"Kemari," kata Ibu pada Agam. Ia telah selesai menyimpan dan merapikan mukenanya.
"Ya Bu," Agam maju perlahan. Ia sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh Ibu.
"Tidak usah pasang kuda-kuda, kamu terima saja," tegas Ibu seraya menyingsingkan lengan bajunya.
Dan saat itu juga di saat Agam masih menunduk, Ibu Nadia dengan gerakan terlatih dan terarah telah berhasil mendaratkan dua tinjuan kuat di pipi kiri dan kanan Agam. Saat Agam masih meringis, Ibu memutar badannya dan menendang kuat bahu Agam sebanyak dua kali hingga menghsilkan bunyi "BUGH" yang cukup kuat.
Agam mundur satu langkah, ia menggigit bibir bawahnya menahan sakit dan linu. Ia tidak sampai berteriak, namun tendangan terakhir dari seorang ibu yang ternyata mantan atlit bela diri nasional itu berhasil membuat seorang Agam terhuyung, dan mengerang kesakitan.
"Aaarrgggh," teriak Agam.
Ia membungkuk, kakinya menyilang dan menghimpit sesuatu, bibirnya sibuk mengatur napas exhale dan inhale. Wajahnya meringis, andai saja ia berani menghindar, mungkin tidak akan sesakit dan semalu ini.
"Rasakan! Itu belum seberapa, kalau saja mengikuti nasfu, mungkin Ibu sudah menyuruh dokter bedah untuk menyunatmu yang kedua kalinya," kata Ibu sambil menatapnya penuh amarah, kekesalan dan juga kesedihan.
"Kenapa harus menendang di situ Bu? Ini asetku, masa depanku. Kalau dia sakit bagaimana?" keluhnya. Kini berusaha berdiri tegak dengan sedikit kepayahan.
"Ibu jamin tidak akan apa-apa, justru akan membuat punyamu lebih kuat, mau ditambah?!" tanya Ibu sambil memasang kuda-kuda.
"Ti-tidak, a-ampun Bu. Ampuun." Agam menyatukan kedua tangannya di udara.
"Itu tidak seberapa, harusnya kamu dicambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Kalau ayahmu masih ada mungkin kamu sudah dibunuh," tegasnya.
"Ya Bu .... Maaf."
"Maaf, maaf! Taubat kamu! Terus kenapa harus LB sih? Pantas saja Ibu gak lihat dia baca berita lagi. Dia presenter terkenal, Gam. Kamu sudah menghancurkan kariernya. Ayo sekarang pertemukan Ibu dengan dia."
"Aku menempatkannya di kamar depan perpustakaan."
Ibu dan Agam berjalan munuju kamar yang dimaksud.
"Aku sudah membuat surat perjanjian Bu. Aku akan menyekapnya di sini, sampai dipastikan dulu dia hamil apa tidak."
"Dasar gila kamu, Gam!" satu pukulan kuat kembali menghantam punggung Agam.
"Oiya apa Tuan Muda sudah tahu?"
"Sudah, dokter Cepy, dan dokter Rama juga sudah tahu."
"Apa reaksi mereka?!"
"Tuan Muda marah, dokter Cepy dan dokter Rama mau suntik mati aku. Tapi akhirnya mereka memaafkan dan menyuruhku untuk bertanggung jawab."
"Mereka semua sama gilanya. Lalu kamu bilang apa sama polisi?"
"Masalah aku dan Linda polisi tidak tahu Bu. Aku hanya mengatakan kalau penikaman itu adalah kesalahanku, aku bilang sedang berlatih tapi gagal," jawabnya sambil tersenyum tangannya masih menangkup pada daerah inti yang tadi ditendang oleh Ibu.
Tok, tok, tok, Agam mengetuk pintu kamar yang ditempati Linda. Ia dan Ibu saling menatap. Saat ini adalah ketukan yang ketiga kalinya namum tetap tidak ada sahutan.
"Agam, cepat kamu ambil kunci duplikatnya, Ibu khawatir di dalam kamar dia melakukan hal yang tidak-tidak, anak gadis orang ini, Gam. Kalau terjadi apa-apa sama LB, Ibu yang akan melaporkan kamu pada polisi."
Krek, pintu terbuka saat Agam telah menggunakan kunci duplikat.
Ibu dan anak itu terkejut setelah melihat pemandangan di dalam kamar. Ibu menutup mulut matanya membelalak, sedangkan Agam spontan memalingkan wajah dan pipinya langsung memerah.
***
GDOR, GDOR, pintu kedai buah milk ayah Berli dipukul paksa oleh sekelompok orang. Ayah Berli yang sedang memilah buah yang baru saja datang semalam dari petani lokal langsung terperanjat kaget tiada terkira.
Ini masih pagi sekali, siapa pikirnya yang akan membeli buah segar sepagi ini. Sedangkan Bu Ana masih berada di ruangan belakang bersama Yolla dan Yolli yang masih tertidur.
"Tunggu," kata Ayah Berli saat tangannya mulai membuka kunci gembok.
"Lama sekali!" teriak seorang pria tinggi besar yang langsung memaksa masuk saat pintu sudah terbuka, disusul oleh empat orang temannya yang juga berprawakan tinggi dan besar.
"Siapa kalian?!" Ayah berusaha menghalangi karena mereka memaksa.
"Sudahlah! Munggir! Ini perintah bos kami!" teriak yang lainnya.
"Pa, ada apa ini?!"
Bu Ana yang datang karena mendengar keributan langsung mundur ketika melihat orang-orang tersebut. Wajah mereka sangar dan garang.
"Kembali ke belakang! Tetap bersama anak-anak!" teriak Ayah Berli.
"I-iya." Bu Ana kembali ke belakang dengan berlari-terbirit-birit.
"Di mana dia?!" bentak pria tegap dengan tubuh paling tinggi.
"Di-dia siapa?!" kata Ayah Berli.
PLAK, Ayah Berli malah di tampar kuat, hingga tubuhnya tersungkur dan menimpa salah satu keranjang buah jeruk, hingga buah berwarna orange itu berhamburan ke lantai.
"Kaliaaan," Ayah Berli geram.
"Cepat, katakan di mana kamu menyembunyikan LB?! Di mana, hahh?! Di manaa?!"
Pria itu berteriak layaknya orang gila. Dan saat Ayah Berli bangkit, pria yang lain menendang Ayah Berli hinga ia kembali tersungkur dan tak berdaya.
"Dia tidak ada di sini ...." Jawab Ayah dengan lirih.
"BOHONG!!" bentak pria yang pertama kali menendang Ayah.
Sementara Bu Ana di ruangan belakang sedang menangis sambil memeluk kedua putrinya yang masih terlelap.
"Jangan pada bangun, ya sayang. Ibu mohon, kalian tidur yang nyenyak ya. Ya Rabb, ada apalagi ini? Kenapa? Kenapa anak itu selalu membuat masalah?" guman Ibu dalam hatinya.
"Di mana kamu Linda?" kata Ibu dengan suara pelan.
"Demi Tuhan, LB tidak ada di sini," kata Bapak.
Saat ini Bapak sedang diseret untuk membuka pintu samping kedai yang menjadi akses ke rumahnya yang sudah disita.
"Jangan berbohong, bangunan sebelah rumahmu, kan?! Ayo buka! Bisa saja kamu menyembunyikan LB di rumah itu." Sambil menyeret Ayah, mereka juga tak segan memukul kepala Ayah dengan brutalnya.
"AWWH," Ayah beberapa kali mengaduh kesakitan, tapi mereka seakan tak punya hati-nurani.
"Mana kuncinya?!"
"Ru-rumah di samping sudah disita, saya ti-tidak punya kuncinya," jelas Bapak.
"Di sita?! Siapa yang menyita?!"
"Saya tidak berhak mengatakannya pada kalian," tegas Ayah. Dan ucapan Ayah membuat para pria itu naik pitam.
"Buka pintu itu, geledah!" teriak pria paling tinggi yang sepertinya adalah kepala komplotan tersebut.
"Jangaan," kata Ayah.
Namu tiba-tiba "DOR," satu orang dari mereka menembak lubang kunci menggunakan senjata api jenis revolver. Ayah spontan menundukkan kepala, Ibu di kamar menjerit, Yolla dan Yolli terbangun dan langsung menangis.
Empat orang dari komplotan itu barlalu masuk ke rumah tersebut, Ayah Berli dicekal. Sayup-sayup terdengar barang-barang yang pastinya sengaja dipecahkan.
"Si-siapa yang mengutus kalian?" tanya Ayah Berli sambil mengusap darah segar yang kini ke luar perlahan dari hidungnya.
"Tak perlu bertanyapun harusnya kamu tahu! Dasar bodoh!"
BUG, pria itu kembali mendendang perut Ayah Berli tanpa belas kasih.
"Pak, rumah itu kosong, hanya ada perabotan, tidak ada tanda-tanda keberadaan LB," salah satu dari mereka yang baru saja menggeledah memberi laporan.
"Kalau tidak ada di sini, lalu di mana dia?!"
Pria yang dipangil Pak, menodongkan senjata ke arah kepala Ayah Berli.
"Saya tidak tidak tahu," tegas Ayah.
"Kurang ajar! Seret kemari anak dan istrinya!"
"Baik, Pak."
"Tidaak, jangan ganggu istri dan anak-anak saya!" teriaknya.
"Huwaaaa ... huuu, Ibuu Ayaaah," teriak Yolla dan Yolli. Mereka terus menangis saat melihat Bu Ana diseret untuk menghadap Ayah Berli.
"Lepaaas, lepaskan!!" Bu Ana meronta-ronta.
"Ayaaah ... huks huks ...." Ibu terkejut melihat suaminya tersungkur tak berdaya.
"Sa-saya tidak apa-apa," kata Ayah.
"Sumpal dan ikat anak-anak itu, berisik!" teriak kepala komplotan.
"Baik, Pak."
Yolla dan Yolli diikat, mulutnya diplester oleh plester yang biasa digunakan Ayah untuk mengemas buah, lalu di masukan ke dalam keranjang buah yang kosong.
"Jangan sakiti anak saya," teriak Ibu dan Ayah.
Yolla dan Yolli terus menangis. Matanya melotot, bingung dan tak faham.
"Tutup mata kalian sayang, dan berpura-puralah tak mendengar apapun," kata Bu Ana.
"Jangan basa-basi lagi, di mana LB?! Atau kepala istrimu yang cantik ini meledak!" Pria itu menodongkan pistol di kepala Bu Ana.
"Tidak, jangan! LB dibawa polisi," kata Ayah, ia menjawab jujur.
"Polisi?! Hahaha! Omong kosong! Kamu pikir bos kami tidak punya orang-orang di kantor polisi, hahh? LB tidak ada di sana. Di mama dia? Di mana?!"
"Demi Tuhan, dia dibawa polisi," kini Ibu yang menjawab.
"Apa kalian mau main kucing-kucingan?! Baiklah sebelum kamu mati, saya akan menikmati tubuhmu dulu. Kamu cantik, kecantikan LB rupanya dari kamu."
"Dasar kalian bajingan!" teriak Ibu.
"Tidak! Jangan! Saya tahu identitas polisi yang membawa anak saya," kata Ayah Berli dengan suara gemetar.
"Tapi tolong lepaskan kami," katanya lagi.
"Siapa nama polisinya?"
"Joey, nama polisi yang berkenalan dengan saya dan membawa LB bernama Joey. Tapi yang dua lagi saya tidak tahu. Mereka menggunakan jaket, jadi saya tidak melihat name tag namanya," jelas Ayah.
"Baik, cukup! Awas kalau kalian berbohong! Sekarang cek ponselnya!"
Pria yang lain mengambil ponsel yang tergeletak.
"Sial! HP nya rusak dan mati total," umpatnya.
"Ya kemarin tak sengaja jatuh," kata Ayah.
Setelah mengacak-acak kedai dan menampar kembali Ayah Berli, komplotan pria sangar itupun pergi meninggalkan Ayah yang tersungkur, Ibu yang pingsan, serta Yolla dan Yolli yang memucat dan gemetar di dalam keranjang buah.
Saat pergi, mulut mereka sibuk memakan buah anggur milik Ayah Berli.
"Buahnya enak ya, segar tidak kecut."
"Dia memang hanya menjual buah lokal dengan kualitas terbaik."
Ayah Berli masih bisa mendengar percakapan mereka.
***
Sial, Linda ... keanggunan kamu ternyata hanya kamuflase. Ahh, tapi tadi itu cantik sekali.
Agam sedang membayangkan kejadian saat ia dan ibunya mau menemui Linda, namun urung setelah tahu jika Linda masih tidur.
Terbayang lagi saat Linda tidur terlentang, dengan baju terangkat jauh ke atas dan bertumpang kaki, hingga segala keindahannya terlihat jelas. Mulutnya menganga dan sedikit mengorok. Kondisi kamar yang tadinya rapi tiba-tiba berantakan. Bantal, guling dan selimut semuanya tergeletak di lantai.
Agam tersenyum saat mengingat ucapan Ibu ketika mereka memutuskan untuk menunggu LB bangun.
"Gam, apa kamu yakin wanita tadi LB?"
"Dia memang LB Bu, tapi aku juga baru tahu kalau dia seperti itu."
Jawaban Agam pada saat itu.
.
.
.
.
Karena ia diberitakan masih di luar kota, Agam memutuskan untuk tidak ke HGC. Agenda hari ini adalah memberikan surat perjanjian itu pada Linda. Jika dia setuju, Agam akan belanja keperluan dan perlengkapan untuk Linda selama berada di rumahnya.
Agam lalu membuka media sosialnya, masih menguasai lini masa berita tentang Tuan Muda Deanka Kavindra Byantara yang cuti selama tiga hari dan Tuan Yohan Nevan Haiden menggantikan posisi direktur utama selama kepergiannya.
Trending pertama di lini bisnis, memberitakan tentang saham HGC yang turun, selama Tuan Muda cuti.
Ia lalu beselancar ke laman dunia hiburan. Terkejut saat wanita yang tadi membuatnya terpingkal dan kesakitan karena dihajar oleh Ibu menjadi trending.
Dengan judul artikel, "LB, Where Are You?"
"Hmm," Agam menghela napas.
❤❤ Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 236 Episodes
Comments
Puan Harahap
suka LB thor
2021-08-27
0
tanti
Nyai... Aku ketembak covid, jd baca nya ketinggalan. Walau sakit aku ttp luangkan wkt buat baca karya mu
2021-04-06
0
Kezia Zou
Lanjut penasaran 🥰😍❤
2021-04-05
0