Semburat mentari pagi menerobos paksa masuk melewati sela-sela jendela kamar C12. Andin yang membuka mata terlebih dahulu dari penghuni lainnya, segera menyibakkan gorden berwana hijau botol. Tiba-tiba getar notifikasi berbunyi, ya, itu pertanda getar notifikasi dari email. Andin membuka dan membaca isinya di dalam hati.
"Andin, apa kabar,?"
"Kau sekarang lanjut sekolah dimana?"
"Lama tidak memberi kabar, kau sehat kan?"
"Andin, please bales. Kalau memang kau masih menganggapku sebagai temanmu!"
Andin menghembuskan nafas pelan, lalu mengetikkan beberapa kalimat untuk dikirim.
"Hahaha, tentu saja kau masih temanku yang cerewet dan banyak bertanya,"
"Aku sehat Rossie, aku melanjutkan ke pesantren, dan sekolah juga di MAN 102 BANDUNG."
Tak menunggu waktu lama, teman Andin waktu kecil, Rossie, membalas email nya.
"Apa kau benar-benar menempuh pendidikan di situ atas kemauan mu sendiri, Ndin?"
Andin menghembuskan nafas berat kembali.
Setidaknya disini tidak ada yang mengekang ku, Rossie.
Lalu Andin kembali mengetik.
"Aaaaa, sudah jangan khawatirkan aku. Tentu saja ini atas kemauan ku sendiri. Nanti lagi ya, aku mau mandi."
Percakapan selesai. Andin melempar pelan ponselnya ke meja, sementara di seberang sana masih banyak pertanyaan yang terlintas di benak gadis bernama Rossie, mengenai teman kecilnya, yaitu Andin.
Rossie, maafkan aku. Aku hanya ingin melupakan masa kecilku. Tapi sungguh aku tidak akan melupakanmu, aku hanya ingin menjauh dari sesuatu yang akan mengingatkanku pada masa kecilku.
Aku akan mengabari mu nanti setelah aku benar-benar sudah berdamai dengan masa kecilku, aku berjanji.
Terdengar suara seseorang menggeliat, pertanda ada penghuni lain yang mulai membuka matanya.
"Hei Ndin! Kesambet apa kau, tumben di jam sepagi ini sudah bangun, biasanya terakhiran." (ucap Riana)
Meta rupanya ikut terbangun dari tidurnya. Ia masih terlihat sangat mengantuk.
"Kalau lagi rajin, jangan dibilang. Hoamm." (ucap Meta)
"Ah diam kalian berdua, mood ku sedang tidak baik untuk sepagi ini. Jadi tolong jangan ganggu aku!"
Ucapan Andin sedikit memberi penekanan. Hal itu hanya mengundang gelak tawa antara Riana dan Meta. Membuat Violla dan Riani terbangun membuka mata karena mendengar suara tawa yang pecah.
Cih! Kenapa mereka menertawai ku?! Dasar tidak berguna! Tidur lagi sana, jangan bangun sekalian!
"Hahaha, seorang Andin sedang gundah gulana rupanya."
Meta dan Riana semakin meledek Andin dengan asumsi yang mereka ciptakan sendiri disertai gelak tawa yang semakin pecah.
"BISA DIAM TIDAKKK! KALIAN ITU MENGGANGGU TIDURKU!"
Violla berucap dengan nada tinggi dan mimik wajah yang tidak bersahabat. Karena memang ia tidak suka diganggu oleh siapapun, apalagi jika ia sedang tidur.
Riana dan Meta pun langsung menyudahi gelak tawanya, disusul dengan beberapa kali menelan salivanya.
Haha, rasakan. Bagaimana rasanya dibentak sama Violla?Dia memang sangatlah galak dan tidak bisa diganggu. Tahu rasa kan, karena sudah menertawai ku sejak tadi.
"Iya Meta, Riana. Jangan terlalu keras jika tertawa, nanti Ummi mendengar juga bagaimana?" (ucap Riani)
Riani memang lebih polos dan pendiam dibandingkan Riana yang memang tidak bisa diam.
Tiba-tiba saja, Riana dan Riani saling berpandangan. Mereka mengingat sesuatu tentang Ummi. Dan mereka pun serempak mengatakan hal yang sama, seperti sudah berjanjian.
"Andin, kemarin Ummi ingin bertemu denganmu!" (ucap Riana dan Riani)
"Hah? Kenapa kalian baru mengatakannya, sih?!" (ucap Andin)
"Maaf Ndin, lupa hehe." (ucap Riani cengar-cengir)
"Yaelah, namanya juga lupa. Ya udah gih sana, nanti setelah sholat berjamaah kau datang menemui Ummi." (ucap Riana)
Kenapa Ummi ingin bertemu denganku? Ada apa?
......................
Setelah selesai sholat shubuh berjamaah, Andin langsung menuju dapur asrama. Ia mencari sesosok perempuan.
Yap, ketemu!
"Mbak Zulfia, aku ingin menemui Ummi. Apa Ummi sedang berada di ruangannya?" (ucap Andin)
"Ummi sedang membaca buku di taman belakang Ndin. Kau kesana saja, dan jangan lupa jaga bicaramu ya." (ucap Zulfia)
"Hehe, baik mbak. Terimakasih."
Beberapa saat, Andin telah sampai di taman belakang. Ia melihat Ummi yang tengah duduk sembari membaca buku.
Ah itu Ummi, tapi bagaimana cara untuk memulai bicara dengannya, ya?
"Hai, Ummi. Apakah benar kau mencariku, kemarin?"
Ah tidak, tidak. Itu sangat buruk. Bagaimana jika...
"Sedang apa Ummi disini? Sendirian saja, apa perlu aku temani?"
Benar-benar tidak sopan.
Andin masih berpikir keras. Ia memikirkan kata-kata apa yang tepat untuk mengawali pembicaraan dengan Ummi. Sebelum ia menemukan kata-kata yang tepat, tiba-tiba Ummi menyadari kedatangan Andin di sekitarnya.
"Andin?"
"Kemari lah."
Andin sedikit terkejut, tetapi ia segera melupakan keterkejutan nya itu. Ia pun segera mendekat ke Ummi.
"Ya, Ummi."
"Kau sangat sibuk bersekolah, Ndin? (tanya Ummi)
"Tidak Ummi, baru masa orientasi." (ucap Andin)
"Hemm, apa kau sudah beradaptasi di asrama ini? Apa kau merasa nyaman?"
"Sedikit demi sedikit sudah berlatih menyesuaikan diri, Ummi."
"Apa mamah mu mengabari mu lewat ponsel?"
"Tidak Ummi, tidak ada yang mengabari ku sejak aku diantar kesini."
"Kemarin ada paket surat dari mamah mu, ada di kamar Ummi. Nanti Mbak Zulfia yang akan mengantar ke kamar mu."
Paket surat? Kenapa harus surat? Kenapa tidak lewat ponsel saja? Oh iya, aku baru mengingat sesuatu. Cih!
"Iya Ummi, terimakasih banyak."
"Kembalilah ke kamar mu, bukankah hari ini adalah hari kedua orientasi mu? Jangan sampai terlambat lagi seperti kemarin." (ucap Ummi)
"Baik, Ummi."
Andin meminta izin beranjak kembali ke kamarnya. Lalu Setelah itu, ia bersiap-siap ke sekolah.
......................
"Semoga hari kedua di sekolah, akan lebih bersahabat denganku." (lirih Andin)
Andin terus saja berjalan menuju kelas orientasinya. Tiba-tiba seseorang memanggil Andin.
"Andin ku!"
"Siapa yang memanggil, ku?"
Yang memanggil dengan sebutan Andin ku kan hanya...
Andin segera mempercepat langkahnya tanpa menggubris panggilan dari Arif.
Rasakan! Kau tidak mungkin dapat mengejar ku! Dasar jin gembrot.
Setelah memastikan bahwa Arif sudah tidak terlihat lagi, Andin merasa sedikit lega.
Ah, hari ini aku akan berjalan lewat koridor saja, mumpung masih banyak waktu sebelum bel masuk kelas berbunyi.
Andin berjalan santai dengan tas ransel hitam yang selalu setia menemaninya ketika di sekolah. Ia Menyusuri taman-taman yang luas dengan sesekali memetik bunga yang terdapat di taman itu. Dan tak jarang pula, siswa lainnya melihat Andin dengan tatapan sinis. Dari tatapan mereka, seperti menyiratkan...
"hei anak kampung! Apa kau belum pernah melihat bunga di taman?! Jangan memetiknya dengan tangan kotormu itu!"
Persetan dengan tatapan kalian! Aku hanya sedang menikmati pagiku. Aku bukanlah kalian yang bahkan bisanya hanya julid saja! Cih.
Ketika Andin sampai di koridor sekolah yang lengang, tiba-tiba seseorang menarik lengannya dengan cepat. Lalu mendorong Andin ke pojok koridor, hingga tubuh Andin menempel di dinding koridor.
"Apa-apan sih kak! Benar-benar tidak sopan!" (ucap Andin)
Andin lalu mendorong tubuh Ziban. Yang sudah berani-beraninya menarik lengan Andin dan mendorongnya seenaknya sendiri.
"Jangan terkejut! Karena wajahmu benar-benar bertambah memburuk ketika sedang terkejut." (ucap Ziban)
Andin melengoskan wajahnya.
"Nanti jika ada yang melihat kita bagaimana?" (tanya Andin)
"Apa? Memangnya kita sedang melakukan apa? Kita tidak melakukan hal-hal aneh."
Ziban menjawab pertanyaan Andin dengan sikapnya yang tetap tenang.
"Ya,bkan kita tidak tahu dengan jalan pikiran orang lain."
"Tidak akan ada yang lewat koridor ini, sampai urusanku selesai." (ucap Ziban)
Apa?Jadi maksudnya dia memblokir akses ke koridor? Ini kan jalan umum? Orang sinting! Memangnya seberapa berkuasanya dia di sekolah ini hah?!
"Katakan apa yang kakak inginkan?" (tanya Andin)
"Aku hanya ingin menagih janji mu."
Janji? Janji apa sih?
"Janji?"
"Mengenai kontrak berisi 10 syarat yang harus kau penuhi, karena aku sudah membantumu kemarin."
Ziban melemparkan map berukuran sedang yang sejak tadi berada di tangannya tanpa Andin sadari. Tentu saja Andin sangat gelagapan dalam menerima map yang Ziban lemparkan sembarangan kepadanya.
Astaga, ini isinya apaan sih?! Yang pasti, bukanlah surat warisan. Cih!
"Jika kau bisa membaca, pahami isi dari map itu. Jangan sampai membantah untuk setiap jengkal isinya!"
Ziban berlalu pergi meninggalkan Andin sendirian yang masih memegang erat map berukuran sedang yang entah apa isinya itu.
Cih! Tentu saja aku pandai membaca. Jika tidak percaya, tanyakan saja kepada mamahku! Rupanya kau benar-benar ingin aku mengutuk mu menjadi batu, wahai iblis!
Sedangkan di tempat lain, masih di MAN 102 Bandung.
Dering ponsel bergetar mengagetkan seseorang yang tengah duduk di ruangan kebesarannya. Ia terlihat tengah fokus membaca laporan-laporan akhir bulan mengenai kegiatan belajar mengajar di sekolahnya. Bukan, bukan sekolahnya. Tetapi lebih tepatnya sekolah milik nya. Setiap akhir bulan ia memang kerap kali terlihat beraktivitas di sekitar sekolah itu.
"Siapa yang menelepon sejak tadi, sih?"
Ia segera meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Dan ia pun bberniat untuk mengangkat panggilan itu, setelah mengetahui siapa yang menghubunginya.
"Halo, Assalamualaikum tuan. Ada apa gerangan hingga tuan menghubungi saya?"
"Waalaikumsalam. Laporan setiap minggunya di tunggu. Kirim ke email ku seperti biasa."
Terdengar suara dari seberang sana. Ia menjelaskan apa maksud dan tujuan menelepon si pemilik sekolah itu.
"Tentu tuan. Akan segera saya kirimkan ke email seperti biasa."
"Baik, terimakasih."
Sambungan terputus dari seberang, tanpa memberi kesempatan si pemilik sekolah untuk mengucapkan salam penutup.
Anda selalu mengkhawatirkan soal itu, tuan. Tenang saja, saya akan berusaha semaksimal mungkin dalam menjalankan tugas dari anda.
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Nove Bella
risih bnyak bgt kata2 CIH nya...
2021-09-17
1
my
😍😍😍
2021-06-08
3