"Bu, sadar Bu ...."
Ayah Berli mememeluk istrinya.
Bu Ana masih terkulai lemas saat Ayah Berli membawanya ke ruangan belakang. Sedangkan Yolla dan Yolli kembali tertidur setelah mereka kelelahan karena menangis terus-menerus.
Hari ini, ia memutuskan untuk tidak membuka kedai. Kondisi di dalam kedainya masih berantakan. Ada banyak buah segar yang seharusnya bisa dijual hari ini yang rusak berat.
"Yah ...."
"Ya Bu ... sabar ya ...."
Ayah Berli mengusap air mata Ibu, padahal kondisinya sendiri tidak baik-baik saja. Wajah Ayah dipenuhi memar dan luka lecet. Bibirnya bengkak.
"Kenapa Ia, selalu membuat masalah? Kesalahan apa sebenarnya yang telah kita perbuat saat aku mengandung dia. Perasaan aku tidak pernah menyakiti orang lain."
"Bu jangan begitu, istighfar Bu, setiap anak punya cara sendiri untuk menguji kesabaran orang tuanya. Bisa saja ini memang cara Tuhan kita untuk meningkatkan derajat kita, jangan menyalahkan Ia, Bu. Dia tidak melakukan kesalahan apapun. Anak kita hanya korban."
"Terus bagaimana dengan sekretaris HGC itu? Bapak tidak melaporkan dia ke polisi? Anak kita diperkosa, Yah. Linda diperkosa, huuu ...." Ibu kembali meraung-raung.
"Bagaimana Ayah mau melaporkan Bu, Lindanya saja hilang, kan? Ayah tidak bisa gegabah, Linda kan saksi kuncinya. Terus yang kita lawan juga bukan orang biasa, konon dia itu orang kepercayaan nomor satu di HGC, bahkan direktur utamanya saja selalu bertanya pada dia saat mengambil keputusan. Saat dia tidak setuju, maka proyek akan batal."
Ayah menunduk, dari pelupuk matanya, nampak ada linangan bening yang perlahan membasahi pipinya.
"Ayah ..., Ibu menyesal merantau ke sini, Ibu rasanya mau pulang, huks ...."
"Kampung halaman kita jauh, Bu. Ada di luar pulau, lagipula kalau kita pergi bagaimana dengan Linda? Ayah tidak mungkin meninggalkan dia di kota ini."
"Dulu ... Ibu berpikir punya anak yang cantik dan terkenal itu pasti akan menyenangkan, Ibu tak menyangka jika pada akhirnya akan seperti ini. Terus kedai buah bagaimana, Yah? Hari ini kita pasti rugi banyak. Selagi anak-anak tidur, ayo kita bereskan." Ibu beranjak.
"Ibu gak cape?"
Ayahpun beranjak.
"Gak lah Yah. Oiya, uang dari Linda kita pegang dulu saja untuk jaga-jaga, untuk sementara pasokan buah dari petaninya kita kurangi saja," kata Ibu.
Saat ini ia dan Ayah Berli sudah ada di kedai merapikan sisa-sisa kerusakan tadi pagi.
"Ayah, bagaimana kalau sore ini kita buka kedai saja sampai malam yuk. Sepertinya kita lebih aman kalau buka kedai. Jika kedai buka, kita tidak terlalu ketakutan. Tetangga di seberang jalan bisa melihat kalau ada aktivitas mencurigakan di kedai kita."
"Ya sudah, Ayah setuju."
Akhirnya, pada pukul 15.07 waktu setempat, kedai buah segar di tepi jalan itu melapak.
Ibu tampak duduk di sebuah kursi plastik menghadap jalan raya dua arah, matanya bergulir pada setiap mobil yang datang dari arah kiri dan kanan.
Ayah lalu mendekat, ia duduk di samping Ibu dan melakukan hal yang sama. Andai waktu bisa diputar, Ayah dan Ibu pasti akan melarang putri sulung mereka terjun ke dunia hiburan.
Ya, awalnya Linda memang hanya sebagai pembaca berita, namun karena ia cantik, memiliki daya tarik dan pernah memenangkan penghargaan The Top Host, stasiun TV lain sering mengundangnya untuk menjadi presenter bahkan menjadi bintang tamu di acara reality show.
"Ibu rindu masa-masa sebelum anak kita terkenal. Dulu ... kalau Linda jaga kedai, warung kita selalu laris-manis." Ibu memulai obrolan.
"Ya Bu, Ayah juga kangen masa-masa itu. Kalau ada pembeli yang mau beli buah sekilo, Linda suka bilang kenapa tidak dua kilo saja?" kata Ayah.
"Dan kalau ada yang mau beli 4 kilo, Linda bilang 5 kilo saja ya, dan anehnya semua pembeli nurut sama anak kita," kenang Ibu.
Saat Ibu mau melanjutkan percakapannya dengan Ayah, tiba-tiba sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti tepat di area parkir kedai. Ibu dan Ayah langsung terkejut dan berdiri. Mereka semakin ketakutan saat melihat orang-orang yang ke luar dari mobil itu berbadan tinggi dan tegap, serta memakai baju serba hitam.
"A-Ayah, si-siapa mereka?"
Ibu gelapan, ia menarik Ayah untuk masuk ke dalam kedai.
Saaat Ayah Berli mau melangkahkan kakinya mengikuti arahan Ibu, salah seorang pria yang ke luar dari mobil itu, melemparkan senyum ke arahnya.
"Bu, sepertinya mereka bukan orang jahat, itu malah senyum sama Ayah," bisiknya.
"Ayah yakin?"
Ibu masih ragu, namun keraguannya hilang seketika sapaan hangat itu mampir di telinganya.
"Mohon maaf mengganggu, apa ini kedai buah milik orangtuanya LB?"
Pertanyaan itu membuat Ibu menoleh, dan berkata, " Ya Benar, ada apa ya? LB nya tidak ada di sini," Ia langsung pada intinya.
Sementara Ayah Berli masih memperhatikan penampilan tiga orang pria itu dari atas sampai bawah.
"Kami tidak mencari LB. Kami ke sini untuk memborong buah," ucap seseorang dengan senyuman mengembang di bibirnya.
Ucapan itu tentu saja membuat Ayah dan Ibu melongo tak percaya.
"Ma-mau a-ada acara?" tanya Ibu. Tangannya masih menggengam erat tangan Ayah.
"Tidak ada. Berapa semuanya?" sambil mengamati buah.
"Ma-mau beli buah apa tuan-tuan ini? Berapa kilo?" kini Ayah yang gelagapan.
"Ya ampun, cepat katakan berapa semuanya?! Kami tidak punya banyak waktu," bentak pria yang sedari tadi hanya menunduk sambil membuka sebuah amplop berwarna coklat.
"Ba-baik saya akan hitung dulu."
Ayah mengambil kalkulator, setelah semuanya selesai dihitung, Ayah menyerahkan hasil dan jumlahnya pada pria yang tadi membentak.
"Ini uangnya."
"Akan saya hitung dulu Tuan," kata Ayah Berli.
"Silahkan."
"Pas, Tuan. Kerena Anda memborong, saya akan kembalikan 10 persennya untuk bonus," kata Ayah.
"Tidak perlu," kata orang tersebut."
"Saya mau panggil tetangga dulu untuk membantu mengemas buah dan mengirimnya. Kami minta alamatnya Tuan," Ibu menyodorkan secarik kertas.
Pria itu lalu menulis sebuah alamat dan menyerahkannya pada Ibu.
"Kami permisi, oiya tidak usah terburu-buru mengemasnya," kata pria yang saat datang menebarkan senyum pada Ayah dan Ibu.
"Baik, terima kasih. Semoga Anda selalu berlangganan buah pada kami, oiya kalau ada keluhan langsung ke sini saja, kebetulan ponsel saya sedang rusak," jelas Ayah.
Mobil itu melesat, bersamaan dengan Ibu yang berteriak histeris.
"Ayaaah," teriaknya.
"Ibu, kenapa?!" Ayah melotot.
"Ayah, ini Yah. Lihat alamat yang akan kita kirim."
Segera Ayah menarik kertas tersebut dari tangan Ibu.
"A-apa?!"
Ayahpun sama terkejutnya dengan Ibu. Keduanya langsung menutup mulut tak percaya. Sampai-sampai Ibu menjatuhkan tubuhnya dan duduk bersimpuh di tanah.
***
"Silahkan, ini semua milik Anda."
Pria yang masih mengenakan celemek jingga itu menyerahkan sekitar sepuluh dus ukuran sedang sampai dengan besar pada Linda yang saat ini menatapnya tak percaya.
"Apa ini?" sambil menunjuk dus-dus itu.
"Ini kebutuhan untuk Anda, mari saya bantu rapikan," tanpa permisi Agam menyeret dus-dus itu ke dalam kamar.
"Bapak mau masuk ke kamar saya?!" Linda masih melongo.
"Ini rumah saya, ini kamar saya," jawabnya enteng.
"Kenapa banyak sekali?! Padahal hanya menunggu sampai saya haid, kan?"
"Ya," tangan Agam mulai membuka dus.
"Dari mana Anda tahu saya memakai kosmetik ini?!" Linda terkejut saat ia terpaksa membuka salah satu dus.
"Em, saya malas menjawab," katanya.
Agam lebih memilih membuka dus dan mengeluarkan isinya.
"Saya tidak mau membereskan, lagipula siapa yang meminta barang-barang sebanyak ini?" LB malah naik ke tempat tidur dan memainkan ponselnya.
"Tak masalah, biar saya saja yang membereskan. Ta-tapi yang itu, Anda yang bereskan." Agam menggeser dus yang berisi pakaian dalam.
Linda malah mengintipnya, ia santai saja tengkureb di atas tempat tidur sambil menggerak-gerakkan kakinya.
"Oke saya yang membereskan itu," Linda mengatupkan bibirnya menahan tawa saat mengetahui barang apa yang enggan dibereskan oleh Agam.
"Hmm, Bu Linda yakin tidak mau membantu saya?"
Agam tak habis pikir, bisa-bisanya ia menyukai wanita cuek dan jorok itu. Sambil membereskan pakaian, mata Agam masih bisa menangkap bagaimana tissue wajah berserakan di bawah ranjang, padahal jelas-jelas di sudut kamar itu ada tempat sampah.
"Anda jorok sekali, seluruh penduduk di negara ini tertipu," gumamnya.
"Jorok? Siapa yang jorok?" wanita berhenna itu benar-benar tak peka. Beruntung sebuah derap langkap kaki berhasil menghentikan kegiatan leyeh-leyehnya.
"Gaaam," panggil Ibu.
Sosoknya itu belum muncul tapi ampuh membuat Linda terlonjak. Ia mendekat ke arah Agam, maraih baju, melipatnya dan menunduk.
"Ck ck ck," Agam berdecak tak percaya.
Bisa-biasanya dia tiba-tiba berubah seperti itu dan memasang wajah pilu seakan-akan aku menindasnya. Agam merutuki Linda dalam batinnya.
"Bagus, Ibu pikir kamu tidak membantunya."
Ibu langsung masuk, karena pintu kamar itu memang sengaja dibiarkan terbuka oleh Agam untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Linda tiba-tiba menghela napas panjang, sambil melakukan gerakan tangan mengusap keringat dari pelipisnya.
"Huhh," lirihnya.
Akting yang sangat sempurna, padahal jelas-jelas Agamlah yang dari tadi membereskan baju-baju itu.
"Ka-kamu," tangan Agam mengepal kuat, perasaanya terjebak dalam kebingungan yang hakiki. Bingung, karena sikap LB yang demikian itu justru membuatnya terhibur.
"Linda, kamu tidak usah khawatir sama bu Ira dan pak Yudha, mereka sudah diberi penjelasan sama Ibu kalau keberadaan kamu di sini karena dikontrak ekslusif oleh Agam."
"Apa?!" Agam dan Linda terkejut.
"Kenapa alasannya seperti itu, Bu?" Agam protes.
"Memangnya kamu punya alasan lain?"
"Awalnya aku berpikir mau mengakui dia sebagai kerabat kita. Dia bersembunyi di sini agar tidak ditemukan wartawan."
"Sudahlah Gam, yang penting Linda aman di sini. Ibu bilang juga sama bu Ira dan pak Yudha kalau kontrak ini sebenarnya telah diatur oleh manajer LB untuk menaikan popularitas LB, Ibu hebat, kan? Hahaha." Ibu sepertinya puas dengan idenya.
"Jadi Ibu membuat sensasi setingan?" tanya Linda.
"Nah itu dia. Tepat sekali." Ibu mengangkat jempolnya.
"Tadinya Ibu mau buat setingan agar kamu dan Agam terlibat skandal .... Tapi Ibu khawatir saham HGC jadi turun, kamu sih enak bisa makin terkenal, tapi putra Ibu bisa dipecat. Hahaha." Ibu kembali tertawa.
"Hmm, bicara tentang HGC, aku jadi rindu ingin segera bekerja." Agam menghentikan sejenak aktivitasnya.
"Dasar gila kerja," Ibu menuding perlahan kepala Agam.
"Satu orang lagi di rumah ini yang belum ditaklukan," kata Ibu.
"Masalah Gama, biar aku saja yang bicara," kata Agam.
Gama? Berarti adiknya laki-laki, batin Linda.
"Gama sih paling gampang, Nak Linda kamu yang menghadapi Gama ya."
"Sa-saya?" ia terlihat bingung.
"Gama itu titik lemahnya wanita cantik, saat lihat kamu, dia pasti meleleh. Nak Linda kamu jangan takut ya, Gama itu baik kok, dia juga menarik dan tampan, usianya masih 19 tahun," jelas Ibu.
"Aku pergi," Agam tiba-tiba beranjak.
"Bu Linda, rapikan tissue-tissue itu," ia menujuk ke kolong ranjang.
"Dua puluh menit lagi kita berangkat ke optik, barang-barang ini biar bu Ira yang membereskan," tegasnya.
"Hahaha," Ibu terkikik, ia faham kalau Agam cemburu.
Aku bahagia Agam bisa membuka diri pada wanita. Walaupun caranya seperti ini, setidaknya Ibu yakin kalau kamu pria normal. Dalam hatinya Ibu bersyukur.
"Nak Linda, maafkan sikap Agam ya," lagi-lagi Ibu memegang tangan Linda.
"Kadang dia memang keras dan tegas, tapi ... aslinya dia itu penyayang."
Linda diam saja.
"Oiya apa kamu sudah punya pacar?"
"Sudah Bu."
"Oh, tadinya ... Ibu berharap kamu bisa membuka diri untuk Agam. Ibu lihat Agam suka sama kamu, Nak."
"Tidak Bu, dia tidak suka sama saya. Pak Agam peduli sama saya karena khawatir saya hamil. Dia hanya peduli sama kehamilan saya, bukan sama saya."
Ibu hanya bisa menghembuskan napanya.
.
.
Saat Linda bersiap untuk pergi ke optik, tiba-tiba ada panggilan dari Bagas.
Sementara di kamarnya Agam langsung mengernyit. Ya, melalui bantuan seseorang yang identitasnya sangat rahasia, Agam ternyata telah menyadap nomor Linda yang sedang ia gunakan saat ini. Agam memasang ear phone khusus dan menekan tombolnya.
"Bagaaas, huuu ..." terdengar suara tangisan Linda.
"LB kamu di mana? Gila kamu ya, mau bikin sensasi? Kamu sudah terkenal karena prestasi, kenapa harus kucing-kucingan begini sih?"
"Bagas, aku tidak bisa mengatakan apapun sama kamu. Ini sangat rumit, aku tidak bisa menjelaskan."
"LB please, jangan membuat aku bingung. TV KITA sudah kirim surat somasi untuk kamu. Kalau dalam seminggu lagi kamu gak ada kabar, kamu bisa diblack list dari dunia penyiaran, terus bagaimana iklan kecap itu? Kamu kan sudah tanda tangan, syuting iklannya lima hari lagi lho."
"Huuu ... Bagas, aku juga bingung, aku diculik, Gas."
"Diculik?" Agam tersenyum sinis.
"Apa?! Diculik? Serius, Bi? Siapa yang menculik kamu?!"
"Aku tidak bisa bilang, dia berbahaya. Dia mengerikan, menyebalkan, binatang buas, dan gila."
Mata Agam membulat, tangannya mengepal.
"Ihh, serem sekali. Ya sudah sekarang kamu bilang saja siapa yang menculik kamu? Ciri-cirinya, terus lokasi kamu disekap di mana? Nanti aku lapor polisi."
"Jangan Bagas, jangan lapor polisi, jika waktunya tepat, aku akan kabur sendiri."
"Haha, berani sekali dia." Agam semakin geram.
"Hei, si-siapa kaliaan?!" kata Bagas.
Terdengar suara mencurigakan seperti pintu yang dibuka paksa.
"Bagas?? Hallo."
Linda terdengar panik.
"Di mana LB?"
Sayup-sayup.
"Bagas?!" teriak Linda.
"Lepaskaaan! Kalian siapa?! Aku aaa ..."
Panggilan terputus.
"Bagas? Hallo, huuu ... apa yang terjadi sama kamu?" Di kamarnya Linda berusaha menghubungi Bagas lagi, namun langsung tidak aktif.
Belum lagi kepanikannya hilang, pintu kamar itu diketuk beberapa kali dari luar.
"Bu Linda, cepat ke luar! Ayo kita pergi, saya hitung sampai tujuh. Satu, dua, tiga, empat ...."
"Ya, saya ...."
Pintu terbuka, Linda ke luar kamar dengan air mata berurai. Ia menunduk, Agam pura-pura tidak tahu.
"Kenapa?" tanya Agam, saat ia mulai berjalan menuju lift.
"Kelilipan," jawab Linda.
Saat mereka berada di depan lift.
"Kamu tidak apa-apa kan satu lift dengan binatang buas?" tanya Agam.
"Maksudnya?" Linda memberanikan diri menatap Agam.
"Maksud saya binatang buas yang berbahaya, mengerikan, menyebalkan, dan gila," ucap Agam.
"A-apa?! Saya tidak mengerti maksud Anda."
"Hmm, ya sudahlah." Agam diam sejenak.
"Siapa Bagas? Terus agensi mana yang mengontrakmu untuk iklan kecap?" tanya Agam ketika mereka berdua sudah berada di dalam mobil.
Seketika itu juga, Linda menatap Agam dengan mata yang membelalak.
❤❤ Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 236 Episodes
Comments
Atiiqah Ramadhani
Linda jangan cuek gitu bah sama Agam ntar bucin lho..
2021-05-25
0
Secret 😲
agam tuh cinta sama LB tp cara nya salah... terlalu gengsi 😁😁😁😁
2021-05-18
0
azzahra
ohhh agammm kasian nyaa
2021-04-09
0