FOLLOW INSTAGRAM AKU YAH TEMEN-TEMEN
@n.lita.s DI SANA AKU BAKALAN SHARE NOVEL-NOVEL AKU JUGA SPOILER :-)
***MAKASIHHH...
**************************************************************************************
“Maaf, Tania, kemarin aku tidak jadi menyusulmu,” ujar Salsa merasa tidak enak mengingkari janjinya. Dia tidak menemui Tania lagi setelah bertemu pak Dani.
“Tidak papa, aku sudah menyelesaikan nya. Kamu bisa mengecek lagi tugasnya,” jawab Tania sembari tersenyum. Tania merupakan gadis yang murah senyum.
“Terimakasih, aku akan memeriksa nya.” Tania pun menganggukkan kepala.
Setelah pulang kuliah, Salsa kembali bertemu pak Dani untuk mendiskusikan hutang-hutang almarhum pak Damar. Kali ini mereka bertemu di cafe yang cukup ramai di sebelah gedung universitas tempat Salsa berkuliah.
“Apa ada hutang-hutang yang lain, pak?” tanya Salsa dan pak Dani mengangguk.
Astaga! Mengapa papa Damar bisa memiliki banyak hutang?
“Selain hutang bank, ada hutang pada rentenir satu milyar, nona,”
Salsa mencoba tetap tenang meskipun ia sangat kaget. Begitu banyak hutang yang di tinggalkan papa nya.
“Apa itu mendesak, pak?” tanya Salsa serius. Yang dia tau jika berhutang pada rentenir pasti bunganya besar.
“Jika bisa kita selesai kan hutang rentenir dulu saja, nona. Saya ingin meminta izin pada nona untuk menggunakan uang asuransi dari kecelakan Pak Damar untuk melunasi hutang di rentenir,” ucap Pak Dani meminta izin pada Salsa.
Salsa menutup kedua matanya sejenak lalu membukanya kembali. Situasi saat ini cukup berat baginya yang tidak pernah terlilit hutang sejak kecil.
“Boleh, pak. Saya juga akan menjual dua mobil di Jakarta, pak. Mobil saya dan papa, kira-kira laku berapa ya, pak?”
Di Jakarta ada mobil miliknya dan juga milik Damar yang bisa di gunakan untuk tambahan membayar hutang.
“Saya belum bisa mengira-ira, nona. Atau ada aset lain yang bisa di jual, nona? Saran saya lebih baik menjual aset saja jika ada, dengan begitu hutang pak Damar bisa lunas. Anda juga bisa kuliah dengan tenang,”
Saran yang cukup bagus dari Dani. Namun, Salsa tidak mempunyai aset lain. Satu-satu nya aset yang dia miliki hanyalah rumah. Rumah peninggalan papanya. Dan, itu rumah yang sudah Salsa tinggali sejak kecil. Dia sungguh tidak ikhlas jika harus menjual rumah itu.
“Saya tidak punya aset lain, pak.” Lirih Salsa sembari meremas kedua tangannya yang mulai dingin di liputi rasa cemas.
“Baiklah, saya akan pikirkan apakah bisa mengajukan perpanjangan waktu angsuran pada pihak bank,” ujar pak Dani.
“Tidak usah, pak. Saya akan pikirkan cara lain,” sahut Salsa.
Memperpanjang jangka waktu angsuran juga bukan solusi yang tepat. Sebab Salsa tidak akan bisa membayarnya, dia tidak mungkin berhenti kuliah untuk bekerja. Berhenti kuliah dan bekerja pun, belum tentu Salsa bisa membayar hutang itu meskipun dengan membayar angsuran tiap bulannya. Satu-satunya cara membayar hutang adalah menjual aset nya.
“Baik, nona. Untuk penjualan mobilnya bagaimana, nona?” tanya pak Dani.
“Begini saja pak, minggu ini saya akan pulang ke Jakarta untuk mengurus penjualan mobil,”
“Baik, nona. Kalau begitu saya akan kembali ke Jakarta lebih dulu, karena perkerjaan saya disini sudah selesai.” keduanya saling mengulurkan tangan untuk berjabat tangan sebagai akhir pertemuan sore itu.
Dari kejauhan Tania tidak sengaja melihat pertemuan Salsa dan pak Dani. Dia pun menunggu Salsa keluar dari cafe itu untuk bertanya.
Salsa sendiri keluar dari cafe dengan raut wajah sedih. Matanya berkaca-kaca, siap mengeluarkan cairan bening yang sudah menumpuk sedari tadi di pelupuk mata.
“Sa, kamu nangis?” Tania menghampiri Salsa yang bediri di pinggir jalan menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi merah, dia akan menyebrang jalan.
“Enggak,” Salsa menggelengkan kepalanya namun suaranya yang serak sudah menjawab pertanyaan Tania.
“Ada, apa?” Tania mengikuti Salsa menyebrang jalan sementara Salsa hanya menundukkan kepalanya manatap jalan yang ia lewati sambil menggelengkan kepala menjawab pertanyaan kedua Tania.
“Sini, ikut aku!” Tania menarik tangan Salsa untuk mengikutinya. Dia mengajak Salsa mencari tempat yang sepi untuk mengobrol. Lebih tepatnya mengajak Salsa pergi ke kos Tania yang berada tidak jauh dari tempat itu.
Salsa menurut saat Tania menggeret lengannya. Dia tidak bisa berpikir dengan jernih. Kepalanya pusing akibat memikirkan banyaknya hutang yang di tinggalkan almarhum papa nya.
“Sekarang jelaskan, ada apa?” tanya Tania.
Kos Tania lebih kecil dari kos Salsa. Hanya ada kasur yang beralaskan karpet di dalam kamar serta kipas angin dan meja kecil. Tidak seperti kos Salsa yang ber AC.
“Aku pusing, Tan,” tangis Salsa akhirnya pecah saat mereka saling berhadapan duduk di karpet kecil sebelah kasur. Karpet yang sering di gunakan Tania saat makan dan mengerjakan tugas kuliah. “Aku pusing, huhuhu,” Salsa menutup kedua wajahnya dengan telapak tangan. Cairan bening yang jatuh di pipinya sudah menganak sungai mengalir seperti banjir dari hulu.
“Pusing kenapa?Karena apa?” Tania yang tidak tahu menahu perihal permasalahan Salsa berusaha mengorek informasi lebih dalam.
“Papa ninggalin hutang banyak, Tan. Empat M, dari mana aku bayar hutang sebanyak itu, Tan?” ujar Salsa menjelaskan sekaligus bertanya pada Tania.
“Em-empat m?” sambil mengangkat empat jari nya.
“Iya, empat M.”
“Astaga,” Tania mengelus dadanya, seketika dia merasa lemas. Empat milyar adalah uang yang sangat banyak, apalagi bagi Salsa yang sudah tidak memiliki sanak saudara. Pantas saja sejak pertemuannya dengan pak Dani, Salsa menjadi pendiam. Dia sering melamun dan tidak fokus saat kuliah bahkan beberapa sempat di tegur oleh dosen.
“Kamu yang sabar, Sa. Aku yakin pasti ada jalan,” tutur Tania lembut. Hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini, memberi support pada sahabatnya sebab jika ingin membantu dalam bentuk uang, Tania tidak punya. Dia hanya anak PNS dengan gaji pas-pas an. Kuliah di kedokteran sebagian adalah hasil dari beasiswa sebuah perusahaan besar. Jika bukan dari beasiswa, Tania tidak akan bisa kuliah di kedokteran.
“Aku akan pulang ke Jakarta minggu ini,” ucap Salsa, “aku akan menjual mobil dan beberapa barang yang bisa di jual,”
Tania mengangguk setuju. “Aku akan menemanimu,”
“Tapi, kita naik kereta. Karena aku harus berhemat,”
“Tidak masalah, aku terbiasa naik kereta.”
“Terimakasih, Tania.”
“Sama-Sama, Sa.”
Salsa merasa beruntung memiliki sahabat yang baik seperti Tania. Di Jakarta dia memiliki Jessica dan Celia, di Jogja dia memiliki Tania.
Tunggu, Jessica? Memikirkan nama Jessica membuat Salsa mendapatkan sedikit harapan. Apakah dia meminjam uang pada Jessica saja? Tapi, Jessica pasti akan memberitahukan masalah Salsa pada Jordan. Salsa tidak mau Jordan mengetahui masalahnya.
“Apa kamu memikirkan temanmu yang kaya itu?” tanya Tania.
“Namanya Jessica,”
“Iya, maaf aku lupa namanya. Apa kau berpikiran meminjam uang darinya?”
“Awalnya iya, tapi, meminjam pada Jessi sepertinya bukan hal yang tepat.” Jawab Salsa.
“Kenapa, bukankah dia sahabatmu? Dia pasti mau meminjami mu uang,” Tania berpikir Jessi pasti tidak akan membiarkan Salsa terbebani masalah hutang sendirian.
“Aku tidak mau Jordan tau.”
“Karena gengsi?” bertanya dengan lirih karena tidak mau menyinggung perasaan Salsa meskipun secara tidak langsung sudah menyinggungnya. “Maaf, aku tidak bermaksud menyinggung mu,” ralat Tania kemudian.
“Bukan, Tan. Aku hanya tidak mau orang lain menilaiku yang tidak-tidak, aku berpacaran dengan Jordan karena aku mencintainya. Bukan karena hartanya. Aku tidak ingin orang lain salah paham jika aku meminta bantuan pada kelaurga korban. Kau tau kenapa aku kuliah di kedokteran?”
Tania menggelengkan kepalanya.
“Aku ingin menjadi dokter yang hebat, Tan. Dokter yang bisa membantu banyak orang dan mempunyai gaji yang besar. Hingga saatnya tiba nanti, aku tidak akan terlalu minder saat bersama Jordan. Kamu tau se kaya apa keluarga Jordan, aku hanya ingin di pandang pantas bersama Jordan, Tan.” terang Salsa.
“Tapi, aku rasa Jordan dan keluarganya akan tetap menerimamu dengan baik meskipun kamu bukan dokter, meskipun kamu tidak memiliki apa-apa,” setidaknya dari cerita Salsa pada Tania tentang keluarga Jordan. Tania bisa tau keluarga Jordan bukan golongan konglomerat yang kolot, yang memikirkan bobot, bibit, bebet.
“Tapi, aku merasa terbebani, Tan.” Dia masih teguh pada pendiriannya. Pada prinsipnya, untuk bisa selaras saat bersanding dengan Jordan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
re
Tdk apa apa minta bantuan jessi jgn bilang Jordan dr pd nanti pake jln pintas yg tdk baik, supaya tdk dianggap memanfaatkan bisa dianggap utang, atau rumah jd jaminan kan sama teman sendiri lbh mudah bl mau dibeli lg
2021-08-17
1
Bening Wahyuti
good Shasa,pemikiran yg dewasa
2021-08-17
0
Yunni Hary
sllu ku tggu updete novelmu thor buat salsa happy ending sprti jessi dan celsi 3 sekawan itu🥰🥰🥰❤️❤️❤️
2021-08-17
0