Usai melaksanakan shalat ashar di Masjid depan dekat taman. Chayra kembali berkumpul dengan teman-temannya di tempat semula.
Tiba-tiba, Bian menyodorkan tangannya kepada Chayra.
"Apa?" Chayra menatap Bian heran. Bingung dengan kelakuan adiknya yang satu ini.
"Kakak aku kasih pilihan. Mau kasih aku uang untuk beli ice cream, atau mau kasih aku pinjem handphone untuk main game."
Chayra mengerutkan alisnya. "Enak banget permintaanmu, Dek? Kok, pilihannya kamu yang untung semua. Ruginya cuma untuk Kakak."
Bian tersenyum. "Itukan pilihan dari Bian. Terserah Kak Ayra mau kasih Bian yang mana. Karena keduanya menguntungkan bagi Bian. Mana mau rugi aku."
Chayra dan ketiga temannya menggelengkan kepalanya mendengar perkataan Bian.
"Adik lho pinter banget tawar menawar, Ayra. Siapa yang ajarin coba?" Alesha agak berbisik di telinga Chayra.
Chayra mengangkat bahu. Dia juga agak terkejut mendapati adiknya pandai melakukan tawar menawar.
"Kan, Ibuku seorang pedagang." Jawab Bian santai. Mengepalkan tangannya semangat.
"Apa hubungannya coba, Dek?"
"Aku sering dengar Ibu, kalau belanja bilangnya gitu sama penjualnya." Jawabnya lagi.
Empat wanita yang berdiri di depan Bian hanya menganga tak percaya mendengar jawaban konyol Bian. "Nggak nyambung.." Alesha dan Tina mencubit pipi Bian.
"Ish.. Bukan muhrim." Bian kembali menghadap kakaknya. "Ayo, Kak. Mana..? Kasih uang dulu nggak apa-apa, Kak. Nanti kalau udah beli ice cream, terus ice creamnya habis aku makan. Baru deh, Kak Ayra kasih aku pinjem handphone."
Chayra melongos mendengar permintaan bertele-tele adiknya. "Kamu serakah banget, Dek." Chayra menyerahkan uang sepuluh ribuan pada Bian.
Alesha, Tina dan Amira hanya bisa geleng-geleng kepala melihat interaksi kakak beradik itu.
"Terima kasih Kak Ayraku yang baik hati.
mmuuah..!" Bian mengecup uangnya lalu pergi mencari penjual ice cream.
"Astagfirullahal'adzim," Chayra menghembuskan nafasnya dengan kasar. "Bawa bocah di suruh nggak usah nakal. Eh, malah kerjaannya meras kakaknya." Chayra menggerutu kesal. Sontak, ucapannya membuat ketiga temannya tertawa.
Tina berkomentar di sela-sela tawanya. "Kalau adik lho jadi pengusaha. Kayaknya, dia mau untungnya aja, Ayra. Tapi nggak mau menanggung kerugian dan menyerahkan masalahnya pada orang lain."
"Entahlah." Jawab Chayra sambil mengangkat bahu.
* * *
Empat gadis itu masih duduk terdiam. Chayra yang seharusnya bicara. Namun, sudah sekitar dua puluh menit duduk saling pandang, dia masih bungkam. Entah, apa yang membuatnya belum juga mengutarakan alasannya.
Karena bosan menunggu. Akhirnya Alesha yang angkat bicara duluan. "Ayra.. Tempo hari lho bilang mau jelasin ke kita alasan lho nggak bisa kuliah di sini bersama kita. Tapi, kenapa lho masih diam sampai sekarang?"
Chayra menatap Alesha lalu tersenyum hambar. "Maafkan aku yang tak bisa menepati janji pada kalian."
"Lho udah minta maaf dari kemarin, Ayra. Kita butuh penjelasan dari lho, bukan kata maaf lagi." Tina ikut berkomentar dengan khas gaya ngomong pedasnya.
Sedangkan Amira hanya duduk menunggu. Diam dan enggan berkomentar. Masih canggung bicara pada teman-temannya karena kejadian sebelum shalat ashar tadi.
Chayra kembali tersenyum hambar. "Ini amanah dari Almarhum Bapak. Apa yang bisa aku lakukan. Apa yang akan di katakan Om dan Tanteku kalau aku menolak. Apakah aku pantas disebut anak yang berbakti kalau aku sampai mengabaikan keinginan terakhir orang tuaku?"
Air mata Chayra sudah menganak sungai. ''Kali ini, aku mohon pengertian kalian. Kalian adalah sahabat terbaikku." Air mata yang tadi menganak sungai mengalir deras keluar dari matanya.
Ketiga temannya tertegun mendengar penjelasan Chayra.
Amira mendekati Chayra lalu memeluknya. "Maafkan kami, Ayra. Maafkan kami yang menuntut penjelasan ini."
Chayra tersenyum dalam tangisnya. "Kenapa kamu yang minta maaf, Mira. Aku yang salah. Seharusnya aku yang jujur dari awal. Tapi, aku terlalu egois dan hanya mementingkan perasaannku tanpa memikirkan kalian."
Alesha mendekat dan mengusap pelan punggung Chayra. "Ssttt..udah, Ayra. Kami akan mendukung keputusan lho. Apa hak kami melarang lho berbakti kepada orang tua. Kita sama-sama memprioritaskan orang tua."
Tina ikut mengusap punggung Chayra. "Sebenarnya, masalah ini simpel. Tapi karena kita tidak mengetahui alasan lho, itu yang membuatnya ribet. Kita tau lho anak yang baik, anak yang shalehah, Ayra. Apa kata dunia kalau lho sampai mengabaikan amanah orang tua dan mementingkan yang lain."
Amira melepaskan pelukannya. "Lho ya, Tina. Keadaan sedang genting gini, mulut lho nggak bisa manis dikit aja. Mulut lho pedes kayak boncabe lepel sepuluh."
Tina melongos mendengar ucapan Amira. "Mulut lho sama mulut gue itu sebelas dua belas, Mira. Tapi, bedanya lho itu lebih bar-bar. Bibir gue masih suci, sedangkan bibir lho sudah terkontaminasi dosa mesum."
Giliran Amira yang melongos. "Lho itu sering ngungkit-ngungkit dosa, Tina. Gue kan udah minta ampun tadi saat shalat Ashar."
"Kok kalian jadi berdebat sih?" Alesha mencoba melerai perdebatan yang sudah mulai memanas.
"Salahin tuh, Tina. Dia yang mancing duluan." Amira mencoba membela diri.
Tina mengangkat sebelah bibirnya. "Kok jadi gue sih, Mira?!"
"Udah! Jangan saling menyalahkan. Masalah nggak akan selesai kalau kalian seperti ini terus. Chayra yang sedang butuh dukungan, malah kalian abaikan. Kalian hanya sibuk dengan perdebatan yang nggak penting kayak gini ." Alesha meninggikan suaranya, membuat Amira dan Tina yang masih saling lirik langsung menundukkan kepala.
Chayra hanya duduk sambil memperhatikan ketiga temannya tanpa mau berkomentar.
"Maafkan kami, Bos. Kami akan berhenti berdebat." Ucap Tina sambil melakukan gerak hormat untuk mencairkan suasana.
Alesha menghembuskan nafas kasar sambil beristighfar. "Astagfirullah.."
"Jangan naik pitam, Lesha. Tadi kan kita cuma bercanda." Amira ikut mencoba menenangkan Alesha.
"Maafin gue. Habisnya kalian ngeselin banget." Alesha memeluk Tina dan Amira bergantian.
Chayra tersenyum melihat teman-temannya. "Sepertinya, aku akan sangat merindukan suasana seperti ini. Rindu dengan perdebatan kecil kita, rindu dengan hhmm...rindu dengan semuanya." Ucapnya dengan terharu.
"Tentu saja, Ayra. Kita juga pasti akan sangat merindukan lho." Jawab Tina. "Kalau lho udah di sana, jangan lupa hubungi kami. Jangan sampai lho hilang kontak."
"Tentu saja." Jawab Chayra singkat.
"Kapan lho berangkat, Ayra?" Tanya Amira
"Rencananya sih tiga hari lagi."
"Secepat itu?!"
"Iya. Ketika Om dan Tanteku datang. Aku akan lansung berangkat di hari itu juga. Kalian kan tau rumahku kecil. Jadi, Om dan Tanteku kurang nyaman kalau harus tinggal berlama-lama di rumahku. Kalau mereka bermalam, Bian harus mengalah tidur bersama Ibu. Dan kamarnya dipakai Om dan Tante."Jelas Chayra panjang lebar.
"Oo...gitu?" Ucap Amira dan Tina serentak.
Alesha menggeleng-geleng pelan.."Di satu sisi, terkadang kalian sangat kompak. Tapi, di sisi yang lain kalian sering berdebat."
"Itulah ciri khas Amira dan Tina ." Ucap keduanya kompak lagi.
Chayra ikut menggelengkan kepala melihat keduanya.
"Ayra, kalau lho udah pergi, siapa yang akan ngingetin gue shalat tepat waktu. Siapa yang akan ceramahin gue saat melakukan khilaf?" Amira mendongakkan kepala memandang langit yang sudah mulai pudar warna birunya karena sudah sore.
"Makanya tobat, woi sebelum tiket surga di borong oleh wanita-wanita Shalehah." Tina menoyor kepala Amira yang masih mendongakkan kepalanya. Hampir saja Amira terjungkal kalau saja Chayra tidak menahan tubuhnya.
Reflek Amira segera bangkit dan berbalik. "Lho apa-apaan sih, Tina?!"
"Sorry, Mira. Tangan gue kebablasan." Jawab Tina dengan santai.
Amira mengerucutkan bibirnya tak suka dengan perlakuan Tina. "Lho bilang, bibir gue sudah terkontaminasi dosa mesum. Tapi, lho juga tidak sadar, Tina. Kalau tangan lho itu sangat sering terkontaminasi dosa jahil, sering ganggu orang."
Tina membelalakkan matanya tak terima dengan tuduhan Amira. Apa lho bilang? Tangan gue ini terkontaminasi dosa jahil?" Dia berjalan mendekati Amira. Namun, reflek, Alesha menarik tangannya agar tidak terjadi baku hantam.
Chayra berdiri di antara keduanya untuk menghalangi jalan. "Jangan mulai lagi, deh!"
Tina hanya mengeratkan giginya melihat Amira yang dilindungi oleh dua sahabatnya. Dia duduk kembali lalu meminum air kemasan milik Chayra.
Amira tersenyum penuh kemenangan sambil menaik turunkan alisnya. Menatap Tina dengan tatapan mengejek.
Chayra kembali duduk di samping Amira.
Amira memeluk Chayra. "Makasih ya, Ayra. Lho udah lindungi gue dari..."
Chayra segera membekap mulut Amira. "Sssttt.. jangan memancing perdebatan lagi." Ucapnya.
Amira menarik tangan Chayra yang masih membekap mulutnya. "Sorry.."
Tina hanya melirik sinis.
Tiba-tiba, Amira menggenggam tangan Chayra. "Ayra, lho jangan marah ya. Gue mau bilang sesuatu sama lho."
"Apa itu, Mira?" Tanya Chayra. Ucapan Amira membuatnya sedikit penasaran.
"Gue sempat iri sama lho."
"Iri kenapa?"
"Kehidupan lho sederhana. Tapi, lho nggak pernah kekurangan kasih sayang.
Lho hanya punya ibu. Tapi, dia sudah lebih dari orang tua yang sempurna. Dia jadi ibu sekaligus ayah bagi lho.
Lho selalu menutup aurat dan selalu taat pada agama.
Ibu lho selalu meluangkan waktunya untuk lho.
Lho selalu tersenyum dalam keadaan apapun.
Lho rajin beristighfar."
Mereka bertiga menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Amira.
"Jadi, maksud kamu apa, Mira?" Tanya Chayra.
Amira memandang Chayra lalu melanjutkan kata-katanya.
"Gue iri sama lho, Ayra. Gue punya harta berlimpah. Tapi, gue merasa nggak ada ketentraman dalam kehidupan gue.
Gue punya orang tua yang lengkap. Tapi, mereka nggak pernah ada waktu buat gue.
Gue sering malas beribadah. Mungkin, karena orang tua gue nggak pernah ngajarin gue shalat. Boro-boro ajarin anaknya shalat. Papi aja kalau gue suruh shalat. Jawabannya enteng banget, 'Nanggung, Nak. Pekerjaan papi tinggal sedikit.'
Mami apalagi. Kalau aku suruh shalat, jawabannya selalu.. 'nanti dulu'.
Sebentar-sebentar, di tinggal keluar kota.
Kerjaan Mami sama Papi gue cuma cari duit. Karena bagi mereka uang itu adalah segalanya." Amira menghembuskan nafas dengan panjang saat mengakhiri penjelasannya.
"Lho sabar ya, Mira. Lho do'ain aja, semoga suatu hari nanti Papi dan Mami lho dapat hidayah." Alesha mencoba menguatkan dengan mengusap-usap punggung Amira dengan lembut.
"Itulah kenapa, ketika kak Ardian hadir dan memberikan sedikit perhatian. Gue lansung menyambut uluran tangannya. Jujur, sebenarnya yang gue butuhkan adalah kasih sayang dan perhatian orang tua. Itu aja mungkin sangat membuat gue bahagia." Jelas Amira lagi.
" Kita juga sayang sama lho, Mira.." Ucap Tina.
Amira tersenyum hambar. "Terimakasih."
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 251 Episodes
Comments
Kaisar Tampan
aku udah mampir kak.
ayok bantu dukung karyaku juga
simpanan brondong tampan
terima kasih
2022-07-08
0
Seona Young
Amira ma Tina nggak usah berantem terus, baik-baik kalian
2022-04-17
0