Saat senja tiba, langit berwarna kemerahan Aksara berlari lari kecil di jalan setapak menuju rumahnya. Dia ingin segera meminta ijin dan doa restu pada kedua orangtuanya untuk mengikuti seleksi dukun istana. Dia bersiul siul sepanjang jalan seolah ingin memberi tahu pada alam bahwa dia sedang bersemangat dan berbahagia.
Rumah mungilnya di atas bukit terlihat mengeluarkan asap putih dari cerobongnya. Aksara berhenti sejenak, menerka nerka kira kira Ibunya sedang masak apa ya? Mungkinkah makanan favoritnya? Bothok teri dan pete bakar. Aksara ngiler membayangkan makanan favorit itu menyentuh lidahnya. Dia mengusap usap bibirnya dan menelan ludah. Sementara perutnya mulai berdendang minta diperhatikan. Aksara mempercepat langkah kakinya.
Braakkkk
Pak Toro terlempar menghantam rumpun bambu di belakang rumahnya.
"Sudah kukatakan berikan minimal 5 koin setiap bulan, atau kau akan remuk pak tua," ucap seorang pemuda memakai jubah merah tua ber lencana perunggu. Dukun istana yang bertugas memungut pajak rupanya.
"Paakk. . .Bapaakk. . .hiks hiks," Bu Mirna menangis merangkul suaminya yang tersungkur. Darah segar mengucur dari mulut Pak Toro.
"Tuan, bukankah dipengumuman dari istana pajak setiap bulan hanya 2 koin saja? Dan itu sudah kuserahkan pada anda, Tuan," Pak Toro mengiba.
"Itu untuk istana. Terus untukku mana? Hah?!," Dukun istana itu membentak melotot. Roh kedua berwujud kuda laut nampak melayang layang di sebelahnya.
Dukun istana itu menggerakkan jari jemarinya. Pepohonan layu, air di dalamnya terserap keluar. Gelembung gelembung air berkumpul di sekitar dukun istana.
"Cepat! Mana jatahku!," Dukun istana itu kembali membentak. Sementara pasutri di depannya hanya mampu tertunduk ketakutan.
"Sumpah tuan, kita sudah nggak ada koin lagi. Sepeserpun nggak ada tuan," Bu Mirna mengiba meminta pengampunan.
"Dasar miskin. Matipun kalian nggak akan ada yang meratapi," Dukun istana terlihat semakin marah. Apa yang diinginkannya tidak dia dapatkan kali ini.
Dukun istana mengepalkan tangannya. Beberapa gelembung air berkumpul menjadi satu. Ukurannya membesar, diamaternya setinggi sang dukun istana.
"Aku tidak akan membunuhmu. Tapi ingat, bulan depan kau harus menyiapkan 5 koin untukku," Dukun istana tersenyum mengejek.
"Ini hanya untuk kenang-kenangan saja, agar kau ingat untuk selalu menyetorkan 5 koin untukku, dukun gelembung air Japra. Ingatlah namaku, nama majikanmu," Dukun istana yang bernama japra ini terkekeh.
Japra memutar mutar ujung telunjuk jarinya. Dengan satu sentakan dia melemparkan gelembung air itu ke arah suami isteri yang sedang bersujud di depannya.
Blaaarrrr . . .
Suara ledakan gelembur air terdengar dahsyat. Menimbulkan kabut air yang cukup tebal.
" Ha ha ha ha ha haaa," Japra tertawa terbahak bahak. Tangan kanannya ia angkat tinggi tinggi. Dia merasa bahagia bisa melihat orang lemah bersujud padanya.
Wuuusshhhh
Angin bertiup, mulai memudarkan kabut air yang telah terbentuk. Samar samar mulai terlihat sesosok manusia berdiri tegap menangkis ledakan gelembung air dengan badannya. Sosok itu melindungi pasutri yang sedang ketakutan.
"Aksara?," Bu Mirna terpekik, melihat sang anak kesayangan menjadi tameng untuknya.
Cukup keras ledakan gelembung air tadi. Manusia biasa seharusnya langsung pingsan jika terkena ledakan tersebut. Namun Aksara masih berdiri dengan gagahnya membelakangi Japra. Bajunya compang camping terkena ledakan gelembung air tadi. Otot punggung Aksara terlihat keras dan tak tertembus.
"Siapa kau?," Mata Japra terbelalak. Aksara membalikkan badannya. Melepas bajunya yang compang camping.
"Tuan, Anda dukun istana kan? Tapi kelakuan tak ubahnya bandit pasar," Aksara sedikit melempar seulas senyum. Seakan mengejek Japra.
" Jangan ikut campur!," Wajah Japra merah padam. Saat ini dirinya sedikit gentar karena jurus gelembung airnya tadi tak mampu menggores gumpalan otot badan Aksara.
""Mereka ini kedua orangtua ku Tuan. Kalau kau menyakiti mereka berarti kau siap berhadapan denganku," Aksara berjalan mendekati Japra, tangannya terkepal erat.
Japra mundur beberapa langkah, kembali membentuk gelembung air yang berasal dari tumbuh tumbuhan. Kekuatan roh Japra adalah mengendalikan air pada sel tumbuhan. Kekuatan yang cukup unik namun sayangnya berada di tangan orang yang kurang tepat.
Japra menembakkan gelembung air bertubi tubi pada Aksara.
Blaarr blaarr blaarr blaarrr
Aksara tak bergeming. Tetap berjalan maju seakan tak merasakan rasa sakit. Namun Japra melihat, beberapa luka dan kulit yang berdarah terlihat di sekujur badan Aksara. Japra terkekeh serangannya berhasil. Japra semakin bersemangat melempar gelembung airnya sambil terus berlari mundur. Sementara Aksara semakin cepat saja merangsek maju.
Japra mulai terpojok, mulai kelelahan. Fisiknya yang biasanya dia manjakan, mulai terasa kepayahan. Dia harus melempar gelembung air sambil berlari menjauh dari kejaran Aksara. Nafasnya mulai tersengal. Hingga akhirnya Aksara berhasil mencengkeram leher Japra.
"Aakkkk," Japra terpekik. Matanya melotot. Cengkeraman dan cekikan Aksara membuatnya sulit bernafas.
Buukkkk
Aksara mengayunkan tinjunya, sebuah uppercut tepat mengenai rahang Japra dengan kekuatan penuh. Japra terpelanting ke atas beberapa meter saking kuatnya pukulan Aksara. Tubuh Japra terbanting ke tanah. Dia tak sadarkan diri.
Aksara berdiri tegap mengangkangi tubuh Japra yang pingsan. Dalam hatinya dia bertanya, bagaimana bisa orang se picik ini menjadi dukun istana. Bagi Aksara Dukun istana adalah sebuah jabatan mulia, sebuah tugas suci. Bukan malah seperti manusia brengsek macam ini.
Plok Plokk Plokk
Sebuah tepukan tangan terdengar dari arah belakang. Aksara sedikit kaget kemudian menoleh. Seorang laki laki berambut hitam dan panjang, berdiri tak jauh darinya. Jubah merah, seorang dukun istana juga.
"Kau temannya? Komplotannya?," Aksara berteriak, bertanya pada laki laki itu.
"Ahh, perkenalkan namaku Wigan," Laki laki bernama Wigan ini menunjukkan lencananya yang berwarna emas.
Aksara tersentak kaget. Lencana emas itu artinya laki laki dihadapannya ini adalah seorang kapten.
"Untuk apa seorang kapten seperti anda berada di tempat seperti ini? Berurusan dengan pemungut koin rakyat jelata seperti kami," Aksara bertanya tak mengerti.
Kapten Wigan tak menjawab. Hanya seulas senyum yang dia berikan pada Aksara.
Tanpa berpikir panjang Aksara langsung berlari mendekat, mencoba menyerang Kapten Wigan.
"Manusia bar bar dan bodoh," Kapten Wigan tersenyum sinis.
Dinding yang terbuat dari air tiba tiba muncul dari dalam tanah, menghalangi gerakan Aksara. Namun, Aksara tak peduli. Dia berusaha menubruknya.
Braasshhhh
Aksara menabrak dinding air, berharap berhasil menjebolnya. Namun ternyata, Aksara malah terjebak di dalamnya. Air membentuk kubus dan mengurung Aksara.
"Bodoh benar benar bodoh," Kapten Wigan tertawa melihat adegan itu.
Aksara berada dalam kubus air, mulai kesulitan bernafas. Aksara berenang ke atas ke bawah ke kanan dan ke kiri mencoba mencari jalan keluar. Dia memukul mukul sudut kubus air dengan sekuat tenaga. Namun tentu saja percuma, dalam air pukulan kerasnya teredam sepenuhnya.
Glup Glup Glup
Aksara menelan banyak air. Matanya sudah perih. Pandangannya berkunang kunang. Dia akhirnya sadar, kekuatan seorang Kapten Dukun istana bukanlah tandingannya. Aksara mulai kehilangan kesadaran secara perlahan. Lehernya terasa tercekik. Aksara pingsan.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
lanjut
2024-02-01
0
IG: _anipri
btul. bandit jht
2023-02-01
0
Yuli Eka Puji R
gegabah
2022-09-28
0