Tentang Sebuah Rasa
#Yang sudah baca Cerpen Lhu-Lhu di skiip gak papa bagian ini. Karena sama :")
Kehilangan. Hal yang amat sangat tidak disukai oleh setiap individu. Dari kehilangan seseorang dapat membawa dirinya menjadi kuat atau bahkan menjadi terpuruk. Wardah Asyifa Alifia. Ia merupakan salah satu dari mereka yang kehilangan.
Suasana bahagia tengah menyelimuti keluarga Pak Herman saat ini. Seluruh keluarga tengah berkumpul menyambut datangnya hari kemanangan umat Islam. Kakak juga menyempatkan untuk pulang kali ini setelah tahun lalu tidak bisa pulang. Hari yang sangat langka untuk berkumpul bagi keluarga kami. Kakak yang harus bekerja sementara aku yang harus belajar di pesantren.
Kulihat Ayah begitu bahagia. Begitupun dengan Ibu, kulihat ia tak lepas dari senyumnya. Ketika tengah asik bercerita tiba-tiba datanglah seseorang. Mungkin itu tamu hari raya. Mengingat jika biasanya ditempatku para tetangga atau teman sering berkunjung ke rumah untuk bersilaturrahim.
“Assalamualaikum”. Sapa tamu itu. Dua orang bapak-bapak seumuran dengan Ayah.
“Waalaikumussalam”. Jawab kami yang ada di ruang tamu.
“Oh, itu teman Ayah”. Ujar Ayah menghampiri tamunya.
Terlihat Ayah tengah bercakap-cakap dengan temannya. Sementara Aku, Bunda, kakak beserta istrinya pindah keruang keluarga. Tak ingin mengganggu suasana para bapak-bapak. Seru sekali sepertinya bahasan mereka. Tawa mereka sampai terdengar dari sini. Ayah tampak begitu akrab dengan temannya. Mereka seperti sahabat karib. Aku sempat takut melihat raut wajahnya. Mereka berdua jika melihat tatapannya begitu tajam. Walaupun sebenarnya tak terlalu seram.
“Kenapa dek?”. Tanya Kak Yusuf.
“Teman Ayah agak seram kak. Mereka bertubuhnya lebih tinggi dari Ayah, tatapannya serem, pakaiannya juga terlihat berbeda”. Jawabku.
“Yang disebelah dekat Ayahmu itu yang tinggi, Bunda tak asing melihatnya. Tapi, yang lebih pendek itu Bunda masih asing melihatnya”. Sambung Bunda.
Hari menjelang siang, para tamu Ayah belum juga pergi dari rumah. Sampai sudah datang tamu yang lainnya silih berganti. Teman Ayah itu masih saja nyaman mendudukan di sofa. Sepertinya sofanya benar-benar nyaman.
“Kamu bilangin Ayah nduk, ajak teman-temannya makan siang. Bunda dan Mbakmu akan menyiapkannya”. Ujar Bunda.
“Iya Bunda”. Jawabku. Kulangkahkan kakiku keruang tamu untuk menghampiri Ayah. Kemudian sedikit kupelankan suaraku didekat telinga Ayah dengan merangkul pundaknya.
“Bunda ngajak makan siang Yah, sudah disiapkan oleh Kakak dan Bunda”. Ujarku.
“Siap tuan putriku”. Jawab Ayah dengan suara pelan juga.
“Putrimu sudah besar ternyata Man, kelas berapa dia?”. Sayup-sayup kudengar pertanyaan teman Ayah.
“Baru Aliyah, sederajat dengan SMA. Oh iya, ayo kita makan bersama. Sudah lama sekali kalian tidak berkunjung kemari”. Jawab Ayah sekalian mengajak teman-temannya untuk makan bersama.
“Sudah lama tak berkunjung, sekali berkunjung merepotkan keluarga kalian”. Jawab Teman Ayah.
“Ah, tentu saja tidak. Mari keruang belakang”. Jawab Ayah.
Jika biasanya kami makan bersama di ruang makan, kini Bunda berinisiatif untuk makan bersama diruang keluarga. Alasannya ingin lesehan katanya. Hahaha. Rumah Ayah cukup besar sebenarnya. Untuk gaji seorang dosen disebuah Universitas Swasta, Alhamdulillah bisa membeli rumah dan dapat menampung keluarga kami jika berkumpul semuanya.
Aku sedikit canggung untuk makan siang kali ini. Sebab tamu Ayah selalu saja menanyaiku tentang hal-hal yang tak penting menurutku. Bahkan selalu saja mendesakku agar mengenal mereka. Jelas-jelas aku tak tahu mereka ini siapa. Jika memang benar mereka dulu sering kemari, mungkin aku masih kecil dan sudah lupa sekarang.
Setelah Ayah kebelakang untuk mengambil tusuk gigi katanya. Bunda ternyata lupa untuk membawanya ke depan. Kebiasaan Ayah memang membersihkan sisa makanan di giginya menggunakan tusuk gigi. Jika tidak, Ayah akan mengeluh sakit gigi sepanjang hari bahkan bisa dua sampai tiga hari.
“Kamar mandinya dimana ya Bu? Saya mau ke kamar mandi”. Tanya salah satu teman Ayah.
“Kamar mandi tamu ada di dekat dapur itu Pak, sebelah kanan tembok”. Jawab Ibu. Teman Ayah pergi kemar mandi. Selang beberapa waktu, teman Ayah yang satunya pun ikut berpamitan ke kamar mandi.
“Kok di kamar mandi lama banget ya Bun? Jangan-jangan nanti bapak yang kedua nungguin di depan pintu. Kasihan dong”. Ujarku pada Bunda.
“Lho, iyaa ndok. Kamu tunjukan kamar mandi yang dibelakang saja kalau gitu. Kasihan kalau nunggu. Ayahmu juga mana sih, kok gak kesini-sini”. Jawab Bunda.
“Mungkin slilitannya banyak Bun, Bunda sih kalau masak Bebek gak di lembutin lagi, hahaha”. Canda kak Yusuf kakak kandungku.
Aku berjalan kebelakang untuk memberitahu pada teman Ayah kamar mandi yang satunya agar tidak menunggu. Kulihat kamar mandi dekat dapur sudah terbuka. Itu berarti teman Ayah sudah selesai. Tapi kemana ya? Kok tidak ke depan. Berbagai pertanyaan mulai muncul diotakku. Atau mereka ada di halaman belakang ya? Kucoba melangkah ke halaman belakang.
DEG! Astaghfirullah’aladzim. Apa yang lihat ini? Kudekati tubuh yang tergeletah di rerumputan hijau itu. Sudah tak terlihat hijau lagi, kini telah berubah merah tepatnya.
“Ayyaaahhh”. Suara parauku dan tetesan bening dari mataku mulai merambah keluar.
“Putt.puuttriiku”. Suara terlihat begitu lemah. Terduduk aku disisi Ayah. Mulailah kuletakkan kepala Ayah dipangkuanku dan kugenggam tangan beliau.
“Asyhaduallailaahaillallaah Waasyhaduallailaahaillallaah”. Kutuntun Ayah untuk mengucapkan kalimat syahadat. Tak kuasa hati ini memandang keadaan Ayah saat ini. Gemetar tubuh ini tak dapat kutahan lagi.
“Asyhaduallailaahaillallaah Waasyhaduallailaahaillallaah 3X. Laailaahaillallaah”. Kembali kutuntun beliau.
“Astaghfirullahaladziim! Maaas! Mas Hermaaan!”. Teriak Bunda dari arah belakangku. Bunda bersimpuh di samping tubuh Ayah. Membantuku untuk membimbing Ayah agar dapat menyebut kalimat mulia sang pencipta jagat raya.
Kak Yusuf menyusul kebelakang diikuti Kak Ani istrinya setelah mendengar jeritan Bunda. “Astaghfirullah!”. Jerit mereka berdua.
Kak Yusuf melihat nafas Ayah yang sudah tersendat, ikut membantu menuntun Ayah menyebut kalimat mulia sang pencipta jagat raya. Pelan-pelan Ayah mengikuti ucapanku dan Bunda. Hingga setelah kalimat mulia terakhir diucapkan Ayah dan menutup matanya.
Kak Yusuf menelepon kantor polisi untuk mengusut masalah ini. Para tetangga yang mendengar keributan di rumah mulai berdatangan. Banyak yang tak menyangka seorang Ayah meninggal dengan keadaan terbunuh seperti ini. Ayah dikenal sebagai orang yang ramah, dermawan, dan lembut hatinya. Bagaimana mungkin orang itu membunuh Ayah. Ada apa gerangan sebenarnya.
Jenazah Ayah dibawa ke rumah sakit terdekat untuk diotopsi. Aku dan Bunda ikut menemani proses otopsi. Awalnya jenazah Ayah hendak dimandikan di rumah sakit, akan tetapi aku menolaknya. Aku ingin ikut memandikannya. Mungkin Kak Yusuf juga menginginkan hal itu. Akhirnya jenazah Ayah dimandikan di rumah.
Wajah yang tersenyum damai dengan keadaan tubuh yang terbujur lemah menghiasi wajah tampannya. Tak kuasa hati ini melihatnya. Kuciumi wajah halus dengan sedikit kerutan itu. Kuelus pipinya, mulutnya yang selalu menebar senyuman dan selalu menutupi kegundahan hatinya dengan ini. Air mata yang kujaga agar tak menerobos keluarpun tak sanggup terbendung lagi. Terbayang senyuman dan nasehatnya ketika diri ini berada dititik rendah. Tapi saat ini aku berada dititik paling rendah Yah.
Aku kehilangan sesosok yang paling kucintai selama ini. Tak bisa diri ini merasakan pelukan hangatmu lagi. Canda tawamu telah hilang Yah. Gadis kecilmu masih terlalu lemah untuk menghadapi semua ini Yah.
Kucium punggungtangannya lalu telapak tangannya. Beralih ke kaki beliau. Kucium dengan sepenuh hati. Maafkan anakmu yang selalu cengeng ini Yah. Terima kasih atas kasih sayang yang tak ada taranya ini.
Mbah Uti menuntunku agar sedikit menjauh dari tempat pemandian. Aku tak sanggup menuntaskan keinginanku untuk memandikan jenazah Ayah. Maafkan Wardah Yah, Wardah tak bisa ikut memandikan Ayah. Wardah hanya bisa menyaksikan saja.
“Sabar nduk, sabar...”. Mbah Uti terus mengelus kepalaku dan memelukku.
Aku tahu Mbah Uti juga sangat sedih. Terlihat air matanya sesekali menetes. Anak laki-laki satu-satunya pergi meninggalkannya. Pergi menyusul sang Bapak disisi sang pencipta alam semesta. Dua orang yang dicintainya kini benar-benar pergi.
“Aliya wudhu dulu Mbah, Ayah sudah selesai dikafani. Sebentar lagi waktunya disholatkan”. Ujarku lirih.
Mbah Uti mengangguk dan mengikutiku kekamar mandi. Dikamar Mandi kulihat Bunda selesai berwudhu ditemani mbak Ani. Kupeluk Bunda yang masih sesenggukan melihatku.
“Wudhulah Nak, kita ikut mensholati yaa”. Ujar Bunda lirih. Aku hanya mampu mengangguk.
Jenazah Ayah disholatkan di masjid. Abah Kyai pimpinan pesantren yang ku tempati hadir ditengah-tengah kami. Beliau menjadi imam kali ini. Umi (Bu Nyai) juga mengikuti prosesi sholat jenazah. Ternyata banyak yang tengah berduka saat ini. Begitu banyak orang-orang yang menghantarkan Ayah.
Sebuah kenyataan yang tak pernah ingin kudapatkan. Sama sekali tak ingin. Tempatku mengadu setelah sang pemilik dunia. Tempatku berkeluh kesah setelah sang pemilik diri. Kini dengan siapa lagi aku harus melakukan semua itu setelah sang pemilik Ayah.
Kupandangi kubur Ayah terus menerus. Tak tega meninggalkan Ayah disini sendiri. Ingin rasanya aku tetap berada disini menemani Ayah. Bunda mengelus kepalaku dan menghadapkan wajahku padanya. Diciumnya lembut keningku.
“Kita pulang yaa? Malam nanti ada acara doa bersama. Siapa yangakan menyiapkan kalau bukan kita?”. Ujar Bunda lembut. Masih ada tetesan air mata disudut mata Bunda, diusapnya untuk menutupinya dariku.
“Ayah sendiri disini Bunda, Aliya ingin menemani Ayah”. Ujarku lemah.
“Ayah orang baik nak, Ayah orang yang berhati mulia. Ia pasti sedih jika melihat Anak tersayangnya begitu terpukul. Insyaallah Ayah ditempatkan bersama orang-orang alim disana. Ditempat yang sangat indah”. Nasehat Umi padaku dengan mengelus kepalaku.
“Kita pulang yaa?”. Ajak Bunda lagi. akhirnya Aku mengangguk dan mengikuti Bunda.
Abah, Umi, dan para santri yang ikut takziah masih berada dirumah. Mereka semua ikut berdoa untuk Ayah. Ayah, disini banyak yang sayang Ayah. Banyak yang berdoa untuk Ayah. Ayah bahagiakan disana? Acara tahlilan dilaksanakan sampai tujuh hari meninggalnya Ayah.
Dihari ke-10 Bunda memintaku untuk berangkat ke pesantren. Sudah cukup lama aku meminta izin pada pengurus. Bunda menasehatiku agar tak menghawatirkan beliau. Beliau akan tinggal bersama Kak Yusuf mulai hari ini setelah aku berangkat.
Pesantren Miftahul Janah, disinilah aku sekarang. Teman-temanku banyak yang bersimpati atas meninggalnya Ayah. Mereka mencoba menghiburku. Umi pun tak segan-segan mengajak aku menyibukkan diri atau sekedar bercerita untuk mengalihkan kesedihanku. Terima kasih Ya Allah, engkau telah membiarkan hambamu yang lemah ini berada dikeliling orang-orang yang mulia. Saat ini aku ingin sendiri, memegang kitabullah dengan melantunkannya pelan-pelan sebagai langkah awal menghafalkannya. Tak jarang pula air mata ini menetes. Rasa rinduku semakin dalam akan sosok Ayah. Aku selalu meyakinkan diri, Ayah selalu ada dihatimu Wardah. Ayah bangga padamu. Jangan kau pudarkan kebanggaan itu.
“Khatamkan Al-Qur’anmu untuk Ayah nak, hadiahkan untuk Ayah”. Pesan Ayah saat aku meminta izin untuk menghafal Al-Quran dan ini juga yang akan selalu aku ingat.
Dalam setiap sholatku tak lupa menyelipkan harapan agar sang Ayah dapat bersatu dengan Mbah Kakung, ayahhandanya bersama kekasih sang pemilik hati ini. Love you Ayah.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 250 Episodes
Comments
Gabby
sudah mampir yaa kak, permulaannya aja dah seru 👍 aku lanjut yaa kak 👍👍
2023-03-11
0
Rinjani
temannya yg bunuh yg ke kamar mandi lo trus hilang ada salah apa seh thor ujuk2 bersimbah darah
2022-08-11
0
Ummu Sakha Khalifatul Ulum
Nyesek thor 😭😭😭
2022-07-03
0