari kamarnya langsung di sambut dengan lambaian tangan dari Pak Ismail yang memintanya untuk mendekat.
Chayra tersenyum lalu mendekat. Terlihat pak Ismail dan Amrina sedang bernyanyi nama-nama Malaikat Allah sambil bertepuk tangan ria.
"Assalamualaikum, Adek.." Chayra mencubit gemas pipi Amrina, putri bungsu pak Ismail.
"Wa'alaikumsalam, Kakak Ayra yang cantik." Jawab bocah itu, berbalik mencubit pipi Chayra tak kalah gemas.
Pak Ismail tersenyum melihat dua anaknya. "Ayra.." panggilnya pelan pada Chayra.
Chayra menoleh ke arah Pak Ismail. "Ada apa, Abah?"
"Abah mau tanya sesuatu sama kamu."
"Nanyain apa, Abah?"
"Apa kamu mengenal Ghibran ?"
"Tentu saja, Abah. Ustadz Ghibran kan, Kakak pembimbing Ayra di kelas sebelum subuh."
"Bukan itu maksud Abah, Nak."
"Maksud, Abah?"
"Apa kamu mengenalnya lebih dari seorang pembimbingmu di kelas?"
Chayra menautkan alisnya tak mengerti.
Pak Ismail mendengus. "Dia ada rasa sama kamu, Nak."
Chayra terkejut. Bukan karena ucapan Pak Ismail. Tapi, darimana Pak Ismail tau kalau Ghibran ada rasa padanya.
"Dia adalah satu-satunya murid Abah yang paling bisa menjaga hati dan pandangannya dari lawan jenis. Tapi, kemarin Abah bingung melihatnya seperti tidak bisa menjaga pandangannya padamu. Dia terang-terangan menatapmu dengan dalam bahkan di depan Abah. Itulah mengapa Abah menanyakan ini padamu."
"Ayra nggak tau Abah. Pas di pinggir kolam kemarin, dia pernah bilang gini, 'Chayra Azzahra, aku suka caramu menundukkan pandanganmu.' Lalu saat itu dia langsung pergi ke Asramanya lagi.
"Dia itu laki-laki shaleh, Nak. Plusnya lagi dia berparas tampan, keluarganya disegani di lingkungan tempat tinggalnya. Dia itu berasal dari keluarga terpandang.
Chayra hanya diam mendengarkan penjelasan Pak Ismail.
Pak Ismail memandang keponakannya yang masih diam tidak merespon ucapannya. "Nak, kalau dia benar-benar serius padamu. Tunggu dia mengungkapkan keinginannya untuk mengajakmu ta'aruf. Mengkhitbahmu, lalu akan mengucapkan akad untuk menghalalkanmu. Satu permintaan Abah padamu, Nak."
Chayra mendongak menatap Pak Ismail.
"Jika yang di katakan Abah tadi benar-benar Ghibran lakukan. Jangan lupa shalat istikharah untuk menentukan yang terbaik."
...Chayra mengangguk, menggaruk kepalanya bingung. Dalam hatinya dia menjerit mengatakan, 'Ayra belum cukup umur Abah...!!!'...
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 251 Episodes
Comments
Sadiah
seneng dengan ayra tapiiii... semoga terlindungi ya ayra dr adrian
2022-11-03
0