Chayra berjalan menyusuri komplek perumahannya. Berjalan dari satu rumah ke rumah yang lain. Mengetuk pintu, bersalaman dengan ibu-ibu komplek. Ada yang memeluknya haru. Bahkan, banyak dari mereka yang memberikannya uang saku.
Dia menyeret kakinya berjalan ke rumah terakhir yang belum Ia datangi. Rumah itu tepat berada di samping rumahnya. Rumah itu milik Bu Sulis. Tetangga yang selalu baik padanya.
Chayra melihat pintu rumah itu terbuka. Karena sudah biasa keluar masuk di rumah itu, Chayra mengucap salam lalu masuk ke dalam rumah.
"Assalamualaikum, Bu Sulis." Chayra berhenti sejenak saat sampai di Ruang Tamu.
Biasanya jam segini Bu Sulis ada di dapur. Batinnya. Ia berjalan ke arah dapur. Dan benar saja, nampak Bu Sulis sedang berkutik dengan alat dapur. Chayra menarik nafas lega.
"Wa'alaikumsalam,"
Bu Sulis menjawab salam dengan agak berteriak. Baru berbalik, dia dikagetkan oleh Chayra yang sudah berdiri di depannya. "Eh, ternyata tamunya kamu, Nak Ayra.."
Ucapnya sambil tersenyum.
"Iya, Bu. Maaf, Ayra lansung masuk tadi."
"Nggak apa-apa, Nak. Kamu kan, memang sudah biasa keluar masuk di rumah ibu. Ayo, duduk dulu, Nak." Kata Bu Sulis ramah sambil menarik sebuah kursi untuk Chayra.
Chayra duduk lalu mengutarakan maksud kedatangannya pada Bu Sulis. "Mm.. anu, Bu. Ayra datang kesini mau berpamitan sama Ibu."
"Memangnya, Nak Ayra mau kemana?" Tanya Bu Sulis dengan heran. Ikut duduk di depan Chayra.
"Ayra mau ikut Om dan Tante Ayra tinggal di Pesantren, Bu."
Bu Sulis agak tersentak kaget mendengar penuturan Chayra. "MasyaAllah, Nak! Kenapa baru bilang sekarang? Kemarin Ibu sempat dengar Ibu kamu cerita-cerita tentang Pondok Pesantren. Ibu kira dia tidak sedang membahas tentang kamu, Nak." Bu Sulis menghela nafas berat. "Ibu belum menyiapkan apa-apa sekarang untuk menjadi bekal kamu, Nak."
"Bekal? Bekal apa maksudnya, Bu?"Chayra mengernyitkan alisnya karena tidak paham dengan bekal yang di maksud Bu Sulis.
"Kalau seorang anak mau pergi mondok. Biasanya, dia akan dibuatkan banyak jajanan kering. Karena biasanya kalau di Pondok itu kita selalu merasa lapar. Ibu juga pernah dengar, kalau di Pondok Pesantren Om kamu itu, santrinya masak sendiri. Apa benar begitu, Nak?"
"Pondok Pesantren Al-Mukarromah itu bukan Pondok Pesantren Om Ismail, Bu. Pondok Pesantren itu didirikan oleh Abahnya Om."
"Tapi, Om kamu kan penerusnya. Jadi sama aja." Jawab Bu Sulis nggak mau kalah. Chayra hanya tersenyum menanggapinya.
Bu Sulis bangkit dari duduknya. Dia mengambilkan Chayra sebotol teh kemasan dari dalam kulkas. Meletakkan sebotol teh itu di depan Chayra. "Minum dulu, Nak. Kamu pasti haus. Kamu juga kelihatan lelah sekali."
Chara mengangguk. Tanpa basa basi, ia langsung mengambil teh di depannya. Setelah membuka segelnya, dia berdoa lalu meneguknya sampai tersisa hanya setengah.
"Alhamdulillah, akhirnya rasa hausku terbayar sudah. Terimakasih, Bu minumnya." Ucapnya.
Bu Sulis tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. "Kapan kamu berangkat, Nak?"
"InsyaAllah, lusa, Bu. Mungkin ba'da shalat Ashar atau Maghrib."
"Semoga, nanti kamu mendapatkan ilmu yang bermanfaat, Nak. Ibu juga dulu pernah jadi santri. Tapi, Ibu nggak memanfaatkan waktu dengan baik, sehingga sekarang Ibu menyesal.
Kenapa dulu pas di pesantren Ibu kebanyakan tidur sama makan. Pas selesai mondok, bukannya pulang bawa ilmu. Eh, malah pulang bawa lemak."
Cerita Bu Sulis membuat Chayra tidak bisa menahan tawanya. "Kenapa..? Kok bisa gitu, Bu?"
Bu Sulis menghela nafas berat. "Karena waktu mondok, Ibu kebanyakan makan sama tidur. Kalau kita mau mendapatkan banyak ilmu, kalau ada waktu senggang, segera pergi ngaji atau cari guru. Atau mutolaah juga bisa, agar tidak lupa dengan ilmu yang sudah diajarkan oleh para Ustadz."
Chayra manggut-manggut mendengar penjelasan Bu Sulis. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah. "Manda manu ya, Bu? Dari tadi Ayra celingukan. Tapi tidak ada tanda-tanda kalau dia ada di rumah."
"Amanda pergi ke rumah Pamannya tadi sama Bapak. Katanya, rindu sama adek bayi."Jawab Bu Sulis. "Kalau tau kamu akan pergi, pasti dia nangis, Ayra. Kamu tau kan, dia sangat senang di ajarin berhitung sama kamu."
Chayra tersenyum menanggapi perkataan Bu Sulis. "Ayra juga pasti akan sangat merindukan Manda, Bu. Dia kan anak paling imut di komplek ini."
"Kamu bisa aja, Nak, memuji anak ibu."
Chayra tersenyum. "Kalau gitu, Ayra pamit dulu ya, Bu."
"Lho, kok buru-buru, Nak?"
"Mau istirahat, Bu. Capek keliling komplek dari tadi."
Bu Sulis tersenyum lalu mendekat dan memeluk Chayra. "Kamu anak yang baik, Nak. Ibu do'akan, semoga ke depannya kamu mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi."
"Aamiin, terimakasih, Bu do'anya."
Bu Sulis melepaskan pelukannya. "Tunggu sebentar di sini, Nak." Ucapnya. Meninggalkan Chayra sendirian di dapur.
Sambil menunggu kedatangan Bu Sulis, Chayra meneguk sisa minumannya.
Beberapa menit kemudian, Bu Sulis muncul dengan membawa amplop di tangannya.
Dia meletakkan amplop itu kedalam genggaman Chayra. "Ini, Nak. Ada sedikit uang dari Ibu. Kamu pakai untuk jajan atau apalah. Jangan ditolak ya, Nak. Ibu nggak suka kalau kamu sampai menolak pemberian Ibu." Ucapnya. Masih menggenggam tangan Chayra. Takut kalau Chayra meletakkan amplop itu.
Chayra tersenyum dan menatap Bu Sulis.
Melihat hal itu, Bu Sulis melepas genggamannya."Terima ya, Nak."
"Terimakasih, Bu. Seharusnya Bu Sulis tidak usah repot-repot."
"Kamu itu sudah seperti anak Ibu sendiri dan menjadi sosok kakak bagi Manda, Nak."
Chayra kembali tersenyum. Mencium tangan Bu Sulis lalu berpamitan pulang. Setelah shalat Zuhur nanti, dia akan pergi lagi menemui teman-temannya.
Sampai rumah...
Bian langsung menghambur memeluk kakaknya. Chayra keheranan melihat tingkah adiknya. "Lho, Bian kenapa? Apa ada teman-teman yang mengganggu Bian?"
Bian menggeleng. "Bian kira, Kakak udah berangkat ke Pesantren. Soalnya, tadi pas lagi main, Tino bilang, Kakak ke rumahnya dan berpamitan pada Ibu dan Bapaknya dia.
Chayra mengulas senyum sambil mengusap kepala adiknya. "Masa Kakak nggak pamitan juga sama adik Kakak yang ngegemisin ini..."Ucapnya. Mencubit pipi Bian dengan gemas. "Masuk yuk, Dek. Kakak mau istirahat sebentar."
"Kakak tidur saja. Bian mau main lagi. "Jawab Bian. Berlari keluar rumah meninggalkan kakaknya yang masih berdiri mematung.
Chayra menggeleng-gelengkan kepala, masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.
* * *
Selesai shalat Zuhur, Chayra bergegas ke Garasi untuk memanaskan mesin motor maticnya. Dia masuk kembali ke dalam rumah untuk makan siang.
"Matahari terik gini, yakin mau berangkat sekarang, Nak?" Tanya Bu Santi karena melihat anaknya terlihat sedikit tergesa-gesa.
Ucapan Ibunya membuat Chayra berhenti mengunyah makanannya.
"InsyaAllah, Bu.."Jawabnya singkat. Kembali menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
"Iya sudah. Hati-hati di jalan, Nak. Jangan ngebut!"
"Iya, Bu." Chayra meneguk segelas air lalu mencium tangan dan pipi ibunya. Begitulah cara dia biasa berpamitan pada ibunya.
"Assalamualaikum, Bu."
"Wa'alaikumsalam, Nak. Hati-hati!"
Bu Santi menutup kembali pintu rumahnya saat Chayra sudah hilang dari pandangan.
Tujuan pertama Chayra adalah rumah Alesha dan Tina. Karena kebetulan kedua sahabatnya ini sepupu. Jadi, rumahnya bersebelahan dan memiliki satu gerbang yang sama.
Chayra mengucap salam didekat Pos Satpam. Tapi, tidak ada jawaban. Chayra mendekati satpam itu dan memperhatikannya. Ternyata, si Satpam memakai headset.
Chayra berjalan ke depannya. Pak Satpam itu terlonjak kaget Dia lansung melepas headsetnya dan menghampiri Chayra.
"M..maaf, Non. Saya tidak sadar kalau ada tamu." Ucapnya pada Chayra dengan sedikit membungkukkan badannya.
Chayra tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. "Maaf, Pak, kalau mengganggu. Alesha dan Tinanya ada?" Tanya Chayra.
Pak Tono malah salah tingkah mendengar kata maaf dari Chayra. "Non Alesha dan Non Tinanya ada, Non. Tadi, saya lihat Non Tina masuk ke rumahnya Non Alesha." Jelas Pak Tono.
"Terimakasih, Pak Tono untuk informasinya." Ucap Chayra. Langsung berlalu dari hadapan Pak Tono.
Rumah Alesha dan Tina sangat luas. Karena mereka berdua adalah anak seorang pengusaha. Berbeda dengan Chayra yang hanya berasal dari golongan menengah ke bawah. Sumber penghasilan Ibunya Chayra hanya berasal dari toko kecil di depan sebuah Rumah Sakit Swasta. Tapi, Chayra tidak pernah mengeluhkan keadaannya. Dia selalu bersyukur dan tidak pernah iri pada orang yang lain yang punya kemewahan.
Berbeda lagi dengan Amira. Sahabat Chayra yang satu ini bahkan lebih kaya dari Alesha dan Tina. Tapi, Amira tidak suka memamerkan kekayaannya seperti anak orang kaya pada umumnya. Sikapnya yang ceplas ceplos, sedikit bar bar dan mudah bergaul membuatnya biasa berteman dengan siapa saja .
Chayra mengetuk pintu rumah Alesha. Seorang pelayan yang kelihatan seumuran dengan ibunya membukakan pintu. Chayra langsung dipersilahkan naik ke kamar Alesha.
Setelah mereka lama berbincang, mereka memutuskan untuk ke rumah Amira ba'da shalat Ashar. Mereka memutuskan untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersama Chayra. Karena lusa, Chayra akan berangkat ke Pesantren.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 251 Episodes
Comments