"Pergi," suruhnya. Kepalanya masih menunduk.
"Saya akan menunggu di sini saja." Agam bergeming.
"Saya bilang Anda pergi, ya harus pergi. Anda tunggu di luar saja." Kali ini nada suaranya semakin mengeras. Tapi masih menunduk.
"Bagaimana kalau saya tetap menunggu di sini? Udara di luar kamar dingin, tidak baik untuk saya. Saya masih masa pemulihan luka, lho," ucapnya santai. Malah duduk di kursi dan menatap lekat sosok molek yang terkesan sedang marah.
"Jangan melihat saya."
"Ini mata saya, terserah saya mau lihat ke mana," jawabnya.
"Jangan pegang itu!" tangan Agam spontan menahan tangan Linda yang hendak meraih kaca mata yang retak.
Grep, tangan pria itu kembali memegang tangan Linda. Linda terkejut. Spontan ia menariknya.
"Jangan menyentuh saya," tegasnya.
"Maaf, saya hanya tidak mau pecahan kaca itu melukai tanganmu yang ---," cantik. Lanjut Agam dalam hatinya.
Dan semua milikmu sangat cantik.
Pria yang dimabuk cinta itu masih memuja Linda dalam batinnya seraya menatap punggung yang saat ini tengah membereskan barang-barangnya dari lemari kecil. Hanya ada beberapa pakaian intern dan baju miliknya saat pertama kali datang ke tempat yang sempit dan dingin itu.
Linda memang tidak sempat membawa apapun saat ia dibekuk polisi di rumahnya.
"Ganti bajumu," suara itu kembali memprovokasi jiwa dan raganya. Terbayang lagi saat tangan kekar pria itu membuka dan mengoyak bajunya secara paksa hingga tubuhnya polos dan tak bermartabat lagi.
"To-tolong ja-jangan banyak bicara, sa-saya benci suara kamu ...," lirihnya.
"Ma-maaf, baiklah saya akan menunggu di luar." Agam berlalu. Ia urung menunggu di dalam kamar saat menangkap mata bening itu kembali berkaca-kaca.
Agam menyandarkan tubuhnya di tiang, suasana kantor sudah mulai sepi. Beberapa lampu di ruangan telah dipadamnkan, namun telinganya masih bisa menangkap dengan jelas mesin printer yang masih aktif memuntahkan tintanya di salah satu ruangan namun entah di ruangan yang mana.
Ia meraba kembali bekas luka operasi dan jahitan di perutnya. Ini tidak apa-apa, batinnya.
"Ini yang sakit dan tak baik-baik saja ..., gumam Agam saat ia meraba dadanya yang terasa panas. Ia tak sanggup menerima tatapan kebencian yang terpancar dari sorot mata wanita yang saat ini ternyata telah berdiri di ambang pintu, membawa tas kecil, dan tanpa memakai kaca mata.
"Saya sudah selesai," katanya.
Agam lalu mempersilahkan Linda untuk berjalan di depan, disimbolkan dengan tangannya yang mengulur.
"Anda yang di depan," kata Linda.
"No, ladies first," kata Agam.
Linda tak menjawab, ia mematung. Siapa sih yang mau berjalan sambil diekori oleh pria yang dibencinya?
"All right, a men are the leaders (baiklah, seorang pria adalah pemimpin). Agam mulai berjalan melewati koridor.
"Tunggu," dari jarak lumayan jauh terdengar suara itu. Agam kembali ke belakang.
"Anda sebenarnya berjalan atau merayap sih?" ia menarik paksa tas yang dipegang Linda.
"Kaki Anda yang terlalu panjang, berjalan kok seperti berlari," gerutunya kesal.
"Ha --." Tak jadi tertawa, hanya bisa mengulum senyum, dan melangkah dengan lambat. Hingga ia terperanjak dan mengaduh.
"Aduh," kata Agam saat Linda menabrak punggunggnya. Lekas ia membalikkan badan.
"Hati-ha --." Tak bisa melanjutkan kata-katanya. Karena Linda telah menyelanya dengan sebuah kata yang membuat hatinya hangat untuk sesaat.
"Maaf, Pak." Seraya menunduk.
"Mari berjalan berdampingan saja," ucap Agam.
Agam dan Linda menghela napas. Hampir tak percaya pada kenyataan jika berjalan di koridor akan menjadi sesulit ini.
Kenapa sulit sekali?
Bukankah berjalan di koridor bukan pertama kalinya untuk mereka?
"Bu LB? Pak Agam? Kalian berdua tampak serasi," oceh Aiptu Joey yang saat ini sedang berdiri depan ruangan pimpinan.
Ia telah mengamati Agam dan Linda saat sosok mereka muncul di koridor dan berjalan berdampingan dengan begitu lambat.
Aiptu Joey bahkan sampai memicingkan matanya karena baru melihat ada orang yang berjalan kaku dan selambat itu. Padahal secara fisik, Agam dan Linda tentu saja normal.
"Saya mau segera bertemu pimpinan," tegas Agam.
"Mari," ajak Aiptu Joey.
"Anda juga ikut ke dalam Bu LB," tambah Aiptu Joey saat melihat Linda hanya mematung.
Setelah mengucap salam, bersalaman dan saling menyapa, Agam dan Linda akhirnya duduk di kursi yang telah disedikan.
"Ini saya kembalikan kotaknya," ucap pimpinan.
Linda terkejut. Ia mengenali kotak itu. Ya, kotak itu adalah kotak pertanyaan yang di dalamnya ada banyak pernyataan aneh tentang upaya pembunuhun pada tuan Bahir Finley Haiden yang merupakan komisaris sekaligus pemilik HGC.
"Terima kasih," kata Agam.
"Saya sudah menyiapkan tim khusus untuk menyelidiki masalah ini dan bekerja sama dengan didektif swasta," jelas pimpinan.
"Saya percayakan semuanya pada Bapak," kata Agam.
"Bu LB?" pimpinan menatap Linda.
"Sa-saya Pak." Ia berdiri, menundukkan kepala lalu kembali duduk di kursinya.
"Saya berharap Anda bisa kembali menjadi news achor, rasanya ada yang kurang ketika yang membawakan beritanya bukan LB, kurang gereget. Ya, yang sekarang juga cantik, dan luwes. Tapi, saya dan rekan-rekan lebih suka pada Anda," kata Pak Komandan.
Pak Komandan tersenyum menatap Linda dengan instensnya tanpa menyadari jika di balik mejanya ada sebuah tangan yang sedang mengepal dengan urat nadi yang menegang pertanda siap untuk membaku hantam.
"Hahhh, saya minum," ucapnya. Menenggak air mineral 600 cc dengan terburu-buru. Entah kenapa ia merasa tidak rela jika LB ditatap dan dipuji oleh pria lain. Dadanya panas, dan ternyata air mineral itu belum mampu meredakan perasan Agam saat ini.
"Terima kasih atas apresiasinya, Pak. Saya akan bekerja keras agar bisa kembali lagi ke TV KITA, seseorang telah berjanji pada saya untuk memperbaiki semuanya," kata Linda.
"Hahaha, dan seseorang itu pasti pak Agam, kan?" tebaknya.
Linda diam. Ia malas menanggapi jika itu tentang pria di sampingnya. Pria yang aroma parfumnya membuat hidungnya hampir terlena. Ya, duduk di samping Agam membuatnya bisa merasakan jika pria itu memakai parfum yang wanginya belum pernah ia rasakan sebelumnya. Wanginya fresh dan maskulin, tapi tidak menyengat seperti parfum pria pada umumnya.
"Oiya, ini dompet dan ponsel Anda. Lalu ini BC (Black Card) milik Pak Agam."
"Terima kasih." Ucap Linda dan Agam serempak.
"Pak, ini ada berkas pencabutan kasus yang harus diisi." Aiptu Joey menyerahkan fomulir yang cukup banyak.
"Baik, akan saya isi." Meraihnya dengan cepat, tak tahan berlama-lama melihat wanita yang telah menghangatkan tubuhnya ditatap lama-lama. Parahnya, kini bukan hanya Pak Komandan yang mencuri pandang pada Linda. Tapi, ditambah dengan Aiptu Joey.
"Bisakah saya mengisinya di rumah?" tanyanya.
"Maaf Pak, ini bukan PR," kata Aiptu Joey.
Siaal, batinnya menggerutu.
Beberapa menit kemudian ....
Setelah tugasnya selesai dan bersalaman.
"Ayo pergi," tak sadar menarik tangan Linda dan bergegas cepat meninggalkan ruangan itu.
Aiptu Joey dan Komandan hanya bisa menggelengkan kepala, sesaat sebelum mereka terperangah melihat tulisan tangan sekretaris utama HGC yang begitu rapi dan apik. Padahal jelas-jelas tadi itu (saat menulis) ada raut ketidaksenangan di wajahnya.
"Pak Agam, sakiiit, lepaskan!" Linda menepiskan tangan sambil berusaha mengimbangi langkah kaki Agam.
"Diam," tegasnya.
"Ada apa dengan Anda? Aahh ...," rintihnya saat sudah berada di dalam lift menuju lantai satu. Linda mengelus pergelangan tangannya yang memerah.
"Maaf." Kata Agam.
"Anda kasar." Kata Linda.
"Dan kamu tebar pesona," sela Agam.
"Apa?! Apa maksudmu?! Siapa yang tebar pesona, hahh?" ia benar-benar tak mengerti.
"Cukup, tidak perlu dibahas lagi," terangnya.
"Masuuk," membukakan pintu mobil di samping kemudi saat mereka sudah berada di parkiran.
"Saya di belakang saja, saya tidak mau duduk di samping Anda."
"Bu Linda!" bentaknya.
"Di bangku belakang banyak barang-barang," jelasnnya.
"Alasan," kata Linda. Ia membuka pintu belakang, dan ....
Bruuk, benar saja di dalamya ada banyak berkas, berupa kertas bahkan ada printer. Di bagian bagasi ada jas Agam yang tergantung rapi. Kini, sekitar satu rim kertas menyeruak ke luar dari pintu yang dibuka oleh Linda.
"Arrghh, kata saya juga apa?!" Agam kesal.
"Ma-maaf," mau tidak mau ia membantu Agam merapikan kembali kertas tersebut. Dan ketegangan terjadi saat mereka satu gerak satu hati. Sebuah kertas diambil oleh Agam dan Linda secara bersamaan.
Grep, tangan yang pada hari naas itu pernah menyatu dan saling menggenggam kuat, kini menyatu kembali walau posisinya berbeda. Agam mencengkran tangan halus itu untuk beberapa saat, dan Linda tak menolak. Namun akhirnya LB tersadar, mengerjap dan mengambil kertas yang lain.
"Kita ke optik," kata Agam saat mereka sudah berada di dalam mobil dan mobil tersebut telah melaju dengan kecepatan sedang.
"Untuk apa?"
"Anda perlu kaca mata, kan?"
"Tidak perlu," jawabnya.
"Bukan untuk Anda, tapi untuk mata ... indah Anda," ucapnya. Kata indah itu spontan terucap begitu saja dalam batinnya.
Siaal, apa aku tak waras? Apa aku harus konsultasi masalah kejiwaan juga seperti Tuan Muda?
Sepanjang perjalanan hanya terisi keheningan. Sudah tiga optik yang mereka lewati, tapi sudah tutup.
"Sampai kapan akan mencari optik?" tanya Linda.
"Sampai ketemu."
"Tapi ini sudah malam."
"Kamu ngantuk? Tidur saja."
"Tidak, saya tidak mengantuk, tapi bagaimana kalau sampai tengah malah tidak menemukan optik yang buka?"
"Hahaha, saya akan terus mencarinya sampai besok pagi," candanya.
"Keras kepala," gumam Linda perlahan. Dia pikir Agam serius.
"Apa katamu? Keras apa? Apa yang keras?" pertanyaan Agam begitu memaksa dan mendesak.
"Tidak ada, jangan bahas lagi."
"Hmm, baiklah saya tidak memaksa. Tapi ... saya memang identik dengan yang keras-keras. Kata Tuan Muda, saya pekerja keras, kata ibuku saya keras kepala, kata adikku saya suka kekerasan karena menguasai beladiri dan berduel, dan otot-ototku memang keras."
"Cukup, saya tidak bertanya masalah itu. Kenapa Pak Agam bawel sekali?"
"Bawel? Hahaha, saya juga tidak tahu kenapa saya jadi sebawel dan seterbuka ini? Mungkin, karena sebelumnya saya sudah buka-bukaan di hadapan Anda. Maaf ... untuk kesekian kalinya," ucapnya sambil mencuri pandang pada kaca spion.
"Saya tidak akan memaafkan Anda, sebelum Anda mengembalikan semuanya seperti semula. Mengembalikan kesucian saya, karier saya, dan nama baik saya."
"Walaunpun Anda tidak memaafkan saya, saya akan tetap meminta maaf. Sampai kapanpun. Sampai bibir saya tak mampu berucap lagi," kata Agam.
Linda menunduk, ia kembali terisak. Tangan Agam mengambang di udara, ingin rasanya ia mengelus bahu yang sedang terisak itu sepanjang perjalanan.
Aku tahu kamu terluka. Linda ... aku juga sangat terluka. Bisakah kita mengobati luka ini bersama-sama? Aku terluka karena cinta, sedangkan kamu ... kamu terluka karena aku.
❤❤ Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 236 Episodes
Comments
Atiiqah Ramadhani
semangat Thor
2021-05-25
0
Secret 😲
bagus kak
aq tetep mau stay aja sama novel Nyai 😁😁
2021-05-18
0
azzahra
manatppppp memang bnr2 kren.makin seruu
2021-04-01
1