*
*
*
Keesokan harinya saat di sekolah, di jam pelajaran pertama, kelas Brian mendapatkan informasi dari wali kelasnya. Ternyata karena besok hari ayah, semua murid diminta untuk mengajak ayah mereka ke sekolah dan menceritakan pengalaman keluarga yang menyenangkan.
Mendengar info itu telah membuat mood Brian langsung down. "Mana mungkin aku membawa ayah ke sekolah. Dia bisa mengacau nanti dan ... lagipula hal menyenangkan apa yang aku lakukan dengannya? Malah yang ada hal-hal yang menyebalkan."
"Aku tahu ayah mereka pasti hebat-hebat. Mereka bisa menertawakanku jika tahu sikap ayahku yang sebenarnya. Ini tidak asik!"
Saat jam istirahat, Brian yang sedang membereskan bukunya dikejutkan oleh teman sekelasnya. Tapi ekspresi Brian tetap datar dan ia langsung memberikan sebuah buku tulis ke temannya itu karena ia tahu apa yang diminta temannya tersebut.
"Wih, udah hapal, ya, ternyata? Hehe ..." Dengan santai, temannya itu menerima buku Brian lalu membukanya.
Brian menghela napas, lalu membuang muka dan menopang dagu menghadap ke jendela. "Cih, makanya belajar. Jangan maunya nyontek mulu."
"Aw, Brian kan terlalu baik. Jadi sayang–"
"Ku tampar mulut kau klo ngomong gitu lagi, ya?"
"Ah, i–iya! Maaf!" Dengan cepat temannya itu kembali ke tempat duduknya untuk menyalin PR dari buku Brian ke bukunya sebelum bel masuk berbunyi. Karena jam kedua lah PR itu harus dikumpulkan.
Tak lama anak itu pergi, ada dua orang yang menghampiri meja Brian untuk mengajaknya pergi ke kantin. Karena ia sedang lapar, lupa membawa bekal dan ia bosan sendirian di kelas, jadi langsung saja ia menerima ajakan tersebut.
Sebelum keluar keluar kelas, ia meminta Tony yang merupakan teman Brian yang meminjam bukunya tadi, untuk langsung menyimpan bukunya ke dalam tas setelah ia selesai menggunakannya. Setelah itu, Brian pun pergi bersama dua temannya yang lain.
Di lorong menuju kantin, Brian berjalan di belakang kedua teman-temannya dengan santai sambil memerhatikan ke sekitar. Lalu tak lama ia melihat ada seorang anak perempuan sedang memakan roti tak jauh dari lorong yang di lewatinya.
Kemudian ada anak lelaki lain yang terlebih dulu lewat di depan perempuan itu, lalu merebut roti yang dimakannya kemudian membawa kabur.
Langkah Brian dari lelaki nakal itu tidak terlalu jauh. Saat mereka berdekatan, dengan cepat Brian merebut balik roti tersebut, lalu berhenti sejenak. Begitu juga dengan lelaki itu.
"Hei–" Anak lelaki itu terkejut setelah melihat tatapan tajam dari Brian yang baru saja merebut rotinya. Ia tahu siapa Brian di sekolah tersebut. Ternyata hanya dengan melihat tatapannya saja telah membuatnya merinding. Jadi lelaki itu memutuskan untuk pergi, daripada berurusan dengan "Si Anak Singa".
"Kalian duluan saja." Ucap Brian pada kedua temannya. Setelah mereka pergi, Brian menghampiri anak perempuan yang sedang duduk di bangku taman sendirian. Ia mengembalikan roti itu pada pemiliknya. "Makanya pegang yang benar."
"Te–terima kasih." Ucap anak perempuan itu, lalu dengan ragu menerima rotinya kembali.
"Hei, kau cewek yang kemaren, kan?" tanya Brian yang masih berdiri di hadapannya.
"E–eh? Brian lagi, ya?"
"Kok bisa tau namaku?"
"Emm ... itu ... kau sangat terkenal di sekolah dan baik." Jawab anak itu dengan kaku. Lalu tak lama, ia berdiri, meletakkan rotinya di dalam kotak bekal, lalu membawa bekal itu pergi. "Ma–maaf. Orang sepertiku tidak cocok bicara denganmu. Bisa salah paham nanti. Aku pergi, ya? Sekali lagi terima kasih."
"Hei ... tunggu dulu. Memangnya ada apa, sih? Kenapa kau sendirian terus?" tanya Brian menghentikan langkahnya yang hendak ingin pergi.
Perempuan itu tidak berani menjawab karena ia merasakan ada beberapa tatapan mata yang tidak enak mengawasinya. Jadi tanpa menjawab, ia langsung pergi begitu saja.
Brian ingin mengejarnya karena takut perempuan itu kenapa-napa. Tapi karena ia kelaparan, jadi Brian lebih memilih untuk mengurus perutnya terlebih dahulu.
...****************...
> Distrik Minamitsuru, Yamanashi, Jepang <
"Fiuh, akhirnya selesai juga."
Seorang pria dewasa berambut coklat terang baru saja selesai menumbuk padi di halaman belakang rumah. Ia memutuskan untuk duduk sejenak di engawa dan beristirahat.
Masih ingat Dian Syahputra? Atau nama samaran yang ia buat sendiri yaitu Akihiro Daisuke? Ya. Saat ini ia sedang berada di kampung halaman Mizuki. Ia sudah menetap di sana selama 6 tahun untuk merawat anak pertama mereka.
Di waktu yang selama itu di Jepang, tentu saja Akihiro sudah menguasai bahasa di sana. Walau tidak sepenuhnya. Tapi setidaknya ia masih bisa berbicara dengan orang-orang di sana.
"Dian ... udah selesai?" Suara seorang wanita terdengar dari dalam rumah. Tak lain itu pasti Mizuki. "Sekarang tolong bawa apel-apel ibuku dari toko ke sini, dong! Cuma dua kotak aja."
"Zuki, kasih aku waktu lima menit aja buat istirahat bentar." Akihiro mengeluh, lalu merebahkan tubuhnya di atas teras belakang rumah itu.
Sampai tak lama kemudian, Akihiro merasakan kedatangan seseorang. Ia melihat kaki Mizuki di atas kepalanya dan tak sengaja matanya melihat sesuatu berwarna pink dari bawah rok Mizuki.
Lalu secara mendadak hantaman kaki mendarat di atas dahinya. "Hen**i!! Matamu melihat ke mana, Dian?!" Mizuki langsung sedikit menjauh dari Akihiro lalu duduk di samping lelaki itu.
Akihiro mengelus dahinya, lalu kembali bangun. Ia hanya tertawa kecil, lalu melirik ke semangka yang dibawa Mizuki. Tentu saja ia ingin mengambilnya, tapi mendadak Mizuki menepuk tangannya dan melarangnya.
"Eh, kenapa gak boleh, sih?" tanya Akihiro dengan nada merengek.
"Ambil apelnya dulu sana. Tar aku sisahin."
"Ih, jahat. Ya udah, aku jalan!" Akihiro akan pergi sekarang. Ia harus cepat, kalau tidak semangkanya akan dihabiskan oleh Mizuki.
"Eh, kalau ketemu Yuka suruh pulang, ya? Makan siang entar!" teriak Mizuki sebelum Akihiro mulai menjauh.
Setelah Akihiro menghilang dari pandangannya, Mizuki kembali memakan semangka sambil melihat pemandangan gunung Fuji dari dataran tinggi rumahnya. Sampai tak lama kemudian, terdengar suara ponsel Mizuki yang berdering.
Mizuki kembali masuk untuk memeriksa ponselnya dan menerima telepon masuk itu.
...****************...
Keluarga Hanashita berprofesi sebagai pedagang. Mereka memiliki toko buah-buahan yang letaknya tak jauh dari rumah. Yang menjaga toko itu adalah orang tua Mizuki. Sebelumnya ibu Mizuki pernah bekerja dan masuk universitas Indonesia. Makanya beliau bisa sedikit berbahasa Indonesia.
Selesai menerima dua kotak apel dari ibunya Mizuki, Akihiro membungkuk sedikit untuk mengucapkan "terima kasih", lalu pergi meninggalkan toko dan kembali ke rumah.
Saat menaiki beberapa anak tangga menuju dataran tinggi tempatnya tinggal, Akihiro terkejut mendengar suara anak kecil yang menangis. Tentu saja ia mengenal suara itu. Jadi langsung saja Akihiro menghampiri asal suara tersebut.
Tak lama, ia bertemu dengan seorang anak perempuan yang sedang terduduk di bawah pohon. Tentu dia masih menangis. "Yuka, eh kenapa ini?" tanya Akihiro lirih.
Ia meletakan dua kotak apel di samping tubuh anak kecil yang ternyata adalah putri pertamanya. Lelaki itu sudah terlatih untuk menenangkan Yuka karena gadis itu sering sekali menangis. Kadang tanpa sebab, atau sakit sedikit, ia selalu menangis. Padahal orang tuanya tidak pernah melakukan kekerasan.
"A–ada kucing ... ada kucing nakal, ayah! Hiks ..."
"Warna apa kucingnya? Ke mana dia pergi?" tanya Akihiro. Ia memeriksa seluruh tubuh Yuka sampai akhirnya ia menemukan luka cakar kecil di lengan anaknya.
"Kucingnya cewek, ayah. Ada rambutnya. Trus dia berdiri, buntutnya ada dua."
"Ha? Kucing apaan itu?" Akihiro bingung dengan deskripsi yang diceritakan Yuka. "Ah, mungkin kucing biasa. Kamu salah lihat. Ayo pulang, yuk! Lagi ngapain sendirian? Mana teman-temanmu?"
"Mereka pulang duluan, ayah."
"Ya sudah, ayo kamu juga pulang. Ngapain masih di sini?"
"Ya aku kejar kucingnya, Yah. Eh dia malah nyakar aku, hiks."
"Udah lah ... jangan nangis terus. Tar ayah obati lukanya."
Yuka mengangguk, lalu meraih tangan ayahnya dan kembali berdiri. Akihiro mengangkat dua kotak apel di atas pundaknya dengan satu tangan. Karena tangan satunya lagi masih digandeng Yuka yang ketakutan.
Setelah mereka pergi, kucing yang diceritakan Yuka itu pun muncul. Tapi wujudnya tak terlihat karena tertutup semak. Hanya saja, terlihat kalau kucing itu benar-benar memiliki dua ekor.
...****************...
Saat kembali ke rumah, Akihiro meletakkan dua kotak yang ia bawa di dekat pintu kayu khas Jepang atau Shoji. Di sana juga ada Natsuki yang sedang memakan semangka. Yang membuat Akihiro terkejut adalah, semangka di piring itu sudah satu. Sebelumnya ada banyak. Mungkin 1 buah dibagi 7 bagian.
"Bang Natsu! Apa yang kau lakukan?" tanya Akihiro sedikit membentak. Seketika Yuka yang ada di sampingnya kembali menangis karena gadis itu pikir, ayahnya memarahinya. "Eh, tidak, Yuka. Bukan kamu, astaga."
"Aku makan semangka." Jawab Natsuki dengan santainya. Ia berbahasa Indonesia ketika bicara dengan Akihiro karena sudah belajar dari adiknya, Mizuki.
"Tapi ... tapi ... ah sudahlah." Sekali lagi, Akihiro mengeluarkan keluhannya. Ia duduk di samping Natsuki, lalu memakan semangka yang tersisah. Tapi sebelum mulai melahapnya, Yuki meminta semangka itu untuknya saja.
Untuk yang terakhir kalinya, Akihiro mengeluhkan hembusan napasnya. Ia memberikan semangka terakhir itu untuk anaknya saja dan merelakan perutnya yang tidak mendapatkan sisah semangka itu.
Sekarang yang Akihiro lakukan adalah bengong di tempat. Tapi tak lama, ia ingat kalau dirinya harus memeriksa luka kecil di lengan Yuka tadi. Jadi langsung saja, Akihiro meminta Yuka menunjukkan lengannya lagi karena Akihiro ingin mengobatinya.
Namun saat diperiksa, luka tersebut menghilang tanpa bekas. Akihiro yang terkejut langsung bertanya, "Yuka, apa kau masih merasa sakit di bagian sini?"
"Emm ... dari tadi ga ada sakit apa-apa, Yah. Tadi aku cuma kaget trus takut. Aku takut sama kucing itu. Dia ... tubuhnya sebesar aku."
"Hah?!" Ia kaget lagi. Mendengar kucing ekor dua yang diceritakan Yuka saja sudah membuatnya terkejut. Apalagi sekarang kucing itu 2x lebih besar ukurannya dari kucing biasa. "Kucing macam apa itu?"
"Kucing besar? Seperti apa saja ciri-cirinya, Yuka?" tanya Natsuki.
"Emm ..." Yuka melirik ke Natsuki, lalu kembali menunduk untuk mengingat-ingat bentuknya. "Kucingnya setinggi Yuka. Dia ada kuping kucing juga. Bentuknya kayak orang, bisa berdiri. Trus buntutnya ada dua. Warnanya kuning."
"Itu Bakeneko." Natsuki bergumam setelah ia mendengarnya. Akihiro melirik wajahnya dan terlihat ekspresi cemas di wajah Natsuki.
*
*
*
To be continued–
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Amalyah Putri
membayangkan saat hari ayah... brian akan bicara apa ya... apa g turun sekolah
2021-05-04
0
🌌andini_nurhandayani🌌
Entah knp ak malah langsung terbayang sm visual novel kak Pipit yg dulu, judulnya "Attack on Animal Monster" klo gk salah. Mheheheheeheh😅😅
2021-04-28
0
mantan u
jdii penasaran ama kelanjutan cerita yg hari ayah. kiraa" Brian mengajak Denis ato Rei y?tpi menurut gw y thor,kek ny Rei dh. kan bnyk hal menyenangkan yg dilalui Brian ama Rei dripd Denis. tpi inii msii dugaan sii,gtw bnr ato g hehe:v. trus kek ny temenny Brian yg natap ank cewe pake tatapan tajam itu pd cemburu dh, secara Brian kan terkenal di sklh. ini mah fixs Brian cakepp. g ayah g anak sama" cakepp, avv cakep sejak dini kalik y sksk. next y Thor
2021-04-24
9