Kapten Wigan pasang kuda kuda, kedua lututnya tertekuk. Tangan terkepal di pinggang. Roh ikan khoi putih bergerak maju, masuk ke dalam dinding air. Air di dalamnya langsung bergejolak. Aksara melihat semua itu, menghentikan langkahnya. Nyala api di wajah dan kedua tangannya semakin berkobar, terasa panas dan menyiksa dirinya sendiri.
Dengan satu sentakan kaki kanannya Aksara melesat maju dari arah depan. Sentakan kaki kanan Aksara meninggalkan bekas tanah yang rusak, tergali cukup dalam. Dia mengumpulkan semua kekuatannya menjadi satu dalam kepalan tinju tangan kanannya.
"Hyaaahhhhhh," Aksara berteriak hebat. Dia bersiap menyelesaikan pertarungan dengan satu pukulan ini.
Kapten Wigan tersenyum, terlihat telah bersiap dengan serangan Aksara. Roh ikan khoi putih bergerak gerak dalam dinding air. Menimbulkan riak riak berwarna putih. Aksara melesat, tinggal beberapa langkah lagi hingga pukulan tangan kanan Aksara menghantam dinding air Kapten Wigan. Namun tanpa diduga Aksara, dinding air menyembulkan es membentuk duri tajam mengelilingi Kapten Wigan. Dinding air berubah menjadi dinding es berduri.
Kraaakkk . . .
Dinding es berduri retak. Panasnya tinju api Aksara mampu mengubah beberapa bagian es menjadi air kembali, bahkan bagian yang tersentuh langsung ujung tinju Aksara terlihat mendidih. Namun demikian, seorang Kapten memang bukanlah lawan yang seimbang untuk Aksara. Beberapa duri es, menancap di perut dan lengan Aksara. Darah merah segar menetes membasahi es, gerakan Aksara berhenti sepenuhnya. Api KEMAMANG telah padam, meninggalkan bekas terkelupas di kulit area sekitar mata.
Kapten Wigan meminta roh ikan khoi putih mundur. Dinding es berduri menghilang. Aksara ambruk. Badannya ditopang kedua lutut agar tidak jatuh tengkurap. Aksara masih sadar meski pandangan matanya nanar dan berkunang kunang. Seluruh badannya terasa sakit. Perih, panas, dan berdenyut di beberapa bagian. Aksara sadar dia telah kalak telak.
Kapten Wigan berjalan mendekati Aksara. Aksara sudah pasrah jika harus dihabisi disini. Tenaganya sudah habis, badannya sudah tak mampu digerakkan. Kalau bukan karena harga dirinya yang tinggi, Aksara pasti sudah menyerah ambrug mencium tanah. Namun dia masih mampu mendongak, menunjukkan wajah yang tak gentar meski nyawa diujung jari musuhnya.
"Ha ha ha . . . Aku suka pemuda sepertimu," Kapten Wigan tertawa renyah.
"Tapi kamu terlalu bar bar. Sadar akan kemampuan sendiri, mampu mengambil keputusan kapan harus menyerang kapan harus lari adalah kunci untuk menjadi seorang Dukun Sakti istana. Yah, kamu harus ikut seleksi dukun istana lusa. Aku sangat menantikan untuk melihat orang orang semacam dirimu memeriahkan kompetisi tahunan ini," Kapten Wigan menepuk nepuk pundak Aksara.
" Itu kalau lukamu sudah sembuh. Maaf sepertinya aku terlalu serius tadi ha ha ha ha," Kapten Wigan tertawa lagi.
"Dan satu lagi. Japra adalah salah satu skuat air di bawah komandoku. Aku sudah mencurigainya sejak lama kalau dia melakukan kegiatan ilegal. Terimakasih sudah menghajarnya. Dan tenang saja kupastikan dia mendapatkan hukuman," Kapten Wigan menghampiri Japra yang pingsan, memanggulnya dan pergi berlalu meninggalkan Aksara.
Sepeninggal Kapten Wigan, Aksara ambruk tersungkur ke tanah, dia tak sadarkan diri.
# # #
Aksara terbangun di tempat tidurnya. Beberapa perban melilit di sekitar perut dan lengan kanannya. Rasa sakit menjalar dari setiap luka yang terasa berdenyut saat badannya digerakkan. Bu Mirna datang membawa sebaskom air untuk mengompres badan anaknya yang panas. Melihat Aksara sudah sadar, Bu Mirna cepat cepat meletakkan air tersebut dan duduk di depan Aksara, mengelus elus telapak tangan Aksara.
"Berapa lama aku pingsan Bu?," Aksara terlihat kebingungan.
"Semalaman Nak," Bu Mirna menjawab.
"Bagaimana keadaanmu?," Bu Mirna balik bertanya, meletakkan punggung tangannya di dahi Aksara. Sudah tidak panas lagi. Bu Mirna menghela nafas lega.
"Aku baik baik saja," Aksara berbohong. Aksara pingsan semalaman berarti besok adalah hari seleksi Dukun Istana. Aksara harus menguatkan dirinya, Aksara harus mempersiapkan dirinya.
"Kamu jangan banyak gerak dulu. Nanti lukamu terbuka lagi," Bu Mirna terlihat khawatir.
Aksara tidak menggubris peringatan Ibunya. Dia langsung berdiri dari tidurnya. Meskipun terasa nyeri di bagian perut karena penuh dengan luka, Aksara tak peduli. Disambarnya baju di gantungan, kemudian bersiap melangkah keluar kamar. Namun Bu Mirna menghalangi, menghadang langkah Aksara.
"Kamu mau kemana Nak?," Bu Mirna bertanya, matanya nampak bergetar karena khawatir dengan kondisi anak semata wayangnya.
"Ibu, tenanglah. Aku hanya mau cari udara segar di luar. Sinar matahari bagus untuk pemulihanku. Besok aku akan ikut seleksi Dukun Sakti istana Buuu," Aksara berusaha menenangkan Ibunya.
"Hah? Dengan kondisimu yang seperti ini? Bagaimana mungkin?," Bu Mirna kaget mendengar pernyataan anaknya.
"Ayo kita keluar Bu. Akan kutunjukkan sesuatu padamu," Aksara memandang Ibunya dengan senyuman penuh arti. Bu Mirna menurut saja ketika digandeng Aksara menuju halaman belakang rumah. Bu Mirna penasaran dengan apa yang hendak ditunjukkan oleh Aksara.
"Ibu tolong agak menjauh dariku," Aksara berdiri di tengah halaman, sementara Bu Mirna berada di ambang pintu rumah.
Aksara menarik nafas, menghembuskan perlahan. Aksara berkonsentrasi memejamkan matanya.
"KEMAMANG," Aksara berbisik sendiri. dan . . .
Bwooossshhhhhhh
Lingkar mata dan kedua tangan Aksara berkobar penuh dengan api. Api yang menyala nyala mampu membuat udara di sekitar memanas. Bu Mirna takjub melihat kemampuan anaknya. Bu Mirna tak menyangka Aksara bisa sehebat itu.
Fwuuupppp
Namun api kemudian padam. Aksara terhuyung. Berjongkok dengan lutut digunakan sebagai penyangganya. Bu Mirna berlari mendekati Aksara, rasa takjub berubah menjadi khawatir.
"Nak, kamu nggak pa pa?," Bu Mirna bertanya, membopong Aksara untuk berdiri.
"Nggak pa pa Bu. Aku memang belum bisa menguasai kekuatan ini.," Aksara berdiri dan menggenggam tangan Ibunya.
"Bu, aku ingin meminta restu Ibu, untuk ikut seleksi Dukun Sakti istana besok," Aksara memandang Ibunya lekat.
"Tidak ada yang bisa mencegah keteguhan hati dan cita citamu Nak," Bu Mirna terlihat berkaca kaca.
"Doa dan restu Ibu menyertaimu. Satu pesan Ibu Nak, jangan memaksakan diri. Apapun itu, berhasil ataupun tidak kamu tetap anak kebanggaan Ibu," Bu Mirna menitikkan air matanya. Memeluk Aksara dengan erat dan hangat.
"Tenang Buu . . .Aksara pasti berhasil. Percayalah, dengan restu Ibu Aksara akan menjadi Dukun Sakti Istana dan akan terus merangkak naik hingga menjadi kapten," semangat Aksara berkobar kobar.
"Ngomong ngomong, Bapak kemana Bu?," Aksara celingak celinguk mencari sosok Bapaknya yang tidak terlihat sedari tadi.
"Bapakmu ke hutan. Mau ambil sesuatu katanya," Bu Mirna menjawab.
"Bu, aku boleh minta sesuatu?," Aksara tersenyum menatap Ibunya.
"Apa itu Nak?," Bu Mirna mengernyitkan dahi, penasaran.
"Masakin bothok teri sama pete bakar," Aksara cengengas cengenges. Bu Mirna tersenyum mendengar permintaan anaknya.
"Iya deh," Bu Mirna terkekeh, mengacungkan jempolnya.
Matahari terlihat sudah tinggi di langit, memberikan kehangatan pada dunia ini. Namun kehangatan matahari masih akan selalu kalah oleh hangatnya kasih sayang seorang Ibu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
nggletek...
2024-02-01
0
Susilawaty Ibrahim
dari nama nol nich ceritanya
2023-02-26
0
Mari ani
aduh tor knp d bahas lagi botok terinya jadi ngiler nih
2021-09-22
1