Bu Ainun berdiri di depan kamar yang ditempati Chayra. Mengetuk-ngetuk pintu kamar itu dengan pelan. "Ayra, bangun, Nak. Waktunya Tahajud."
Chayra mengerjapkan mata. Ini hari pertamanya bermalam di pesantren. Dia menguap seraya bangkit, berjalan mendekati pintu kamarnya.
Ceklek !
Bu Ainun yang masih berdiri di depan pintu kamar keponakannya tersenyum. "Waktunya Tahajud, Sayang." Membelai lembut kepala keponakannya.
Chayra membalas senyuman Bu Ainun. "Iya,, Tante. Eh, Ummi. Ayra ambil air wudhu' dulu."
Bu Ainun tersenyum mendengar ucapan Chayra yang masih belum terbiasa memanggilnya Ummi. "Kita shalatnya di Majelis Ta'lim, Nak. Kita gabung dengan para Santri. Ummi tunggu kamu di depan."
"Iya, Ummi." Chayra berbalik. Segera bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu'. Tidak mau Umminya menunggu terlalu lama.
Selesai mendirikan shalat dan berdo'a. Bu Ainun minta izin pada keponakannya untuk kembali ke rumah.
"Ummi balik duluan, Nak. Mulai sekarang, kamu harus membiasakan diri mengikuti kajian sebelum shalat Subuh." Bu Ainun menatap sekitar yang dipenuhi Santri.
"Ummi lihat apa?" Tanya Chayra.
Bu Ainun masih memperhatikan sekitar.Dia berbicara tanpa mengalihkan perhatiannya pada Chayra. "Ummi sedang mencari... Ah, itu mereka. Saras, Tania!" Mengeraskan suaranya, memanggil dua orang gadis yang terlihat sedang ngobrol santai usai shalat.
Dua gadis itu menoleh serentak. Mereka segera bangkit setelah mengetahui siapa yang memanggil mereka. Berlari kecil mendekat ke arah Bu Ainun dan Chayra.
"Apa Ummi memanggil kami?" Saras bertanya dengan sedikit membungkukkan badannya.
"Iya, Nak. Ummi mau minta tolong sama kalian. Ajak keponakan Ummi bersama kalian. Semoga kalian bisa akrab dalam waktu dekat. Kalian sepertinya seumuran karena sama-sama baru menamatkan Sekolah Menengah Atas."
Saras dan Tania mengangguk.
"Dengan senang hati, Ummi." Tania tersenyum seraya menatap Chayra. "Ayo.." Merangkul Chayra sok akrab.
"Kalau begitu, Ummi kembali dulu ya.. Kenalan dengan teman-teman baru kamu, Nak.
"Iya, Ummi."
Bu Ainun berlalu dari hadapan keponakannya.
"Namamu siapa?" Saras bertanya pada Chayra yang hanya duduk diam sejak kepergian Bu Ainun.
"Saya Chayra Azzahra. Biasa dipanggil Chayra atau Ayra juga bisa." Chayra tersenyum kaku.
"Saya Saras dan ini Tania. Kami berdua sudah enam tahun disini. Jadi, Ummi Ainun sangat mengenal kami dengan baik." Jelas Saras.
Tania hanya terkekeh mendengar penjelasan Saras yang tidak pernah diminta Chayra.
"Kamu kenapa, Tania?"
"Aneh aja. Tidak ada yang meminta penjelasan sama kamu. Tapi, kamu malah sibuk menjelaskan panjang lebar." Tania kembali terkekeh.
Chayra hanya tersenyum melihat dua gadis teman barunya itu.
"Iihhh, kamu menyebalkan, Tania...!" Saras memukul-mukul pelan tubuh Tania. Mukanya bersemu merah karena malu.
"Aku juga butuh penjelasan itu." Ucap Chayra tiba-tiba. Saras langsung menghentikan aksinya.
"Tuh kan, Ayra juga pasti butuh informasi tentang kita." Saras tersenyum penuh kemenangan.
Chayra hanya tersenyum menanggapinya.
Tiba-tiba, perhatian mereka teralihkan pada sosok laki-laki tampan yang berjalan di kejauhan.
"Wahh, mimpi apa aku semalam? Ustadz Ghibran sampai ngajar di kelas kita malam ini?" Tania terlihat heboh. Perhatiannya tidak teralihkan dari sosok tampan yang masih berjalan semakin mendekat ke arah kelas mereka.
"Ini bukan malam lagi, Tania. Ini sudah mau pagi." Ralat Saras. "Belum tentu juga Ustadz Ghibran mengajar di kelas kita."
"Makanya bantu aku berdo'a biar dia masuk ke kelas kita."
Chayra yang dari tadi hanya menjadi pendengar akhirnya angkat bicara karena penasaran. "Memangnya kenapa? Kalian terlihat sangat berharap kalau dia yang mengajar kita?"
"Kamu mau tau?" Ucap Tania dengan heboh.
Chayra menganggukkan kepalanya.
"Dia itu Ustadz paling tampan di sini
Dia Ustadz paling lemah lembut di sini. Dia Ustadz favorit di sini. Pokoknya, dia Ustadz yang paling perfect." Tania menjelaskan dengan berapi-api. Tindakannya itu membuat teman-temannya yang sekelas dengannya geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.
"Assalamualaikum,"
Suara ucapan salam membuat mereka terdiam. Perhatian mereka tertuju pada orang yang mengucapkan salam.
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wa baarakaatuh." Jawab para Santri serentak.
Bagai mendapat angin segar. Tania senyum-senyum sendiri. Meremas jari-jari tangannya yang saling bertautan.
Chayra meliriknya dengan heran. Dia menyentuh lengan Tania. "Kamu kenapa?"Tanyanya berbisik.
"Aku terlalu senang karena Ustadz Ghibran benar-benar masuk ke kelas kita."
Chayra menautkan alisnya. "Kamu berlebihan, Tania."
Tania hanya nyengir mendengar ucapan Chayra.
Bagaimana kabar kalian ?" Suara Ghibran membuat mereka kembali memfokuskan perhatiannya ke depan.
"Alhamdulillah, kami baik, Ustadz."Jawab mereka serentak.
Ghibran tersenyum lembut. Sebenarnya, dia tidak suka di panggil Ustadz. Namun, para Santri segan kalau harus memanggilnya kakak. Dia memperhatikan adik bimbingannya satu persatu. Tatapannya terhenti pada sosok gadis yang duduk sekitar dua meter di depannya. Gadis itu terlihat asing di matanya.
Mendapat tatapan dari laki-laki di depannya. Chayra tersenyum seraya menundukkan pandangannya.
Dada Ghibran berdebar. Ada perasaan aneh yang berdesir di dadanya. Jarang-jarang dia berjumpa wanita yang seperti ini. Dia menarik nafas dalam mencoba mengatur irama jantungnya.
"Dek.." Panggilnya pelan.
Yang dipanggil masih menunduk.
"Dek.." Panggilnya lagi.
Saras menyenggol lengan Chayra agar segera mengangkat wajahnya. Bukannya mengangkat wajahnya, Chayra malah terlonjak kaget. Berjingkat berdiri seraya melafadzkan istighfar. "Astagfirullahal'adzim..!" Menjerit seperti orang ketakutan.
"Kamu kenapa, Ayra?" Saras dan Tania bertanya kompak dengan nada panik. Menarik tangan Chayra agar duduk lagi.
Chayra malah melongo. Semua mata tertuju padanya. Mereka penasaran dengan jawaban yang akan dilontarkan Chayra.
"Ayra.." Panggil Saras lagi, melambaikan tangannya di depan wajah Chayra.
"Iya, iya, ada apa?!" Chayra tergagap. Mengumpulkan kembali kesadarannya.
Para santri di belakangnya cekikikan melihat tingkahnya.
"Kamu kenapa, Ayra?" Tania mengulang pertanyaan Saras.
"Aku..? Aku kenapa ya..?"Tanyanya balik.
Sontak, ucapannya mengundang gelak tawa orang yang sekelas dengannya. Tak terkecuali Ghibran.
Saras menghembuskan nafasnya dengan kasar, memutar bola matanya. Sedangkan Tania menepuk jidatnya. Mereka tak percaya dengan kekonyolan yang dibuat Chayra.
Ghibran masih tersenyum. Mencoba memanggil Chayra lagi. "Adek.." Ucapnya pelan.
Chayra langsung menoleh diikuti oleh Saras dan Tania. "Iya, Ustadz." Jawabnya pelan.
"Tadi saya yang memanggil kamu, tapi kamu tidak menoleh. Terus Saras menyenggol lengan kamu. Tapi, kamu malah terlonjak kaget. Apa tkamu tidur tadi?"
Chayra menggeleng pelan. "Astaghfirullah, saya tidak tidur, Ustadz. Cuman, tadi saya kaget aja." Jawabnya mencoba membela diri. Kembali menundukkan kepalanya.
Ghibran kembali tersenyum. Mengalihkan topik pembicaraan karena melihat muka Chayra bersemu merah. "Apa kamu Santri baru, Dek?"
"Iya, Ustadz. Dia ini santri baru, tapi sudah tamat Sekolah Menengah Atas. Sama seperti kami. Dan satu lagi. Ustadz juga perlu tau, kalau dia ini keponakannya Abah Ismail dan Ummi Ainun." Tania menjelaskan dengan panjang lebar.
Ghibran terlihat keheranan mendengar penuturan Tania. "Saya tanya dia, Tania, bukan kamu." Jawab Ghibran.
"Ustadz.. ihh, nyebelin deh. Saya kan hanya membantu Ayram. Dia kan masih malu menjawab pertanyaan dari Ustadz." Tania menyebikkan bibirnya.
"Kamu sih, kebiasaan sering nyerocos. Orang yang ditanya, kok kamu yang sibuk jawab." Saras ikut menimpali.
"Sudah, kalian jangan berdebat. Kalau begitu sekarang kita isi dengan perkenalan dulu dengan keluarga baru kita."
"Iya,.Ustadz.." Para Santri menjawab serentak.
"Dek, bisa minta tolong kamu maju ke depan. Teman-teman baru kamj mau melihat wajahmu." Ucap Ghibran.
Chayra mengangguk, maju perlahan dan duduk berjarak beberapa langkah di samping Ghibran. Dia mengangkat wajahnya lalu tersenyum kepada teman-teman barunya.
"Berdiri saja, Dek, tidak apa-apa." Ghibran mempersilahkan Chayra memperkenalkan diri sambil berdiri.
Chayra menggelengkan kepala. "Saya lebih nyaman kayak gini. Terima kasih tawarannya, Ustadz." Chayra tersenyum kepada Ghibran.
Dada Ghibran kembali berdesir melihat senyuman manis Chayra. Dia tersenyum kaku. "Silahkan, Dek kamu bisa mulai."
Chayra mengangguk, mengucap salam terlebih dahulu sebelum mulai memperkenalkan diri.
Chayra melanjutkan ucapannya. "Sebelumnya, saya minta maaf mengganggu waktu belajar teman-teman. Nama saya Chayra Azzara. Teman-teman bisa memanggil saya Chayra atau Ayra juga bisa. Saya orang baru di sini. Saya tidak tinggal di Asrama Santri. Tapi, saya tinggal di rumah Abah Ismail. Karena kebetulan beliau adalah Om saya."
"Ayra, apakah sebelumnya kamu juga tinggal di Pesantren?" Seorang santri yang duduk di paling belakang barisan melontarkan pertanyaan.
"Tidak pernah. Tapi, kedua orang tua saya Alumni di Pondok Pesantren ini. Kalau saya tidak seperti itu. Saya bahkan sekolah di Sekolah Negeri. Tapi, saya juga belajar kitab di rumah. Jadi Alhamdulillah, kitab-kitab dasar yang diajarkan di sini, saya sudah menamatkannya di rumah."
"Alhamdulillah." Ucap Ghibran.
"Apa yang mendorong kamu sehingga mau masuk pesantren setelah menamatkan Sekolah Menengah?" Satu pertanyaan datang lagi.
"Chayra tersenyum hambar mendengarkan pertanyaan itu. "Sebenarnya, tidak pernah terlintas dalam pikiran saya untuk tinggal di Pesantren. Tapi ..." Chayra menjeda ucapannya. Terdengar helaan nafas berat darinya. "Ini permintaan Om dan Tante. Eh, salah sebut. Maksud saya permintaan Abah Ismail dan Ummi Ainun. Kata beliau, karena ini merupakan wasiat dari Almarhum Bapak saya. Jadi, saya wajib menaatinya tanpa kata tapi."
Ghibran tertegun mendengar jawaban Chayra.
"Jadi, ayahmu sudah wafat?" Tanyanya pelan, takut menyinggung Chayra.
Chayra mengangguk ragu. "I..iya, Ustadz." Menundukkan kepalanya.
"Maaf, kalau pertanyaanku menyinggungmu."
"Tidak, Ustadz." Jawab Chayra, kembali tersenyum hambar.
"Kamu boleh kembali ke tempatmu." Ghibran mempersilahkan Chayra kembali duduk di atas sajadahnya.
"Terimakasih, Ustadz." Chayra berjalan dengan berjongkok lalu duduk dengan nyaman di atas sajadahnya.
Ghibran kembali menatap para adik santrinya.
"Chayra Azzahra, namamu indah. Aku suka namamu." Ucapnya tiba-tiba. Para santri bertepuk tangan riuh.
"Ciie... Ustadz suka namanya atau orangnya?" Lontaran dari salah seorang santri membuat Ghibran melototkan matanya. Wajahnya memerah. Bukan karena marah, tapi karena malu dengan pertanyaan itu.
Dadanya kembali berdebar. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia hanya diam tanpa mau menjawab pertanyaan santri itu.
"Apakah Ustadz Ghibran jatuh cinta pada pandangan pertama padam ?" Tanya Tania dengan pelan. Namun, nada bicaranya agak sedih.
Chayra mengangkat bahu. "Jangan ngomong sembarangan karena itu bisa jadi fitnah. Dia kan bilang suka namaku, bukan aku." Ucapnya sambil menjepit hidung Tania.
"Ternyata kamu orangnya asyik ya, Ayra. Aku mau deh jadi teman permanent kamu." Saras langsung menyela. Tidak mau terlibat dengan urusan laki-laki. Sengaja menyela ucapan Tania, agar teman baru mereka tetap nyaman berteman dengan mereka.
Chayra beralih menatap Saras. Mengembangkan senyumnya, menepuk pelan pundak Saras."Terimakasih,"
Tania tiba-tiba memeluk Chayra dari belakang.
"Hhhmmm..!"
Suara deheman Ghibran membuat Tania sadar kalau sekarang berada di mana.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 251 Episodes
Comments