Cita-cita

“Lu berdua udah mau lulus. Mau masuk SMA mana?” Tanya Kokom dengan mengarahkan matanya pada Budi dan Angga, saat kami tengah bermalam minggu di rumah Nisa.

Kebetulan malam minggu ini, tidak ada satu pun di antara kami yang mempunyai acara. Jadilah kami di sini, di balkon depan lantai dua rumah Nisa. Terlihat tugu Monasdari kejauhan dan jejeran genting berwarna coklat di sana.

“Tara.. kue bolu tape kesukaan kalian.” Nisa membawa senampan makanan, di sana ada kue bolu pisang, kacang kulit, dan minuman bersoda.

“Ini nih yang bikin gue betah di rumah Nisa.” Kata Budi dengan tangan yang sudah mengambil beberapa makanan di hdapannya.

“Lo mah, haus laper pulang gih, tinggal di tendang juga nyampe lo.” Ucap Angga. Memang rumah Budi persis di sebelah Nisa.

“Kamu di terima di SMA favorite itu, Ga?’ Tanya Nisa yang duduk di sebelang Angga.

“Kayanya gue di terima Nis, gue di rekomendasi karena prestasi gue di basket.”

“Oh.” Kami ber-oh bersama.

“Gue juga bakalan satu sekolah lagi sama Angga kayanya.’ Kata Budi santai.

“Halah lo mah emang ngefans banget sama gue. Ngikutin gue mulu.” Jawab Angga.

“Pe-De banget Lu, ya kan emang sekolah itu yang paling bagus dan paling deket dari rumah.” Budi melempar kacang ke muka Angga, dan Angga langsung membalasnya.

“Eh, kira-kira kita bakalan bisa kaya gini ngga ya sampe gede?” Tanyaku.

“Iya, kadang gue juga suka mikir, kalau udah gede kita bakal jadi apa ya?’ Sambung Lena.

“Ultraman.” Sahut Budi.

“Gue serius, Budi.” Rengek Lena.

“Kalau gue engga punya cita-cita, hidup mengalir aja apa adanya.” Jawab Kokom.

“Ya, kadang gue mikir juga, kalau udah gede gue mau jadi apa ya?’ Kata Budi sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Kalau gue, abis lulus SMA mau nikah aja, gue males belajar. Capek!” Ujar Lena.

“Lah lo mah, ga usah capek-capek kuliah Len, toko emak lo aja udah banyak di Tanah Abang. Tinggal jadi bos doank.” Celetuk Kokom.

“Emang kamu mau jadi apa, Bud?” tanya Nisa.

“Gue mau jadi orang kantoran, terus jadi bos nya, hahahaha.”

Pernyataan Budi membuat kami semua tergelak.

“Memang lo mau jadi apa, Nis?’ Tanya Angga.

“Pasti penulis.” Sahut Lena.

“Eh iya, lo kan dari SD sering dapet piala juara menulis, sampe bawa nama sekolah.” Celetuk Kokom.

“Hmm... Pengennya sih gitu, tapi kayanya bapakku ngga suka, buktinya piala dan penghargaan menulisku cuma ada di laci lemari, ngga pernah di pajang sama sekali.” Keluh Nisa.

“Bapak lo emang parah. Udah galaknya ampun-ampun, masa pulang jam 8 malem aja, lo kena empos kaya gitu sih.” Ucap Budi kesal.

“Empos?” Tanya Angga tak mengerti.

“Iya, empos itu, di cubit kenceng sampe biru.” Jawab kokom.

“Iya kalau engga percaya, liat aja tuh perutnya Nisa.” Lena menabahi.

Sontak pernyataan Kokom dan Nisa membuat Budi dan Angga penasaran, hingga menarik sedikit kaos oblong yang di gunakan Nisa.

“Apa-apaan sih kalian. Ih jangan buka-buka.” Nisa menahan tangan Budi dan Angga yang akan membuka kaos oblongnya.

“Gue penasaran, Nis.” Ucap Budi.

“Ah lu mah bukan pensaran tapi mupeng.” Lena mentoyor jidat Budi, dan Budi hanya membalasnya dengan cengiran.

“ini gara-gara gue traktir nonton yang sampe jam 8 malam itu?” Lena dan Kokom mengangguk, tapi Nisa hanya diam.

“Maaf ya, Nis. Lo kenapa ngga cerita sama gue, kalau lo diomelin pulang malem. Kata lo ngga apa-apa.” Ucap Angga dengan suara lirih.

“iya, emang ngga apa-apa. Aku ngga apa-apa kok. Emang bapakku kek gitu. Aku tau itu caranya dia melindungi anak perempuannya.”

“Bapak gue juga galak, Nis. Tapi gue ngga terima, makanya gue mau berontak.” Balas Kokom.

“Mungkin setiap orag tua beda-beda mendidik anak, tapi aku yakin mereka pengen yang terbaik buat kita.” Jawab Nisa.

“Gue tetep ngga terima, Nis.” Kata Kokom dengan pandangan lurus ke depan.

Tiba-tiba hening, akmi menikmati hembusan angin dingin di malam hari.

“Gue salut sama lu, Nis. Ngga semua anak bisa terima perlakuan kasar orang tuanya.” Suara Angga tiba-tiba keluar dari mulutnya yang masih berwarna merah muda.

“Karena walaupun bapakku galak, dia selalu bertanya seputar sekolahku, temen-temenku, padahal dia masih capek karena baru pulang kerja.” Nisa menghembuskan nafasnya kasar.

“Aku butuh mereka, dan aku pengen mereka bangga, karena perjuangan mereka luar biasa abnget buat anak-anaknya. Kalaupun bapak pengen aku jadi akuntan, aku ngga masalah untuk tidak menjadi penulis, asal bapakku senang.” Ucap Nisa lagi.

“Applause buat Nisa.” Angga menagngkat gelasnya ke atas. Sontak mebuat kami semua mengikutinya.

“Demi persahabatan kita.” Kata Budi.

“Demi cita-cita kita.” Kata Nisa.

“Demi apapun.” Kata Kokom.

“Yeaahhh.” Kata Lena.

“Just Friendship, noting love.” Angga menutup percakapan kami.

Terpopuler

Comments

Jasreena

Jasreena

di empos itu di cubit sambil d plintir... biru deh 🤦

2023-03-21

1

Ai Julaeha

Ai Julaeha

Kayanya ini kisah othornya dech soalnya baca dari cita cita Nisa pengen jadi penulis

2022-10-27

1

Amirha Amirha

Amirha Amirha

teringat jaman putih biru dan sampai skrg msih ada beberapa teman yg msih sering
kontak k aq 😍

2021-09-03

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!