Keesokan harinya, ketika ayam berkokok menjelang fajar menyingsing. Bonar Siregar sudah bangun pagi-pagi, disaat penghuni rumah masih tidur terlelap. Dia lansung menuju tempat latihan, menyapu dan mengepel lantai.
"Aku mendengar suara grasak-grusuk diluar," guman Zulaikha. Ia kemudian mengintip dari celah jendela. "Siapa itu? Dia mondar-mandir di tempat latihan," gumannya kemudian menuju pintu dapur, mengitari rumah dan merayap kearah pohon mangga dekat tempat latihan.
"Sepertinya ada yang bergerak disana? Apa halusinasiku saja ya," guman Bonar Siregar memandangi pohon mangga dekat tempat latihan itu.
"Siapa itu ya, mukanya tak kelihatan? Apa dari perguruan lain yang ingin mengacak-acak tempat ini?" guman Zulaikha bersembunyi dibalik pohon mangga itu.
"Apa itu kuntilanak ... atau Assasin yang ingin membunuh tuan guru?" guman Bonar Siregar. Dia kemudian mengambil buah mangga kecil yang jatuh dari pohon dan melemparkannya ke arah batang pohon mangga didekatnya itu.
"Auuuuuuuu!" Zulaikha kesakitan, karena keningnya kena lemparan Bonar Siregar.
"Siapa disana? Keluar!" seru Bonar Siregar sambil memasang kuda-kuda bertahan juga dengan gagang sapu ditangannya.
Zulaikha keluar dari balik batang pohon mangga dan menyerang Bonar Siregar. Dia termasuk murid berbakat di antara murid-murid Perguruan Silat Harimau Rao, cuma Alfian lah yang sanggup mengalahkannya dalam duel satu lawan satu.
"Dia maju ..." guman Bonar Siregar grogi, ini adalah pertarungan keduanya yang membuatnya gugup. Setelah dulu melawan harimau di bukit dua belas dalam duel hidup-mati. "Aaaaaaaa." Bonar Siregar melompat ke arah Zulaikha yang maju menyerangnya dengan memukul sapu itu padanya.
"Brookkkk." Sapu itu patah.
"Au, kena lagi aku. Ternyata dia membawa tongkat," guman Zulaikha mundur selangkah dan menyerang maju kembali.
"Ah, patah pula ..." guman Bonar Siregar melempar sisa patahan sapu itu pada Zulaikha.
"Akh ...." Keningnya kembali kena dan mundur beberapa langkah. "Sial mulu aku," guman Zulaikha memegang keningnya. "Sepertinya ia tak jago silat, aku murid terhebat kedua tak boleh kalah memalukan seperti ini," guman Zulaikha maju menyerang kembali.
Bonar Siregar melihat samar-samar gerakan lawannya tersebut dan ia menirukannya. Mereka terus seimbang hingga fajar mulai terbit dan Bonar Siregar melihat samar-samar, bahwa lawannya adalah wanita.
"Apa dia Zulaikha?" guman Bonar Siregar memperhatikan wajah wanita dihadapannya yang serius melawannya. " Ah, iya dia Zulaikha," guman Bonar Siregar tetap serius melawannya karena ingin melihat sejauh mana kemampuannya.
"Hebat juga," guman Zulaikha berusaha mencari celah kelemahan lawan. "Ah itu dia ... ia tak pernah melindungi bagian bawahnya," guman Zulaikha menendang bagian bawah tubuh Bonar Siregar.
"Aaaaaaaaaakkhhh." Bonar Siregar lansung terkapar, ia tertipu gerakan Zulaikha. Dia meninju bagian muka Bonar Siregar, ketika Bonar Siregar melakukan gerakan tangkisan atas. Namun ternyata itu hanya tipuan, Zulaikha kemudian merubah pola serangannya menjadi tendangan lurus pas kebagian bang joninya, hingga ia lansung jatuh terkapar.
"Ini untuk keningku yang kau buat terluka!" Zulaikha mendaratkan lututnya keperut Bonar Siregar.
"Tu-tu-tu-tung ... akhhhhhhhhhhh!" Bonar Siregar kembali mengerang kesakitan.
"Kayak kenal suara ini," guman Zulaikha dan ia memperhatikan wajah pemuda didepannya, karena cahaya matahari mulai muncul. "Eh ... Uda Bonar, ah, maaf, maaf aku tidak memperhatikan wajahmu karena serius bertarung," seru Zulaikha mencoba mendudukkan Bonar Siregar.
"Kau ini, padahal dari tadi aku sudah mengenali mukamu. Kukira kau tak serius, makanya ku lawan juga, sekalian belajar gerakan silat." Bonar menahan rasa sakit di perut dan bang Joninya.
"Hahaha habis sih lihat noh, kau merusak kecantikan ku!" Zulaikha memperlihatkan keningnya yang memerah yang kena lemparan sapu dan mangga oleh Bonar Siregar.
"Hahaha ternyata kau hebat juga Nak Bonar," seru Basridal Chaniago menghampiri mereka. "Hanya dengan sekali lihat bisa langsung meniru gerakan Zulaikha yang katanya, ingat ... katanya hebat itu hahaha." Basridal Chaniago mengejek putrinya itu.
"Berarti ayah sudah memperhatikan kami dari tadi, namun tak melerainya?" Zulaikha merajuk, sebab jika ayahnya itu sedari tadi melerai mereka, maka keningnya tak akan memerah begini. "Cih ... dasar kalian!" Zulaikha berdiri meninggalkan Bonar Siregar yang masih duduk memegangi perutnya.
"Kau mau kemana?" seru Bonar Siregar padanya, karena Basridal Chaniago juga ikut pergi meninggalkannya seorang diri.
"Memasak lah, mau kemana lagi!" jawab Zulaikha kecus meninggalkannya.
"Aaaaku bagai--" Belum selesai ia bicara, Zulaikha melambaikan tangannya sambil menjulurkan lidahnya mengejek Bonar Siregar yang duduk kaku memegangi perutnya yang sakit. "Yah, aku tiduran disini sajalah, sampai rasa sakitnya tak terasa lagi," guman Bonar membaringkan tubuhnya di tanah.
Setelah selesai memasak Zulaikha kembali memanggil Bonar Siregar yang tidur-tiduran di lapangan tempat latihan. Kini perutnya sudah membaik, walaupun masih terasa sedikit ngilu. Namun ia heran, kenapa belum ada murid perguruan yang datang hari ini.
"Ayo cepat kenapa kau bingung begitu?" seru Zulaikha heran.
"Kok belum ada yang datang ya, biasa sudah ada berkumpul disini," jawab Bonar Siregar sambil menghampirinya.
"Sekarang akhir pekan, kita libur tahu!" Zulaikha menjawab kebingungannya.
"Oo, pantaslah." Bonar Siregar mengikutinya ke dapur. Disana ayahnya Zulaikha sudah makan duluan, mereka kemudian ikut bergabung.
"Hei, Uda Bonar ikut ke pasar tidak?" Ajak Zulaikha.
"Pasar, mau dong. Tapi aku tak punya uang," jawab Bonar Siregar lagi.
"Kita jual saja sisa ikan salai kemarin buat uang jajan mu," jawab Zulaikha lagi. Bonar Siregar mengangguk setuju.
Setelah makan pagi, Bonar Siregar pergi ke pasar menemani Zulaikha belanja kebutuhan dapur mereka untuk seminggu kedepan. Pasar hanya buka sekali seminggu, itupun harus menempuh perjalanan melewati tiga kampung dari rumahnya.
"Cie ... cie ... bikin cemburu saja, teganya kau Uda ganteng berduaan dengannya," seru Annisa.
"Apaan sih, kepo tahu!" sahut Zulaikha menjawab ejekan Annisa dan Bonar Siregar hanya senyum-senyum saja disamping Zulaikha. Mereka melewati rumah Annisa yang terletak diujung kampung mereka. Disebelah rumah Annisa adalah rumah Alfian, ia hanya melirik sekilas saja kearah mereka dan lansung masuk kembali ke rumahnya.
Butuh sekitar dua jam berjalan kaki menuju pasar, karena jarak antar kampung di Rao ini cukup jauh. Mereka melewati hutan dan menyeberangi sungai kecil untuk sampai ke pasar. Perjalanan melelahkan itu akhirnya terbayar ketika mereka sampai ke kampung Kauman, tempat lokasi pasar berada.
"Ramaikan ..."seru Zulaikha pamer pada Bonar Siregar, ia mengira Bonar tak pernah melihat pasar atau keramaian.
"Wau ...." Bonar Siregar pura-pura takjub, padahal dulu ia adalah kuli angkut barang di pasar kota Padang Sidempuan.
"Ayo kita jual ikan salai-nya," seru Zulaikha menarik tangan Bonar Siregar.
Mereka menjual ikan salai itu ke pedagang ikan dan mendapat bayaran satu koin emas. Kemudian Zulaikha belanja kebutuhan dapur untuk seminggu kedepan. Dia membelanjakan semua uang satu koin emas pemberian ayahnya.
"Uangku sudah habis, kau mau beli apa? Biar kita pulang lagi, takut kesorean nanti ketemu hewan buas dijalan," tanya Zulaikha padanya. Sebab dari tadi Bonar hanya mengekor padanya.
"Baiklah kita beli Ruduih saja, perlu juga itu buat jaga-jaga," jawab Bonar Siregar. Dia juga mempunyai kerambit pemberian Malin, pedagang yang membawanya ke kerajaan Pagaruyung ini.
Setelah sampai di lapak penjual aneka macam senjata, Bonar Siregar lansung membeli Ruduih itu yang harganya setengah keping emas. Namun ia memperhatikan Zulaikha yang melirik ke lapak penjual perhiasan.
"Apa ia menyukainya," guman Bonar Siregar. Ia ingin membelinya, namun uangnya tinggal lima ratus perunggu lagi. Ia kemudian berbisik pada pedagang senjata menanyakan berapa harga kerambit ditangannya. Pedagang itu menawar sepuluh koin emas, karena kerambit ditangannya adalah kualitas terbaik. Bonar dengan segera menjual kerambit itu.
"Eh, kenapa dijual?" Zulaikha bingung, sebab katanya ia membutuhkan senjata namun malah dijual lagi.
"Kan aku butuhnya Ruduih, bukan senjata kecil ini hahaha." Bonar berkilah, ia kemudian mengajak Zulaikha ke lapak pedagang perhiasan itu.
"Pak, berapa harga perhiasan ini?" tanya Bonar Siregar melihat kalung emas paling mewah.
"Ini, 25 keping emas dek," jawab pedagang itu.
"Apa ..." Bonar Siregar kaget, ternyata harganya mahal sekali. "Kalau yang ini pak?" Bonar Siregar menunjuk kalung emas yang dilirik oleh Zulaikha tadi sewaktu mereka membeli Ruduih.
"Yang ini 10 keping emas," jawab pedagang itu malas. Ia yakin mereka takkan sanggup membeli perhiasan ini, karena pakaian mereka yang sederhana. Walaupun wajah mereka cakap.
"Oke, aku beli ini!" seru Bonar Siregar senang, ternyata uangnya cukup.
"Tunggu? Buat apa itu, nanti uangmu habis," sela Zulaikha.
"Tinggal cari ikan lagi di sungai atau membuat kursi dari rotan. Kulihat ada penjual kursi juga disini," jawab Bonar berkilah. Dia yakin kalau jujur menjawab bahwa kalung itu untuknya pasti ia menolaknya.
"Haduh sayang sekali uang sebanyak itu hanya buat beli kalung," jawab Zulaikha kecus. "Apa dia mau membelikannya untuk Annisa? Apa Uda Bonar suka padanya? Duh, kenapa aku berpikir aneh-aneh ya!" Zulaikha melamun.
"Hei, ayok kita pulang, nanti kesorean!" Bonar Siregar mengagetkannya.
Mereka kemudian kembali ke Perguruan Silat Harimau Rao, namun Zulaikha hanya diam saja sedari tadi. Ia seperti melamuni sesuatu hingga mereka sampai di rumah.
Ketika mengeluarkan hasil belanjanya satu persatu dari keranjang rotan-nya. Ia melihat sebuah kotak kecil. "Apa ini? Perasaan aku tak membelinya," guman Zulaikha membuka kotak itu. " Apa ... Huhuuuuu." Zulaikha menangis haru. Ternyata Bonar Siregar membeli perhiasan itu untuknya, dugaannya salah. Dia telah berburuk sangka padanya, ia kemudian berlari ke tempat latihan memeluk Bonar Siregar.
"Ah, aku kotor lho," seru Bonar Siregar. Sebab ia lagi memotong rumput tempat latihan, mumpung hari libur tak ada murid-murid Perguruan yang berlatih.
"Terimakasih..." seru Zulaikha sambil menangis haru.
"Sudah tak apa, Kitakan keluarga." Bonar Siregar pasrah dipeluk oleh Zulaikha. Setelah beberapa saat ia kemudian kabur karena merasa malu.
"Ah, kenapa aku ini? ih bikin malu saja!" Zulaikha menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.
Setelah itu mereka berdua diam saja jika berpapasan, membuat heran Basridal Chaniago, kenapa mereka begini. Namun ia membiarkan saja karena keduanya tak menceritakan masalah mereka.
Bersambung ...
Catatan:
Uda adalah Abang
Ruduih: senjata tradisional Minangkabau, mirip dengan golok
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
ar wahkhu
jika berkisah tentang semi kerajaan, sangat tabu untuk anak lawan jenis untuk memeluk. jangankan memeluk, bersentuhan tangan saja sudah membuat berbeda.
ini hanya saran dan masukan.
2023-03-01
0
Nur Tini
Senengnya dapat hadiah kalung emas.... Apalagi dari yg kita kasihi...
2022-09-04
0
Murni Agani
weleh jauh amir😂
2022-02-17
0