POV Rosyanti.
Aku menghela nafas perlahan, ku edarkan
pandanganku ke sekeliling. Kampung ini
tidak pernah berubah. Jalanannya masih
sama. Masih berdebu dan tak rata.
Langkahku mulai gontai membawa tas
punggung yang agak besar. Perjalanan
kemari memang perlu waktu yang tidak
sedikit.
Aku mencari pria itu, pria yang
membuatku meninggalkan mas Malik
dan anakku.
Demi dia, aku melakukan sebuah
dosa besar, dosa yang mungkin saja
Tuhan tak bisa mengampuninya.
Sudah hampir 2 tahun aku meninggalkan
keluarga di kampung ini.
Tak kuhiraukan perkataan mereka yang
menasehatiku dulu. Aku sudah buta. Ya ....buta, buta karena dosa yang jelas-jelas
terpampang nyata.
Karena statusku yang sudah menikah dan mempunyai anak malah meninggalkan mereka. Pergi dengan pria lain yang aku cintai.
Bukannya aku tidak mencintai mas Malik.
Mungkin cintaku berubah. Dengan kehadiran
Annisa anakku, dia lebih memperhatikan
dan lebih menyayangi bayi mungil itu
daripada aku....istrinya.
Entahlah apa yang kurasakan saat itu. Hatiku terluka seolah aku kurang perhatian dari mas Malik.
Padahal suamiku menyayangi dan memberikan
perhatiannya pada anaknya sendiri bukan
orang lain.
Pertemuan pertamaku dengan pria itu tak disengaja. Kami bertemu di satu warung makan.
Nanik yang mengenalkanku padanya. Dia
bilang pria itu adik kelasnya dulu waktu
di sekolah.
Awalnya aku biasa-biasa saja dengan pria
itu, tak ada perasaan istimewa. Kami
bertemu kembali tanpa sengaja.
Waktu itu, aku berbelanja di pasar sore
dekat lapangan kampung. Aku mencari-cari
dompet yang terjatuh entah dimana.
Lelah kumencari, dia datang bagai pahlawan.
Disodorkannya dompet kepadaku. Aku tak
menyangka dia disini.
"Dompetmu gak jatuh Ros, tadi preman pasar memainkannya," sambil menunjuk dompet.
"Preman? tapi, tadi aku gak diapa-apain kok
sama mereka, kenapa bisa mereka punya
dompetku?," kernyitku heran.
"Ha....ha...ha.. Kamu itu udah dicopet,
tapi gak nyadar," sahutnya sambil
tertawa kecil.
"Dasar preman. Bisanya nyopet perempuan
untunglah ada kamu. Dompet dan isinya
selamat tanpa kurang apapun. Makasih ya,"
timpalku sambil memeriksa isi dompet.
"Santai aja, bukannya sesama manusia
harus saling membantu?," kerlingnya padaku.
"Oh ya, kenapa kamu tau kalo ini
dompetku, emang kamu temenan
sama mereka ya?," tanyaku asal.
"Ngawur...ya gaklah. Tadi aku lewat
di samping mereka dan tak sengaja
mendengar mereka udah dapat umpan
dan menunjuk seorang wanita.
Kulihat wanita yang ditunjuknya. Eh aku liat
kamu, trus aku mikir kamu juga lagi kayak
orang nyari-nyari sesuatu. Pasti
dompetmu yang di embat sama preman
kampung itu," jelasnya panjang lebar.
"Ck....ck...Kamu pinter juga ya, bisa mikir
kearah sana," decakku kagum.
"Ya udah. Aku masih ada urusan. Lain kali
ketemu lagi ya! simpen nomerku nih!," dia
memberikanku sebuah kartu nama.
Aku memandangnya sampai tak terlihat.
Ada rasa berdesir, tapi aku masih tidak tau
itu rasa seperti apa.
Dan mulailah aku menghubunginya hanya
dengan pesan tulis dan singkat. Lama
kelamaan kami terjerat oleh perasaan kami
dan kami mengacuhkan beberapa komentar
keluarga dan orang yang mengenal kami.
Kami mulai sering bertemu tanpa
sepengetahuan orang lain. Bersamanya
aku bisa mendapat perhatian lebih daripada
aku bersama mas Malik.
Hubungan kami berlanjut. Bahkan sampai
sekarang. Ya walaupun dia sudah berubah.
Lebih kasar dan mulai membentak.
Padahal, waktu aku berumah tangga dengan mas Malik, suamiku tidak pernah berbuat
kasar kepadaku.
Pekerjaannya di kota mulai goyah. Dia
diberhentikan oleh perusahaannya akibat
kelalaiannya sendiri. Dia lebih sering
memakiku dengan kata-kata kasar semenjak
itu, seolah-olah aku jadi pelampiasannya.
......................
Dan sekarang. Disinilah aku, tempat
dimana memulai semua dosaku. Aku
terpaksa kembali ke kampung ini.
Setidaknya dia tidak harus mengeluarkan
uang untuk tempat tinggal.
Beruntung dia
masih punya teman yang peduli padanya.
Di bengkel mas Kadir dia memulai
pekerjaannya. Dialah mas Andi,
orang-orang mengenalnya dengan
panggilan Aan.
Walaupun dia sudah bekerja, tapi tempramen
buruknya tak jua berubah, dia sering keluar
dengan teman-temannya dan tidak tau waktu.
Aku menikah secara agama saja dengannya,
dulu aku tidak peduli pernikahan itu sah atau
tidaknya karena aku masih menyandang
status istri orang dan mas Andi tau akan
hal tersebut.
...----------------...
Ku dongakkan kepalaku, menatap langit
biru di sore ini, aku baru saja tiba di kampung
ini, aku tidak memberitahu mas Andi kalau
aku akan mengunjunginya di bengkel.
Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak ingat
jalan menuju rumahnya di kampung sebelah,
satu-satunya cara aku harus mendatanginya
langsung di bengkel dan nanti ikut pulang
bersamanya.
Dipinggir jalan kampung, aku menghela nafas
setiap kali kuingat semua kesalahan yang
aku lakukan, penyesalan memang akan
selalu datang terlambat.
Aku mulai rindu
akan mas Malik dan Annisa anakku. Sekarang
dia pasti sudah besar, pasti dia lincah dan
aktif kemana-mana.
"Maaf ibu meninggalkanmu nak," lirihku sendirian.
Jalanan di sore ini begitu sepi dan lengang,
biasanya banyak kendaraan dan orang-orang
kampung yang melintas silih berganti tapi
tidak dengan saat ini.
Sayup-sayup terdengar suara mesin motor.
"Syukurlah aku tidak sendiri di jalan ini",
pikirku.
Aku mulai melangkah bersemangat.
Kulihat pengemudi motor itu, seorang lelaki.
Tapi sepertinya aku kenal dengan lelaki itu.
Dari balik kaca spion motornya kami
bertatapan sejenak.
Deg.......
Dia....dia....Mas Malik, lelaki yang aku
tinggalkan demi lelaki lain.
Langsung kuarahkan pandanganku
ke samping jalan.
Kupikir mas Malik juga menyadarinya. Dia
menyadari kalau aku lah wanita yang tega
meninggalkannya, kembali ke kampung ini.
Motornya melaju perlahan untuk lebih
memastikan itu aku atau bukan.
Setelah itu dia langsung melesatkan
motor bututnya.
"Sudah 2 tahun. Tapi motormu masih sama
mas, motor butut yang selalu menemani
kita jalan semasa pacaran dulu bahkan
ketika sudah menikah," lirihku seorang diri.
......................
Kulihat dari jauh mas Andi tengah
disibukkan dengan pekerjaannya. Semakin
dekat terlihat mas Kadir pemilik bengkel
keluar dari sebuah ruangan.
Ku hampiri beliau dan bersalaman dengannya.
"Mas kadir, apa kabar? lama kita gak ketemu,"
sambil melepaskan jabatan tanganku.
"Alhamdulillah baik. Kamu....kenapa kamu
bisa disini? ada perlu apa emangnya Ros?,"
dia seakan kaget melihatku disini.
"Oh...itu...aku...aku pengen ketemu sama
Aan mas,"jawabku.
"Aan..?? siapa Aan?," kernyitnya bingung.
"Itu dia mas orangnya!," tunjukku pada mas
Andi yang menghampiri kami.
"Andi?.... jadi kamu sama Andi.....?," tanpa
melanjutkan pertanyaannya mas Kadir
seakan paham maksudku kemari.
"Ngapain kamu kemari Ti? bukankah aku
bilang jangan kembali ke kampung ini?
apalagi kamu sampai ke tempat ini,
ayo kita pulang!." Mas Andi menarik
lenganku dengan kasar.
"Maaf sebelumnya mas Kadir, aku pamit
sebentar ya, mau nganterin Yanti pulang mas,"
mas Andi merasa tak enak pada majikannya.
"Iya....iya...lagian Imran udah dateng.
Sementara kerjaanmu tinggal saja sebentar.
Kalian pulanglah dulu," mas Kadir sepertinya
tau keadaan kami.
"Makasih mas pengertiannya. Kami pamit,
Assalamualaikum," ucap mas Andi yang
menyeret lenganku.
"Waalaikumsalam," mas Kadir menjawab
sambil memandangi kami dengan tatapan
aneh.
Kami melangkah keluar bengkel. Sebelum
memulai perjalanan pulang. Dia berujar
seakan menyudutkanku.
"Kamu ngapain sih Ti. Pulang ke kampung ini.
Apa kamu gak punya malu? wajahmu itu kau
tampakkan sama orang-orang yang kau
tinggalkan dulu,"
"Aku kesini hanya mencarimu mas.
Gak ada hubungannya dengan siapapun di
masa laluku. Aku lupa arah pulang ke
rumahmu yang di kampung sebelah.
Makanya aku kemari."
"Kamu kan bisa naik ojek!, ngapain juga
harus nyusul aku ke tempat mas Kadir,"
sungutnya sebal.
"Maaf mas, tapi uang ku gak cukup buat
ongkos ojek, makanya aku kepepet kemari."
Sanggahku.
"Ya sudah. Cepat naik! kerjaanku masih
banyak. Sampai rumah jangan pikir kamu
bisa kemana-mana. Ingat itu!," ancam mas
Andi.
Aku hanya mengangguk mengiyakan
ucapannya. Kuambil helm yang di
sodorkannya padaku.
Kami pun pulang menuju rumah di kampung sebelah.
Rumah yang sudah lama tidak di tempati.
Hatiku seakan perih mendengar perkataan
mas Andi barusan. Aku tidak boleh
kemana-mana. Aku kan bukan hewan
peliharaan yang harus diam di kandangnya.
Aku menghela nafas dan menghembuskannya
perlahan. Berharap sifat kasar mas Andi perlahan memudar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
APA DI AAN TAU KLO MJ MNTN SUAMINYA SI ROS..?
2023-04-26
0
Sulaiman Efendy
RUPANYA MONTIR BARU DI TMPATBL KADIR ADALAH SELINGKUHAN ROSYANTI... SI MJ CMA TAU NMA KYKNYA, TPI TK KNAL WAJAH..
2023-04-26
0
Awi Ciwy
tukan bner wah seru nich tmen bru mlik mlah org yg bwa kbur mntan istrik kamu lik
2022-02-04
0