Pesantren Al Amin

Mobil mulai memasuki gerbang pesantren, suasana pesantren yang akrab dengan mereka pun langsung terasa. Banyak satriwan dan satriwati yang berlalu lalang. Ada yang membawa kitab, membawa Al Qur’an, dan ada juga yang sedang menghafal dibawah pohon. Ternyata santri Kiyai Hamid cukup banyak juga. Area pondok pun tak bisa dibilang kecil, meski tak seluas  pesantren Abinya.

Kini mobil itu berhenti didepan rumah yang berada tak jauh dari masjid. Masjid besar yang terlihat sangat indah dan bersih. Sudah bisa dipastikan jika rumah ini adalah milik Kiyai Hamid. Benar saja saat Maher dan Arkana turun, tak berselang lama Kiyai Hamid dan Bu Nyai langsung menyambut mereka.

“Assalamualaikum Kiyai.” Sapa Maher menunduk lalu mencium punggung tangannya.

“Waalaikum salam warahmatullahi wa barakatu. Selamat datang dipesantren kami Gus.” Kiyai Hamid menyambut dengan sangat ramah.

“Terimakasih Kiyai, saya sangat tersanjung dengan penyambutan Kiyai Hamid beserta Bu Nyai Oh iya Pak Kiyai, ini adik saya Arkana.” Maher memperkenalkan Arkana.

“Assalamualaikum Kiyai.” Sambung Arkana juga mencium punggung tangannya.

“Waalaikum salam, mari… mari masuk Gus. Adam, Farid tolong bawakan tasnya kekamar dalem ya.” Pak Kiyai memberi perintah pada santrinya.

“Njeh Yai.” Jawab Adam penuh takdim. Kemudian Adam dan Farid lekas pergi membawa tas Maher dan Arkana. Sedangkan Maher dan Arkana sudah digiring masuk oleh Kiyai Hamid beserta istri.

“Bagaimana kabar Abi dan Ummimu? Sudah sangat lama kami tak berjumpa.” Kiyai Hamid memulai percakapan.

"Alhamdulillah baik dan sehat Kiyai. Tadi Abi juga menitipkan salam untuk Kiyai.” Jawab Maher menyampaikan pesan Abinya.

“Waalaikum salam. Mbah Yai juga sehat-sehat kan?” lanjut Kiyai Hamid.

“Beliau juga sehat dan masih segar bugar.” Maher kembali menjawab.

“Jangan cuma ngobrol saja, ayo monggo disambi minuman dan camilannya.” Sela bu Nyai mempersilahkan.

“Terimakasih Bu Nyai.” Kali ini Arkana yang menjawab. Kemudian mereka menyesap teh hangat yang sudah disuguhkan didepan mereka.

Sebenarnya Maher sangat tidak nyaman ketika Kiyai Hamid terus memanggilnya Gus. Entah mengapa terasa beda ketika panggilan itu disebutkan oleh orang-orang yang ada diarea pesantrennya. Maher ingin merasakan hidup seperti kebanyakan temannya. Dia tidak terlalu suka jika semua orang menunduk hormat padanya hanya karena gelar Gus yang disandangnya.

“Maaf Kiyai, boleh saya meminta satu hal?” tanya Maher sedikit ragu.

“Tentu saja, katakanlah.” Kiyai Hamid mengizinkan.

“Apa boleh jika selama saya disini, Pak Kiyai dan Bu Nyai menyembunyikan identitas asli saya. Maksud saya identitas sebagai Gus dan putra dari Kiyai Iqbal Ar rasyid.” Maher mengatakannya dengan sangat berhati-hati. Dia tidak ingin salah bicara dan menyinggung Kiyai Hamid dan istri.

“Kenapa Gus ingin menyembunyikan identitas itu? Bukankah akan lebih mudah menyandang gelar itu.” Tanya Kiyai Hamid mengerutkan dahinya bingung.

“Saya hanya tidak ingin disegani oleh teman-teman lainnya Kiyai. Selama dipesantren Al Amin ini, saya ingin menjalani hari-hari layaknya santri biasa. Belajar dan berbaur bersama santri lainnya.” Maher menjelaskan maksud hatinya.

“Bagaimana ya, saya tidak berani berlaku tidak sopan terhadap putra Kiyai besar seperti Kiyai Iqbal. Apalagi beliau adalah sahabat baik saya.” Kiyai Hamid terlihat berat mengabulkan permintaan Maher.

“Kiyai tak perlu khawatir, nanti biar Maher yang menjelaskan pada Abi.” Sahut Maher penuh harap.

“Tenang saja Kiyai, Abi Iqbal pasti akan memakluminya. Apalagi yang meminta adalah putranya sendiri.” Arkana menimpali membantu sang kakak.

“Baiklah kalau begitu. Tapi kalian akan tetap tinggal di kamar dalem. Kalian juga akan langsung ikut belajar dengan santri tinggkat atas, karena saya yakin kalian pasti sudah lulus Alfiyah kan. Jadi disini kalian tinggal melanjutkan saja memperlajari kitab-kitab.” Kiyai Hamid tak menyetujui semua permintaan Maher.

“Terimakasih Kiyai, begitu saja sudah cukup.” Jawab Maher tersenyum senang.

Setelah percakapan itu, Maher dan Arkana undur diri. Mereka meminta izin sejenak untuk melihat-lihat pesantren. Mereka juga mengatakan jika ingin keluar sebentar untuk mencari sesuatu diluar pesantren. Kiyai Hamid pun mengizinkan, tetapi mereka harus ditemani oleh Adam dan Farid. Kiyai Hamid sedikit cemas membiarkan mereka berjalan-jalan tanpa pendampingan. Selain tanggung jawab yang diembannya dari Iqbal, mereka juga belum begitu mengenal daerah sekita pesantren. Sehingga Kiyai Hamid meminta Adam dan Farid menemaninya dan menunjukkan jalan pada Maher dan Arkana.

Adam dan Farid menemani mereka kepasar tradisional tak jauh dari pesantren. Tadinya Adam dan Farid sedikit tak percaya ketika Arkana minta untuk diantar kesana. Tetapi mereka tidak berani menolak, yang bisa mereka lakukan hanyalah mengikuti semua keinginan Arkana.

“Gus….. eh maksudku kalian mau membeli apa dipasar?” tanya Farid masih sedikit sungkan.

“Santai saja Farid, kita ini teman jadi tak perlu setegang itu.” Arkana menepuk pundak Farid. Lalu Farid tersenyum sembari menggaruk tengkuknya.

“Kami ingin membeli sarung. Tadi kami hanya membawa beberapa sarung saja.” Sambung Maher menjawab pertanyaan Farid.

“Kalau hanya sarung sebenarnya dikoperasi pesantren juga ada. Tak perlu jauh-jauh kepasar.” Sahut Adam memberi informasi.

“Tidak apa lah sekalian jalan-jalan.” Lanjut Arkana tersenyum. Sebenarnya ini hanyalah alasan mereka saja. Tujuan sebenarnya mereka keluar adalah untuk melihat keadaan sekitar. Barang kali nasib baik menyertai mereka, dihari pertama mereka disini bisa lengsung bertemu dengan Alifa.

Namun sudah cukup lama mereka mengelilingi pasar itu harapan Maher dan Arkana tak tercapai. Akhirnya mereka memutuskan kembali ke pesanten setelah membeli dua potong sarung. Adam dan Farid saling menatap bingung. Sejak tadi mereka berkeliling dan kedua teman barunya itu hanya membeli dua potong sarung.

Dalam perjalanan pulang, tanpa sengaja Arkana menyenggol seorang gadis yang berpapasan dengannya. Alhasil belanjaan gadis tersebut jatuh berserakan. Dengan cepat Arkana meminta maaf dan membantu kedua gadis itu merapikan belanjaanya. Maher dan yang lainny pun turut membantu.

“Maaf ya Mbak saya gak sengaja.” Kata Arkana merasa bersalah.

“Aduh lain kali hati-hati dong kalau jalan. Jatuh semua kan belanjaan orang.” Gerutu sang gadis dengan kesalnya.

“Sudah Jihan tak perlu marah-marah, Masnya juga tidak sengaja kan.” Temannya mencoba menasehati dan meredam kekesalan Jihan.

“Saya kan sudah minta maaf, tak perlu marah-marah.” Sahut Arkana merasa kesal mendengar omelan Jihan.

“Situ yang salah kenapa situ yang marah.” Jihan berdiri menatap Arkana.

“Siapa yang marah, aku cuma mengatakan yang sebenarnya.” Arkana menjawabnya dengan tatapan tajam.

“Sudahlah Jihan semuanya sudah rapi kembali, sebaiknya kita cepat pulang.” Ajak temannya sembari menarik lembut lengan Jihan.

“Sabar Arka.” Maher ikut menenangkan sang adik.

“Untung saja sahabatku ini baik hati, jadi kali ini aku memaafkanmu. Lain kali jangan ulangi kecerobohan yang sama.” Jihan masih saja mengomeli Arkana.

“Maaf ya Mas-Mas, kami permisi dulu, terimakasih juga sudah membantu merapikan belanjaan kami. Assalamualaikum, ayo Jihan.” Temannya berinisiatif berpamitan. Kemudian dia lekas menarik Jihan untuk pergi dari sana. Arkana masih bersungut kesal setelah kepergian gadis yang menurutnya menyebalkan itu. Baru pertama bertemu saja sudah seenaknya memarahi orang.

“Mereka siapa, kalian kenal?” tanya Maher menatap Adam dan Farid.

“Yang berhijab namanya Farah dan yang tidak berhijab itu sahabatnya, Jihan. Farah bekerja di fotokopian tak jauh dari pesantren. Sedangkan Jihan kerap kali menemani sahabatnya itu saat bekerja. Sebenarnya mereka tinggal di desa sebelah.” Adam menjelaskan sesuai apa yang diketahuinya.

“Bekerja? Sepertinya mereka masih seumuran anak sekolah.” Maher tak faham.

“Jihan memang masih sekolah, kalau Farah dengar-dengar sih dia putus sekolah demi membantu mencari nafkah keluarganya.” Sambung Farid menjelaskan lebih detail. Maher mengangguk mengerti. Lalu sekilas dia menatap kedua gadis yang sudah pergi meninggalkan mereka. Namun disaat yang bersamaan, Farah pun tengah melihat kearah mereka. Kemudian Farah melemparkan senyum sebelum kembali memutar kepalanya.

“Kenapa Kak? Cantik ya yang namanya Farah?” goda Arkana ketika memergoki kakaknya sedang berbalas senyuman dengan Farah.

“Bicara sembarangan. Yang namanya wanita ya sudah pasti cantik. Sudah ayo kembali ke pesantren pasti Kiyai Hamid mencari kita sekarang.” Maher memukul lengan Arkana. Entah mengapa dia merasa malu mendengar Arkana menggodanya.

“Memang cantik kan dibandingkan temannya yang rese dan nyebelin itu.” Arkana kembali bersungut kesal saat

mengingat Jihan.

“Sudah jangan bahas mereka lagi.” Maher melanjutkan langkahnya. Ketiga temannya hanya menahan tawa melihat

ekspresi Maher.

“Fa rah……” Maher mengeja nama itu dalam hatinya sembari tersenyum. Entah mengapa nama itu terasa akrab dengan dirinya.

Sementara Farah pun merasakan hal yang aneh. Tanpa alasan yang jelas, hatinya memaksa dirinya utuk menengok kebelakang. Dia merasa penasaran dengan dua pria tampan yang ditemuinya tadi.  Farah merasa sangat akrab dengan mereka.  Bahkan nama mereka seolah pernah didengar olehnya. Tapi dia tidak ingat kapan dan dimana dia mendengar nama itu.

.

.

Bersambung.....

.

.

.

Mohon dukungannya ya, jangan pelit-pelit tinggalkan jejak, like, vote, komen dan hadian. Yang belum Rate, yuk Rate dulu. Terimakasih untuk dukungan dan semangatnya, terimakasih.

Terpopuler

Comments

Ucio

Ucio

semangat Thor.....Fara is Alifa

2021-03-27

3

Pujiastuti

Pujiastuti

jangan jangan sifarah tu alifa kok makin penasaran nie thor semangat ya thor upnya

2021-03-26

2

Ruby Talabiu

Ruby Talabiu

muda"han farah itu alifa thor smangat ya

2021-03-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!