"Terimakasih atas semua masukan dan pembelajaran yang kau berikan, Xian'er. Semoga dengan ini mereka tidak akan berpuas diri dan akan lebih giat lagi dalam berlatih."
Arya mengangguk. "Paman, bolehkah aku keluar sekte untuk melihat-lihat pemandangan di luar?"
"Hahaha.. Sepertinya terlalu lama hidup di alam bebas membuatmu mudah bosan." Tetua Lin Hai tertawa ringan. "Baiklah, kalau begitu biar aku yang menemanimu."
"Tapi paman, bukankah paman masih harus melatih mereka?"
"Hahaha.. Hari ini tugasku melatih telah kau gantikan." Tetua Lin Hai lalu memandangi seluruh muridnya. "Kalian teruslah berlatih sebagaimana arahan dari Tabib Xian. Apa kalian mengerti." Ucapnya kepada murid-muridnya.
"Baik guru, murid mengerti." Balas seluruh murid serempak.
"Guru, bolehkah aku ikut?" Ucap Liu Wei dan sesaat kemudian datang juga Huang She menghadap tetua Lin Hai.
Tetua Lin Hai mengelus-elus dagunya sambil melirik Arya. "Sepertinya teman-teman gadismu ini merindukanmu, Xian'er. Hahaha.."
Arya mengusap tengkuknya dengan canggung. "Baiklah, kalian boleh ikut. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku bicarakan pada kalian."
*****
"Di langit yang berawan.
Telah ku gantungkan angan.
Segala impian, yang ternyata kini tinggallah kehampaan.
Kan ku tutup mata, agar tiada lagi ku lihat cahaya.
Karena di dalam terangnya, hanyalah gulita yang ku rasa.
Tertutup sudah hati oleh nestapa, Asa yang ada hanya tinggal cerita." Seorang pemuda yang terlihat tampan andaikan pakaiannya bersih sedang berjalan sambil memejamkan matanya.
Baru saja Arya memasuki kawasan berdirinya tenda-tenda dari berbagai Sekte, dia mendapati kerumunan orang yang membuat lingkaran yang cukup besar di dekat berdirinya tenda Sekte Gunung Angin.
"Malamku bagaikan siang.
Bayanganmu menggelayuti pikiranku.
Bagaikan bayang mengikuti tubuh ini.
Kerinduan yang tiada bertepi.
Maukah kau ku peristri duhai pujaan hati." Seorang pemuda berpakaian lusuh terlihat sedang berlutut di hadapan seorang gadis manis yang sedang berdiri.
"Plak! Plak!" Sebuah tamparan terdengar dua kali. "Pemuda gila, baru pertama aku melihatmu! Berani-beraninya kau menggodaku! Tidak tahu malu!" Gadis itu menghentakkan kakinya sebelum berlalu.
"Hahahaha..."
Pemuda itu tersungkur, bajunya yang lusuh semakin kotor oleh debu. Orang-orang tertawa terbahak-bahak, bagi mereka itu suatu hiburan tersendiri.
Arya yang dapat mendengar hal itu dari kejauhan, kemudian mendekat untuk melihat ke tengah kerumunan dengan jelas.
"Oh pujaan hati, kenapa kau tergesa melayangkan tamparan." Pemuda itu terseok bangkit, lalu menuju ke gadis lain yang ikut melihat dari tepi kerumunan. Dia kembali berlutut sambil menengadahkan tangannya.
"Wahai rembulan syahdu.
Kecantikanmu sungguh mempesonaku.
Walau matahari menyilaukan mataku.
Sungguh hanyalah dirimu yang memikat hatiku.
Terimalah pinanganku."
"Plak!" Tamparan satu kali terdengar. "Tadi kau bahkan baru mengatakan hal yang sama pada wanita itu." Gadis itupun berpaling dan berlari menjauh. Orang-orang kembali tertawa, sesekali mereka menyemangati.
"Semangat saudaraku, kau pasti akan menemukan cinta sejatimu."
"Terus berjuang, jangan pantang menyerah."
"Penyair, lanjutkan perjuanganmu. Aku suka gayamu."
Para gadis yang menyaksikan hal itu, tidak ada satupun yang tinggal. Mereka jengah jika di jadikan sasaran rayuan berikutnya.
Arya terus memperhatikan, dia menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Dia sungguh memamerkan kebodohannya, membuatku simpati padanya." Gumam Arya.
Pemuda itu terus berjalan menembus kerumunan, dan kemudian berpas-pasan dengan gadis cantik berselendang hijau.
"Oh bidadari berselendang khayangan.
Tidakkah kau ingin hasratmu terpuaskan.
Angan akan tetap bergentayangan.
Hanya denganmu hasrat ini akan terjinakkan.
Terimalah tangan ini sebagai lamaran." Pemuda itu kembali berlutut dan mengulurkan tangannya sambil memasang wajah penuh harap, menatap kepada si gadis.
"Bruuukk.. Pergi kau dari hadapanku!" Gadis tersebut menyabetkan selendangnya, membuat si pemuda terpental berjungkir balik di tanah.
Orang-orang yang menyaksikan hal itu, kembali tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan ada beberapa yang meneteskan air mata.
"Oh Sang pencipta.
Engkaulah maha segalanya.
Jika penolakan oleh manusia sungguh membuat hatiku lara.
Bagaimana ku tanggung rasa.
Jika engkau yang menolak hamba, hu hu hu.." Ratapan pemuda itu seakan membuat pilu orang-orang. Banyak yang membubarkan diri.
Pemuda itu berdiri dan pandangannya mendapati Arya yang diam mematung.
"Hai pemuda berwibawa.
Ku tahu kau terpana.
Tidaklah yang kau lihat adalah nyata.
Telah lama tubuh ini menderita.
Maukah kau bermurah harta." Pemuda itu menghampiri Arya.
Arya tersenyum ramah dan lalu memberikan segenggam koin emas kepada si pemuda. "Siapa namamu, tuan Pendekar."
"Apalah arti sebuah nama kawan.
Aku hanyalah penyair jalanan.
Yang hidup tanpa tujuan."
Arya mengangguk. "Tidak apa kau keberatan menyebutkan namamu. Apa kau sudah makan?"
"Oh Sang Pencipta,
Betapa baiknya engkau padaku yang hina,
Ada seorang pemuda yang mengajakku makan bersama,
Semoga kau memberikannya berkah di sepanjang hidupnya."
Arya tertawa pelan, lalu mengeluarkan beberapa buah sumberdaya dan memberikannya kepada si pemuda.
Mata pemuda itu sedikit melebar, namun itu hanya sekilas. Dia kembali tersenyum konyol.
"Gadis di sana sungguh menggoda,
Gingsulnya menambah indah mempesona,
Bermahkota rambut hitam ombak samudera,
Siapakah gerangan adanya,
Apakah kau bersamanya?"
"Uhuk.." Liu Wei tersedak. "Aku tahu kenapa para gadis itu menamparnya."
"Apa kau tidak suka pujian, Wei'ei?" Bisik Tetua Lin Hai.
"Pelangi muncul di atas awan,
Warnanya indah bukan buatan,
Seorang gadis ternganga keheranan,
Rambutnya tergerai jatuh begitu menawan,
Sungguh dirimu pantas menjadi istri pemuda dermawan." Pemuda itu menatap Liu Wei dan lalu menatap Arya sambil tersenyum lebar.
Liu Wei kali ini dibuat tersipu malu, wajahnya nampak memerah. Sedangkan Arya tertawa dan malah salah tingkah.
"Terimakasih saudaraku,
Jasamu akan ku ingat selalu,
Jika tiba di lain waktu,
Aku akan membalas membantu." Pemuda itu tersenyum lebar dan kemudian berlalu pergi.
"Kau tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari mataku, Pendekar." Gumam Arya pelan sambil menatap punggung si pemuda.
"Duhai Sang pencipta,
Kenapa kau takdirkan cinta,
Jika deritanya merajalela,
Menusuk lara jiwa,
Menelantarkanku dalam nestapa," Pemuda itu berjalan sambil menengadahkan wajahnya ke langit.
"Terkadang kita tidak bisa memilih kepada siapa kita jatuh cinta,
Karena itu terjadi begitu saja,
Meski mulut berkata tidak,
Tapi Hati tidak bisa menolak,
Sejak dulu memang begitulah cinta, deritanya tiada akhir." Ucap Arya sambil menahan tawa.
"Kenapa kau menjadi ketularan pemuda penyair itu." Liu Wei mengerutkan dahi, meski merasa heran tapi dia tidak bisa menyembunyikan senyumannya.
"Jika kau adalah sebidang tanah gersang
Maka aku seperti hujan yang tumpah dari awan. Telah siap jatuh, mengering dan terlupakan." Ucap Huang She dengan lirih.
"Kadang, yang terindah tidak diciptakan untuk dimiliki. Cukup dipandangi dari jauh, lalu di syukuri bahwa dia ada di sana untuk dikagumi. hahahaha" Timpal Tetua Lin Hai tertawa lepas.
"Hahaha..."
Arya, Huang She, Liu Wei dan Tetua Lin Hai menertawakan kekonyolan mereka yang ketularan pemuda penyair.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
Roni Sakroni
penyair yg berduka... tiada gadis Yg suka cintanya
2024-04-07
1
Fahrur Rozi
hebat author punya syair cinta yg indah..
2024-04-01
0
Yanka Raga
woooww ,,, oke punya thor
jempol dua tuk author
😎
2024-03-12
0