Ucapan Ardian dalam rekaman itu terus memutar-mutar dalam ingatan Chayra. Dia duduk termenung di sisi tempat tidurnya. Berulang kali melafadzkan istighfar untuk menenangkan pikirannya yang terasa kacau. Memohon ampun kepada yang Maha Kuasa atas kecerobohannya hari itu.
Mencoba berfikir bagaimana caranya mencari tau kejadian ini tanpa membuat ketiga temannya curiga. Bangkit lalu mondar-mandir di dalam kamar yang ia tempati sekarang. Kamar yang ditempati oleh Almarhum Bapaknya sebelumnya. Kamar ini terlihat lebih luas dari kamarnya yang dulu di rumah.
Capek mondar-mandir, Chayra duduk kembali. Ia baru ingat kalau belum menghubungi ibu dan adiknya. Kembali terdengar ucapan istighfar dari bibit tipisnya. Mengambil handphone yang tergeletak di atas meja belajarnya. Mensecroll kontak di handphonenya mencari nama ibu tercinta. Tidak terlalu lama menunggu, ibunya langsung menjawab teleponnya.
"Assalamualaikum, Kak Ismail."
Chayra tersenyum mendengar suara ibunya. Tapi, air matanya sudah menganak sungai ."Wa.. wa'alaikumsalam, Bu. Ini.. ini Ayra, Bu."
"Masya Allah, Nak. Ini beneran kamu, Nak? Ya Allah, Ibu sangat merindukanmu. Akhirnya, Om kamu mengizinkan Ibu mendengar suaramu, Nak."
Mendengar suara keramaian di tempat ibunya, Chayra terdiam. Sudah bisa ditebak, kalau saat ini ibunya berada di Toko.
"Ayra, kenapa kamu diam, Sayang? Apa kamu tidak merindukan Ibu?"
Chayra tergagap mendengar ucapan ibunya. "B.. bukan begitu, Bu.Tapi sepertinya Ibu sedang sibuk di Toko. Apa Ayra mengganggu Ibu?"
"Tidak sama sekali, Nak. Tunggu sebentar, Ibu mau panggil Asisten Ibu sebentar."
"Iya, Bu." Chayra diam menunggu tanpa mematikan sambungan teleponnya.
Bu Santi menghampiri kembali handphonenya dengan senyum sumringah. "Halo, Ayra. Apa kamu masih di sana, Nak?"
"Iya, Bu. Ayra masih di sini."
Bu Santi menarik nafas lega. "Ibu sangat merindukanmu, Nak. Bagaimana kabarmu di sana. Apa kamu baik-baik saja?"
"Alhamdulillah, Ayra baik-baik saja, Bu. Bagaimana kabar ibu dan Bian? Apa kalian juga sehat di sana?" Air mata Chayra meleleh. Dia sudah tidak bisa lagi menahan rasa rindu pada ibunya.
"Alhamdulillah, Ibu dan Bian juga sehat, Nak. Tapi, adikmu selalu menanyakan kabarmu. Dia selalu bertanya kapan kami akan menyusulmu ke sana."
"Bian dimana sekarang, Bu?"
"Adikmu pergi sekolah, nayk. Nanti ibu akan menyuruhnya meneleponmu. Ommu sangat pelit. Dia bahkan tidak mengizinkan ibu walaupun hanya untuk mendengar suaramu saja. Kemarin ibu sampai menangis memohon padanya. Tapi dia tetap pada pendiriannya. Dia bilang, kalau sudah satu bulan baru Ibu boleh meneleponmu."
Chayra hanya tersenyum kecut mendengar penuturan ibunya. Air matanya masih saja meleleh. "Inikan, Bu. Sekarang Ayra yang menghubungi Ibu."
"Iya, Nak. Mm.., Nak. Ibu mau pulang dulu. Sebentar lagi adikmu pulang sekolah. Bian sering cengeng sekarang kalau tidak menemukan orang di rumah."
"Kalau begitu nanti Ayra telepon lagi ya, Bu."
"Tidak usah dimatikan, Nak!"
"Nggak baik, Bu, nelepon sambil mengemudi."
Bu Santi diam. Membenarkan kata anaknya dalam hati. "Tapi, Ibu takut tidak bisa menghubungimu lagi nanti. Kamu tau sendiri kan, Ommu itu tidak suka dibantah."
"Sekarang, Ayra sudah diizinkan mengambil handphone Ayra, Bu. Jadi, Ayra bisa menghubungi Ibu kapanpun Ayra mau."
"*Iy*a sudah kalau begitu, Nak. Tapi jangan sampai itu mengganggu belajarmu."
"Iya, Bu. Assalamu'alaikum.."
"Wa'alaikumsalam.." Bu Santi bergegas pulang. Sebenarnya dia tidak sabar ingin memberikan kabar pada Bian, kalau sekarang kakaknya sudah bisa dihubungi. Tapi dia tetap mengemudikan mobilnya dengan santai. Dia tidak mau kecerobohannya nanti malah menjadi petaka.
* * *
Pagi ini, Ghibran tidak mengisi materi di kelas Chayra. Selama Chayra mengikuti kelasnya. Baru kali ini Ghibran libur.
Sebenarnya Chayra penasaran, keman pria berparas tampan itu sehingga tidak mengisi materi di kelas. Dia melirik ke arah Tania. Gadis itu terlihat tidak berekspresi. Biasanya, Tania akan sangat resah kalau Ghibran terlambat.
"Kayaknya, Ustadz Ghibran nggak masuk deh, pagi ini." Saras mencoba memancing Tania yang pagi ini benar-benar minim ekspresi.
"Aku sudah nggak perduli padanya sekarang. Dia mau masuk atau nggak. Bagiku, dia hanyalah sebatas kakak pembimbing. Nggak lebih dan nggak kurang."
"Waahhh.. kayaknya kamu sudah benar-benar mengikhlaskan Ustadz Ghibran untuk Ayra."
Tania menarik sudut bibirnya. "Aku sedang berusaha. Mudah-mudahan aku berhasil. Sebenarnya dalam hatiku, aku merasa khawatir melihat dia belum datang sampai jam segini. Tapi, aku sedang berusaha menutupi kegundahan itu."
Saras dan Chayra melongos mendengar jawaban Tania.
"Beneran.., aku sedang benar-benar mencoba menutup hati untuknya. Jadi, kalian berdua jangan coba-coba untuk memancingku."
"Hah! Siapa juga yang sudi memancinmu?" Saras memutar bola matanya kesal.
"Kalimat yang kau keluarkan itu kalimat pancingan, Saras. Jadi, jangan gengsi untuk mengakuinya."
Saras mengalihkan pandangannya. "Terserah kamu deh, Tania."
Usai dari Majelis Ta'lim. Chayra duduk di pinggir kolam bersama Saras dan Tania. Setelah bosan ngobrol, mereka kembali ke Asrama. Sedangkan Chayra kembali ke rumah Bu Ainun. Setelah sampai di depan pintu, dia mengucap salam seperti biasa.
"Assalamualaikum, Abah, Ummi, Amrina.." Chayra mendorong pintu rumah yang tidak tertutup sempurna. Terlonjak kaget melihat pria yang duduk di sofa ruang tamu.
"Wa'alaikumsalam, udah pulang, Nak?" Ucap pak Ismail.
Ghibran mendongak menatap wanita yang sedang berdiri beberapa meter darinya itu.
"Sini, Nak, sebentar." Pak Ismail menepuk sofa di sebelahnya. "Ada yang harus Abah diskusikan denganmu." Melirik Ghibran yang duduk di depannya. "Dengan Ghibran juga." Sambungnya,
Chayra mengangguk pelan lalu mendekati Pak Ismail. Ada rasa canggung ketika harus duduk berhadapan dengan Ghibran. "Ada apa, Abah?"
"Ghibran mengantarkan formulir pendaftaran Mahasiswa baru untukmu." Pak Ismail menyerahkan formulir yang dibawa Ghibran ke depan Chayra. "Silahkan kamu isi dulu. Ghibran akan membawanya langsung."
Chayra mengambil pulpen dari dalam totebag yang selalu dia bawa ketika ke Majelis Ta'lim.
Ghibran mencuri pandang ke arah Chayra. Memperhatikan gadis itu lebih dekat membuatnya semakin menampakkan kekagumannya. Tatapan matanya terlihat sangat berbeda.
Pak Ismail memperhatikannya dalam diam kelakuan Ghibran. Memperhatikan secara bergantian, Ghibran dan keponakannya yang sedang menunduk mengisi formulir.
Setelah diam beberapa saat. Pak Ismail mulai risih dengan tatapan Ghibran pada keponakannya. Semakin di biarkan, Ghibran terlihat menatap Chayra dengan syahwat. Tatapannya terlihat semakin dalam, tidak lagi sekedar melirik-lirik saja.
"Hmm..!" Pak Ismail berdehem. "Ingat dosa, Nak." Sambungnya mencoba memperingati Ghibran.
Ghibran tersentak kaget, langsung menunduk mendengar teguran Pak Ismail.
"Astagfirullahal'adzim, maafkan Ghibran, Abah. Ghibran telah melewati batasan."
"Baguslah kalau kamu sadar, Nak. Setan sedang mempermainkan dirimu karena kelalaian yang kamu perbuat." Jawab pak Ismail dengan santai. Menyandarkan tubuhnya sambil mengangkat sebelah kakinya.
Chayra mengangkat wajahnya mendengar perdebatan dua orang pria di depannya. Menghentikan aktivitasnya. Menautkan alisnya tidak mengerti. "Ada apa, Abah? Apa Ayra berbuat kesalahan?" Tanyanya pada Pak Ismail.
Ghibran ikut mengangkat wajahnya. "Tidak ada apa-apa, Zahra. Silahkan kamu lanjutkan mengisi formulirnya." Ghibran menjawab cepat. Takut kalau Pak Ismail membongkar kelakuannya tadi.
Pak Ismail mengernyitkan alisnya. "Lho, kok nama panggilannya berbeda?"
"Mmm.. anu.., Abah. Mm.. itu.. apa namanya.. Mm.. Ghibran salah sebut tadi."
"Kok, bisa salah sebut? Tidak pernah ada orang yang memanggil Ayra dengan nama Zahra." Pak Ismail menautkan alisnya heran.
"Sudah, nggak apa-apa kok, Abah." Chayra segera menjawab karena melihat Ghibran yang sudah mulai salah tingkah.
Ghibran menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Menunduk menahan malu pada Pak Akmal. Dia benar-benar mati kutu saat ini.
Chayra kembali melanjutkan menulis. Pak Ismail memperhatikan Chayra yang sedang menulis dan mengacuhkan Ghibran yang masih menunduk di depannya.
Ghibran mencoba melirik lalu menunduk kembali saat tau dirinya diacuhkan.
Tiba-tiba Bu Ainun datang dengan membawa handphone Chayra . "Nak, ini ada telepon dari Ibu kamu. Katanya Bian ingin mendengar suara kakaknya.
Chayra langsung menyambar handphone di tangan Bu Ainun. "Assalamualaikum, Bu."
Bu Ainun menggeleng sambil tersenyum melihat tingkah keponakannya.
Chayra ngobrol santai dengan ibunya tanpa menyadari siapa yang bersamanya sekarang.
Pak Ismail menyerahkan formulir Ayra kepada Ghibran. "Coba kamu periksa dulu. Apa Ayra sudah melengkapi semuanya atau belum."
Ghibran mengambil formulir itu lalu memeriksanya dengan teliti. Memicingkan mata pada beberapa bagian. "Mm.. Abah, Zahra.. eh," Ghibran menutup mulutnya dengan telapak tangan. "M.. maksud Ghibran, Ayra belum memasukkan nomor handphonenya."
Pak Ismail kembali menautkan alisnya. "Kenapa kamu senang sekali memanggil Ayra dengan nama Zahra?"
Ghibran menelan ludahnya mendengar pertanyaan Pak Ismail. Pria itu tampak menatapnya tajam. "G.. Ghibran juga tidak tau, Abah. Tapi, saya senang mendengar nama itu."
"Oo.. seperti itu rupanya." Timpal pak Ismail. Beralih menatap Chayra, menepuk pundak gadis itu yang masih asyik ngobrol dengan ibunya. "Ayra.."
Chayra terkejut dan langsung menoleh. "Eh, iya, Abah. Astagfirullahal'adzim, maafkan Ayra, Abah. Ayra lupa kalau ada tamu." Chayra langsung berpamitan pada ibunya dan mematikan sambungan teleponnya.
"Maaf, Abah. Ayra sering lupa kondisi kalau sudah ngobrol sama Ibu."
"Itulah alasan Abah mengapa tidak mau menyerahkan handphonemu terlalu cepat."
Chayra tersenyum malu mendengar ucapan pak Ismail. "Maafkan Ayra, Abah." Ucapnya lirih.
"Iya, Abah cuma bercanda, Nak. Sekarang lengkapi nomor handphonemu biar Ghibran bisa membawanya ke kampus.
"Iya, Abah."
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 251 Episodes
Comments