Setelah menyelesaikan tugas kantor, Shofia langsung menemui sahabatnya, Karin. Ada kebahagiaan sendiri saat bertemu sahabat karibnya. Mereka bertemu di Cafe dekat kantor Karin.
“Kamu sangat jauh berbeda, lebih cantik dan sexi.” Ujar Shofia memuji Karin.
“Alhamdulillah semua berkat kamu, yang mengajarkan aku menjadi wanita cantik dan banyak dilirik laki-laki, hahaha.” Terdengar tawa lepas diantara mereka.
“Kamu memang penurut. Padahal dulu kamu hitam, dan gendut.”
“Justru sekarang aku lihat kamu berubah, kenapa penampilan kamu sudah seperti ini. Tidak berdandan lagi seperti sebelum menikah."
“Aku baru saja bekerja, setelah hampir tujuh tahun menikah. Dan untuk berdandan aku cukup pakai lipstik saja.” Jawab Shofia, terlihat santai.
“Tapi kamu sangat berbeda dari yang dulu. Kamu sekarang kurus.”
“Nasib tidak bisa di tebak. Meski terkadang kita terlihat bahagia dan banyak harta, tapi semua itu hanya yang melihat yang menilai baik. Jauh di dalam rumah tangga itu sendiri kita seperti berperang melawan sakit hati demi sebuah kebahagiaan.” Ada air mata yang mengalir, membuat Karin memeluk Shofia.
“Ada masalah apa sebenarnya di dalam rumah tangga kamu?”
“Masalah hati, masalah kepercayaan, masalah kejujuran, masalah kasih sayang. Suamiku terus menyakiti aku dengan kata-kata yang kasar. Dia mengatakan jika aku boros dan suka foya-foya, dan dia tidak pernah jujur telah membagikan hakku dengan ibu mertuaku. Gaji yang dia terima tidak pernah utuh di berikan kepadaku. Aku hanya mendapatkan seperempat saja dari gaji Mas Hanif, bahkan kurang dari seperempat. Aku tidak tahu apakah dia jujur atau tidak, dia mengatakan jika uangnya dititipkan kepada ibu mertuaku, tanpa tahu jika aku kekurangan uang belanja. Sampai-sampai anakku, tidak pernah membeli mainan dan jarang jajan diluar. Jangan tanya kenapa aku kurus dan kenapa aku tidak berdandan. Saat ini aku masih baru bekerja, demi putriku dan masa depan kita.” Jelas Shofia dengan uraian air mata.
Shofia tidak tahan lagi bercerita, terlalu sakit saat diceritakan. Dan Karin tidak kuasa mendengar cerita Shofia. Sahabatnya yang luar biasa pintar dan selalu berprestasi itu, kini seperti wanita bodoh yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Kini terlihat jelas diwajah Shofia, penuh kesedihan, Karin bangga kepada Shofia, karena mampu menghadapi masa sulit dirumah tangganya. Bahkan rela hidup serba kekurangan, padahal gaji suaminya sangat besar, bagi masyarakat yang hidup di lingkungan menengah kebawah.
Semua yang dilakukan Shofia semata-mata ingin memperjuangkan rumah tangganya demi buah hati tercinta. Dan, demi cinta Shofia yang begitu besar kepada Hanif. Tapi, Hanif sudah terlihat bosan dan lelah untuk berjuang.
Tidak berpikir bagaimana jika terjadi perceraian, dan siapa yang paling terluka, saat keluarga 8hancur. Dia putri kecil yang tidak berdosa, Naina. Mungkin tidak terlihat luka di badannya, tapi Naina akan terluka pikirannya.
Itu yang membuat Shofia takut berpisah dari Hanif. Selama Hanif tidak terlihat selingkuh, Shofia akan berusaha sabar, dan siap bekerja keras demi keluarga. Shofia juga rela bekerja membantu Hanif, asal Hanif bersikap baik dan mencintai Shofia seperti dulu.
“Aku bangga sama kamu, Shofia. Kamu wanita hebat, meski suami kamu seperti itu tapi kamu tetap bertahan demi sebuah cinta dan keutuhan keluarga. Aku hanya pesan, kamu jangan bertahan jika Hanif masih terus seperti itu. Karena bagi aku, laki-laki seperti Hanif itu, tidak pantas menjadi kepala rumah tangga di dalam kehidupan kamu.”
“Aku hanya bisa pasrah, berdoa, semoga tuhan masih memihak kepadaku. Aku akan perjuangkan, biar Mas Hanif kembali baik seperti dulu.” Ujar Shofia sedih, masih diiringi air matanya.
“Amiin, semoga apa yang kamu harapkan menjadi kenyataan, dan keluargamu menjadi keluarga yang bahagia, harmonis, selamanya. Tapi, suami kamu tidak selingkuh kan?”
“Kamu ada-ada saja, gak mungkin Mas Hanif selingkuh. Dia itu hanya tidak jujur saja,”
“Tapi, aneh. Karena, kebiasaan seorang laki-laki, jika tidak jujur masalah keuangan pasti dia selingkuh.” Ujar Karin meyakinkan Shofia.
“Mas Hanif sangat takut sama Ibu mertuaku, dia tidak mungkin selingkuh.”
“Kalau menurut aku, kamu temui ibu mertua kamu. Tanyakan baik-baik masalah uang suami kamu, siapa tahu Hanif bohong Masalah uang yang dititipkan.”
Shofia diam, dia mencerna semua yang dibicarakan Karin, dan sedikit masuk akal. Shofia memegang tangan Karin.
“Terimakasih, kamu sudah memberikan aku semangat. Dan memberikan aku dorongan, untuk tetap berjuang. Aku akan mulai menyelidiki suamiku. Aku akan menemui mertuaku besok. Aku ingin lebih jelas permasalahan hak keluargaku.”
“Aku suka pemikiran kamu yang cepat tanggap, itu baru namanya Shofia yang aku kenal.”
“Itu karena kamu,"
“Bagaimana kalau kita bahas masalah lain saja?” ujar Karin.
“Setuju, biar kita tidak larut dalam kesedihan. Kapan kamu datang kejakarta? Dan kerja dimana sekarang?”
“Aku, kuliah di Bali, setelah itu mengurus bisnis perhotelan disana. Aku kesini mengantarkan laporan penting. Karena pemilik tempat kamu kerja, adalah Bos Papa, dan Bos aku juga.”
“Kalau boleh tahu siapa nama Papa kamu? Siapa tahu aku kenal.”
“Bapak Aris, dia tangan kanan Bapak Fakhri yang di Cabang.”
“Bentar, aku pikir Papa kamu meninggal. Karena Tante Mely bilang udah gak ada.” Shofia masih heran. Karena, selama berteman dengan Karin belum pernah melihat Papa nya.
“Mereka bercerai, sejak aku kecil. Tapi, saat aku kuliah Papa rujuk lagi, sampai saat ini.” Jelas Karin.
“Emmm. Syukurlah,”
“Nanti mampir kerumah ya, kita bertemu Papa dan Mama. Pasti Mama senang bertemu kamu.”
“Besok saja. Aku harus cepat pulang. Karena takut Mas Hanif pulang.”
“Aku tunggu. Baiklah kita pulang sekarang, Aku tidak mau kamu disalahkan karena pulang malam.”
“Terimakasih untuk hari ini,” Ujar Shofia terlihat bahagia dengan pertemuan itu.
“Sama-sama.” Jawab Karin memeluk Shofia.
“Hati-hati dijalan,”
“Kamu juga,”
Mereka akhirnya pulang kerumah masing-masing. Shofia sangat bahagia, bebannya sedikit berkurang, dan kesedihan Shofia sedikit terobati. Kehadiran Karin, membuat Shofia lebih semangat menghadapi masalah yang terjadi didalam rumah tangganya.
Saat semua seperti menjauh, saat itu kita sangat terpuruk. Dan saat hidup sudah diambang kehancuran, saat itu kita butuh seseorang yang mampu menjadi tempat keluh kesah kita. Seorang sahabat yang tiba-tiba datang memberi semangat, dan memberikan motivasi yang baik kepada Shofia.
Tanpa sadar mobil Shofia sudah sampai di halaman rumahnya. Terlihat sepi dan lampu teras belum menyala. Shofia tahu jika Hanif belum datang. Setelah menghidupkan lampu teras, Shofia menuju rumah Ibu Naflah, menjemput Naina.
Saat berjumpa Naina, Shofia sangat bahagia. Tidak lupa Shofia membawa Pizza untuk Naina dan Ibu Naflah. Makanan yang tidak pernah dimakan Naina. Shofia bersyukur bisa membawakan Naina. Meski yang membelinya adalah Karin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
Tjitjik Juni Supriyati
ikut bahagia rasanya sofia bs ketemu lagi dgn sahabatnya yaitu karin. setidaknya ada teman buat curhat. semoga. 😘
2021-05-27
2
Zaky Badut Pekanbaru D'Kompenk
gk karena anak dah kenak tinggal luck hanif
2021-03-24
1