Higanbana
*
*
*
Ulululu~ Dennis
NOTE UNTUK EPISODE INI DAN KEDEPANNYA: CERITA INI HANYA FIKSI YANG DIAMBIL DARI HALU" AUTHORNYA AJA. MOHON MAAF KLO BANYAK TYPO,, KESAMAAN NAMA KARAKTER, TEMPAT DAN SEBAGAINYA.
KRITIKKAN KALIAN DARI NOVEL SEBELUMNYA BERMANFAAT BANGET BUAT AKU DAN ITU GA BUAT AKU PATAH SEMANGAT. JADI BIAR GAK TERULANG LAGI KATA KRITIKAN PEDASNYA, AKU AKAN BERUSAHA BUAT BIKIN NOVEL YANG SEKARANG INI LEBIH BAGUS DARI SEBELUMNYA. SEKALIAN BELAJAR" BIAR JADI BAIK JUGA. YA MOHON MAAP JUGA KLO MENURUT KALIAN MASIH BLOM BAGUS, EHEHEHE ><
SO ... DIBAWA ENJOY AJA DAN SEMOGA KALIAN SUKA CERITANYA ^^ Selamat membaca~
Jangan lupa like/komen/fav,, mwah :3
*
*
*
Di sebuah pedesaan di negri sakura, terdapat tanah lapang yang luas. Di sana terdapat banyak anak-anak kecil yang bermain dengan riang gembira. Salah satu dari mereka bermain petak umpet.
Hanya berdua saja. Yaitu si anak perempuan dan anak laki-laki. Si anak perempuan itulah yang jaga. Dia mulai menghitung dan si anak lelaki pun memasuki semak tak jauh dari lapangan itu untuk mencari tempat persembunyian.
Namun ternyata dibalik semak tersebut terdapat rumah sederhana yang di sekelilingnya terdapat banyak bunga merah yang indah.
Karena si kecil itu masih polos, dia tidak mengetahui bunga apa itu. Ia sangat ingin memetiknya karena cantik. Tapi saat ia menyentuh bunga itu, mendadak seperti ada yang menyengatnya. Sontak tangan anak itu pun langsung terangkat kembali.
Ia tidak merasa sakit dan hanya terkejut saja. Anak kecil itu tidak berhasil mengambil satu bunga karena kejutan tadi. Saat ia ingin mengambilnya lagi, tiba-tiba si anak perempuan tadi menemukannya.
Karena sudah bertemu, sekarang waktunya gantian. Tapi karena hari sudah semakin sore, bentar lagi matahari akan terbenam, maka si anak laki-laki itu pun mengajak temannya untuk pulang bersama.
Namun saat di tengah jalan pulang, mendadak laki-laki itu menyuruh si anak perempuan untuk pulang duluan. Alasan yang diberikan si anak lelaki itu adalah ia ingin menangkap kepiting di pinggir sungai.
Anak perempuan pun membiarkannya dan ia tetap berjalan ke arah rumahnya, sementara si anak laki-laki itu benar-benar pergi ke sungai. Entah ia ingin melakukan apa di sana. Tapi saat kakinya menyentuh air sungai, mendadak ia berteriak kesakitan dan terlihat darah mengalir melewati kakinya. Lalu beberapa tetesan darah lainnya.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
> HIGANBANA• <
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Aku pulang."
"Selamat data– eeeh?!" Seorang wanita muda yang sedang menyapu di depan halaman rumah pun terkejut setelah melihat seorang anak laki-laki yang pulang dengan baju kotor dan terdapat luka lebam di pipinya.
Dengan cepat wanita itu menjatuhkan sapu, lalu menghampiri anak kecil tersebut. "Kamu berkelahi lagi, sayang?"
"Itu bukan urusan ibu." Anak itu menjawabnya dengan nada dingin, lalu menepis tangan ibunya.
"Brian! Kamu gak boleh begini sama ibu. Ibu harus tahu keadaanmu. Kenapa setiap kamu pulang sekolah, selalu seperti ini. Kamu sebenarnya habis ngapain, sih?" tanya wanita itu yang merupakan ibu dari anak lelaki tersebut. "Jujur, hayo! Kamu berantem lagi, ya?"
"Hah ... kalau iya memangnya kenapa, Bu?" Anak kecil itu memutar bola matanya dengan malas, lalu membalas.
"Ya kamu gak boleh berantem gini, sayang. Kasihan tubuhmu nanti sakit semua, loh!" ucap sang ibu sambil menepuk-nepuk baju anaknya dengan niat untuk membersihkan beberapa kotoran di sana.
"Sudah biarkan saja, Bu. Kan yang sakit aku, bukan ibu. Kenapa ibu yang selalu panik setiap aku begini? Aku merasa baik-baik saja, kok!"
"Brian! Ibu cemas padamu. Ini tidak untuk pertama kali, tapi sering banget kamu pulang begini terus." Sang ibu menyentuh kedua pundak anak itu, lalu menatapnya dengan serius. "Kalau ada masalah, cerita pada ibu!"
"Dih, lebih baik ibu gak usah mencampuri urusanku. Aku ini sudah dewasa. Aku bisa mengurus diriku sendiri."
"Tidak. Umurmu baru 9 tahun, Brian. Kau masih butuh banyak bimbingan dan belum waktunya untukmu menjadi dewasa. Kamu gak bisa seperti ini terus, sayang. Ibu juga harus mengetahui keadaanmu dan lebih baik kamu jujur sekarang."
"Kalau aku cerita, ibu tidak akan mengerti."
"Brian!"
"Eh, ada apa ribut-ribut di sini?" Seseorang pun datang. Lelaki dewasa yang merupakan suami dari wanita itu dan ayah dari si anak kecil tersebut.
Sang ayah melihat keadaan kacau anaknya. Ia tersenyum, lalu bertanya dengan lirih, "Abis berkelahi lagi?"
"Ini juga bukan urusan ayah." Anak itu membuang muka, lalu berjalan melewati kedua orang tuanya begitu saja. "Bicara dengan kalian tidak ada habis-habisnya."
"Brian!" Wanita itu ingin membentak dan mengejar anaknya. Tapi suaminya pun menghalangi. "Sudahlah. Dia kelelahan kali, kan baru pulang sekolah. Biarkan istirahat dianya."
"Kau ini selalu saja lembut padanya. Dia udah kebiasaan kayak begitu, Dennis." Wanita yang berambut pendek seleher itu pun membalasnya. Dennis yang merupakan nama suami dari Cahya selalu sabar menghadapi anak mereka yang selalu nakal.
"Tidak. Dia pasti kurang perhatian dariku. Emm ... aku akan mengajaknya bermain nanti." Dennis kembali melirik ke Brian yang masih berjalan santai mendekati pintu rumah.
Saat ia membuka pintu, tiba-tiba saja seseorang mengejutkannya dari samping. Tak lain orang itu adalah adiknya Dennis yang bernama Adel. "Lah aku pikir Kak Dennis yang masuk."
"Gak usah ngagetin bisa gak, sih?!" Brian membentak. Suaranya sangat keras untuk seorang anak kecil.
"Kan aku maunya ngagetin kak Dennis, bukan kamu! Huuu!"
"Kalau mau ngagetin ya liat-liat dulu, dong!"
"Mana bisa gitu, woy!"
Dennis dan Cahya hanya bisa diam saja karena memang sudah biasa anak mereka dengan adiknya Dennis selalu bertengkar.
Brian Efendy adalah anak pertama dari pasangan Dennis Efendy dan Aulia Cahyani. Dia terkenal kasar dan emosian. Selalu membantah dan mau menang sendiri. Tapi ia tidak pernah manja dan anaknya sangat mandiri. Walau begitu, hatinya tetap baik dan tumbuh menjadi anak yang kuat.
"A–ano ... permisi ...."
Dennis dan Cahya terkejut mendengar suara anak kecil di belakangnya. Yang tak lain suara itu bukan dari Brian karena suaranya lebih lembut. Lagipula terdengar seperti suara perempuan.
"I–iya?" Dennis membukakan gerbang depan dan meminta anak itu untuk masuk. Tapi anak kecil itu tidak mau masuk dan hanya memberikan sesuatu pada Dennis.
"Eh ... apa ini? Kamu datang dari mana, sayang?" tanya Dennis lirih. Ia belum bisa menerima benda pemberian itu sebelum ia mengetahui asal usul anak tersebut.
"A–aku mengikuti dia pulang." Jawab anak kecil itu dengan ragu. Nada bicaranya terdengar menggemaskan. "Te–ternyata rumahnya di sini. A–anda pasti ayahnya dia yang tadi."
"Emm ... maksudnya Brian? Anak laki-laki yang datang ke sini, ya?" tanya Dennis balik.
Anak perempuan itu hanya mengangguk. Dennis pun melanjutkan pertanyaanya. "Eh, ada apa datang ke sini? Rumahmu di mana? Kamu tersesat, kah?"
Anak perempuan itu menggeleng, lalu meminta Dennis untuk menerima benda pemberiannya dan ia ingin mengucapkan sesuatu. "Emm ... tolong bilangin sama dia tadi ... em ... aku sangat berterima kasih dan bersyukur dia datang untuk menolongku."
"Eh? Maksudnya?"
"Dia tadi menolongku dari anak-anak pembuli yang meminta uangku. Terus dia berantem sampai anak-anak nakal itu kabur. Pokoknya keren banget dia. Makanya ... emm ... hanya ini yang bisa kuberikan untuknya sebagai tanda terima kasih." Anak itu ternyata memberikan sebuah pulpen lucu dengan kepala boneka sebagai penutupnya.
"Jadi Brian terluka karena menolong anak ini?" gumam Dennis dalam hati. Kemudian ia kembali melirik anak kecil di hadapannya itu, lalu menerima pulpen pemberian anak tersebut. "Em ... terima kasih, ya? Eh, apa kamu mau masuk dulu untuk bermain sama Brian?"
"Ah, jadi namanya Brian, ya? Akan aku ingat." Anak itu melompat kegirangan, lalu melambai kecil pada Dennis. "Maaf, aku gak bisa lama-lama papanya Brian! Aku juga mau pulang."
"Eh? Kau tau jalan pulangnya? Apakah rumahmu dekat dari sini?" tanya Dennis lagi.
"I–iya. Lumayan dekat. Kita cuma beda kawasan komplek saja, papanya Brian." Jawab anak itu, kemudian membungkuk kecil untuk memberi hormat. Sekali lagi ia melambai, lalu berlari menjauh.
Dennis menatapi pulpen pemberian anak tadi, lalu kembali menutup gerbang. Ia pun berjalan kecil mendekati teras rumah, kemudian bertemu dengan Cahya lagi di sana.
"Siapa tadi, sayang?" tanya Cahya.
"Emm ... kayaknya temannya Brian. Dia ngasih ini." Dennis menunjukkan pulpen itu pada Cahya. "Emm ... aku ingin bicara dengan Brian."
*
*
*
To be continued–
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Nur Fatayati
gtrnvjhnevnbjrcihrvnjevnrnhmrv jgevhrvki kvrj
fenu jegjyefeugj jgen jgeigu3
gemgkgd6bfeb ygekgj egjuebcenh vrkvhhrkg gknvkvrm kegjgebcjoefupvsn kvejgegj jrvjh
2021-07-30
0
✳️Nåtåßÿå_ßÿå✳️🐣
1 2 3 start...
Huft... baru selesai baca Way Out, next Higanbana😉😉
2021-07-08
1
Ari Fin
jjeij
2021-06-15
0