Sudah hampir satu bulan tinggal di Pesantren. Chayra mulai terbiasa dengan kegiatan-kegiatan yang ada di Pesantren. Seperti terlihat pagi ini. Chayra duduk di pinggiran Majelis Ta'lim tempatnya mendirikan shalat tahajud tadi.
Chayra menunggu Saras dan Tania yang kembali ke Asrama untuk mengabsen adik-adik asuhan mereka. Agar tidak ada yang sampai terlambat ke Sekolah.
Ghibran yang baru keluar dari Masjid Santri usai melaksanakan shalat Dhuha, tertegun melihat gadis yang sedang duduk termenung sendirian itu. Dadanya selalu berdesir setiap melihat senyuman gadis yang baru beberapa hari ia kenal itu. Perasaan apa ini. Batinnya
Tiba-tiba, kakinya berjalan, melangkah pelan mendekati Chayra. Baru beberapa langkah, ia menghentikan langkahnya. Apa yang akan dia katakan nanti, saat sudah berada di depan gadis itu. Namun, hatinya mengatakan, kalau dia harus mendekati gadis yang sedang duduk bersandar di tiang Majelis Ta'lim itu.
Langkahnya kembali terhenti saat melihat Saras dan Tania yang berlari kecil mendekati Chayra. Dia menghembuskan nafasnya dengan kasar seraya beristighfar. "Astagfirullahal'adzim, apa yang aku lakukan?" Tanyanya pada dirinya sendiri.
Ghibran berbelok arah menuju Asrama Santri Putra. Tapi, hatinya berkata lain, memintanya untuk menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke belakang. Rasa penasaran ingin melihat apa yang dilakukan gadis yang sangat ingin ia datangi tadi.
Chayra, Saras dan Tania berjalan menuju Masjid Santri. Mereka akan melaksanakan shalat Dhuha. Dan itu semua tak lepas dari perhatian seorang Ghibran Abdullah.
Bukannya melanjutkan langkahnya. Ghibran malah mengikuti tiga gadis tadi masuk ke dalam Masjid. Berdiri di sisi tirai pembatas antara Putra dan Putri. Di sana, dia bisa mendengar dengan jelas percakapan tiga gadis tadi.
"Ayra, aku lihat, kamu sepertinya sudah terbiasa melaksanakan shalat Dhuha. Apakah kamu selalu mengerjakannya sebelum kamu datang kemari?" Terdengar suara Saras.
Ghibran semakin menajamkan pendengarannya untuk mendengarkan jawaban dari Chayra.
"Alhamdulillah, sejak aku masuk Sekolah Menengah Atas, aku selalu meluangkan waktu untuk mengerjakannya. Ibu juga selalu menuntut aku untuk bisa Istiqomah, ketika aku mengerjakan perbuatan yang bermanfaat. Jadi, aku merasa berat kalau harus meninggalkannya.
"Wah, kamu keren, Ayra. Kamu bukan seorang Santri. Tapi, jiwa Istiqomah kamu itu layak untuk di tiru." Ucap Tania. "Aku saja disuruh shalat dua rakaat saja masih terasa berat."
"Kalau dibiasakan, insya Allah, kita pasti terbiasa dan akan terasa ada yang kurang kalau kita belum mengerjakannya."
"Sudah, ayo kita mulai. Jangan kebanyakan ngobrol." Timpal Saras.
Ghibran yang masih berdiri di balik tirai, tertegun mendengar setiap kalimat yang terlontar dari mulut tiga gadis itu. "Gadis yang luar biasa." Gumamnya pelan. Berbalik keluar dari Masjid. Bergegas menuju Asrama Santri Putra. Takut keberadaannya di sadari tiga gadis itu.
* * *
Chayra mengerjapkan mata. Memicingkan matanya untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke indra pengelihatannya. Melirik jam dinding yang terpampang di dinding kamarnya.
Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Ia segera bangkit dan bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Tidak mau terlambat lagi. Takut Umminya menunggu seperti kemarin. Hari kemarin Bu Ainun sampai bolak balik mengetuk pintu kamarnya karena matanya sangat sulit terbuka.
Usai melaksanakan shalat Tahajud. Chayra mendekati Saras dan Tania yang sudah duduk santai di tempat biasa.
Tampak Ghibran berjalan ke arah kelas mereka bersama seorang pria. Dia itu Rudi, teman seangkatan Ghibran. Mereka berjalan santai sambil ngobrol. Mereka berpisah untuk mengisi materi pada kelas yang telah ditentukan.
Sekitar satu jam Ghibran mengisi materi. Terdengar adzan Subuh berkumandang dari Masjid Santri. Mereka semua diam mendengarkan adzan. Membaca do'a setelah adzan usai adzan dikumandangkan.
"Baik, Adik-adik. Karena sudah adzan. Materinya kakak cukupkan sampai disini." Ucap Ghibran menutup kelasnya pagi ini.
"Iya, Ustadz." Jawab para santri serentak.
"Kakak tutup ya. Semoga ilmu yang Kakak sampaikan tadi bermanfaat. Sekian, Assalamualaikum warahmatullahi wa barokaatuh."
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wa barokaatuh."
Ghibran bangkit lebih dulu, meninggalkan adik-adik bimbingannya. Setelah Ghibran keluar, barulah Chayra dan teman-temannya bangkit. Mereka langsung menuju Masjid Santri untuk menunaikan shalat Subuh berjamaah.
Di tengah perjalanan menuju Masjid, Chayra malah gagal fokus dengan ucapan dua santri yang berjalan di belakangnya.
"Kok, sekarang Ustadz Ghibran rajin banget ya masuk ke kelas kita?" Tanya salah seorang pada teman di sampingnya.
"Iya, ya. Aku rasa setelah keponakannya Ummi Ainun itu ada di kelas kita. Bahkan, selama Ayra ada di sini, bisa di bilang selalu Ustadz Ghibran yang mengisi materi. Biasanya dulu selalu gantian dengan Ustadz Rudi atau Ustad Kholis." Jawab teman di sampingnya.
"Kayaknya Ustadz Ghibran jatuh cinta deh, sama Ayra."
"Menurutku juga begitu. Apa kamu pernah memperhatikan kalau Ustadz Ghibran sedang menyampaikan materi. Tatapannya selalu tertuju pada Ayra."
Teman di sampingnya menganggukkan kepalanya tanda menyetujui pendapat temannya.
Chayra hanya diam mendengarkan percakapan dua orang di belakangnya. Saras dan Tania hanya memandang Chayra. Merasa khawatir kalau ucapan dua orang di belakang mereka tadi menyinggung perasaan Chayra.
Tidak ada perubahan pada raut wajah Chayra. Mereka berdua bisa bernafas lega setelah mendengar Chayra berulang kali melafalkan Istighfar dengan suara lirih.
Saras dan Tania kagum dengan ketegaran Chayra. Walaupun sering dibicarakan oleh para santri. Tapi, Chayra tidak pernah tersinggung. Dia hanya akan beristighfar ketika mendengar dirinya menjadi topik pembicaraan.
"Sabar ya, Ayra." Tania menepuk pelan pundak Chayra. "Seharusnya mereka sadar diri. Siapa kamu dan siapa kami." Sambungnya. Tatapannya lurus ke depan, ke arah dua orang Santri yang sudah mendahului langkah mereka sejak tadi, karena mereka berjalan lebih lambat.
Chayra mengernyit heran. "Kok, kamu ngomong gitu, Nia? Kita ini sama-sama manusia biasa."
Tania menggeleng pelan. "Status sosial kita yang berbeda, Ayra. Kami hanya dari kalangan rakyat jelata."
Percakapan mereka terhenti ketika suara iqomah dikumandangkan dengan merdu dari dalam Masjid.
* * *
Pagi itu, selesai mengikuti kultum ba'da shalat Subuh. Chayra, Saras dan Tania berjalan santai sambil bercerita.
"Kamu tau, Ayra? Kalau kita nggak hadir saat di absen. Kita akan mendapatkan hukuman di sini. Dan hukuman itu akan membuat tanganmu yang cantik ini menjadi kebas atau bahkan sampai bengkok." Saras bercerita heboh sambil menarik-narik pelan tangan Chayra.
Chayra mengerutkan alisnya. "Memangnya hukumannya apa?"
"Menulis lafadz istighfar, atau lafadz Tahmid, Tahlil, Bismillah dan bla...bla...bla... sampai ribuan kali." Jawab Tania tak kalah heboh.
Jawaban dari Tania membuat Chayra semakin bingung. "Maksudnya kamu?"
Saras menarik tangan Chayra mendekati sebuah bangku panjang di pinggir kolam ikan yang lumayan besar. "Sini, kita duduk dulu biar lebih santai."
Jejeran pohon mahoni yang rindang sepanjang pinggir kolam ikan itu membuat suasana pagi semakin sejuk.
Chayra menarik nafas dalam-dalam menikmati sejuknya udara di sekitar. "Subhanallah.. Sungguh indah ciptaan-Mu ya Allah." Gumam Chayra.
Saras dan Tania saling pandang melihat kekaguman Chayra.
"Kamu baru sekarang menikmati alam Pesantren ini. Sedangkan kami dari enam tahun yang lalu selalu menikmatinya." Ucap Tania.
Chayra menatap Tania sambil tersenyum. Tiba-tiba, dia teringat dengan hal yang mereka bahas sebelum duduk di bangku tadi. "Eh, Saras, Nia. Tadi kan aku nanya tentang hukuman yang kalian dapatkan. Kalian belum menjelaskan sampai aku paham."
"Gini lho, Ayra. Misalnya, sekarang kamu tidak hadir saat pengasuh mengabsen."
"Aku sudah paham kalau yang itu." Ucap Chayra memotong penjelasan Saras.
Tania meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. "Sssttt... dengarkan dulu, Ayra."
Chayra mengangguk pasrah.
"Satu kali kamu tidak hadir, itu berarti satu hukuman sudah menjadi milikmu. Misalnya, hukumannya kamu disuruh menulis lafadz istighfar sebanyak seribu kali."
Chayra membulatkan matanya tak percaya. "Menulis lafadz istighfar sebanyak seribu kali? Mengulang penjelasan Saras.
Saras dan Tania menggangguk serentak.
"Itu untuk satu hukuman."
Chayra menelan ludahnya tak percaya. Diam tertegun dan mencoba mencerna maksud Pesantren memberikan hukuman seperti itu. Setelah merenung beberapa saat, wajahnya berbinar senang. "Aku tau tujuannya. Itu semua agar kalian tobat dan kembali ke jalan yang benar."
Mereka bertiga tertawa serentak sambil menutup mulut.
"Hhmmm...!!
Suara deheman di belakang membuat mereka menoleh serentak.
"Kak Kholis!" Tania dan Saras langsung berdiri dan menundukkan kepala. Chayra ikut berdiri dengan bingung.
"Santai sekali kalian? Apa kalian tidak malu? Adik-adik kalian sudah berangkat dari tadi ke Masjid." Ucap Kholis sambil menepuk-nepuk tongkat yang dibawanya di telapak tangannya.
"Ayo..!" Tania menarik tangan kedua temannya. Berlalu dari hadapan Kholis dengan menundukkan kepala.
Baru beberapa meter berlalu dari hadapan Kholis. Mereka disambut dengan suara orang yang tertawa kecil di depan mereka. Serentak mereka bertiga mengangkat kepala.
"U.. Ustadz Ghibran!" Ketiganya tergagap melihat Ghibran yang bersandar santai di sebuah pohon mahoni.
Ghibran kembali tertawa kecil. "Kalian terlihat sangat lucu."
Tania menyebikkan bibirnya. Saras mengangkat sebelah bibirnya. Sedangkan Chayra, ia menundukkan pandangannya.
Ghibran berjalan mendekati mereka. Setelah berjarak sekitar satu meter. Berhenti di hadapan tiga gadis itu.
"Chayra Azzahra."
Mendengar namanya dipanggil, Chayra mengangkat kepalanya. Dia menatap Ghibran. Mereka berkontak mata sekilas lalu Chayra kembali menunduk.
Ghibran kembali tersenyum. "Aku.. aku suka caramu menjaga pandanganmu."
Deg !
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Ghibran langsung berlalu dengan gemuruh di dadanya. Jantungnya berpacu sangat cepat. Dia senyum-senyum sendiri Dan langsung kembali ke Asrama Santri Putra.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 251 Episodes
Comments