Chayra dan dua temannya melanjutkan langkah mereka menuju Masjid Santri. Setelah kepergian Ghibran, tidak ada yang membuka percakapan lagi. Mereka diam hanyut dalam pikiran masing-masing. Ada perasaan tidak nyaman dalam hati masing-masing dari mereka.
Saras dan Tania duduk menunggu Chayra yang masih melaksanakan shalat dua raka'at lagi. Mereka hanya diam menatap Chayra yang masih bersujud. Karena Chayra melaksanakan shalat empat raka'at. Sedangkan mereka berdua hanya dua raka'at saja.
Tidak seperti biasa. Pagi ini saat melewati kolam ikan, mereka hanya menarik nafas dalam menikmati sejuknya udara di sekitar kolam. Walaupun waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Namun, udara di sekitar kolam itu masih sangat sejuk.
Chayra mulai bosan dengan suasana ini. Suasana hening karena Saras dan Tania yang biasanya cerewet, kali ini mereka benar-benar diam seribu bahasa.
Beberapa menit menunggu, tetapi masih hening. Akhirnya, Chayra membuka percakapan lebih dulu.
"Kok aku bosan banget ya dengan suasana seperti ini."
Saras mengernyit heran. Menoleh ke arah Chayra. "Maksud kamu?"
Chayra menatap Saras. "Aku hanya ingin kita bercanda ria seperti biasa. Bertukar cerita tanpa ada rasa canggung seperti ini."
Perhatian mereka teralihkan ketika terdengar dengusan dari Tania. "Kami hanya sedang mencoba menata hati kami, Ayra. Mencoba menerima dengan lapang dada, kalau Ustadz Ghibran memang benar-benar ada rasa sama kamu. Jadi jangan salahkan kami kalau kami bersikap seperti ini.
Chayra terkejut mendengar ucapan Tania. Menautkan alisnya menatap Tania. Namun, gadis yang di pandangnya menatap lurus ke depan. "Kenapa kamu ngomong begitu, Nia?
Tania menatap Chayra sekilas. Lalu kembali menatap lurus ke depan, ke arah ikan yang lalu lalang di dalam kolam. "Kalau Ustadz Ghibran benar-benar mengajakmu ta'aruf. Kamu tau apa yang akan terjadi pada kami?"
Chayra menggeleng pelan. "Kamu terlalu berlebihan dalam menanggapi ucapan Ustadz Ghibran, Nia. Ustadz Ghibran tidak pernah bilang dia menyukaiku."
"Tapi dari caranya menatapmu sudah menunjukkan, bahwa dia memandangmu sebagai wanita yang istimewa di hatinya. Caranya menatapmu berbeda dengan cara dia menatap kami yang dia anggap tidak lebih dari seorang murid, Ayra. Maafkan aku, Ayra. Aku tidak marah padamu. Aku.. aku hanya sedang mempersiapkan diri untuk patah hati." Tania menarik nafas sejenak.
"Huuaaa...! Ayra, kamu beruntung sekali mendapatkan hati Ustadz Ghibran." Tania menghambur ke dalam pelukan Chayra. Tangisnya pecah, persis seperti tangisan anak kecil yang tidak dibelikan ice cream.
Saras cekikikan melihat tingkah dua orang yang sedang berpelukan di depannya. Dia menepuk-nepuk punggung Tania berniat untuk menguatkan.
"Sabar, Tania. Kamu memang di takdirkan hanya untuk mencintai tapi tidak untuk di cintai.."
Tania melepaskan pelukannya. Tatapan matanya langsung menatap Saras dengan tatapan sinis. "Kamu tega banget, Saras, ngomong gitu. Sebenarnya aku tidak cinta sama Ustadz Ghibran. Aku cuma kagum daja sama dia."
Saras memutar bola matanya. "Kagum sama cinta itu beda tipis, Tania. Kekaguman itu adalah awal dari jatuh cinta. Jadi, ketika kamu mulai kagum sama seseorang. Itu berarti rasa cinta akan segera tumbuh."
"Tapi aku nggak merasa gitu."
"Terus tadi kenapa kamu sakit hati ketika Ustadz Ghibran bilang suka dengan cara Ayra menundukkan pandangannya? Ustadz Ghibran baru bilang gitu. Aku pengen banget lihat reaksi kamu kalau dengar Ustadz Ghibran bilang.." Saras memperbaiki posisi berdirinya lebih tegap. "Chayra Azzahra, Ana uhibbuka Fillah!"
"Stop, Saras! Jangan dilanjutkan. Aku belum siap." Tania membungkam mulut Saras dengan telapak tangannya.
Chayra menggeleng-gelengkan kepalanya. "Astagfirullahal'adzim, kalian berhayal terlalu jauh. Nia, jangan nodai pikiranmu dengan hal yang tidak pasti. Kasihan otakmu kalau harus disuruh memikirkan hal yang tidak perlu di pikirkan."
Tania melepaskan bekapan tangannya dari mulut Saras. "Dengar itu, Saras. Tidak bisakah kamu memberikan aku motifasi, agar aku tidak terlalu patah hati saat mendengarkan kalimat itu suatu hari nanti."
Saras melongos. "Katanya cuma kagum. Kalau kamu hanya kagum, kamu tidak akan kecewa ketika kamu mendengar dia jatuh cinta pada orang lain."
Percakapan mereka terhenti saat anak bungsu pak Ismail yang bernama Amrina Rosyada yang baru berumur empat tahun datang mendekati mereka.
"Kak Ayra di suruh pulang sama Ummi. Kata Ummi, Kakak belum sarapan. Nanti kakak sakit lagi, kalau tidak makan.
Chayra menunduk, mensejajarkan tubuhnya dengan bocah itu. Mengusap pelan kepala Amrina. "Terima kasih, Dek, udah ngingetin Kakak. Maaf ya, Kakak jadi ngerepotin Adek gara-gara Kakak telat pulang."
Anak kecil itu mengangguk. "Ayo Kak, kita pulang." Meraih tangan Chayra. Namun, matanya mendongak menatap Saras dan Tania. "Kakak yang ini dan yang ini, mau ikut tidak, sarapan di rumah Rina?" Menunjuk Saras dan Tania secara bergantian.
Saras dan Tania menggeleng. Saras ikut menunduk seperti yang dilakukan Chayra. "Kak Saras sama Kak Tania sarapan di Asrama, Dek. Kakak nggak boleh sarapan di rumah Adek Amrina."
"Kenapa, Kak? Tidak ada orang yang marah kok." Tanya Amrina polos.
"Nggak boleh, Dek. Kakak harus masak dulu baru boleh makan." Tania yang menjawab.
Chayra menggendong tubuh kecil bocah imut itu. Ketika dia dekat dengan bocah itu, dia selalu teringat pada Amanda. Bocah yang selalu nemplok padanya dulu di rumah. Bagaimana kabar Manda ya sekarang? Batinnya. Ah, entahlah. Dia bahkan belum pernah menyentuh handphonenya sejak hari pertama dia di Pesantren. Dia hanya mengetahui kabar Ibu dan adiknya dari Pak Ismail dan Bu Ainun. Sejak sampai di Pesantren ini. Pak Ismail Belum mengizinkan Chayra menggunakan ponselnya.
* * *
"Ayra, sini, Nak."
Chayra mendekati Pak Ismail yang sedang duduk santai di Ruang Keluarga. Dia duduk di sofa yang bersebrangan dengan Pak Ismail. Bu Ainun yang duduk di sebelah suaminya hanya tersenyum pada keponakannya.
"Iya, Abah, ada apa?"
"Bagaimana perasaanmu setelah satu bulan di Pesantren?"
"Alhamdulillah, Ayra semakin nyaman Abah."
Pak Ismail mengangkat tas ransel yang dia letakkan di kaki sofa. Menyerahkannya benda berwarna merah maroon itu pada Chayra. "Ini laptop dan handphone kamu. Abah harap, kamu menggunakannya dengan bijak dan tidak menggangu jadwal ngaji kamu."
Bibir Chayra mengulas senyum. Meraih tas itu lalu memeluknya dengan erat. "Alhamdulillah, akhirnya kalian berdua kembali padaku." Beralih menatap pak Ismail. "Terimakasih, Om. Eh, Abah. Insya Allah, Ayra akan menggunakannya dengan bijak."
"Kamu ini, Nak. Sudah satu bulan lho, kami disini. Tapi, kamu masih saja sering salah manggil kami." Ucap Bu Ainun.
Chayra tersenyum meringis. "Maaf, Ummi. Ayra kan, masih beradaptasi dengan panggilan baru ini."
Pak Ismail tertawa kecil. "Kamu ada-ada saja, Nak. Iya, sudah. Silahkan, kalau kamu mau memeriksa barang-barang kamu."
"Nanti saja, Abah, kalau Ayra sudah di kamar. Mmm.. Abah. Apa Ayra boleh bertanya?"
Pak Ismail mengangguk. "Mau menanyakan apa, Nak?"
"Mmm.. Bagaimana dengan rencana kuliah Ayra?"
"Kamu nggak perlu khawatir. Abah sudah mendaftarkan kamu. Abah sudah minta tolong sama Ghibran untuk mengantarkan formulir pendaftarannya. Nanti dia yang akan mengantarnya kemari."
"Terimakasih, Abah. Maaf, kalau selama ini, Ayra banyak merepotkan Abah.'
"Tidak sama sekali, Nak. Ini sudah menjadi kewajiban Abah dan Ummi sebagai orang tua kamu." Pak Ismail menarik nafas dalam. "Sekarang kamu masuklah ke kamar. Hubungi ibu kamu. Dari kemarin dia mendesak Abah untuk ngomong denganmu. Tapi, Abah tetap tidak mengizinkan karena belum satu bulan."
Mendengar nama ibunya, Chayra langsung bangkit."Kalau begitu, Ayra ke kamar dulu ya, Abah, Ummi."
Pak Ismail dan Bu Ainun mengangguk serentak.
Chayra tersenyum lalu bergegas masuk ke kamarnya. Dia langsung mencari handphonenya di dalam tas dan segera menghubungi ibunya. Dia sungguh sudah sangat rindu pada Ibu, Bian dan tiga temannya. Alesha, Amira dan Tina. Bagaimana kabar mereka sekarang.
Chayra tersenyum membayangkan wajah orang-orang terdekatnya. Satu bulan berpisah dengan mereka membuatnya ingin kabur saja untuk menemui mereka. Namun, segera ia tepis pikiran buruk itu.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 251 Episodes
Comments