Keesokan paginya, kedua pengantin baru itu belum juga keluar dari kamarnya. Basridal Chaniago, ayah Zulaikha sudah kelaparan. Karena biasanya sebelum fajar menyingsing, Zulaikha telah membuat sarapan pagi untuknya.
"Hei, kalian ... Aku tahu kalian menganggap dunia ini telah menjadi milik kalian berdua saja, tapi tolong ingat kalian masih punya Ayah disini. Apa kalian ingin aku mati, ya?" Basridal Chaniago sambil mengetuk pintu kamar mereka.
"Ah maaf ayah, aku lupa! tunggu sebentar, ya!" seru Zulaikha dari dalam kamar. "Uda ... Da ... O ... Uda!" seru Zulaikha membangunkan Bonar Siregar yang tertidur pulas.
"Ehmm, aku capek. Nanti saja bangunkan lagi!" seru Bonar Siregar menarik selimutnya kembali.
"Uda ... bangun Ayah sudah marah diluar!" bisik Zulaikha ditelinga suaminya itu sambil menarik selimutnya.
"Aduh ... pinggangku masih sakit, capek sekali!" seru Bonar Siregar berdiri dari ranjang dan mengenakan pakaiannya.
Kemudian kedua pengantin baru itu keluar dari kamarnya. Mereka melihat Basridal Chaniago menatap mereka dengan cemberut, karena cacing diperutnya sudah mulai berdendang ria akibat belum menerima asupan gizi.
"Ayah ... hehehe tunggu sebentar, ya!" seru Zulaikha bergegas ke dapur dengan rambut berantakan. Basridal Chaniago hanya geleng-geleng kepala melihatnya.
"Aduh ... kau ini masa tidak berkemas dulu!" seru Bonar Siregar menyadari penampilan istrinya itu bak nenek lampir versi cantik.
"Ops ...." Zulaikha menyadari penampilannya yang berantakan, "Tak apalah cuma ayah kok disini!" seru Zulaikha cengengesan.
"Cepat sana! Ada-ada saja kelakuan kalian ini," sahut Basridal Chaniago. "Kau masih libur tiga pekan, kan?" tanyanya pada Bonar Siregar yang duduk disebelahnya.
"Betul Ayah ..." jawabnya, kini ia memanggil Basridal Chaniago dengan panggilan ayah, bukan lagi Pak Idal seperti sebelum ia menikahi Zulaikha.
"Bagaimana kalau kau pulang ke Sipirok, sekalian bawa Zulaikha. Perkenalkan ia pada sanak saudaramu di sana. Dulu kau bilang masih ada tulangmu di sana, walaupun mereka dulu tak merawatmu dengan baik karena faktor ekonomi yang sulit, tapi mereka itu tetap jua adik ibumu juga. Mungkin sekalian saja kalian nanti mampir ke Padang Lawas jiarah ke makam orang tuamu, sekalian berkunjung ke sanak saudara dari bapakmu!" seru Basridal Chaniago. Karena sudah dua tahun ia merantau kemari belum lagi lima tahun di Padang Sidempuan. Bonar Siregar tak pernah memberi kabar pada sanak saudaranya di sana bahwa ia baik-baik saja.
"Betul juga ayah, mungkin besok kami akan berangkat ke sana."
Bonar Siregar tak pernah berpikir akan kembali lagi ke sana. Tanah kelahirannya, walaupun tak ada sanak saudara yang mau merawatnya dulu setelah kedua orangtuanya meninggal ditangan perampok.
"Ini silahkan menikmati goreng pisang buatan istri yang baik hati ini!" seru Zulaikha sambil menaruh sepiring goreng pisang buatannya diatas meja.
"Ondeh ... cuma ini saja, waktu kau masih lajang minimal ayah dikasih bubur kacang hijau. Ini malah menurun belum lagi kopinya tak ada!" seru Basridal Chaniago.
"Aduh Zulaikha lupa hahaha!" Ia kembali ke dapur.
"Rapikan dululah rambutmu itu! Apa tak malu sama ayah!" seru Bonar Siregar. Malah ia yang malu melihat tingkah istrinya itu.
"Bentar lagi mau mandipun, kenapa tak sekarang saja kita berangkat ke kampung Uda. Kalau lama-lama nanti Uda bisa dipecat dari Hulubalang," sahut Zulaikha dari dapur.
"Pas sekali itu, sekarang saja kalian pergi. Saya juga akan pulang kampung ke Payakumbuh dulu, sudah lama tak kesana," sahut Basridal Chaniago setuju dengan usulan anak gadisnya itu.
"Sekarangpun tak apa, aku kasih makan kuda dulu sebentar. Sekalian memandikannya!" seru Bonar Siregar pergi ke belakang rumah tempat kandang kudanya. "Ayah kau bawa satu merpatinya, kami juga bawa satu. Kalau ada apa-apa dijalan bisa langsung kasih kabar," teriak Bonar Siregar dari kandang kuda.
"Iya ..." sahut Basridal Chaniago, sambil menyeduh kopinya.
Setelah selesai beres-beres, Bonar Siregar dan Zulaikha berangkat dengan kudanya meninggalkan Perguruan Silat Harimau Rao. Mereka melewati pematang sawah dan sungai-sungai kecil. Banyak penduduk yang menyapa mereka, karena Bonar Siregar adalah Prajurit Hulubalang di Nagari Sumpur Setia sedangkan Zulaikha terkenal dengan kecantikannya seantero Nagari. Mereka dengan ramah membalas sapaan penduduk tersebut.
Setelah melewati perjalanan lumayan jauh, mereka kemudian memasuki kota Koto Tinggi, beberapa Prajurit Hulubalang yang berjaga di depan istana Goduang Gajah Morom menyapa mereka, tentu saja dengan ramah Bonar Siregar membalas sapaan mereka.
"Habis dari sini kita akan memasuki kawasan bukit dua belas, tempat Uda dulu bergulat dengan harimau!" seru Bonar Siregar memecahkan keheningan. Sedari tadi Zulaikha hanya diam saja diboncengnya.
"Oo," jawab Zulaikha singkat.
"Kau perhatikan sekitar kita ya, hutan ini berbahaya sekali. Walaupun kita tak bertemu binatang buas, tapi bisa saja ada tanah longsor atau pohon kayu yang tumbang. Lihat tuh jurangnya ngeri!" seru Bonar Siregar lagi. Ia sebenarnya ketakutan melewati jalan ini, mereka telah menunggu pengembara yang mau ke Mandailing di Koto Tinggi sekitar satu jam, namun tak ada yang lewat. Karena takut nanti kemalaman ia nekat menerobos sendiri.
"Uuu," jawab Zulaikha singkat juga.
"Kau tak apa sayang?" tanya Bonar Siregar curiga, soalnya pelukan Zulaikha makin erat.
"Aku takut ketinggian!" seru Zulaikha dengan suara bergetar.
"Pastaslah kau diam saja, tutup saja matamu. Jangan lihat kebawah, nanti setelah sampai lewat Bukit dua belas aku bilangin!" seru Bonar Siregar memacu kudanya.
"Masih jauh Uda ..." tanya Zulaikha, pelukannya makin erat saja.
"Aaaaaaaaaaa!" Bonar Siregar berteriak.
"Aaaaaaaaaa huhuuuuu!" Zulaikha ikut berteriak dan menangis kencang, ia mengira mereka jatuh kedasar jurang.
"Hahahaha!" Bonar Siregar tertawa terbahak-bahak, senang melihat istrinya ketakutan.
"Aku turun!" seru Zulaikha.
"Eh, kenapa?" tanya Bonar Siregar heran, sebab bahaya berjalan di tengah hutan begini.
"Aku turun!" bentak Zulaikha marah.
"Jangan gitu dong sayang, maafkan aku." Bonar Siregar membujuknya.
"Aku pulang saja!" seru Zulaikha berjalan kearah Koto Tinggi, kebalikan dari arah tujuan mereka.
"Yang ... maafin Uda dong ..." Ia membujuk Zulaikha, "masa sama suami begitu?" Bonar Siregar terus mencoba membujuknya, namun Zulaikha tak bergeming terus melangkah.
"Zulaikha sayang ..." goda Bonar sambil memegang tangannya, kau duduk didepan, ya. Biar kau tak takut lagi," bujuk Bonar Siregar sambil menebar senyum manis pada istrinya itu.
Zulaikha yang melihat ketulusan hatinya dan juga teringat bahwa banyak wanita diluaran sana yang ingin bersamanya. Akhirnya luluh, namun ia berpura-pura merajuk dan naik lebih dulu punggung kuda dan membuang muka kearah lain.
Bonar Siregar yang bingung kemudian ikut naik ke punggung kuda, ia kemudian mencubit pelan pipi Zulaikha. "Tambah manis kau merajuk!" serunya dan memacu kuda. Ia takut lama-lama di hutan ini, selain bahaya hewan buas juga para perampok yang sering mengintai pedagang yang lewat.
Silih berganti berbagai kampung mereka lewati dan matahari sudah mulai terbenam di ufuk barat. Bonar Siregar memutuskan untuk menginap di Panyabungan dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya.
*********************************************
Catatan: Uda : Abang
Nagari : Kadipaten
Tulang: Paman (adik atau Abang dari ibu)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Nur Tini
Bonar ada di cerita prince bonar virmillion. Sayamsudin di cerita istri orang rimba. Siregar dicerita ini. Kalo dilengkapi jadi bonar samsudin Siregar.
2022-09-05
0
Mawar Berduri💕
semangat
2021-06-01
1
triana 13
like
2021-05-18
0