Pekerjaan Pertama

...🌻Selamat Membaca🌻...

Stela terjaga tatkala bunyi alarm di ponselnya mengusik, dengan mata masih terpejam, ia meraih telpon genggam itu dan mematikan alarmnya.

Jam 8.30 waktu yang ditunjukkan oleh layar pada ponselnya. Stela langsung duduk dan mengucek matanya yang sebenarnya masih sangat berat untuk dibuka. Bayangkan saja, perempuan yang kini sedang tertidur pulas di sebelahnya tidak henti-hentinya bercerita semalaman. Entah sampai jam berapa, Stela tak tahu pasti, yang jelas ia sudah jatuh terlelap saat Jovanka masih berceloteh tentang kehidupan asmaranya yang katanya menyedihkan.

Stela buru-buru membersihkan diri, ia sudah terlambat membuat sarapan.

.......

Beberapa hidangan sudah tersaji di meja makan, Vanka dan Tristan keluar dari kamar berbarengan. Jika si pemuda keluar dalam keadaan rapi, maka lain dengan si perempuan, Vanka keluar dengan rambut acak-acakan, muka sembab dan mulut yang tak berhenti menguap.

Stela tersenyum geli melihat penampilan Vanka, sementara Tristan langsung memandangnya tajam.

"Tak bisakah kau bersihkan dirimu terlebih dahulu, Jo? Penampilanmu merusak pemandangan!" protes Tristan.

"Ya-ya..." Vanka mengangguk dengan tangan tak henti-hentinya mengucek mata. Perempuan itu kembali menuju kamar Stela.

Setelah selesai menghidangkan makanan untuk sarapan, Stela melangkah menuju kamarnya sembari menenteng pakaian Vanka yang kemarin sempat ia cuci.

Kamar kosong dan itu artinya Vanka berada di kamar mandi. Stela mengetuk pintu kamar mandi dan terdengarlah sahutan dari dalam.

"Kak Jo, pakaianmu sudah aku letakkan di atas tempat tidur," kata Stela cukup keras.

"Ya, terimakasih banyak, Stel. Dan lagi, jangan panggil aku Jo, tapi Vanka!" teriak Vanka dari dalam kamar mandi.

"Ya...," sahut Stela. "Dia juga memanggilku Stel, apa itu Stel? Pastel?" Stela terkikik geli kemudian pergi meninggalkan kamar.

.......

Tristan dan Stela tidak langsung makan, mereka menunggu Vanka sembari menikmati secangkir teh juga makanan ringan.

"Kalian belum sarapan?" tanya Vanka yang datang dengan penampilan segar juga rapi.

"Menunggumu," jawab Tristan.

"Ya sudah, kita sarapan sekarang," ajak Stela.

Mereka duduk di meja makan dan langsung menyantap hidangan yang sudah tersaji.

"Wahh... makanan ini sangat lezat!" puji Vanka saat mulutnya mencoba masakan Stela untuk pertama kalinya.

"Terimakasih, Kak," ucap Stela malu-malu. Semakin banyak ia menerima pujian, semakin semangatlah Stela untuk terus berusaha menyajikan makanan yang terbaik, itulah dia.

"Kau memanggilnya kakak? Tapi padaku kau memanggil nama saja. Ngomong-ngomong, berapa umurmu?" Tanya Tristan pada Stela.

"Hmm, 20?" Jawab Stela.

"Kenapa nada bicaramu tidak yakin begitu? Benarkah kau berumur dua puluh tahun?" Tristan menatap Stela penuh selidik.

"I-iya..."

"Berarti kau harus memanggilku kakak, atau mas juga boleh," kata Tristan.

Vanka tertawa. "Mas? Kau kan bukan orang Jawa, kenapa harus memanggil mas? Panggilan yang cocok itu adalah 'abang', kan kau orang Jakarta asli," jelas Vanka.

"Terserah dia saja..." Tristan menatap Stela.

Orang barat biasanya hanya memanggil nama, buktinya, Stela hanya menyebut nama saja untuk memanggil kedua kakaknya. Namun, kalau di Indonesia, memanggil nama saja pada orang yang lebih tua terkesan tidak sopan. Jadi, "Hmm, kak Tristan?" ucap Stela.

"Boleh juga." Tristan tersenyum. Baru kali ini ada yang memanggilnya kakak.

Vanka terkikik. "Beruntung sekali kau, Tan, bisa menikmati makanan enak setiap hari," goda Vanka. Pemuda yang digoda hanya diam, terlalu menikmati makanan di hadapannya hingga malas untuk membalas godaan itu.

"Ck." Vanka berdecak kesal karena tak diacuhkan oleh sahabatnya. Ia sudah sering mengalaminya tapi setiap kali itu terjadi rasanya tetap menjengkelkan.

"Stel, berapa Tristan mengajimu untuk semua ini?" kini Vanka memilih bertanya pada gadis di sampingnya.

"E-eehh?" respon Stela membuat Vanka mengernyit. Stela bingung harus menjawab apa. Apa harus ia bilang kalau bayaran untuk pekerjaannya adalah dengan menumpang tinggal di apartemen ini.

"Jangan-jangan kau tidak digaji ya?" tebak Vanka.

"Bisakah kau diam selama makan, Jo. Dari tadi kau berceloteh terus," tegur Tristan.

"Maaf.." Vanka memilih diam dan melanjutkan makannya. Takut tuan rumah murka kalau dia tak menurutinya.

Stela terkekeh pelan. "Ceritanya panjang Kak Jo," jawab Stela.

"Lain kali kau ceritakan padaku, ya? Semalam kau sudah mau mendengar keluh kesahku, nanti aku yang akan mendengarkan ceritamu," ucap Vanka semangat.

"Ekhem.." suara dehemen Tristan membuat Vanka diam. Ia kembali menyantap makanannya dengan wajah cemberut.

Lagi-lagi Stela hanya terkekeh kecil menyaksikan dua sahabat itu berinteraksi. Dia bersyukur, di negara ini masih ada orang baik dan peduli pada orang asing sepertinya.

.......

Rumah sudah rapi, Tristan dan Vanka pun sudah pergi. Mereka berangkat bersama ke kantor agensi untuk bekerja. Stela juga tengah bersiap-siap, hari ini ia akan mulai mencari pekerjaan. Tidak enak jika harus merepotkan Tristan lebih lama lagi.

Stela berjalan menyusuri setiap sudut kota Jakarta, sesekali dia berhenti saat tiba disebuah toko, berharap ada pekerjaan untuknya. Memangnya tanpa ijazah Stela bisa bekerja apa, paling bagus ya cuma sebagai pelayan, penjaga toko atau sejenisnya.

Sampai di sebuah florist, Stela berhenti sejenak. Ia memandangi bunga-bunga yang berjejer rapi di depan toko. Haah... melihat bunga-bunga ini, Stela jadi merindukan ibunya. Di rumah, ia sering sekali membantu ibunya berkebun. Mereka memiliki kebun bunga di samping kanan dan kiri mansion. Setiap kali bunga bermekaran, Stela akan diminta untuk memetiknya dan sang ibu akan mengajarinya untuk merangkai bunga-bunga yang nantinya akan ditaruh di vas dan dipajang di setiap sudut mansion. Sebagai pengharum alami ruangan.

Stela mengintip ke dalam toko, terlihat ramai dengan banyaknya pengunjung yang memesan rangkaian bunga.

"Sepertinya ini florist terlaris disini," gumamnya. Kakinya mulai melangkah masuk, ia sangat penasaran.

Di dalam, Stela melihat beberapa orang tengah mengantri, hanya ada dua orang yang melayani pesanan dan mereka terlihat sangat kewalahan. Terlebih satu di antaranya tengah mengandung besar dan wajahnya menyiratkan rasa lelah yang kentara. Stela tak tega, ia menghampiri wanita yang tengah merangkai bunga itu, walau kelakuannya sedikit lancang tapi tetap ia lakukan. Ia tak tega melihatnya. Sampai di samping wanita yang belum menyadari keberadaannya itu, Stela berujar, "Maaf, jika tak keberatan bolehkah saya membantu. Anda terlihat sangat lelah."

Wanita yang dimaksud menolehkan kepalanya pada asal suara, sedikit kaget melihat seseorang yang asing sudah berdiri di dekatnya. Ia memperhatikan sejenak dengan tatapan menilai. "Apa kau bisa merangkai bunga?" tanya wanita bersurai pirang yang diikat pony tail itu.

"Ya" jawab Stela tanpa keraguan.

"Baiklah, terimakasih." Si wanita menyerahkan pekerjaannya yang belum selesai pada Stela.

Dengan cekata Stela melakukan tugasnya, ia merangkai bunga dan juga membuat berapa buket sesuai pesanan pelanggan.

Wanita hamil tadi memilih duduk di kursi yang ada di toko. Ia mengelus sayang perut besarnya sambil memperhatikan cara kerja Stela. Ia tersenyum puas begitu melihat hasil pekerjaan gadis asing itu yang begitu menakjubkan.

Setengah jam berlalu, toko yang awalnya ramai kini mulai sepi. Satu persatu pelanggan sudah pergi dengan wajah dihiasi senyum puas karena pesanan sudah didapatkan.

Stela dan satu pelayan yang bekerja bersamanya tadi langsung menghembuskan napas lega begitu semua pelanggan sudah pergi.

Gadis cantik blasteran itu berjalan keluar dari counter hendak pergi meninggalkan toko karena pekerjaannya sudah selesai namun suara seorang wanita menghentikannya. Stela yang sudah sampai di pintu keluar, berbalik menghadap wanita hamil yang kini berjalan menghampirinya.

"Tunggu dulu!" Wanita itu sudah berdiri di hadapan Stela, wajahnya sedikit meringis saat perutnya terasa kram.

"Anda tidak apa-apa?" tanya Stela cemas.

"Aku tidak apa-apa" jawabnya lemas. "Oh ya, terimakasih banyak karena kau sudah membantu. Ini ada sedikit rezeki untukmu." wanita itu menyodorkan beberapa lembar uang kepada Stela.

Stela tergiur menatap uang itu, bagaimanapun juga saat ini ia sangat membutuhkan uang, tapi mengingat jika tadi niatnya hanyalah untuk membantu jadi Stela memilih menolaknya.

"Terimakasih sebelumnya, tapi saya membantu anda dengan ikhlas." Stela berusaha menolak dengan cara halus agar tak menyinggung perasaan lawan bicaranya.

"Ambil lah!" wanita itu tetap menyodorkan uangnya pada Stela. "Pekerjaanmu sangat bagus, anggap saja uang ini sebagai ucapan terimakasihku karena sudah mau membantu," bujuknya

Stela mulai bimbang, ia jadi tak enak hati untuk menolak. Baru saja ia akan meraih uang yang ada di hadapannya, uang itu langsung jatuh ke lantai, disusul dengan suara rintih kesakitan si wanita.

"Anda kenapa?" Stela langsung menghampiri wanita yang tengah merintih kesakitan itu.

"Perutku sedikit kram, bisa tolong bantu aku untuk duduk?" pintanya lemas. Tanpa  berpikir panjang, Stela langsung memapah wanita itu dibantu dengan pelayan toko yang tadi ada di sana.

Setelah duduk, si wanita menghembuskan napasnya berkali-kali. Stela membantu dengan mengusap-usap perut buncitnya, entah itu berpengaruh atau tidak tapi tetap ia lakukan. Tak lama segelas air putih datang, pelayan tadi yang mengambilnya. Segelas air pun tandas dan wanita itu bisa bernapas lega, mungkin kram di perutnya sudah berkurang.

"Anda sudah baiakan?" tanya Stela.

"Ya, terimakasih."

"Syukurlah..." Stela ikutan lega mendengarnya.

Beberapa menit kemudian seseorang memasuki toko, seorang pria tampan dengan setelan jas lengkap. Stela pikir itu pelanggan tapi ternyata si pria malah datang menghampiri si wanita hamil.

"Sayang..., kau kenapa?" kini si pria sudah berjongkok di hadapan sang wanita, raut wajahnya sangat khawatir. Stela tebak, pria itu adalah suami si wanita.

"Aku tidak apa-apa sayang, cuma perutku sedikit kram," jawab si wanita.

Stela yang merasa menjadi pengganggu memilih bangkit dari kursi tempatnya duduk, dia sedikit berdiri menjauh. Pria itu kemudian berdiri dari jongkoknya dan duduk tepat di tempat yang tadi Stela duduki tadi.

"Kan sudah ku bilang, jangan terlalu lelah. Kehamilanmu sudah besar, sebaiknya kau lebih banyak istirahat saja," pinta sang suami.

"Iya, cuma aku belum menemukan pelayan baru untuk membantu tugas Yuli di toko ini," ucap si wanita.

"Baiklah, nanti aku akan membuat loker dan menempelkannya di depan," kata si suami.

Stela yang mendengar pembicaraan itu langsung mendapatkan angin segar. Ia butuh pekerjaan dan kini di depan matanya sudah ada pekerjaan yang menanti, jadi ia harus bergerak cepat.

"Tuan, Nyonya..." suara Stela memecah fokus tiga orang di sana, semuanya menatap Stela bersamaan.

"Sa-saya butuh pekerjaan, jika diizinkan bolehkah saya bekerja disini?" pinta Stela sopan.

"Ya. Kau diterima," jawab wanita bersurai pony tail itu tanpa pikir panjang. Ia sudah melihat hasil pekerjaan Stela dan ia terkesan. Jadi tak ada alasan untuk tidak menerimanya.

"Jadi saya boleh bekerja disini?" tanya Stela memastikan.

"Ya. Kau boleh bekerja mulai hari ini"

"Terimakasih banyak.... hm..." Stela terdiam sebentar, ia belum tahu nama wanita yang akan jadi bosnya itu.

"Larisa Hemachandra, panggil saja aku Risa. Aku pemilik florist ini dan kenalkan pria tampan di sampingku ini adalah suamiku, Aryandra Hemachandra." Wanita itu memperkenalkan dirinya dan juga satu-satunya pria yang ada di sana.

"Ah terimakasih banyak, Nyonya Risa."

"Risa saja, biar lebih akrab," pinta Risa sembari tersenyum ramah.

"Baik, Kak Risa." Stela menambahkan kata 'Kak' karena dia merasa wanita hamil itu lebih tua dari padanya.

"Oh ya, boleh aku melihat kartu identitasmu!" Pinta Risa.

Stela mengambilnya dari dalam tas dan berjalan menghampri Risa lalu menyerahkannya.

"Stela Putri Atmajaya.. " ia mengeja nama yang tertera di sana. "Umurmu 20 tahun?" tanya Risa kemudian.

"A-ah, i-iya," jawab Stela gugup. Sebenarnya itu kartu identitas palsu yang telah disiapkan Carly. Disana Stela mencantumkan jika umurnya 20 tahun padahal umur sebenarnya masih 17 tahun. Menurutnya umur segitu masih tergolong muda untuk bisa hidup sendiri di negara orang.

"Kau lebih muda dariku ternyata" ucap Risa, ia kembali menyerahkan kartu tadi pada Stela. "Baiklah. Kau sudah bisa bekerja dan ya... di sana ada apron yang bisa kau gunakan," tunjuk Risa pada sebuah lemari kecil yang ada di dekat counter.

Stela mengangguk dan mulai bekerja.

...🌺 🌺 🌺...

Tristan yang ditemani oleh Jovanka sudah selesai menandatangani kontrak dengan Ivana . Jadwal pemotretannya akan dilaksanakan seminggu lagi.

Mereka berdua baru saja keluar dari ruangan Jovanka membahas mengenai jadwal pemotretannya, di depan pintu ternyata sudah berdiri seorang pria berpenampilan rapi ala-ala CEO. Dia memang seorang CEO, namanya Sagara.

Mendapati sosok sang kekasih yang sudah melukai hatinya membuat Vanka langsung bermuka masam. Tadi pagi moodnya baik-baik saja tapi kini berubah saat melihat pria itu di hadapannya.

"Sayang..." panggil Gara.

"Tan, aku lapar..." rajuk Vanka. "Kita makan siang dulu ya?" pinta wanita itu pada pria di sampingnya tanpa mempedulikan Gara yang memanggil dan menatapnya masih dengan tatapan bersalah.

"Ayo!" jawab Vanka.

Mereka berdua pergi meninggalkan Gara yang masih berdiri mamatung di tempatnya. "Apa yang harus ku lakukan agar kau mau memaafkanku, Van..." gumamnya.

.......

Tristan dan Jovanka kini berada di sebuah restoran yang terletak tak jauh dari gedung agensi.

"Kenapa kau tak mengacuhkannya? Kasihan dia, kau tak lihat wajahnya sedih begitu?" tanya Tristan membuka percakapan karena sedari tadi Vanka hanya diam dengan wajah kusut.

"Aku masih kecewa padanya," jawab Jovanka.

"Mau sampai kapan kalian begini? Jika memang hubungan itu sudah tidak bisa dipertahankan lagi ya sudah...akhiri saja."

"Tapi aku masih sangat mencintainya...." mata Jovanka kembali berkaca-kaca.

"Ya sudah, bicarakan saja dengan cara baik-baik."

"Iya, nanti. Sekarang aku belum bisa melihat wajahnya, pengkhianatan yang ia lakukan selalu terbayang di wajahku."

"Terserah padamu!"

Tak lama pelayan datang dan mencatat pesanan mereka.

.......

"Vanka?" disaat menanti makanan datang sebuah suara terdengar menghampiri tempat duduk Tristan dan Jovanka.

Wanita bersurai pendek itu menoleh dan mendapati rekannya sesama manager datang bersama modelnya.

"Oh, Fara..." sapanya.

"Boleh kami gabung di sini?" tanya wanita bernama Fara itu.

"Tentu."

Tenten duduk bersama modelnya.

"Selamat siang, Tristan." Itu bukan suara Fara, melainkan suara seorang wanita yang tadi datang bersamanya. Seorang wanita cantik bersurai coklat panjang yang juga berprofesi sebagai seorang model.

"Hn, selamat siang..." balas Tristan seraya memperhatikan wanita cantik itu dengan seksama, yang diperhatikan hanya bisa menunduk malu.

"Kebetulan kita bertemu di sini, jadi kita bisa membahas masalah pemotretan minggu depan," kata Jovanka pada tiga orang yang duduk bersamanya.

"Tentu saja, itu juga yang ingin ku lakukan." Fara menimpali.

Benar, Tristan dan model yang dimanageri oleh Fara itu akan bekerja sama dalam proyek wedding collectionnya Ivana Gunawan.

"Ini kali pertama ku dengar kalau Tristan mau bekerja sama dengan model wanita," ucap Fara sembari memperhatikan pria tampan di hadapannya, sedikit terdengar nada sindiran dari ucapannya.

"Ah iya, mungkin Tristan ingin mencobanya," kata Jovanka. "Tapi kalau Vania, ku lihat sudah sering ya melakukan pemotretan dengan lawan jenis. Bahkan ada beberapa pose yang terlihat sangat intim, kau memang sangat profesional ya, Vania." Jovanka menyeringai menatap wanita bersurai coklat yang terlihat malu-malu itu. Dalam hati Jovanka berdecih melihat lagak Vania, sok-sok polos padahal ia sering berpose menantang di depan kamera. "Dasar bermuka dua," ejek Jovanka lirih.

"Te-terimakasih banyak.." ucap Vania gugup plus malu-malu.

"Ah iya, sama-sama Vania." Jovanka tersenyum manis namun dalam hati ia mengumpat. "Aku menyindirmu sialan, bukan memujimu" batinnya kesal.

Sebenarnya Jovanka tidak terlalu menyukai Fara dan Vania, entah apa alasannya, yang jelas dia tidak menyukai kedua orang itu. Mereka sering mencari muka di depan atasan dan Jovanka sangat benci penjilat seperti mereka.

Jovanka menoleh menghadap Tristan yang sedari tadi tak bersuara.

DEG

Bola mata Jovanka melotot saat matanya menangkap Tristan yang tengah memperhatikan Vania dengan intens.

"Semoga apa yang aku pikirkan ini tidak benar," harapnya dalam hati.

...Bersambung...

Episodes
Episodes

Updated 76 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!