Nurbaya sedang duduk termenung sendirian di halaman belakang. Sifat Erian belakangan ini terlihat aneh, ia lebih sering marah dan sering tak membalas pesan Nurbaya.
“Apakah ia mulai bosan padaku? Atau masih mempermasalahkan masalah kemarin?” gumam Nurbaya.
Ya, beberapa hari lalu. Erian meminta izin kembali untuk mencium bibir Nurbaya, bahkan Erian pernah hendak menyosor bibir itu.
Nurbaya selalu mengelak, menghindar, dan menolak secara halus. Hingga kejadian beberapa hari yang lalu terjadi.
“Ada apa Aya? Kenapa? Apa kamu tidak mencintai aku?” seru Erian dengan sorot mata tajam.
“Apa kau jijik dengan bibirku?” tanya nya lagi.
“Bu.. Bukan Erian.” jawab Nurbaya.
“Lalu, kenapa?”
“Maaf Erian, aku tak bisa melakukannya.” lirih Nurbaya, ia menundukkan kepalanya.
“Kenapa? Apa kau tak percaya padaku?” tanya Erian lantang.
“Aku percaya padamu.” jawab Nurbaya menatap Erian yang sudah tersulut emosi.
“Kalau kamu percaya, kenapa kamu tidak mau? Apa kamu menyukai pria lain?”
“Itu tidak mungkin. Hanya kamu yang aku sukai Erian.”
“Kalau hanya aku, kenapa kau tidak mengizinkanku mencium bibirmu?”
“Kita belum menikah, tidak baik. Jika kita sudah menikah, jangankan ciuman, semuanya akan kuberikan untukmu.” jelas Nurbaya.
“Ah, alasan!” Erian berdecih.
“Ini bukan alasan Erian. Ini benar adanya. Aku...” ucapan Nurbaya terpotong.
“Kamu trauma, kamu terbayang pria yang hendak mencium mu kala itu? Lalu seorang perempuan akan datang menjambak rambutmu? Alasanmu sudah basi, Aya!” ketus Erian.
“Aku tak percaya dengan alasan itu, yang aku percaya, kamu pasti tidak ingin berciuman denganku karena tak menyukaiku.”
“Itu tidak benar, aku sangat mencintaimu. Kalau aku tak menyukaimu, bagaimana mungkin aku menyetujui perencanaan pernikahan kita.”
“Itu kamu tau, kita akan menikah. Aku hanya ingin mencium bibirmu, agar hatiku merasa seutuhnya percaya diri, kalau kau sungguh-sungguh mencintaiku. Jika berciuman saja kamu tidak mau, bagaimana aku bisa percaya?”
Nurbaya terdiam sesaat sebelum ia berkata kembali.
“Apakah cinta itu dibuktikan dengan kontak fisik, seperti berciuman?” tanya Nurbaya menatap Erian dalam.
“Ya, untuk pembuktian. Bukti kalau kau sungguh-sungguh mencintaiku dan kau adalah milikku.” sahut Erian.
“Baiklah, mari kita coba lagi.” ucap Nurbaya.
Mereka kembali hendak berciuman. Erian mendekatkan wajahnya pada wajah Nurbaya, mungkin hanya tinggal 5 cm bibir mereka akan bertemu. Pikiran Nurbaya sudah terbang membelah cakrawala.
Bayangan pria beristri yang hendak mencium bibirnya kala itu, bahkan bibir yang hendak mendekat itu terlihat seperti pantat ayam, saking berhalusinasinya.
Nurbaya memegang ujung rambutnya yang panjang. Sekarang bayangan istri laki-laki yang berbadan montok dengan baju merah itu datang, seolah bayangan itu memelototinya lalu menjambak rambutnya dan mendorongnya kuat.
Blam!!! Nurbaya mendorong kuat Erian sampai pemuda itu terhenyak di rumput.
“Kau!” geram Erian .
“Aku yakin sekarang, jika kau mencintaiku, tapi kau tidak bisa melakukannya denganku, aku yakin kau tidak normal.”
“Apa maksudmu, Erian?”
“Kau tidak normal.”
Nurbaya membelalakan matanya.
“Kau bilang aku tidak normal? Tidak normal dari segimana?” tanya Nurbaya sedikit emosi.
“Ya, seperti ini. Apa kau yakin saat menikah nanti denganku, kau tidak akan menendang atau menamparku? Sekarang saja kau mendorongku. Bahkan tadi kau juga masih mendorong ku! Cih!” Erian berdecih. Lalu, Ia berdiri dari rumput.
“Dasar Erothophobia!” ucap Erian, lalu ia menepuk-nepuk celananya.
“Apa maksud mu, Erian?”
“Kau itu sakit, kelainan sex. Kalau bukan karena Erothophobia, apakah kau menyukai sex dengan perempuan?”
Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi Erian.
Setelah menampar, Nurbaya tercengang dan menatap tangannya. Ia benar-benar emosi sesaat.
“Kau menamparku?” tanya Erian dengan mata menyalang. Ia mengelus pipinya yang ditampar Nurbaya tadi dengan dongkol.
“Huh! Aku sudah tahu dan yakin. Sekarang kita putus!” ucap Erian, lalu berjalan pergi meninggalkan Nurbaya yang mematung.
Setelah kejadian itu, Nurbaya berkali-kali menghubungi dan mengirimi Erian pesan, permohonan maaf dan ingin menyelesaikan hubungan mereka dengan baik.
Bagaimana pun juga, orangtua Nurbaya sudah mengetahui rencana pernikahan mereka. Walaupun lamaran belum datang secara resmi, namun perencanaan pernikahan mereka sudah diketahui pihak keluarga.
[Erian, aku minta maaf. Aku khilaf, beri aku kesempatan. Mari kita bicarakan semua ini kembali dengan baik-baik. Bisakah kita bertemu kembali?] Nurbaya mengirim pesan.
Pesan tak dibaca, hanya tercentang dua garis berwarna coklat. Nurbaya masih menunggu, beberapa menit kemudian, ia mengirimi pesan lagi.
[Erian, semua keluarga kita sudah mengetahui rencana pernikahan kita. Tak mungkin kita putus dengan cara seperti ini. Aku mohon temui aku di cafe ceria di tempat biasa ya. Aku menunggumu jam 5 sore.]
Nurbaya menunggu Erian di cafe itu dari jam 04.30 sore hingga jam 10 malam, sampai cafe itu hendak di tutup. Erian tak menunjukkan batang hidungnya, bahkan nomornya tak aktif, pesan darinya di abaikan.
Nurbaya berjalan dengan langkah gontai sampai sebuah mobil mewah yang selalu ia kenal siapa pemiliknya berhenti di depannya. Ya, siapa lagi kalau bukan Satria.
Nurbaya menaiki mobil itu dengan lesu, melihat kendaraan yang lalu lalang dari kaca mobil.
“Aaaaaaah!!!” Nurbaya menjambak rambutnya kesal. Mengingat perkataan Erian.
“Kenapa hanya karena permasalahan ciuman, sampai kau mengabaikan dan memutuskan hubungan kita Erian? Padahal kita sudah lama berpacaran, bahkan sebelum kita berpacaran kita sudah berteman akrab.” Nurbaya menggerutu, menatap kaca mobil berwarna gelap itu.
Sampai di rumah. Nurbaya langsung mandi dan bergelung di bawah selimut. Ia menelpon Erian kembali sampai nomor itu aktiv.
Entah berapa kali ia menelfon, barulah Erian mengangkatnya. “Erian maafkan aku, ayo kita bertemu, aku tak bisa putus denganmu.”
“Ya, kita akan bertemu besok di parkiran. Sudah ya, aku ngantuk.” Erian mematikan panggilannya.
Keesokan harinya, mereka bertemu di parkiran. Erian bersandar di badan mobil miliknya. “Maaf, apa kamu lama menungguku?” tanya Nurbaya.
“Tidak.” jawab Erian singkat.
“Aku tak ingin putus Erian. Kita sudah lama menjalin hubungan, dari teman menjadi pacar, bahkan keluarga kita sudah mengetahui rencana pernikahan kita.”
Erian hanya diam menyimak ucapan Nurbaya.
“Apa kamu tidak malu?” tanya Nurbaya.
“Malu? Kenapa aku harus malu, bukankah yang tidak normal itu kamu, bukan aku.” sahut Erian.
“Sebenarnya apa mau mu?” sambung Erian lagi.
“Aku tidak ingin putus Erian, aku ingin kita balikan, aku akan berusaha dan belajar.”
Erian mendekat. “Baiklah kalau begitu, kita jadian lagi.” Erian hendak mencoba mencium bibir Nurbaya, namun ponselnya berbunyi.
Ia mengangkat panggilan itu. “Ya, tunggu sebentar ya. Aku sedang di jalan.” ucap Erian lembut menjawab panggilan itu.
“Aku sibuk, ada keperluan penting. Aku duluan.” ucap Erian dingin, lalu meninggalkan Nurbaya sendirian di parkiran itu.
Nurbaya menghela nafasnya.
“Baiklah, aku harus sabar dan mencobanya.” ucap Nurbaya menyemangati dirinya. Ia pun berjalan keluar menyusuri lorongan parkir itu sendirian.
***
Erothophobia adalah Ketakutan seorang wanita terhadap semua hal yang berbau sex, mulai dari bentuk pembelajaran tentang sex dan lainnya.
Gejala akan mual, panik, berdebar-debar, dan lainnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Instagram @AlanaNourah
jadi takut sm erian. takut aya diapa2in. modelan buaya buntung kek gini sebaiknya dilempar ke laut aja uni 🤭
2022-01-25
0
Sis Fauzi
erian songong, relakan Nurbaya 😀
2021-08-15
2
👑ꪖꪶ 'ᠻꪖɀɀꪖ
Miss u uni💕💕💕❤️
2021-05-08
1