Nurbaya masuk ke dalam mobil dengan senyum-senyum sendiri. Tampak ia sedang bersenang hati.
“Kenapa lama sekali?” tanya Satria.
“Memangnya kenapa?” sahut Nurbaya sembari menggenggam tangannya, menempelkan di dada nya.
Satria menatap tangan itu dengan tajam.
“Kalau kau tidak mau menunggu lama, tidak usah di jemput. Aku bisa pulang sendiri.” sambung Nurbaya lagi.
Tukh! Satria menendang kuat kursi di depannya. “Ayo cepat kita pulang Pak.” perintah Satria pada Pak Hamdan.
Suasana di mobil terlihat suram. Pak Hamdan, Sekretaris Dewa terlihat tegang, Satria juga terlihat sedang menahan kesalnya. Sedangkan Nurbaya terlihat masih tersenyum-senyum sendiri.
Setengah dari perjalanan, akhirnya Satria pun mengeluarkan unek-unek dalam pikirannya. “Kakak kenapa? Ada apa dengan tangan Kakak?” tanya Satria ketus, melirik Nurbaya tajam.
“Hm... Kasih tau gak ya? Kamu kan masih kecil. Ini urusan orang dewasa.” jawab Nurbaya, lalu mencubit kedua pipi Satria.
Satria menepis tangan Nurbaya.
Nurbaya tak peduli jika tangannya di tepis, ia masih mencubit pipi Satria kembali sembari terkikik. “Kakak kenapa sih?!” ketus Satria.
“Pokoknya rahasia.” Nurbaya tersenyum jenaka. Lalu membelai lembut kepala Satria.
“Kakak lagi bahagia sekarang. Sini Kakak manjakan.” Nurbaya langsung merengkuh kepala Satria, membaringkan kepala itu di paha nya.
Nurbaya membelai rambut dan memijat kening Satria.
“Kenapa Kakak bisa sesenang ini?” Satria terus berpikir.
Sampai di rumah. Nurbaya bersenandung ria, berlari-lari kecil sambil menari-nari dan berputar-putar.
“La...La...La....” Bersenandung ria.
Satria mengirimkan pesan pada kedua pengawalnya.
[Paman, kalian sudah lihat kan aku sudah sampai dengan selamat di rumah?]
[Ya, Tuan Muda.] balas salah satu pengawal muda itu di pesan.
[Aku lihat Kakak terlihat aneh, dia sangat senang berlebihan. Cari tahu apa yang terjadi selama dia di kampus tadi.] Satria mengirim pesan kembali.
[Baiklah Tuan Muda, kami akan segera melakukannya sekarang]
Satria menatap layar handphone nya cukup lama setelah membaca balasan pesan dari pengawalnya. “Bi, aku mau goreng belut hijau untuk makan malam nanti ya.” pinta Satria pada Mona, kemudian ia tersenyum kecil.
**
Malam hari.
Arnel baru saja pulang dari kantornya jam 19.00 WIB. Aira dan Kepala Pelayan telah menyambutnya. Aira membantu Arnel melepaskan sepatunya, kemudian Ia memberikan sepatu dan tas kepada Kepala Pelayan. Lalu, berjalan masuk ke dalam kamar bersama Aira.
“Satria di mana?” tanya Arnel melepas semua bajunya setelah sampai di kamar.
“Sedang sibuk membaca di dalam kamarnya.” jawab Aira.
“Cucu yang rajin. Minta dia makan malam bersama kita, jangan terlalu memaksakan diri. Aku mandi dulu Sayang. Cup!” ucap Arnel, lalu mengecup kening Aira.
Arnel masuk ke dalam kamar mandi. Aira pun menyiapkan baju untuk Arnel. Lalu, pergi ke kamar Satria.
Toktoktok! “Ini Nenek. Apa Nenek boleh masuk?”
Cukup lama hening.
“Satria, apa kamu tidur? Apa Nenek boleh masuk?”
“Ya, sebentar.” teriak Satria dari dalam kamar. Ia menyembunyikan semua bacaan dan barang-barang yang baru ia beli.
Setelah beres, barulah ia mengizinkan Aira masuk.
Ceklek! Satria membuka pintu kamarnya. “Silahkan masuk Nek.”
Aira menatap seluruh sisi kamar. Tidak ada yang berubah, masih sama dan masih sedikit berantakan. “Ada apa Nek?” tanya Satria. Ia melihat Neneknya menatap penuh curiga.
“Tadi aku baru selesai mandi, dan tidak pakai baju. Jadi, sedikit terlambat membuka pintu.” alasan Satria. Padahal ia sedari tadi belum mandi.
Untung saja Satria tipe pemuda yang tidak berbau badan, dan ia lebih cendrung wangi walaupun tak mandi. Jadi kebohongannya masalah selesai mandi tidak terhendus.
“Oh begitu.” Aira memilih duduk di sofa. “Apa kamu sudah selesai belajar dan membaca?” tanya Aira.
“Kalau belajar dan membaca, tak akan pernah selesai Nek. Karena di dunia ini masih banyak yang harus di pelajari dan begitu banyak buku yang belum di baca. Namun, kalau tugas sekolah dan file perusahaan aku sudah menyelesaikan nya.” jelas Satria.
“Pintar, anak rajin. Kamu sama seperti Kakekmu.” puji Aira sembari mengelus kepala Satria.
“Bukan hanya seperti Kakek, tapi juga sepintar Nenek.” sahut Satria tersenyum. Ya, Satria sering mendengar cerita kalau Neneknya lebih pintar dari Kakeknya. Bahkan dulu, Sang Nenek menjadi Sekretaris pribadi Kakeknya. Kisah cinta mereka sangat manis.
“Pandai sekali kamu menggoda Nenek. Dasar bermulut manis.” Aira memeluk Satria.
“Kakek meminta kamu segera turun untuk makan malam bersama.”
“Ya sudah, Nenek tunggu di meja makan ya.”
“Ya, Nek.” jawab Satria.
Aira berjalan ke arah meja makan, sebelum dia sampai di tangga, Arnel memeluk pinggangnya dari belakang, lalu mengecup tengkuknya.
“Sayang, apa yang kau lakukan? Bagaimana kalau di lihat Satria. Apa kamu gak malu?” Aira melepaskan pelukan Arnel di pinggangnya.
“Tidak.” sahutnya santai, lalu menciumi pipi yang sudah mulai keriput itu.
“Tapi aku malu, kita sudah tua.”
“Memangnya orangtua tidak boleh mengekspresikan perasaan mereka? Memangnya cuma kaum muda saja yang boleh manja-manja.” berkata dengan cemberut.
“Ya ampun, sudah tua masih saja ngambekan dan manja.” protes Aira, lalu berjalan menuruni tangga.
“Sayang kamu masih saja tak berperasaan.” keluh Arnel mengikuti langkah Aira.
Mona yang tanpa sengaja melihat adegan itu tersenyum sendiri. Ya, dia adalah salah satu pelayan yang menjadi saksi cinta Arnel pada Aira sedari kecil. Hingga kini, mereka telah besar dan sudah memiliki cucu.
“Tuan Ari Damrah, jika kau melihat anak-anak yang kau jodohkan hidup penuh cinta dan bahagia. Aku yakin, Tuan juga bahagia melihat pemandangan ini.” gumam Mona tersenyum.
Setelah sampai di meja makan, Aira dan Arnel duduk, di susul juga dengan kedatangan Satria dan Bi Mona.
“Apa Bibi hidangkan makanannya sekarang, atau mau cemilan dulu, Tuan, Nyonya?” tanya Bi Mona.
“Langsung makan saja Bi. Aku sangat lapar dan juga ngantuk.” jawab Arnel.
“Baiklah Tuan, tunggu sebentar.” sahut Bi Mona.
Mona berjalan ke dapur.
Beberapa saat kemudian, Mona dan beberapa pelayan lain menghidangkan makan malam. “Sekalian Bi, panggil Kakak. Minta dia menemaniku makan.” pinta Satria.
Mona lama mematung. Pasalnya, itu tindakan yang kurang sopan, jika putri satu-satunya makan malam bersama majikannya seperti ini. Dulu, Nurbaya makan bersama mereka jika sedang susah membujuk Satria.
“Kenapa Bibi diam saja? Apa Kakak tidak di rumah? Apa dia pergi?” Satria mengajukan beberapa pertanyaan dengan wajah serius.
“Tidak Tuan Muda, Nurbaya ada di rumah. Saya akan segera memanggilnya.
Satria mengibaskan tangannya, sebagai tanda. Bi Mona pun berlalu pergi menuju kamar Nurbaya.
“Aya, turunlah. Temani Tuan Muda makan malam.”
“Malas Bu.” sahut Nurbaya. Ia masih tiduran sambil memandangi punggung tangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Instagram @AlanaNourah
tangannya abs dicium erian fix
2022-01-24
1
Sis Fauzi
pasti punggung tangannya habis dikecup erian 😀❤️
2021-08-13
1
Penikmat Sepi
ngomong-ngomong kok mesra banget ya kakek arnel dan nenek Aira. padahal usia sudah dimakan masa. yah begitulah cinta, apalagi keromantisan, tak memandang tua atau muda.
bisa jd contoh nih si kakek and nenek, meski udah tua tapi tak luntur keharmonisannya, meski rambutnya sudah memutih tapi cinta nya tidak.
aku jadi ingat sama kakek dan neneknya Ardi. Nenek Asima dan kakek Imran. hahahha
2021-04-26
1