Pintu ruangan bernuansa krem itu terbuka, tampak seorang gadis berpiyama pink masih meringkuk dibawah selimut tebalnya. Semenjak musim penghujan, udara pagi hari di Jakarta hingga dua puluh lima derajat celsius.
Tak hanya itu, jalanan kerap kali banjir saat musim penghujan tiba. Ditambah kemacetan yang selalu memakan waktu untuk menunggu sampai ke tujuan.
"Sayang, bangun Nak. Bukannya hari ini kamu ada ujian semester?"
Hermelinda mengusap lembut rambut anal gadisnya yang sudah beranjak dewasa itu. Mega mengerjapkan kedua matanya. Hermelinda pun tersenyum.
Kalau boleh jujur, Hermelinda sangat merindukan saat-saat dimana dirinya berperan menjadi seorang ibu yang sesungguhnya. Membangunkan anaknya untuk berangkat ke sekolah, membuatkannya bekal sarapan dan makan siang, mengantar jemput Mega ke sekolah.
"Ibu," sapa Mega dengan suaranya yang masih terdengar parau.
"Yuk mandi! terus kemudian sarapan dan berangkat."
Mega membenarkan posisinya dari terbaring menjadi duduk.
"Ibu, hari ini di rumah, kan?"
Hermelinda menggeleng sambil tersenyum. Mega mengernyit, tatapannya seolah berkata 'kenapa?' kepada sang ibu.
"Hari ini, ibu dan ayah akan berangkat ke Belanda. Kami mau menemani nenek yang sedang sakit di sana."
"Sampai kapan?"
Hermelinda mengangkat kedua bahunya seraya menghela napasnya.
"Mungkin ... sampai nenekmu sembuh."
Mega tertegun sambil menundukkan kepalanya. Itu artinya dia hanya akan sendiri. Mega menarik napas dalam ... dan lagi-lagi ia harus bersabar.
Seperti itulah hidup yang sekarang Mega jalani. Usia remaja memang bukan lagi dimana kita terus dituntun dan dipapah hingga sampai pada tujuan yang kita inginkan. Melainkan, dimana kita belajar berdiri sendiri dengan kemampuan diri yang kita miliki.
"Iya, Bu ... " Mega tersenyum sambil menatap wajah ibunya. Diraupnya pipi chubby itu oleh sang ibu lalu diciumnya kening Mega cukup lama.
Mega memejamkan kedua matanya. Merasakan sebuah kasih sayang yang tulus dari ibunya. Walau sang ibu tidak pernah ada disaat kesendirianya, tapi Mega yakin kasih sayang ibu dan ayahnya selalu tercurah sepenuhnya untuk Mega. Walau dengan cara mereka sendiri.
"Ibu dan ayah jaga kesehatan ya ... Mega ... Mega mau minta maaf atas sikap Mega beberapa waktu yang lalu."
Hermelinda tersenyum getir. Tidak sepenuhnya salah Mega, tapi salah dirinya dan juga Adrian, suaminya. Pikir Hermelinda demikian.
"Tidak apa-apa, Nak. Kami paham ... lebih baik segera mandi dan sempatkan untuk sarapan sebelum berangkat ya. Ibu khawatir kalau kamu sampai sakit, Sayang."
Mega mengangguk seraya tersenyum. "Mega mandi dulu ya, Bu."
Hermelinda mengangguk dan kemudian Mega pergi ke kamar mandi. Sepuluh menit berlalu, Mega menyelesaikan mandinya. Iapun keluar dari dalam kamar mandi dan hendak menuju walk in closet.
Sebelum itu ia melihat sang ibu yang sejak tadi di kamarnya. Ternyata setelah ia lihat tidak ada, Mega segera memakai seragam sekolahnya.
Setelah memakai seragam dan sepatunya, seperti biasa ia memoles wajahnya dengan bedak tabur dan juga lipbalm. Mega menyambar tasnya yang ada di atas meja belajar lalu keluar dari kamar.
Mega berjalan menuruni anak tangga sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar lantai bawah mencari keberadaan kedua orangtuanya.
"Pagi, Non," sapa Asep, tukang kebun di rumah mewah itu.
"Pagi, Mang ... " Mega tersenyum. "Mang Asep lihat ibu sama ayah tidak?"
"Lihat, Non. Tuan sama Nyonya sudah berangkat baru saja. Katanya mau ke Bandara."
Mega menyurutkan senyumannya.
Mereka bahkan tidak bilang kalau mau berangkat sekarang?
Iapun pergi ke ruang makan. Di sana hanya ada Surti yang tengah membereskan piring kotor.
"Eh, Non Mega. Sarapan dulu ya. Tadi Nyo --"
"Iya, Bi. Aku sudah tahu kok," timpal Mega seraya duduk di kursi. Surti langsung terdiam kemudian pergi ke dapur untuk mencuci piring.
Sedangkan Mega menatap ke sekeliling ruang makan. Lalu membalikkan piringnya kemudian mengambil nasi dan lauk-pauknya.
Dari dapur, Surti membawakan segelas air putih dan juga susu hangat untuk Mega. Kemudian meletakkannya di samping piring yang sedang Mega gunakan.
Sepuluh menit berlalu, Mega telah menyelesaikan sarapannya.
"Bi, aku berangkat ya," pamit Mega setelah menghabiskan susunya.
"Iya, Non. Hati-hati dijalan ya."
Mega mengangguk seraya memakai tasnya kemudian pergi keluar rumah. Di depan teras, Madih telah menunggu Mega di dalam mobil. Setelah Mega masuk ke dalam, Madih pun melajukan mobilnya.
📎📎📎📎📎
Seorang laki-laki tengah duduk menghadap ke gerbang sekolah. Ia terlihat seperti sedang menunggu kedatangan seseorang.
Kemudian matanya langsung berbinar ketika melihat Mega turun dari sebuah mobil keluaran Eropa itu. Iapun seketika tersenyum menyeringai.
Ternyata selama ini aku baru tahu kalau Mega anak orang kaya. Buktinya dia bisa turun dari mobil mewah itu.
Tak banyak yang tahu, keluarga Mega adalah keluarga terpandang di kota ini. Ayahnya selalu menjadi tokoh utama dibalik layar di setiap event-event besar yang sering diadakan oleh Wali Kota.
Mega berjalan dengan santainya menuju sebuah koperasi yang ada di dekat parkiran motor. Ia berniat untuk membeli beberapa alat tulis yang ia pakai untuk ujian.
Sahrul bangkit dari duduknya kemudian menyusul Mega ke koperasi. Setibanya disana, Sahrul menyunggingkan senyum tipis saat melihat Mega sedang memilih alat tulis. Lalu tak sengaja ia melihat tumpukkan coklat di dalam raknya. Sahrul menghampiri coklat itu dan mengambilnya satu batang.
Kini Mega tengah berada di depan kasir hendak membayar alat tulis yang dibelinya itu.
"Jadi berapa, Bu?" tanya Mega pada wanita paruh baya yang menjaga kasir di koperasi tersebut.
"Jadi --"
"Bu, sekalian sama coklat ini ya," ucap Sahrul sambil menyodorkan coklat kepada penjaga koperasi itu lalu mengeluarkan dompetnya dari saku celana. "Biar gue yang bayar," sambungnya sambil mengalihkan pandangannya ke arah Mega yang berdiri di sampingnya. Wanita paruh baya itu tampak mengulum bibirnya karena menahan tawa dengan sikap Sahrul.
"Eh, Sahrul! tidak usah repot-repot!" Mega memekik. "Biar alat tulisku itu aku saja yang bayar," sambungnya menolak secara halus karena merasa tidak enak hati.
"Tidak apa, gue sengaja membelikan coklat ini buat lo. Lo sudah sarapan, kan? gue khawatir nanti lo pingsan lagi," timpal Sahrul dengan senyumannya yang menjadi moodboaster Mega pagi ini.
Mega merasa tidak enak karena menjadi sorotan di dalam koperasi itu, akhirnya iapun menerima coklat dan juga alat tulis yang dibelikan oleh Sahrul.
"Terima kasih banyak, Sahrul," ucap Mega dan Sahrul pun mengangguk.
"Jadi berapa Bu semuanya?" tanya Sahrul pada penjaga koperasi.
"Empat puluh ribu rupiah."
Sahrul membayarnya lalu memasukkan kembali dompetnya dan mengambil kantong plastik kecil berwarna putih itu dari atas meja.
"Ayok! mau gue antar ke kelas?" tanya Sahrul dengan sikap manisnya sambil menyodorkan kantong plastik itu kepada Mega.
Haduh, dilihatin anak-anak yang lain lagi!
"I-iya Sahrul," jawab Mega ragu-ragu lalu mengambil kantong plastik itu dari tangan Sahrul.
"Silahkan Tuan Putri," ucap Sahrul sambil membukakan pintu koperasi.
"Lebay banget deh Sahrul, emang siapa sih tuh cewek berani-beraninya menarik perhatian Sahrul!" gerutu salah satu siswi yang berdiri tak jauh dari Mega dan Sahrul.
Mega tidak memperdulikan ucapan siswi tadi, ia langsung berjalan keluar koperasi karena begitu malas mendengar para fans Sahrul.
"Sahrul kamu tidak usah bersikap berlebihan seperti tadi, aku merasa risih, maaf," ucap Mega hati-hati karena tak ingin melukai perasaan Sahrul.
Ya ... kalau bukan karena lo anak orang kaya gue sih ogah!
"Iya tidak apa-apa Mega, gue kan cuma menghormati lo sebagai wanita," sanggah Sahrul dengan nada santai sambil tersenyum palsu.
"Kalau begitu biar aku ke kelas sendiri saja ya, aku duluan Sahrul," pamit Mega lalu membalikkan tubuhnya dan Sahrul hanya terdiam sambil menghela napasnya saat Mega menolaknya.
"Mega, tunggu!" panggil Sahrul. Mega yang merasa dirinya di panggil pun langsung menghentikan langkahnya lalu menoleh.
"Iya, ada apa lagi Sahrul?" tanya Mega.
"Weekend ini ikut gue ke Dufan, yuk?" ajak Sahrul dan Mega terdiam sambil berpikir sejenak.
"Boleh," jawab Mega sambil menganggukkan kepalanya.
Yes, berhasil.
"Baiklah sampai bertemu nanti," ucap Sahrul kemudian membalikkan tubuhnya dan berlalu dari tempat Mega berdiri.
Mega mengernyit lalu terkekeh dan menggeleng pelan. Iapun langsung pergi menuju kelasnya.
📎📎📎📎📎
Waktu bergulir tak terasa begitu cepat. Ujian semester selama lima hari ini berjalan sangat lancar.
Selama ujian berlangsung pula Mega memilih memfokuskan pikirannya hanya untuk belajar, belajar dan belajar. Sesekali Hermelinda dan Adrian menghubunginya hanya untuk menanyakan kabarnya. Seperti malam ini, mereka melakukan video call seusai Mega makan malam.
"Ayah, Ibu ... besok teman Mega mengajak refreshing ke Dufan. Boleh ya Mega ikut?"
"Siapa temanmu? perempuan atau laki-laki?" tanya Adrian dengan wajah seriusnya. Mega tercekat mendapat tatapan tajam dari ayahnya.
"Co-cowok, Yah."
"Diantar pak Madih ya, Nak. Supaya kamu aman," sahut Hermelinda yang tampak khawatir.
Kalau menolak, ayah sama ibu pasti tidak akan mengizinkan.
"Iya Bu."
"Ya sudah, kamu istirahat ya. Kami juga nih sudah sore, Ayah dan Ibu mau mandi."
"Iya, bye Ayah, Ibu. Love you!"
"Love you too."
Panggilan video call pun berakhir. Ia melihat jam dinding yang terpasang di kamarnya telah pukul delapan malam. Perbedaan waktu Jakarta memang lebih cepat lima jam dari Belanda.
Mega merebahkan tubuhnya yang kemudian pergi ke alam mimpi.
📎📎📎📎📎
Pagi hari di kediaman Sahrul, kini ia telah siap untuk menjemput Mega. Sebelum itu, ia menghubungi Mega melalui WhatsApp untuk meminta share location rumahnya.
Setelah mendapat balasan dari Mega, ia memperhatikan peta yang dikirimkan oleh Mega.
Wah, ternyata rumahnya di kawasan perumahan elit. Ini sih lingkungannya orang-orang konglomerat.
Kemudian Sahrul melihat motor Ninja miliknya. Ia mengangkat sebelah alisnya.
Tidak terlalu buruklah kalau pakai motor ini.
Sahrul yang merasa cukup percaya diri, naik ke atas motornya, memakai helm full face kemudian berangkat.
Sementara itu di rumah Mega, dirinya sedang bernegosiasi dengan Madih.
"Pak, please ya ... aku sama Sahrul saja."
"Tidak bisa Non, maaf. Tuan sudah mewanti-wanti saya untuk menjaga Non Mega."
Mega menghela napasnya. "Ya sudah." Iapun kemudian masuk kembali ke dalam rumah dengan langkah gontai. Mega pergi ke kamarnya.
Sesampainya di kamar, ia duduk di tepi tempat tidur. Diraihnya ponsel yang ada di atas meja kecil itu lalu menyalakannya.
Kedua jempolnya dengan lincah mencari kontak Sahrul lalu menghubunginya.
Duh! Sahrul sudah dijalan sepertinya.
Hingga deringan terakhir, Sahrul pun menjawabnya. Mega menarik napasnya dalam-dalam.
"Hai, sudah di jalan ya?"
"Iya, ada apa Mega?"
"Sorry, sepertinya aku tidak bisa bareng kamu naik motor ... " ucap Mega dengan hati-hati.
"Lalu?"
"Kita ketemuan di Dufan saja ya."
"Baiklah."
"Bye, Sahrul."
"Bye."
Sambungan telepon pun terputus. Mega segera bersiap. Dengan hati yang bahagia, ia memakai pakaiannya seraya bersenandung lagu favorite-nya.
🎶Sampai kapan kan kau buktikan ... Tresno tulus yo mung kanggo awakku ... Sampai mati kan ku pastikan ... Mergo mung kowe sing tak tresnani tekane mati 🎶
Tak sampai lima menit, dirinya telah selesai dan siap untuk berangkat. Madih telah menunggu di depan teras rumah. Mega keluar dari kamar lalu sedikit berlari menuruni anak tangga.
"Bi, aku berangkat!" teriak Mega yang telah berada di ambang pintu masuk.
Mega masuk ke dalam mobil dan Madih pun melajukannya.
📎📎📎📎📎
Setelah setengah jam perjalanan Mega tempuh, kini ia telah sampai di Dufan. Mega turun dari mobilnya setelah sebelumnya Madih memarkirkan mobilnya terlebih dahulu. Kedua matanya langsung berbinar seolah ia baru keluar dari dalam sangkar emasnya.
Mega mencari keberadaan Sahrul di sana. Sedangkan Sahrul yang dari kejauhan melihat Mega telah sampai dan turun dari mobil mewahnya itu, Sahrul pun berjalan menghampirinya.
"Mega!" panggil Sahrul sambil melambaikan tangannya. Mega yang merasa di panggil namanya pun mencari ke sumber suara itu.
"Hei, Sahrul!"
"Pak, aku ke sana ya," pamit Mega sambil menunjuk ke arah Sahrul. Madih mengangguk sambil mengikutinya dari belakang.
Sahrul menatap heran saat melihat Madih berada berjalan sedikit jauh di belakang Mega.
"Hei, sudah lama ya? maaf," ucap Mega dengan nada yang sedikit manja.
"Tidak kok, yuk masuk. Oh iya, lo pegang ini," kata Sahrul sambil memberikan sebuah kartu yang bertuliskan PassDufan kepada Mega.
"Kamu punya dua ?" tanya Mega seketika Sahrul mengangguk.
"Satunya punya Bimo, soalnya dia tidak ada rencana ke sini lagi. Ya sudah akhirnya gue pinjam daripada tidak terpakai. Kan sayang sudah bayar mahal."
Mega mengangguk paham mendengar penuturan Sahrul. Kemudian Sahrul menarik tangan Mega untuk masuk ke dalam.
Sebenarnya Mega dan Madih juga telah punya kartu itu. Hanya saja, ia ingin menghargai Sahrul.
"Oh iya, daripada terlalu lama disin. Lebih baik masuk aja yuk ke dalam. Kita habiskan hari ini berdua!" ajak Sahrul dan Mega pun mengangguk cepat.
Keduanya pun saling tertawa, berteriak dan bercerita. Bagi Mega ini adalah hal terseru selama hidupnya setelah beberapa tahun terakhir ini tidak ia rasakan.
Walaupun ia memiliki harta yang melimpah dari kedua orangtuanya namun kebahagiaan seperti ini sulit sekali bahkan tidak pernah ia rasakan sejak ia menginjak masa remaja.
📎📎📎📎📎
Hari pun mulai sore, pihak Dufan pun telah memberi pengumuman kalau sebentar lagi akan tutup. Sahrul dan Mega pun langsung menuju ke parkiran.
"Lo senang tidak hari ini?" tanya Sahrul dan Mega mengangguk cepat.
"Senang sekali! Terima kasih ya, Sahrul," jawab Mega dengan senyuman tulus diwajahnya.
"Sama-sama," kata Sahrul tersenyum.
Kemudian keduanya terdiam. Tiba-tiba Sahrul meraih kedua tangan Mega dan posisi keduanya kini berhadapan.
"Mega, ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu."
"Apa itu?"
"Sejak lama gue jatuh hati sama lo dan lo satu-satunya cewek yang mampu menarik perhatian gue. Mengisi hari gue dan gue merasa kedekatan kita semakin kesini gue yakin kalau lo ada perasaan sama gue. Maka dari itu gue bisa ungkapin sekarang. Lo mau 'kan jadi pacar gue?" tutur Sahrul dengan raut wajah yang tampak serius.
Yaampun jantungku benar-benar tidak bisa dikondisikan! tenang Mega ... tenang ....
Mega yang memang merasakan hal yang sama. Merasa sangat bahagia. Namun, ia tidak langsung menerimanya. Mega ingin memastikan perasaan Sahrul terlebih dahulu.
"Apa kamu yakin dengan perasaanmu, Sahrul?" tanya Mega dengan hati-hati.
Sebenernya sih enggak! tapi demi acara ulang tahun besok. Semoga lo bisa bantu gue menang taruhan, Ga!
"Iya ... gue yakin Mega. Apa lo tidak melihat kejujuran dari kedua mata gue?" timpal Sahrul yang berusaha menyakinkan Mega.
Mega mulai menerka-nerka melalui tatapannya yang begitu lekat pada mata Sahrul. Mega menghela napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya angkat bicara.
"Iya ... aku mau jadi pacarmu, Sahrul," jawab Mega setelah mencoba percaya pada laki-laki yang kini ada di hadapannya.
Yes! semoga gue bisa mendapatkan uang itu!
Rona bahagia terpancar dari keduanya, kini Sahrul memberanikan diri untuk memeluk Mega.
Mega tersentak dan bingung saat Sahrul memeluknya. "Terima kasih, Mega! gue akan usahakan untuk buat lo bahagia," bisik Sahrul. Mega yang awalnya ragu, akhirnya membalas pelukan Sahrul.
"Sama-sama," kata Mega seraya tersenyum dalam pelukan Sahrul.
Semua orang berlalu lalang memperhatikan Mega dan Sahrul berpelukan di sana. Terlebih Madih yang diam-diam memotret Mega dan Sahrul untuk diberitahukan kepada Adrian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Lisa Aulia
wah. nggak bener nih Sahrul...ternyata ada mau nya...
2021-09-20
1
Rozh
😎
2021-08-09
0
👑Natasy👑
ihh sih sahrul jahat bngt
2021-05-28
0