Dua jam sebelumnya ....
"Bodooh, kemana saja kamu?! Kamu jahat, kenapa kamu lama sekali bangunnya?! Kenapa kamu tidak memberiku kabar?! Dasar kepa rat! Ku pikir kamu mati!"
Seorang pria muda yang begitu tampan, terlihat menangis tersedu-sedu sambil memeluk Agam.
"Tu-Tuan, a-aku me-merindukanmu, Tu-Tuan?" Agam mengelus rambut pria itu.
"Kalau belum lancar bicara lebih baik kamu diam bodoh! Bagaimana kalau lukamu meledak?!"
Pria itu berdiri bertolak pinggang sambil menunjuk-nunjuk Agam.
"Maafkan saya, Tuan. Karena kebodohan saya Tuan pasti mendapatkan banyak masalah." Agam tersenyum saat melihat itu mengelus perutnya.
"Oiya Tuan, tadi pagi sebelum Anda ke sini, polisi sudah memeriksaku. Saya sudah memberikan keterangan dan saya akan mengurung pelakunya di rumah."
"Maksudmu?! Kenapa kamu akan membawa pelakunya ke rumah?!"
"Saya malu jika harus menjelaskan semuanya pada Anda, Tuan. Intinya saya sudah meminta polisi untuk menutup kasus ini."
"Apa?! Kenapa?! Kamu hampir mati gara-gara kejadian ini, Gam. Bisa-bisanya kamu malah menutup kasus ini dan akan mengurung pelakunya di rumahmu. Tolong katakan fakta apa yang kamu sembunyikan! Jangan membuatku gila, Gam!"
Pria itu terus membentak Agam, tapi dari air mukanya jelas terlihat jika dia sangat mengkhawatirkan Agam.
Dengan berat hati sambil memegang tangan pria itu dan meminta maaf berkali-kali, Agam akhirnya menceritakan semuanya.
Penjelasan Agam tentang tragedi di apartemen Green Seroja tak ayal membuat Agam babak belur.
Pria itu menampar Agam beberapa kali, tapi tentu saja bukan tamparan sungguhan. Ia hanya menjewer telinga Agam dan menarik hidung Agam, hingga telinga dan hidung Agam memerah.
"Apa dokter Cepy dan dokter Rama sudah tahu?" tanya pria muda yang dipanggil tuan, sambil pura-pura mencekik leher Agam.
"Su-sudah Tuan, dan mereka sangat marah."
"Wajar mereka marah, bodoh! Kamu tahu kan mati bunuh diri itu dilarang agama?!" Tangan pria itu masih mencekik Agam.
"Saya hilaf Tuan ...."
Agam dan pria tampan yang manik matanya kecoklatan itu terlibat perbicangan cukup lama. Entah apa yang mereka bicarakan. Intinya keduanya tampak sangat akrab. Agam dan pria itu bahkan sampai terpingkal-pingkal, sepertinya percapan mereka sangat seru.
Beberapa saat kemudian, pria itupun berpamitan.
"Aku pergi dulu ya bodoh," ucapnya.
"Ya silahkan Tuan Muda, terima kasih sudah berkenan menjengukku," ucap Agam.
Pria muda adalah Deanka Kavindra Byantara, direktur utama HGC yang pernah digosipkan menjalin hubungan terlarang dengan Agam Ben Buana.
***
Saat ini ....
"A-apa? Ca-calon istri?!" suster dan dokter melongo keheranan.
Upss, Agam spontan menutup mulutnya sendiri.
Bisa-bisa aku bilang dia calon istri. Setelah merasakan hal yang luar biasa itu sepertinya aku sedikit tidak waras.
Keluh Agam dalam hatinya. Ia duduk sambil menatap satu persatu tenaga medis yang memandangnya.
"Saya mau pergi, tolong jangan menghalangi saya," tegasnya.
"Pak, kalau Anda memaksa, itu namanya pulang paksa. Setelah menemui Anda, Tuan Muda Deanka menitip pesan pada kami agar perawatan Anda dituntaskan sampai satu minggu ke depan," jelas dokter.
"Apa?! Satu minggu? dengarkan baik-baik, saya sudah sehat. Kalau saya diam saja, justru saya bisa sakit," ujarnya.
"Tapi Pak, luka jahitannya belum sembuh total, jika Anda banyak bergerak, bisa jadi lukanya kembali basah, dehisensi luka, atau kemungkinan buruknya bisa terjadi infeksi. Dehisensi luka itu artinya terbukanya kembali luka operasi yang telah dijahit secara primer," terang dokter.
"Ah, sudahlah. Jika terjadi apa-apa pada saya, saya tidak akan menyalahkan kalian, sini mana formulirnya?" katanya sambil menyodorkan tangan.
"Formulir apa, Pak?"
"Formulir pulang paksa. Saya mau pulang," katanya.
"Apa benar Anda mau bertemu calon istri?" tanya suster memberanikan diri.
"Saya tidak mau menjawab, lupakan ucapan saya yang tadi. Anggap saya tidak pernah mengatakan kata-kata itu, maaf tadi mungkin mengigau," sanggahnya.
Karena Agam memaksa, akhirnya dokterpun tidak bisa berbuat apa-apa. Toh pulang paksa itu hak pasien. Walaupun risikonya besar, tapi dalam hal ini tenaga medis tidak bisa disalahkan karena Agam sudah tanda tangan.
Agam mengurus sendiri administrasi kepulangannya. Untuk menutupi identitasnya, ia memakai masker.
"Huhhh, kok aku jadi tak tegang ya? Ada apa degan jantungku? Kenapa jadi berdesir-desir? Sedikit hangat atau ... rasa apa sih ini?" gumam Agam.
Saat ini, Agam sedang berdiri di halte depan rumah sakit untuk mencegat taksi dan pulang ke rumahnya. Ia memejamkan matanya sesaat ketika sudah berada di dalam taksi dan mendengus kesal ketika wajah Linda dan seluruh keindahan wanita itu kembali mengotori akal sehatnya.
"Arrggh, dia cantik sekali sekali," katanya.
"Terima kasih, Tuan. Memang banyak yang bilang kalau saya cantik." Pengemudi taksi yang kebetulan seorang wanita muda, salah faham.
"Apa katamu? Hei aku bukan tuanmu, jangan panggil aku tuan," bentaknya.
"Hehe, maaf Pak. Tapi kata-kata Bapak yang tadi sudah membuat saya tersanjung," lanjutnya.
Agam tersenyum di balik maskernya.
"Ya, Anda memang cantik. Setiap wanita memiliki inner beauty. Apalagi Anda, masih muda, tapi berani dan tidak sungkan untuk memilih profesi ini," pujinya.
"Hehehe, dari suaranya Anda pasti tampan, saya memilih profesi ini karena hanya di perusahaan ini saya diterima. Sudah berusaha melamar ke sana kemari tapi tak lulus," jelasnya.
"Oh," timpal Agam.
"Ke HGC juga sudah pernah," imbuhnya lagi.
Agam kembali tersenyum mendengar kata HGC.
"Hanya Tuhan yang tak pernah gagal. Jadi, wajar kalau Anda gagal. Sebuah kegagalan mungkin disebabkan oleh satu persen kesalahan. Tapi, kegagalan total terjadi justru saat Anda memutuskan untuk mengakhiri langkah dan tak mau belajar dari kegagalan itu sendiri," kata Agam.
"Widih, jangan-jangan Anda motivator."
"Hahaha, bukan. Saya hanya seorang sekretaris."
"Wah, hebat Pak. Asalkan jangan sekretaris HGC saja, iiihh," katanya sambil bergidik.
Deg, hati Agam seakan terhempas.
"Ganteng banget, kaya, karier cerah, tapi dia makan pisang, hahaha," dengan renyahnya dia tertawa di atas hati Agam yang terluka.
"DIAM! Saya mau tidur," katanya. Ia khawatir mencekik supir taksi itu, jika dia terus berbicara.
Sang supir sepertinya tidak menggubris, "Bapak tahu berita tentang LB, gak? Kasihan juga saya sama dia."
"LB?" seketika keindahan itu kembali mengotori akalnya.
"Iya Pak, LB. Kata manager pribadinya kemungkinan dia dipecat dari TV KITA, awalnya kan diumumkan hilang, tapi ada tetangga LB yang mengatakan pada media jika ia sempat melihat LB pulang ke rumahnya. Otomatis wartawan pada datang ke rumah LB untuk memastikan, tapi orangtuanya LB tidak mau mengatakan apapun. Mencurigakan, kan?"
"Sudahlah, untuk apa kamu mengurusi kehidupan orang lain?"
"Wajarlah, Pak. Secara LB kan presenter terkenal, cantik, dan pinter. Tapi katanya aslinya agak sombong, dan jorok, tapi gak tahu juga sih. Biasalah namanya juga berita, kadang suka dilebih-lebihkan."
Agam mengehela napas, lalu berbica dalam hatinya. Ya LB memang cantik, dan sombong, tapi dia telah menghangatkan hatiku yang dingin.
"Kasihan LB, bulan lalu berita dia yang menolak politisi trending, sekarang gara-gara dia menghilang tidak jelas jadi heboh lagi."
"Kamu tahu banyak tentang dia?"
"Tahu lah, Pak. Lagipula biografi tentang LB ada di mesin pencarin ya tinggal disearch saja," jawabnya.
"Gara-gara orangtuanya tak memberi jawaban apapun, pimpinan redaksi TV KITA yang bertanggung jawab atas seluruh operasional departemen pemberitaan memutuskan untuk mengakhiri kontrak LB secara sepihak. Tapi kabarnya, gara-gara tidak ada LB, rating TV kita jadi menurun. Hmm, LB, LB, di manakah kau berada?"
Agam mendengarkan dengan seksama penjelasan pengemudi tersebut.
Maaf .... Semua gara-gara aku.
Batin Agam bekecamuk.
"Ambil kembaliannya," ucap Agam saat sampai ke tempat tujuan.
"Wahh Pak, ini besar sekali."
"Apa masih kurang?" tanya Agam.
"Ti-tidak, Pak. Ini malah terlalu berlebihan," ia gugup. Masih memegang uang tersebut dengan tangan gemetar.
Agam berlalu saat mobil taksi itu masih terparkir di depan rumahnya.
Bu Nadi terkejut melihat putranya datang tiba-tiba.
"Agam?! Kamu kenapa pulang?! Bukankah jadwal kamu pulang 3 hari lagi?" sambil memeriksa bekas luka jahitan di perut putranya.
"Aku sudah sembuh, Bu."
"Ya sudah, kamu langsung tiduran di kamar ya."
"Tidak Bu, aku harus pergi ke suatu tempat saat ini juga." Dia berjalan cepat menuju kamarnya.
"Agam!" teriak Ibu.
Agam membalikan badan.
"Memangnya HGC bisa menghidupkanmu kalau kamu mati?! Tuan Deanka kaya, tapi dia tidak bisa menjamin nyawamu, Gam." Kemarahan berkobar di mata Ibu.
"Ibu, ini bukan masalah HGC, ini masalahku," tegasnya.
"Kamu jangan berbohong, tuan Deanka pasti suruh-suruh kamu lagi, kan?! Agam, kamu bukan kacungnya dia, kamu berpendidikan tinggi, tolong batasi kepatuhanmu pada pria darah biru garis keras itu. Apa kamu sadar, tuan Deanka itu pembawa sial untuk kamu. Semakin kamu dekat dengan dia, orang-orang akan semakin yakin kalau diantara kalian ada sesuatu."
"Ibu, cukup! Sudah kubilang, apa yang akan aku lakukan saat ini tidak ada urusannya dengan HGC apalagi dengan tuan Deanka."
Agam bersikukuh, ia bersiap-siap. Mengganti bajunya, dan yang membuat Ibu kaget, Agam juga membawa pisau dan pistol.
"Nak, mau ke mana? Kenapa membawa barang-barang itu?"
"Ibu, aku membawanya untuk menjaga diri, bukan untuk menyakiti siapapun."
"Kalau kamu masih sayang sama Ibu, tolong jangan pergi." Menghalangi Agam.
"Begini saja, Bu. Kalau aku bilang aku akan membawa calon istriku ke rumah ini, apa Ibu mengizinkan aku pergi?"
"A-apa?! Calon istri? Apa Ibu tak salah dengar?"
"Makanya Ibu restui aku pergi. Nanti Ibu nilai sendiri aku berbohong atau tidak." Meraih tangan Ibu dan menciumnya.
"Ba-baiklah, Ibu sebenarnya tidak yakin, tapi ... yang Ibu tahu kamu tidak pernah berbohong."
"Terima kasih, Bu." Ia memeluk Ibunya.
"Shalat dulu, Nak. Sebentar lagi Magrib."
"Ya, Bu." Jawabnya singkat.
***
Mobil sport itu melaju dengan kecepatan di atas rata-rata, pengguna jalan yang berpapasan pasti meliriknya.
Lampu jalan raya tampak mengerlip, menghiasi pemandangan kota di malam hari, bersinergi dengan kemegahan dan glamornya gedung pencakar langit yang berdiri kokoh menunjukkan pesonanya.
"Apa kamu baik-baik saja?" gumam Agam. Tatap matanya fokus pada jalanan.
Setelah ia mendapatkan informasi dari pengemudi taksi itu, ia semakin simpati pada Linda dan tentu saja semakin merasa bersalah. Menyesal? Pastinya.
Ia sudah menelepon Aiptu Joey untuk pertemuan malam ini. Aiptu Joey tenyata adalah teman sekelas Agam, saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Mereka bukan teman dekat, komunikasi mereka kembali terjalin karena Aiptu Joey mendapat perintah dari pimpinan untuk mengintrogasi Agam.
"Saya sudah berada di depan kantor, apa yang harus saya lakukan?" tanya Agam.
"Pak Agam masuk saja, temui bagian informasi dan katakan ingin bertemu dengan saya." Suara Aiptu Joey di ujung telepon.
"Baik." Agam menutup panggilan.
"Itu Agam Ben Buana, kan?"
"Sekretaris HGC?"
"Emm, yang foto bu*ilnya tersebar?"
"Foto rekaya guys, bukan foto dia, tapi diedit sama profesional, jadinya ya kaya real."
"Ya sih, tapi kan masyarakat awam tahunya itu asli."
"Kasihan ya dia, padahal lihat deh, ganteng ya?"
"Ssstt, jangan keras-keras."
Seperti itulah obrolan beberapa petugas saat mereka melihat Agam berada di kantor mereka dan berjalan tanpa ekspresi menuju meja Aiptu Joey yang letaknya di pojokan.
"Pak Joey," sapanya.
"Pak Agam, panggil saja saya Joey."
"Kamu lebih tua satu tahun dari saya, kamu juga aparat. Jadi, saat aku memanggilmu bapak, harusnya tak masalah," tegasnya.
"Aparat? Hahaha, hati-hati silap lidah jadi keparat," kata Aiptu Joey.
"Jangan banyak cakap, saya tidak nyaman di sini, teman-temanmu memperhatikan saya," keluhnya.
"Baik, tapi kita ke ruang pimpinan dulu ya. Pimpinan ingin bertemu dengan Anda." Aiptu Joey beranjak setelah merapikan berkas di mejanya.
"Tidak bisakah saya bertemu dengan LB dulu? Setelah bertemu dia, baru bertemu pimpinan."
"Baiklah, mari saya antar ke selnya."
Mereka berjalan di koridor.
"Sel? Saya sudah bilang agar dia dipindahakan ke sel khusus VVIP, kan?" langkahnya terhenti.
"LB menolak Pak. Katanya dia tidak butuh belas kasih Pak Agam."
"Apa?! Dia bilang seperti itu?!" terkejut, tangannya mengepal kuat.
"Betul, saya tidak mengada-ada, ada rekamannya."
"Dasar keras kepala," guman Agam.
"Itu ruangannya," kata Aiptu Joey, ruangan itu hanya berjarak 3 meter dari mereka berdiri saat ini.
Saat itu juga jantung Agam tak bisa diajak damai. Sesaat lagi ia akan bertemu dengan wanita yang telah membuatnya sadar jika jatuh cinta itu rasanya luar biasa.
❤❤ Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 236 Episodes
Comments
Dar Yanti
noVel yg luar biasa,beda dari yg laen
2021-12-07
2
adiffa kayla
jangan jangan sopir taksi itu adiknya pak polisi yg menaruh narkoba di kamar deanka,,,,ngira2 aja sih
2021-03-30
1
azzahra
cinta bertepuk sblah tangan.kasihan nya pa agam
2021-03-30
1