*
*
*
Brian membuka mata. Objek pertama yang ia lihat adalah pundak seseorang. Saat ia menoleh ke sampingnya, di sana ada Rei yang sedang berjalan. Tubuhnya terasa ringan, seakan ada yang menggendongnya.
Setelah energinya kembali, Brian mencoba untuk bergerak sebagai tanda kalau dia sudah bangun. Ia ingat kejadian sebelumnya, tapi ia tidak tahu kenapa bisa ada Rei dan ayahnya yang saat ini sedang menggendongnya di belakang.
Brian sedikit memberontak, lalu menepuk pundak ayahnya. "Ayah! Turunkan aku. Aku bukan anak kecil yang masih digendong-gendong!"
"Eh? Kau sudah sadar?" tanya Dennis, lalu berjongkok untuk menurunkan Brian. Setelah itu Dennis kembali bertanya, "Kau baik-baik saja? Apa ada yang sakit?"
"Tidak mungkin aku merasa sakit. Aku kan Brian yang kuat!" Brian berbangga diri, lalu menatap Rei. Ia tersenyum senang setelah melihat warna mata Rei yang berubah menjadi oranye kemerahan. "Wah! Pasti kak Rei yang menyelamatkan aku, ya? Soalnya ayah kan tidak mungkin sehebat Kak Rei."
"Eh?" Rei tersentak mendengarnya. Karena moodnya kembali seperti biasa, secara perlahan ekspresinya pun berubah menjadi dingin. "Bukan. Bukan aku yang–"
"Ah, jangan malu-malu kak Rei! Pasti kak Rei yang menolongku tadi. Kan ayahku mah gak bisa melawan orang-orang jahat tadi, loh!" Setelah menunjuk ke Dennis, Brian menarik-narik baju bawah Rei lalu kembali menatapnya. "Kak Rei! Coba ceritain, dong, bagaimana kakak bisa melawan orang-orang tadi."
"Ah, lain kali saja. Aku ada kerja sekarang. Maaf, ya? Aku lewat jalan ini. Kau pulang bersama ayahmu saja." Rei sebenarnya beralasan. Ia merasa tidak enak pada Dennis karena Brian lebih membanggakannya daripada ayahnya sendiri. "Maaf, Dennis. Semoga kau tidak menganggap kalau aku telah merebut moment penting dengan anakmu."
"Ah, Dennis." Rei memanggil. Dennis yang sedang bengong tanpa ekspresi pun terkejut dan langsung menoleh ke Rei. "A–apa Rei?"
"Aku duluan, ya?"
"Oke. Hati-hati." Dennis mengangguk sambil tersenyum. Rei sedikit menyipitkan matanya, lalu melirik ke arah lain. Ia tau senyuman Dennis yang tadi adalah senyuman yang dipaksakan. Tapi ia tidak tahu kenapa sebabnya. Sepertinya mood Dennis sedang tidak enak.
Rei melambai kecil, lalu berbelok ke jalan di sampingnya. Sementara itu, Dennis dan Brian tetap melewati jalan lurus di depannya. Mereka saling diam-diaman saja selama di perjalanan.
Seperti biasa, Brian tidak pernah ngomong dengan ayahnya berdua saja. Dennis sendiri juga tidak tahu harus mulai dari mana untuk mengajak anaknya bicara.
Sedari tadi, Dennis terus memasukkan tangan kanannya ke dalam kantung celana karena ia sedang memegang sesuatu di dalam sana. Ada satu benda yang ingin ia berikan pada Brian. Tapi ia masih belum berani karena bukan waktunya.
Di tempat Rei berada, setelah ia berjalan beberapa meter setelah berpisah dengan Brian dan Dennis, ia sempat berhenti di pinggir jalan. Ia menggenggam erat kedua alat pancing miliknya lalu bergumam dalam hati.
"Sebenarnya ... Dennis lah yang menyelamatkanmu, Brian. Kalau bukan karena kecepatannya, kau mungkin sudah dibawa masuk ke dalam mobil oleh penculik itu. Aku juga bodoh telah meninggalkan anak kecil di tempat sepi seperti tadi. Bahkan aku lupa kalau tak jauh dari sana ada peringatan tentang mengawasi anak kecil karena kawasan tadi sering terjadi pemerkosaan dan penculikan."
Rei menepuk keningnya, lalu mengacak-acak rambut depannya. Ia menghela napas lalu kembali bicara dengan diri sendiri di dalam hati. "Hah, aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi. Tapi ... melihat wajah Dennis tadi, sepertimya dia mulai tidak suka denganku karena aku selalu mengajak Brian main. Tapi bukan berarti aku ingin merebut anakmu. Mungkin aku akan bicara padanya nanti."
Rei kembali berjalan. Ia ingin kembali ke rumahnya sekarang, baru pergi ke kantor polisi untuk mengambil tugasnya. Rei masih menjadi detektif swasta yang identitasnya selalu dirahasiakan. Maka dari itu jarang ada orang yang tau profesi Rei yang sebenarnya. Tentu saja ia masih bekerja sama dengan kepolisian dalam kasus tertentu saja.
Namun akhir-akhir ini jarang ada yang memesan jasanya karena kota sudah mulai damai. Ketika ada kejahatan, kasus mereka gampang terungkap dan tidak berlama-lama menyimpan misteri.
Rei yang gabut karena tidak punya kerjaan lain selalu menonton televisi di rumah sambil makan mie ayam bawang. Paling sesekali ia berlatih tembak di rumahnya dengan pistol mainan milik adiknya.
Setiap hari, ia pasti memandangi dan meminta izin sebelum pergi ke mendiang Lino yang tempatnya terpajang di atas meja sudut ruangan. Lalu setiap Minggu, tak lupa kadang Rei suka pergi ke desa sendirian hanya untuk menengok makam kedua orang tuanya dan berdoa di sana.
Namun sekarang, Rei mendapatkan pekerjaan setelah lama berdiam diri untuk beberapa Minggu. Kali ini ada kasus tentang perselingkuhan dan kali ini pula, Rei tidak menanganinya sendiri. Ia sudah mempunyai rekan kerja yang baru, sekaligus calon istri yang disukainya.
DRRRTT! DRRRTT!
Ponsel Rei berdering. Tanda kalau ada telepon masuk. Langsung saja ia mengecek ponsel untuk melihat siapa yang telah menghubunginya itu. Saat membuka layar, Rei langsung mengangkat telepon tersebut. "Halo?"
[ Rei, maaf aku gak bisa bantu kamu karena ... em ... aku dikirim ke luar negeri untuk kasus lain di sana. Jadi untuk masalah yang di sini, kau bisa tangani sendiri, kan? Maaf banget loh, sayang. Ini juga mendadak. ]
"Kau pergi ke mana dan sampai kapan?" tanya Rei.
[ Ke Australia. Mungkin 3 Minggu kemudian baru pulang. ] Jawab wanita itu.
"Hmm ... ya sudah tidak apa-apa. Kau hati-hati di sana, ya? Mulai jalan besok?"
[ Iya. Besok aku ke bandara. Ada temanku juga di sana yang menunggu. Jadi aku harus cepat. ] Nada bicaranya terdengar cepat. Tak lama, wanita itu tersentak lalu kembali berbicara. [ Ah, iya! Maaf juga duh ... aku menundanya lagi. ]
"Ah, kalau soal itu tidak apa-apa. Pekerjaan lebih penting."
[ Ya, kau benar, Rei. Ah, sudah, ya? Aku harus pergi sekarang. ]
"Sepertinya kau sangat sibuk di sana."
[ Ya kan aku harus bersiap-siap untuk besok. A–aduh! ]
Rei sedikit terkejut saat mendengar suara gedubrak. Tapi ia menganggapnya biasa karena wanita itu memang sedikit agak ceroboh. "Kau jatuh lagi apa kesandung?" tanya Rei yang sepertinya sedang menahan tawa.
[ Duh duh ... aku menginjak selendangku. Haha ... licin soalnya. ]
"Hmm ... tolong nanti di sana juga jangan sampai ceroboh dan mengacaukan pekerjaanmu, ya?"
[ Umm ... aku akan berusaha untuk berhati-hati. Aku janji! ]
"Beneran janji?"
[ Iya ih, bawel. ]
"Kan kamu yang suka bawel."
[ Ahehe ... sudah ya, aku tutup. Bye! ]
"Kau jangan lupa ma–"
TUT!
Rei kembali memasang wajah biasanya lagi. Belum saja selesai bicara, wanita itu sudah menutup teleponnya. Wanita itu memang pekerja keras sampai lupa untuk mengurus dirinya sendiri. Tak jarang juga Rei selalu mengingatkannya.
Selesai dengan teleponnya, Rei kembali berjalan. Sampai di rumah, ia hanya menaruh pancingannya dan mengganti baju saja. Setelah itu pergi ke kantor polisi untuk meminta laporan dan mengambil barang-barang pentingnya di sana.
****************
"Wah~ Tumben kalian pulang jalan bersama."
Saat sampai di rumah, Cahya menyambut Brian dan Dennis dengan lembut di depan pintu.
"Tadi ada kak Rei. Tapi dia pulang duluan." Brian membalas. "Ah, gak asik jalan sama ayah. Aku lebih suka sama kak Rei."
"Eh, Brian gak boleh gitu. Kau harus lebih akrab dengan ayahmu, dong."
"Huh, ibu! Aku lapar. Ini buatkan ikan hasil tangkapan tadi." Brian menunjukkan ember yang ia bawa. Cahya terlihat senang bisa mendapatkan banyak makanan untuk sekarang.
"Ayo ibu masakkin." Cahya menerima ember itu, lalu mengajak Brian masuk. Mereka pergi berdua menuju dapur. Sementara Dennis masih sibuk membuka sepatunya dari tadi. Ia sengaja membuka talinya dilama-lamain, sampai tak sengaja, ia mendengar suara Brian yang selalu menyakiti hatinya.
"Ibu! Ini ikannya kak Rei yang dapatkan, loh! Dia hebat banget, gak kayak ayah."
"... Gak kayak ayah ...."
"... Gak kayak ayah ...."
Dennis menghela napas untuk yang kelima kalinya. Satu kalimat itu saja membuat hatinya sakit. Tapi tetap saja ia selalu menyalahkan diri sendiri dan menganggap kalau dirinya tidak bisa membahagiakan Brian.
Dennis bisa melihat Brian tersenyum dan bahagia kalau di dekat Rei. Tapi tidak di dekatnya. Ia bisa melihat Brian tersenyum di dekat Cahya. Tapi tidak dengan dirinya. "Apa yang telah kulakukan? Seberapa bodohnya aku menjadi ayah untuknya sampai anakku sendiri membenciku."
"Apa yang harus kulakukan?" Dennis masih menyimpan tangan kanannya di dalam saku. Lalu tak lama, ia mengeluarkan sesuatu dalam sakunya. Ternyata benda yang ia simpan adalah sebuah gantungan kunci bergambar singa lucu.
Ia keluar untuk membelinya tadi karena ia tahu Brian menyukai hewan singa. Tapi entah kapan ia bisa memberikannya. Ia takut Brian akan membuangnya karena tidak suka jika benda itu jika diberikan langsung darinya.
"Mungkin aku akan menunggu waktu yang tepat saja untuk memberikannya."
*
*
*
To be continued–
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
✳️Nåtåßÿå_ßÿå✳️🐣
Berkat gambar terakhir aku gak lupa kasi like😂😂
Gambarnya juga lucu, muka seram terus gigit ikan hadeehh..🤣
2021-07-08
1
Amalyah Putri
kenapa aku jd was was ya sama calonnya rei
2021-05-04
0
🌌andini_nurhandayani🌌
Wwwiiiiiiihhh, ku kira Rei jomblo abadii!!!😅😅Dah punya calon istri toh. Tapi entah kenapa aku malah punya firasat buruk sm calon istrinya Rei. Keknya.. gk serius gitu loh. Rei kan selalu tersakitii😂😂
2021-04-28
0