Seorang pria dengan ketampanan di atas rata-rata sedang duduk termenung disebuah taman pribadi milik gadis penolongnya. Mata berlensa coklat itu menatap langit yang terlihat gelap tak berbintang.
Rasanya begitu sepi, karena gadis penolongnya belum pulang padahal waktu sudah menunjuk angka 11 malam. Rasa cemas memenuhi batin pria itu 'Nathan' karena Viona belum juga pulang.
Jledeerrr...
Petir tiba-tiba menyambar. Langit yang semula terlihat cerah perlahan diselimuti awan hitam. Sepertinya akan segera turun hujan. Menyadari hal itu, Nathan yang masih berada di taman belakang memutuskan untuk segera masuk kedalam. Ia tidak ingin sampai sakit karena air hujan.
Dan benar saja, tak berselang lama hujan benar-benar turun dengan lebatnya.
Nathan benar-benar tidak bisa merasa tenang, bagaimana dengan Viona? Mungkinkah dia akan terjebak dan tidak bisa pulang karena sepertinya hujan akan turun semalaman.
Nathan berfikir untuk menyusulnya, tapi yang menjadi masalahnya dia tidak tau dimana rumah sakit tempat gadis itu bekerja.
Di samping itu, dia juga tidak bisa menghubunginya karena saat ini Nathan tidak memiliki ponsel. Ponselnya terjatuh saat insiden yang dia alami dan lagi pula Nathan tidak tau nomor ponsel Viona. Jadi bagaimana dia bisa menghubunginya?
Perhatian Nathan yang sedang duduk di depan perapian sedikit teralihkan karena suara kendaraan yang berhenti di depan pagar rumah.
Pria itu beranjak dari duduknya untuk melihat siapa yang datang. Dari tempatnya berdiri, Nathan melihat Viona berlari menerobos hujan setelah keluar dari taksi yang ditumpangi.
Nathan meninggalkan tempatnya dan membukakan pintu untuk Viona, gadis itu terlihat basah kuyub dan sedikit menggigil. Rambutnya juga basah meskipun tidak terlalu. Mereka saling bertegur sapa meskipun rasa canggung masih terlihat jelas diantara keduanya.
Viona langsung pergi ke dapur setelah melepas sepatu kerjanya dan menggantinya dengan sendal rumah. Dokter cantik itu sedikit menolehkan kepalanya saat mendengar derap langkah kaki seseorang yang semakin mendekat.
"Sebaiknya kau ganti pakaianmu dulu, kau bisa sakit jika terus memakai pakaian basah seperti itu." Nasehat Nathan yang saat ini berdiri di samping Viona.
"Tidak apa-apa, masih lumayan kering kok. Aku cuma ingin membuat teh hangat." Sela Viona sebelum Nathan kembali membuka suaranya.
"Kau mau aku buatkan juga?" tawarnya.
"Terserah."
Nathan berjalan menuju ruang tengah dan kemudian duduk di atas karpet tebal yang berhadapan dengan perapian. Suhu malam ini lumayan dingin, mungkin pengaruh dari hujan yang turun malam ini.
Viona masih berdiri di dapur, dan ketika menoleh, ia mendapati Nathan tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Nathan duduk sambil memeluk kakinya, duduk diam di depan perapian. Tatapan matanya datar , tidak menunjukkan ekspresi sama sekali.
Viona menghampiri Nathan sambil membawa dua cangkir berisi teh yang masih mengepul, menandakan jika teh itu baru saja diseduh. Gadis itu tidak mengatakan apa-apa selain tersenyum kecil dan menyerahkan cangkir berukuran sedang pada Nathan.
"Minumlah dulu, udara malam ini menurun. Teh ini berguna untuk membuat tubuhmu terasa hangat." Kata Viona yang diberi respon diam oleh Nathan.
Viona mengambil tempat di samping Nathan dan mulai membuka mantelnya. "Kau lembur malam ini?" tanya Nathan tanpa menatap lawan bicaranya.
"Seharusnya sih tidak, jika saja tidak ada operasi mendadak. Seorang wanita mengalami kecelakaan dan dia dalam keadaan hamil tua, jadi kami para dokter bedah harus bekerja sama untuk menyelamatkan nyawa Ibu dan bayinya."
"Apa operasinya berjalan lancar?" tanya Nathan penasaran yang kemudian dibalas anggukan oleh Viona. "Lalu kenapa pulang dengan taksi? Memangnya dimana mobilmu?"
Viona menyeruput tehnya sebelum menjawab pertanyaan Nathan. "Mobilku masuk bengkel." jawabnya "Tuan , aku istirahat duluan ya. Aku sangat lelah." Ucap Viona seraya bangkit dari duduknya.
Sebelum gadis itu benar-benar pergi, dia berbalik dan memberikan sesuatu pada Nathan. "Oya. Aku membelikan ponsel baru untukmu. Pasti kau membutuhkannya untuk menghubungi keluargamu. Mereka pasti sangat mencemaskan mu."
Nathan mengangkat wajahnya dan hanya menatap datar ponsel yang Viona berikan padanya, lalu mendorongnya. "Aku hargai niat baikmu, tapi aku tidak bisa menerimanya. Kau sudah terlalu banyak membantuku dan kau terlalu baik padaku, Nona." Viona menggeleng, gadis itu meraih tangan kanan Nathan dan memaksa pria itu untuk menerima ponsel pemberiannya.
"Aku akan sangat tersinggung jika kau menolaknya, Tuan. Kau bisa membalasnya suatu saat nanti." Viona tersenyum dan pergi begitu saja.
Nathan menggenggam erat ponsel pemberian Viona. Memang benar apa yang gadis itu katakan. Ia memang harus menghubungi orang rumah untuk memberitau kan keadaannya, Nathan yakin jika mereka memang sedang kelimpungan mencarinya apalagi kakaknya.
"Suatu saat nanti aku pasti akan membalas semua kebaikkanmu padaku, Viona Anggella"
-
Drett drett drettt...
Henry membuka matanya yang terasa berat saat mendengar dering pada ponselnya . Rasanya dia ingin sekali mengutuk orang yang menghubunginya dan mengganggu waktu tidurnya. Dengan enggan Henry menerima panggilan itu. "Halo," ucapnya dengan mata setengah terbuka.
"Ini aku,"
Kedua mata Henry yang semula masih setengah terbuka seketika terbuka lebar dan bangkit dari posisi berbaring nya setelah mendengar suara dingin yang begitu familiar menyapa gendang telinganya.
"NATHAN!!!"
-
Viona melirik jam di kamarnya, pukul dua belas malam. Rasa pusing di kepalanya dan flu yang menyerangnya membuat Viona tidak bisa tidur. Gadis itu mengusap matanya yang sedikit memerah karena rasa kantuk, rasa lelah yang di pundaknya masih belum sepenuhnya hilang.
Viona bangkit dari ranjang besarnya dan pergi ke dapur untuk mencari kotak obatnya. Ia harus menemukan obat pereda sakit kepala dan flu nya, jika tidak?
Ia tidak mungkin bisa pergi bekerja dan harus seharian berbaring di kamarnya. Viona mengalami demam karena kehujanan tadi.
Nathan yang masih belum beranjak dari perapian menoleh saat mendengar derap langkah kaki seseorang dan menemukan Viona celingukan seperti mencari sesuatu.
"Sial, dimana aku meletakkan kotak obat itu?" gumam Viona dengan wajah sedikit meringis karena rasa pusing di kepalanya yang semakin menjadi-jadi.
Sangat jelas Nathan mendengarkan gumaman gadis itu dan dia berani bertaruh jika gadis itu sedang demam karena kehujanan tadi. Nathan terus memperhatikan Viona yang sedang duduk di sofa sambil memegangi kepalanya yang terasa ingin pecah.
Bersin dan batuk juga terdengar jelas ditelinga Nathan. Pria itu terlihat bangkit dari posisinya dan menghampiri Viona yang terlihat menderita karena flu yang dideritanya.
"Kau demam." Gumam Nathan saat meletakkan salah satu tangannya di atas kening Viona.
"Tuan Nathan, kau belum tidur? Hm! Kepalaku sedikit pusing dan aku sedang mencari kotak obatku tapi tidak ketemu. Kenapa kau belum tidur?"
"Aku masih belum mengantuk, dan bisakah kau berhenti memanggilku dengan embel-embel, Tuan? Itu membuatku sangat merasa tidak nyaman." Ujarnya.
Nathan pergi meninggalkan Viona dan tak berselang lama pria itu kembali dengan sebuah kotak berbentuk persegi ditangannya "Apa ini yang kau cari? Kau meletakkan kotak obat ini dikamar tamu yang aku tempati." Viona menepuk jidatnya sendiri, bagaimana ia bisa lupa.
Gadis itu tersenyum tiga jari dan menerima beberapa obat yang Luhan berikan padanya. "Aku lupa, terimakasih. Berkat dirimu, flu-ku bisa diatasi." Setelah meminum obatnya, Viona kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Nathan pun mengikuti jejak Viona dan pergi ke kamar tamu, pemuda itu juga mulai mengantuk.
-
"Tuan, apa kau yakin akan pulang hari ini juga? Tapi kondisimu belum terlalu baik."
Kecemasan terpancar jelas dari sorot mata Viona. Nathan baru saja meminta ijin untuk pulang kerumahnya, bukan maksud Viona untuk menahan Nathan agar lebih lama lagi tinggal bersamanya.
Tapi keadaannya yang belum sepenuhnya membaik, luka-lukanya belum sepenuhnya membaik. Tapi Viona juga tidak bisa berbuat apa-apa, ia tidak mungkin memohon pada pria itu. Nathan juga memiliki keluarga dan tempat tinggal.
"Maaf jika selama ini sudah merepotkan mu, aku tidak akan pernah melupakan kebaikan mu padaku. Aku pasti akan membalasnya."
Viona menggeleng. "Tidak perlu memikirkan hal itu, Tuan. Karena aku tulus membantumu dan lagi pula menyelamatkan nyawa seseorang sudah menjadi sumpahku saat diriku dilantik menjadi seorang dokter. Baiklah, aku akan mengantarkan mu. Kau tunjukkan saja jalannya."
"Tidak perlu, seseorang akan datang menjemput ku." Ucapnya.
"Baiklah kalau begitu."
Dan benar apa yang Nathan katakan, sebuah mobil mewah keluaran terbaru terlihat memasuki halaman luas rumah Viona. Seorang pria berkulit tan terlihat keluar dari mobil itu dan menghampiri Nathan sambil membungkuk hormat
"Maaf Tuan, saya datang sedikit terlambat." Ucap orang itu penuh sesal.
"Tidak apa-apa." Jawabnya. "Baiklah, aku pergi. Terimakasih untuk semuanya." Viona tersenyum kemudian mengangguk.
"Sama-sama, Tuan,"
Pria yang menjemput Nathan membungkuk sekilas pada Viona sebelum pergi dari sana. Viona mendesah berat, gadis itu berbalik dan masuk kedalam rumahnya. Viona memutuskan untuk libur kerja hari ini. Kepalanya masih sangat pusing dan dia membutuhkan waktu lebih untuk beristirahat.
-
Kelegaan terlihat jelas di wajah Henry saat melihat Nathan pulang dalam keadaan baik-baik saja meskipun perban tampak melilit keningnya dan membalut luka di tulang pipinya. Henry langsung memeluk Nathan dengan erat. Nathan sedikit meringis karena peluk kan Henry tanpa sengaja menekan luka tembak di perut ya.
"Gege merasa lega melihatmu baik-baik saja, memangnya apa yang terjadi dan bagaimana kau bisa sampai terluka separah ini? Memangnya siapa yang melakukan ini padaku? Apa mungkin Ardinata kepar** itu? Dan selama beberapa hari ini kau tinggal dimana?" tanya Henry penasaran dan Nathan pun menceritakan semuanya pada kakaknya.
[Flasback]
Nathan meninggalkan kantornya setelah bertemu dengan beberapa Investor yang ingin menananamkan saham di perusahaan miliknya. Saat berjalan menuju parkiran, Nathan melihat dua van hitam terparkir diseberang jalan.
Tak ingin ambil pusing. Nathan segera masuk kedalam mobilnya, mobil sport hitam keluaran terbaru itu melaju perlahan menuju jalan raya. Melalui kaca spion, Nathan bisa melihat dua van itu mulai bergerak.
Untuk memastikan apakah van itu mengikutinya atau tidak, Nathan sengaja menambah kecepatan pada mobilnya, dan benar seperti dugaannya. Kedua van itu memang mengikutinya.
Dan tepat di jalanan yang lumayan sepi, Nathan menghentikan mobilnya. Kedua van itu pun ikut berhenti. Beberapa orang keluar dari mobil itu dan tanpa aba-aba langsung menyerang Nathan.
Perkelahian pun tak dapat terhindarkan, Nathan yang hanya sendiri dikeroyok sedikitnya dua puluh orang.
Nathan mengeluarkan pistolnya dan menembaki lawan-lawannya. Enam dari dua puluh berhasil dia tumbangkan. Nathan terus melawan mereka dan satu persatu berhasil di habisi, dan lebih dari setengah dari mereka telah meregang nyawa.
Jlebbb!!!
"Aaahhh!" Nathan mengerang saat sebuah pisau berhasil menusuk lengannya.
Lantas dia pun mencabut pisau itu dan melemparkan pada orang orang menusuknya. Pisau itu menancap pada kepala orang itu, Nathan mencabutnya dengan paksa sebelum menembak dada dan perutnya. Tubuh itu pun tumbang seketika.
Brakkk!!
Dengan sigap Nathan menahan balok kayu yang mengarah padanya kemudian menghantamkan balik pada kepala pria yang berdiri dibelakangnya. Tanpa ampun Nathan memukul dan menembak tubuh pria itu sebelum akhirnya terkapar juga.
Perkelahian pun masih tetap berlanjut. Hanya tersisa tiga orang lagi yang masih bertahan, Nathan tetap memasang wajah datarnya meskipun darah mengalir dari luka-lukanya.
Mereka menyerang Nathan dan mengeroyoknya. Nathan yang mulai kehabisan tenaga dibuat sedikit kwalahan oleh ketiga orang itu.
Tak kehabisan akal. Nathan mengiring salah satu dari mereka untuk masuk kedalam mobilnya lalu membakar orang itu hidup-hidup. Dan menyisakan dua lagi, Nathan mengeluarkan pisau yang terselip di pinggangnya dan melemparkan pada pria yang mengacungkan senjata padanya.
DORRR!!!
JLEBBB!!!
"Aaaahhh!" Satu peluru berhasil menembus perut Nathan, sementara pisau yang dia lemparkan menancap pada leher orang itu.
Dan Nathan membereskan orang-orang itu dengan menembak satu-satunya orang yang masih tersisa. Orang itu hendak melarikan diri sebelum dua peluru menembus punggung dan kepala belakangnya.
Nathan memperhatikan sekeliling, puluhan mayat bergelimpangan di jalanan. Untung jalan itu jarang sekali dilewati oleh kendaraan karena seringnya terjadi pembegalan hingga tak satu pun melihat insiden itu kecuali seorang pria penjual makanan yang sedang ketakutan di balik pohon.
Dengan langkah sedikit sempoyongan, Nathan meninggalkan lokasi dan pergi ke pemukiman. Rintik hujan yang turun membuat tubuh Nathan terasa sakit dan lukanya seperti ditaburi garam.
Nathan terus berjalan tanpa arah sampai langkahnya membawa kesebuah tempat yang sedikit asing.
Ditengah gerimis yang melanda, Nathan berjalan dan mencoba untuk bertahan sebelum akhirnya ia benar-benar kehilangan kesadarannya dan jatuh pingsan.
[Flashback End]
"Begitulah kejadiannya. Dan aku diselamatkan oleh seorang dokter muda yang begitu baik hati. Dia tidak hanya menyelamatkan nyawaku tapi juga memberiku tempat tinggal dan selama beberapa hari ini aku tinggal dirumahnya. Dan dia juga merawat ku dengan sangat baik." Ujar Nathan mengakhiri ceritanya.
Henry sedikit ngeri saat mendengar cerita Nathan, bukan karena luka yang dialami oleh adiknya itu. Namun karena kebringasan Nathan saat menghabisi mereka semua. "Aku berhutang terimakasih pada gadis itu, berkat dia nyawa adikku bisa terselamatkan."
"Dan aku berhutang nyawa padanya." Nathan menjawab cepat.
Dan sepanjang hidupnya. Nathan tidak akan pernah melupakan kebaikan Viona padanya. Dan jika takdir mengijinkan. Sekali lagi, Nathan ingin bertemu kembali dengannya. Tapi siapa yang menduga, jika pertemuan itu adalah awal dari kisah mereka berdua.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 265 Episodes
Comments
EndRu
1 kaan 20 ??? wooww
2023-09-24
0
Suzieqaisara Nazarudin
Senna kakak Nathan adalah dokter seniornya viona..
2022-06-28
0
Aam Prasetiyo
suka ceritanya
2021-11-24
0