Bu Santi pulang lebih awal dari Toko. Dia mendapat telepon dari kakak iparnya, kalau sore ini mereka sudah mendarat dan akan langsung menuju rumahnya.
Berbagai persiapan dilakukan oleh Chayra dan Ibunya. Sedangkan Bian hanya membantu sebisanya saja.
Chayra duduk selonjoran di atas lantai. Bersandar di tembok ruang tamu sambil mengatur nafasnya yang agak ngos-ngosan. Capek dari tadi keluar masuk dari kamarnya, kamar ibunya, ganti ini ganti itu.
"Ayra, spray kamar adikmu udah kamu ganti?" Bu Santi bertanya dari dalam dapur. Sedikit berteriak agar Chayra bisa mendengar ucapannya.
Chayra malah melamun tidak mendengarkan pertanyaan Ibunya. Bu Santi yang tak kunjung mendengarkan jawaban dari putrinya, akhirnya keluar dari dapur. Sedikit terkejut melihat putrinya melamun duduk berselonjor di atas lantai dan tak beralas.
"Ayra, apa yang kamu lakukan, Nak?"
Chayra tersentak kaget. Dia langsung menoleh ke sumber suara. Bangkit dan berjalan mendekati ibunya. "Eh, iya. Ada apa, Bu?"
"Kamu kenapa melamun? Ibu dari tadi manggil kamu. Eh, ternyata orang yang dipanggil malah sedang asyik melamun. Pantesan tidak dengar."
Chayra menautkan alisnya mendengar ucapan ibunya. "Masa sih, Bu? Perasaan, Ayra nggak dengar apa-apa."
"Dimana kamu mau dengar. Pikiran kamu melayang entah kemana.."
Chayra akhirnya hanya bisa.tersenyum meringis. "Memangnya Ibu butuh apa?Sekarang Ayra ambilkan."
"Ibu cuma tanya kamu tadi. Apa kamu sudah mengganti spray kamar adik kamu?"
"Belum, Bu. Tapi, aku lihat tadi Bian sudah mencopotnya sendiri."
"Adikmu cuma bisa mencopotnya, tapi dia tidak bisa memasang penggantinya."
"Sekarang Ayra ganti, Bu."
Bu Santi mengangguk lalu masuk kembali ke dapur.
* * *
Tepat pukul lima sore. Pak Ismail dan Bu Ainun tiba di rumah Chayra. Bu Santi memeluk kakak iparnya dengan haru. Sedangkan pak Ismail hanya tersenyum melihat pemandangan di depannya. Hampir dua tahun, kakak iparnya itu tidak datang berkunjung.
"Mbak Ainun apa kabar?"
"Alhamdulillah, aku baik, Dek. Kamu bagaimana? Apa Bian masih nakal dan keras kepala?" Ucap Bu Ainun sambil mengusap pelan kepala Bian yang berdiri di samping ibunya.
"Sekarang dia sudah besar, Kak. Dia sudah tau mana yang benar dan mana yang salah. Cuman keras kepalanya itu tidak bisa diganti dengan sikap yang lebih lembut."
Mendengar dirinya menjadi bahan pembicaraan, Bian memanyunkan bibirnya. "Kok Ibu ngoming gitu sama Tante?"
Bu Santi tidak mendengarkan komentar anaknya dan terus bercerita tentang Bian pada
kakak iparnya.
"Kak Ismail dan kak Ainun juga perlu tau. Anak ini sekarang tidak suka disentuh. Bahkan, teman-teman Ayra yang datang sangat gemes dengan tingkahnya. Dia selalu bilang bukan muhrim kalau mereka mencubit pipinya."
Pak Ismail dan Bu Ainun tertawa kecil. "Benar-benar cerminan dari Almarhum suamimu, Dek." Ucap pak Ismail.
Bu Santi tersenyum hambar. "Semakin kesini, aku merasa mas Ari hidup dalam diri Bian. Dari gaya bicaranya, candaannya, perhatiannya, sifatnya, bahkan wajahnya sangat mirip dengan Mas Ari.
Bu Ainun kembali memeluk Bu Santi dengan haru. "Andaikan Ari masih hidup. Kamu tidak akan berjuang sendiri, Dek."
"Ini sudah takdir, Mbak. Aku sudah ikhlas dengan kepergian Mas Ari." Bu Santi menyeka air mata yang tiba-tiba mengalir di pipinya. "Jangan diungkit lagi lah, Mbak. Aku takut hatiku menjadi rapuh saat mengingatnya." Berusaha mengembangkan senyumnya agar terlihat tegar.
Bu Ainun menepuk pundak adik iparnya. "Kamu wanita kuat, Dek. Aku yakin, Almarhum adikku pasti bangga memiliki istri sepertimu."
Bu Santi kembali tersenyum hambar. "Amiin, Mbak."
"Om, apakah Bapak mirip dengan Bian?" Pertanyaan Bian membuat mereka serentak menoleh ke arahnya. "Apakah ayah tampan seperti aku?" Ucap anak itu lagi.
Mereka semua terkekeh mendengar pertanyaan Bian.
Pak Ismail tersenyum seraya mengusap pipi Bian dengan lembut. "Bian memang sangat mirip dengan Bapaknya Bian. Tapi, sayangnya wajah Bapakmu lebih tampan daripada wajah Bian."
Bian memonyongkan bibirnya. "Mm.. yang benar saja, Om. Mana ada Bapak lebih tampan. Yang ada mungkin Bapak tidak setampan Bian."
Mereka semua tertawa. "Persis seperti Ari." Ucap Bu Ainun di sela-sela tawanya.
"Sudah ah. Mbak Ainun dan kak Ismail pasti capek. Ayo, kalian istirahatlah dulu. Aku dan Chayra sudah menyiapkan kamar Bian untuk kalian tempati malam ini." Bu Santi mengganti topik pembicaraan. Semakin mereka membahas Almarhum suaminya, suasana hatinya semakin tak karuan.
"Sebenarnya kami berniat langsung kembali. Tapi mengingat Chayra yang mungkin masih ada urusan dan harus dia selesaikan. Kami memutuskan untuk bermalam saja. Insya Allah, besok pagi kami akan berangkat." Ucap pak Ismail.
"Maafkan Ayra merepotkan Om dan Tante."
Chayra yang dari tadi diam akhirnya mengeluarkan suaranya.
"Tidak apa-apa, Nak. Kami akan selalu memperioritaskan kenyamanan kamu. Kami tidak mungkin memaksakan kehendak kami sedangkan kamu tidak nyaman." Jawab Bu Ainun dengan tenang, diiringi dengan anggukan kepala dan senyuman dari pak Ismail.
"Kalau begitu kami istirahat dulu ya.." Bu Ainun beranjak bangun. Pak Ismail
ikut bangkit, merenggangkan ototnya yang terasa sedikit kaku. Mereka beriringan memasuki kamar Bian.
* * *
Usai mendirikan shalat Subuh berjamaah yang di imami oleh pak Ismail. Chayra dan Omnya masih duduk di Musholla kecil rumah itu. Pak Ismail perlu menjelaskan banyak hal kepada keponakannya itu sebelum Dia membawanya ikut mereka ke Pesantren. Mereka membahas banyak hal. Terutama peraturan yang harus di patuhi Chayra saat di pesantren nanti.
"Di Pesantren nanti, kamu tidak boleh berbicara empat mata dengan lawan jenis, apapun alasannya. Kamu memang keponakan Om.Tapi, kalau kamu melanggar peraturan ini. Om tidak bisa melindungi kamu dari hukuman yang sudah menjadi kebijakan Pesantren."
"Biasanya, hukuman apa yang diterima santri kalau melanggarnya, Om?"
"Itu termasuk pelanggaran berat, Nak. Karena biasanya Santri yang melanggar peraturan itu mempunyai hubungan khusus. Jadi biasanya mereka berjanji akan bertemu di tempat yang agak sepi. Dan yang ditakutkan Pesantren, setan akan menjadi yang ketiga di antara mereka."
Chayra manggut-manggut mendengar penjelasan pak Ismail. "Itu berarti di Pesantren, Santri tidak boleh berpacaran, Om?"
"Bisa dibilang begitu, Nak. Tapi Pesantren tidak menekankan secara khusus. Kita juga tidak bisa melarang orang jatuh cinta. Santri juga banyak yang pacaran. Mereka berkomunikasi menggunakan surat. Kalau seperti itu, pihak Pesantren memberikan permakluman. Karena kebetulan di sana, Santri tidak diperbolehkan membawa handphone. Tapi Pesantren sangat menganjurkan, alangkah baiknya kalau pacaran itu bisa dihindari."
"Kenapa tidak boleh membawa handphone, Om? Bagaimana cara mereka menghubungi orang tua mereka?"
"Pesantren menyediakan waktu khusus bagi mereka untuk menghubungi orang tua mereka. Setiap ruangan ada handphone masing-masing. Tapi mereka hanya boleh menghubungi orang tua mereka seminggu sekali. Kecuali ada kebutuhan yang mendesak. Mereka diperbolehkan menghubungi orang tua mereka di luar waktu yang telah ditentukan. Dan handphone itu di pegang oleh pengasuh mereka.
Chayra kembali manggut-manggut. "Pengasuh itu siapa, Om?"
"Pengasuh itu sebutan untuk Santri yang sudah menamatkan Sekolah Menengah Atasnya. Seperti kamu ini. Tapi, mereka tetap diam di Pesantren untuk memperdalam ilmu agama mereka. Dan mereka ditugaskan oleh Pesantren untuk menjaga dan menjadi pembimbing bagi adik-adik mereka yang masih sekolah."
"Terus bagaimana dengan rencana kuliah Ayra, Om."
"Sudah ada Universitas di Pesantren. Letaknya bersebelahan dengan Asrama Santri. Bagi Santriwati yang kuliah lewat Pesantren. Mereka hanya diperbolehkan kuliah di Universitas itu." Pak Ismail menghembuskan nafasnya seraya bangkit. "Nanti di Pesantren, Om akan jelaskan secara detail. Sekarang kita harus bersiap karena sebentar lagi kita akan berangkat."
Chayra menganggukkan kepalanya lalu mengikuti Omnya yang sudah keluar duluan dari Musholla.
Setelah berganti pakaian, Chayra menuju dapur untuk membantu ibu dan tantenya menyiapkan sarapan.
Mereka menikmati sarapan bersama dalam diam. Tidak ada percakapan sama sekali selama sarapan berlangsung.
Bian pamit berangkat ke Sekolah setelah menghabiskan sarapannya. Sedangkan Chayra serta Pak Ismail dan Bu Ainun akan bersiap berangkat ke Bandara.
Chayra memeriksa kembali barang bawaannya.
Setelah merasa semuanya sudah siap, ia menghampiri Om dan Tantenya di kamar Bian. "Om, Tante, apakah Ayra akan meninggalkan handphone Ayra di rumah?" Tanyanya. Menarik kursi kayu milik Bian dan duduk disana sambil menunggu jawaban dari Pak Ismail.
"Bawa saja, Nak. Kenapa kamu bertanya begitu?" Ucap Bu Ainun tanpa menoleh karena dia sedang merapikan kopernya.
Pak Ismail berdehem dan dia yang menjawab pertanyaan istrinya."Tadi Abah menjelaskan ke Ayra, kalau santri tidak diperbolehkan membawa handphone."
"Tapi Ayra kan bukan santri, Abah. Dia juga kan akan tinggal di rumah kita. Belum lagi dia akan kuliah. Abah ini bagaimana sih?" Omel Bu Ainun pada suaminya.
Pak Ismail memandang istri dan keponakannya secara bergantian. "Abah kan menjelaskan peraturan santri. Tapi bukan berarti Abah melarang Ayra membawa handphone juga, Ummi.."
"Terserah Abah saja mau ngomong apa." Ucap Bu Ainun. Beralih menatap Chayra yang masih duduk. "Barang kamu sudah siap semua kan, Nak?" Bu Ainun mengalihkan pembicaraan karena enggan kalau harus berdebat dengan suaminya.
"Sudah, Tante. Cuman, laptop dan handphone, Ayra belum berani memasukkannya ke dalam ransel. Takut kalau Om dan Tante tidak mengizinkan Ayra membawanya."
"Masukkan sekarang, Nak! Pukul delapan kita harus sudah berangkat." Perintah Bu Ainun.
"Baik, Tante." Chayra beranjak meninggalkan Om dan Tantenya.
"Tunggu, Nak!"
Chayra berbalik menatap Omnya.
"Mulai sekarang, kamu jangan memanggil kami Om dan Tante lagi."
Chayra mengernyit mendengar permintaan Omnya. Dia beralih menatap Tantenya.
Bu Ainun hanya menganggukkan kepala tanda menyetujui permintaan suaminya.
"Kenapa, Om?"
"Biasakan diri memanggil kami Abah dan Ummi. Karena di Pesantren, kami biasanya di panggil begitu. Masa iya, cuma kamu yang bilang Om dan Tante nanti?"Jelas pak Ismail.
Chayra menarik sudut bibirnya. "Insya Allah, Abah, Ummi."
Pak Ismail dan Bu Ainun mengembangkan senyumnya.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 251 Episodes
Comments
Sasa Fitriani
mampir thor..
2022-03-21
0