I Love You, Om
Suatu siang sendu, seakan langit ikut berduka. Tidak seperti biasanya, matahari siang kali ini berselimut mendung, mendukung hati yang kian pundung. Di sebuah ruang tamu, tengah duduk bertiga, Haruka, bibinya yaitu Aiko dan pamannya yaitu Hideyoshi.
“Mulai sekarang kamu akan tinggal di sini. Ingat ya Haruka, kita adalah keluarga, jadi kamu tidak perlu merasa sungkan di sini,” ucap Hideyoshi kepada Haruka.
Haruka menatap lantai, kepala dan bahunya merunduk sebagai pertanda hormat kepada pasangan suami-istri itu.
“Di sini tidak ada aturan yang ketat, entah itu jam malam atau membawa teman masuk, silahkan saja. Bibi tahu kamu sudah cukup dewasa untuk menjaga sikapmu dengan baik,” ujar Bibi Aiko menimpali.
“Saya sangat berterima kasih kepada Bibi dan Paman yang sudah menerima saya di rumah ini. Gomenasai, bila kehadiran saya di sini nantinya akan membebani Paman dan Bibi,” ujar Haruka yang juga masih merunduk sebagai tanda menghormati.
“Ayolah, mana mungkin seperti itu. Kamu sudah kami anggap sebagai anak sendiri. Sekali lagi jangan pernah sungkan kepada kami,” ujar Paman Hideyoshi yang mendekat dan menepuk pundak Haruka.
Bibi Aiko memandangi mereka dengan sedikit kerutan di mata tanda ketidaksukaannya terhadap apa yang ada di hadapannya.
**
Hari ini adalah pertama kalinya Haruka tinggal sebagai penghuni di rumah itu. Haruka tidak bisa menafikan perasaan takutnya kepada bibinya yang ia kenal sebagai sosok yang angkuh.
Namun, Haruka selalu mencoba ber-positive thingking kepada bibinya itu. Hal itu sebagai upaya Haruka membalas budi karena Aiko sudah menerima dirinya tinggal di rumahnya.
Perasaan Haruka masih dirundung kesedihan karena kepergian ibunya dua hari yang lalu. Sejak saat itu hingga kini Haruka masih belum masuk sekolah, sebab masih dalam kondisi berduka.
Air mata Haruka kini telah terhenti menetes, namun kedua kantung matanya masih menggelayut, menandakan dalamnya duka yang membekas lama.
**
Suatu ketika Haruka sedang membenahi barang-barangnya yang masih terbungkus di kamar tidurnya yang baru. Kardus-kardus masih bergeletakan di sana-sini. Kemudian, aktivitas yang tercampur lamunan itu tersentak oleh ketukan pintu di kamar Haruka yang terbuka.
“Haruka...” panggil lelaki berusia 27 tahun, yaitu Paman Hideyoshi, dari sisi pintu itu dengan senyuman yang hangat sekali.
“Oh, Paman Hideyoshi. Gomena, di sini masih sangat berantakan,” ucap Haruka yang tengah duduk terkurung di antara kotak-kotak kardus dan barang-barangnya.
“Tidak apa-apa. Haruka, coba tebak, Paman datang membawakan kamu apa?” ucap Paman Hideyoshi masuk sambil menyembunyikan kedua tangannya di balik punggungnya.
Paman Hideyoshi masuk dengan jalan merendah, sedikit membungkukkan tubuhnya, kemudian duduk di hadapan Haruka.
Haruka mendelik ke belakang punggung Paman Hideyoshi, mencari tahu apa yang ada di sana. Berulang kali Haruka mendongak ke kanan dan ke kiri tubuh Paman Hideyoshi, namun berulang kali juga Paman Hideyoshi memutar tubuhnya, berusaha menutupinya.
“Ih, Paman! Jangan aneh-aneh deh!” ucap Haruka kesal dengan nada yang manja.
“Taadaa...” ucap Paman Hideyoshi memberikan roti lapis isi selai strawberi kepada Haruka.
“Waah..Arigato, Paman. Paman selalu tahu kesukaanku,” sambut Haruka dengan senang.
Sebelum Haruka memakan roti itu, terlebih dahulu ia memisahkan pinggiran roti dan menyisihkannya.
“Kamu, selalu melakukan kebiasaanmu itu,” ujar Paman Hideyoshi sambil tersenyum memperhatikan Haruka.
“Boleh ya, Paman? Ini untuk Dori dan teman-temannya” jelas Haruka kepada Paman Hideyoshi.
Dori adalah seekor burung gereja yang begitu jinak dengan Haruka. Haruka bertemu dengannya ketika ia duduk-duduk di taman kota. Ia selalu memberi remahan pinggiran roti untuk sekumpulan burung gereja di sana, termasuk untuk Dori.
Melihat Haruka yang mencoba untuk ceria namun wajahnya tidak bisa menyembunyikan kesedihan itu, Paman Hideyoshi pun merasa iba kepada Haruka. Awalnya ia mengusap kepala Haruka dan mendekatkannya ke dadanya. Napas Haruka menjadi tak beraturan, sesengukan. Haruka menutup mulutnya dengan tangannya, menahan tangis yang kembali tumpah.
“Sudah.. sudah.. ada Paman dan Bibi di sini. Kamu tidak usah sedih terus,” ucap Paman Hideyoshi menenangkan Haruka.
Di saat seperti itu rupanya tiga orang teman Haruka dan seorang guru dari SMA Kyoto datang. Mereka sudah sampai di depan kamar Haruka dan melihat Haruka sedang bersama Paman Hideyoshi.
Para tamu itu merasa kikuk melihatnya, lalu saat mereka hendak membalikkan tubuh mereka, Paman Hideyoshi pun memanggil mereka.
“Kalian sudah datang?” ucap Paman Hideyoshi yang dengan cepat melepaskan dekapannya kepada Haruka.
Haruka lalu mengusap kedua matanya.
“Teman-teman, Bu Veronica?” ujar Haruka senang melihat kehadiran mereka.
“Iya, paman Haruka mengabari Ibu jadi kami datang ke sini,” jawab Veronica, wanita berperawakan besar dengan senyumannya yang khas dan selalu tidak kehilangan kehangatannya. Ia adalah guru kesenian Haruka.
“Mari sini, kita ke ruangan depan saja. Di sana ruangannya lebih lega,” ucap Paman Hideyoshi.
“Iya, di sini berantakan sekali,” ucap Haruka menimpali.
Mereka pun sama-sama berjalan ke ruang tengah. Sakura, sahabat Haruka yang paling akrab, menyambutnya sambil merangkulnya. Mereka pun berjalan beriringan.
“Ih, kamu abis makan ya? Lihat mulutmu sampai belepotan gitu,” goda Sakura sambil menyeka tepi bibir Haruka dengan titik-titik noda merah, selai strawberi.
“Hah? Iya ya? Aduh, memalukan sekali. Gigi, gimana gigi? Ada yang nyelip ga?” ucap Haruka sambil menyeringai lebar kepada Sakura.
Haruka dan Sakura pun berbisik-bisik kemudian tertawa bersama pelan-pelan.
Kehadiran teman-teman dan guru Haruka yang mencoba menghibur Haruka membuat ia bisa merekahkan senyum. Cerita-cerita seru dan lucu yang dikatakan oleh teman-teman membuat suasana begitu hangat. Tak lama kemudian, terdengar gelak canda tawa di ruangan itu.
“Betapa beruntungnya aku dikelilingi orang-orang yang peduli kepadaku. Mereka terasa begitu menyayangiku. Ma, Haruka janji ga akan terus-terusan nangis, karena Mama pasti ga suka kalau Haruka menangis terus. Ini keluarga Haruka, Mama bisa tenang meninggalkan Haruka di tengah-tengah orang-orang ini,” batin Haruka.
Sementara dari dapur, Bibi Aiko bolak-balik dengan ekspresi yang kesal.
“Ih, rempong amat sih. Aku jadi harus menyiapkan ini itu, mana ramai sekali. Aslinya kan Aku ngantuk banget,” keluh Bibi Aiko membatin.
“Gula abis, ini yang terakhir! Yare yare, males amat Aku ngurusin tetekbengek perdapuran kaya gini,” batin Bibi Aiko.
Bibi Aiko berdiri menghadap cermin yang hendak ia lewati. Ia memandangi bayangan dirinya yang sedang kesal, kemudian tiba-tiba ia meregangkan dahinya yang semula berkerut.
“Ga usah kesal-kesal Aiko. Ga lama lagi kamu bakal dapet pembantu gratis,” batin Bibi Aiko sambil tersenyum licik.
**
Hari pun berganti. Kini sudah pukul 6 pagi lewat beberapa menit.
“Bau apa, ini? Hiis!” ujar bibi Aiko yang baru bangun.
Bibi Aiko pun berjalan ke sumber aroma yang membangunkannya itu. Ia mendapati Haruka sedang masak di dapur.
“Aduh, bau apaan sih ini Haruka?” ucap Bibi Aiko sambil mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan wajahnya.
“Eh, selamat pagi Bibi,” ucap Haruka membungkukkan tubuhnya.
“Haruka masak omelet, Bi. Itu yang lainnya sudah ada juga di meja, ada mie udon, ada nasi, baru aja matang. Bibi mau aku ambilkan?” tanya Haruka begitu antusias menawarinya sarapan.
“Aduh, Haruka! Kenapa kamu ga nanya dulu sih. Di sini biasanya kalau pagi sarapan roti, bukan masakan yang bikin bau-bau gini, bau telur, bau bawang. Yare yare! Aagh!” ketus Bibi Aiko.
“I-iya Bi. Gomenasai Bi. Besok Haruka akan siapkan roti aja untuk sarapan,”
ucap Haruka dengan wajah menyesal yang sedikit berlebihan.
“Nande suka? Kenapa ribut pagi-pagi?” tanya Paman Hideyoshi sambil menggaruk-garuk kepalanya. Penampilannya begitu berantakan, sangat berbeda dengan penampilan biasanya. Penampilan pria kece yang baru saja bangun tidur.
“Asik, sarapan! Udah lama Paman tidak makan masakan rumah pagi-pagi begini,” ucap Paman Hideyoshi dengan mata yang tiba-tiba terbelalak. Lantai ia pun langsung duduk di depan meja makan dan menuangi mangkuknya dengan masakan Haruka. Kemudian, ia menyeruput sedikit kuah yang ada di hadapannya.
Haruka berwajah kikuk. Sesaat ia hendak mengambilkan Bibi Aiko sarapan, namun sesaat kemudian ia menarik kembali tangannya sembari memperhatikan wajah kesal Bibi Aiko.
“Sayang. Kok kamu berdiri di situ aja? Sini, kita makan bareng. Memangnya kamu tidak lapar apa?” ucap Paman Hideyoshi kepada Bibi Aiko.
Bibi Aiko menahan diri. Ia gengsi untuk ikut bergabung, karena ia sudah terlanjur kesal dan marah-marah tadi.
“Alaah, tidak usah deh. Saya buru-buru, ada urusan pagi ini,” alibi Bibi Aiko.
“Sayang, tapi ini masih pagi banget loh?” ucap Paman Hideyoshi heran.
“Ada yang harus saya kerjakan dulu pagi ini. Klien minta meeting di awal waktu,” teriak Bibi Aiko yang sudah beranjak pergi.
“Suwek banget! Sekarang kamu bisa lolos ya bocah sialan. Tunggu aja di kesempatan lain, Aku hajar kamu!” ucap Bibi Aiko bergumam.
“Haruka, kok diam aja gitu? Yuk makan. Masa Paman makan sendirian?” ucap Paman Hideyoshi.
“I-iya Paman,” ucap Haruka sambil mengambil mangkuk dan hendak menuangi sarapannya.
“Udah. Omelan-omelan bibimu itu tidak usah dimasukkan ke hati. Dia pasti sebenarnya ingin makan juga, tapi gengsi,” ucap Paman Hideyoshi.
“Bibi Aiko bilang bibi tidak suka sama aroma telur dan bawang. Bodoh banget ya aku, Paman, pagi-pagi malah bikin bau macam-macam. Harusnya Haruka nanya dulu, jadi Haruka bisa nyiapin roti kaya sarapan-sarapan Paman dan Bibi biasanya,” ucap Haruka yang kemudian duduk di hadapan Paman Hideyoshi.
“Tidak gitu. Kami sarapan roti itu karena kami tidak pernah sempat masak-masak begini kalau pagi. Aslinya kalau dimasakin malah kami yang beruntung banget,” jelas Paman Hideyoshi.
“Tapi bibi sebenarnya bisa masak kan Paman?” tanya Haruka.
“Dulu. Dulu bibimu itu jago masak makanan eropa. Dulu, sebelum karirnya setinggi sekarang, memasak adalah kegiatan kesukaannya,” jelas Paman Hideyoshi.
“Oo, gitu,” ucap Haruka.
Paman Hideyoshi pun menyantap masakan Haruka dengan sangat lahap.
“Paman doyan apa lapar, Paman?” tanya Haruka sambil tertawa kecil memperhatikan Paman Hideyoshi makan.
Paman Hideyoshi hanya bergumam dengan makanan yang memenuhi mulutnya sambil mengangkat jempol dan menganggukkan kepalanya.
Melihat itu, Haruka tertawa geli. Di satu sisi, Paman Hideyoshi terlihat dingin seakan menjaga wibawanya. Namun, di sisi lain ia merupakan sosok yang selalu bertingkah konyol, seperti anak-anak.
Awal pagi Haruka yang nyaris menyeramkan. Kini suasana berganti sebaliknya. Ada sosok orang yang menyenangkan di dekatnya. Sejak dulu, Paman Hideyoshi memang sangat dekat dengan Haruka. Terkadang ia seperti kakak yang menjahili adiknya, terkadang seperti sebaya dengan Haruka, kadang ia seperti ayah bagi Haruka.
“Pagi ini kamu sudah mulai masuk sekolah kan?” tanya Paman Hideyoshi.
“Iya, Paman. Yare yare, tidak bisa dibayangkan deh, sebejibun apa PR Haruka di sekolah. Semakin lama aku tidak masuk sekolah, semakin bahaya. Bisa-bisa aku tidak bisa mengejar ketertinggalanku,” keluh Haruka.
“Paman yakin, kamu siswa yang jago. Jago mata pelajaran, jago lobi-lobi guru, asal jangan jago nyolong aja. Hahaha..” ucap Paman Hideyoshi.
Haruka menepuk lengan Paman Hideyoshi, namun masih menyisakan senyum riang di pipinya. Mereka pun melanjutkan aktivitas sarapan mereka.
“Wah, kalau gini terus nanti Paman bisa endut nih,” goda Paman Hideyoshi.
Mereka pun bercengkerama ria berdua di ruangan itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Siti Lamu
aku mampir..
2022-01-15
0
ᗰIՏՏ ᘜᗩᑭTᗴK ᵖⁱⁿⁿ
siap author, semangat perbaikan🤭🤭🤭
2021-10-12
1
♍₱Ø₱🐝@ℼⅈ🙆ᴺᶠᴹ 🌟 ꙰꙰࿐
semangat kakak bikin novelnya
jangan lupa mampir kenapa aku ke novel aku
2021-05-07
0