Di tengah kerlap-kerlip lampu kota, serta sorot lampu kendaran yang berlalu lalang. Ghani melangkahkan kakinya di trotoar, membiarkan angin malam menyapu lengannya yang terbuka. Tak henti-hentinya Ghani mengulas sebuah senyuman, hanya mengetahui namanya saja, ternyata ia sangat bahagia.
Sesekali Ghani bersenandung, mengalunkan melodi yang romantis. Mungkinkah ia sedang jatuh cinta?
"Bylla, nama yang sangat cantik. Bylla siapa ya kira-kira, ah aku sangat mengharapkan pertemuan selanjutnya," gumam Ghani sambil terus melangkah.
Sekitar setengah jam kemudian, Ghani membelokkan langkahnya di gang kecil, yang hanya diterangi lampu temaram. Ghani terus berjalan di bawah kegelapan malam. Beberapa menit kemudian, Ghani menghentikan langkahnya di depan rumah kecil, dan sederhana.
"Kesambet syetan apa kamu, Bang?" teriak Arron yang kala itu sedang duduk di teras.
"Apa sih Ron?"
"Sejak dari ujung sana lho, kamu senyum-senyum sendiri Bang, kenapa?" tanya Arron sambil mengernyitkan keningnya.
"Tidak apa-apa," jawab Ghani sambil duduk di sebelah Arron.
"Anak-anak ke mana?" tanya Ghani.
"Sudah tidur Bang." Jawab Arron.
"Mereka sudah makan?"
"Sudah dong Bang. Eh kamu kenapa sih Bang?" tanya Arron seraya menilik wajah Ghani yang tak henti-hentinya mengulas senyuman.
"Tidak apa-apa." Jawab Ghani.
"Bagi cerita dong Bang," kata Arron sambil menyenggol lengan Ghani.
"Tidak apa-apa. Hitung nih, penghasilanku hari ini, aku mau mandi," kata Ghani sembari meletakkan kantong plastik yang ia bawa, lalu ia melangkah pergi meninggalkan Arron.
"Aku penasaran, wanita mana yang bisa membuatmu senyum-senyum begitu Bang," gumam Arron sambil menatap punggung Ghani.
***
Satu bulan kemudian.
Kenyataan tak sesuai dengan apa yang Ghani harapkan. Sejak malam itu, tak sekalipun ia bersua dengan Bylla. Entah kemana wanita bak bidadari itu, berkali-kali Ghani mendatangi kedua tempat yang dulu pernah menjadi tempat pertemuannya, namun hasilnya nihil, sekilaspun ia tak mendapati sosok yang sedang dirindukannya.
Sore ini, Ghani sedang duduk sendiri di bawah pohon, di pinggir taman. Ia menunduk, menatap sepatu kumal yang membungkus kedua kakinya.
Untuk pertama kalinya ia mengeluh pada takdir. Kenapa harus bertemu, jika hanya menjebaknya dalam rindu. Kenapa harus mengenal, jika hanya menjebaknya dalam bimbang.
Ghani meletakkan gitar kecil yang sedari tadi ia genggam. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Ya Allah ampuni hamba, mungkin tidak seharusnya hamba bermimpi terlalu tinggi. Tapi, hamba benar-benar merindukannya Ya Allah. Jika memang dia bukan takdirku, tolong hapuskan rasa rindu ini Ya Allah," pinta Ghani sambil menghembuskan nafasnya dengan kasar.
Tak lama kemudian, Ghani mersakan tetesan air membasahi rambutnya. Ia mendongak, tampak di sana awan hitam sudah menggulung, menutupi hamparan langit luas. Terlalu larut dalam lamunan, ia sampai tak sadar dengan hujan yang siap mengguyur kota.
Dengan cepat Ghani beranjak dari duduknya, lalu ia berlari menyusuri jalanan yang menuju ke rumahnya.
Lima belas menit kemudian, Ghani sudah tiba di kediamannya. Lantas ia mengernyitkan keningnya, ketika menatap anak-anak menangis tersedu-sedu di teras. Apa yang terjadi?
Ghani mempercepat langkah kakinya, dengan jantung yang berdetak tak beraturan, ia menghampiri anak-anak asuhnya.
"Ada apa? Kenapa kalian menangis?" tanya Ghani sambil duduk berjongkok di depan Raffi.
"Alina Bang," jawab Raffi sambil menyeka air matanya.
"Alina, ada apa dengan Alina? Di mana dia?" tanya Ghani dengan cepat. Ia menoleh kesana kemari, mencari sosok bocah yang sangat disayanginya.
"Maafkan aku Bang, Alina hilang," sahut Bayu sambil tetap menangis.
"Hilang? Kenapa bisa hilang? Katakan apa yang sebenarnya terjadi!" kata Ghani dengan nada yang sedikit tinggi, ia benar-benar panik mendengar kabar tentang Alina.
"Tadi Alina ikut aku Bang." Jawab Bayu.
"Kamu ke mana?" tanya Ghani.
Bayu tidak menjawab, ia terus menunduk sambil meremas ujung bajunya.
"Kamu ngamen lagi?" tanya Ghani sambil menatap Bayu.
"Maaf Bang." Jawab Bayu dengan sangat pelan.
Ghani berdecak kesal, sembari memegangi kepalanya. Ia merasa gagal, dan tak bisa memberikan kebahagiaan untuk anak-anak asuhnya.
"Bayu, sudah berapa kali Abang bilang, jangan pernah mengamen! Kalian masih anak-anak, tugas kalian hanya belajar. Abang, dan Bang Arron yang akan mencukupi kebutuhan kalian.
Abang tahu, memang tidak banyak yang bisa Abang berikan. Tapi bersyukurlah, jangan seperti ini, jangan mencari uang sendiri, itu sangat berbahaya bagi kalian. Abang memang tidak mampu menyekolahkan kalian, tapi Abang berusaha mencarikan buku untuk kalian pelajari. Agar sedikit demi sedikit, kalian bisa mengenal pendidikan." Ghani berbicara panjang lebar, dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Bang, maafkan aku Bang. Aku benar-benar minta maaf Bang. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi Bang," kata Bayu sambil memeluk lengan Ghani dengan erat.
"Hukum aku Bang, aku rela. Tapi sebelum itu, tolong cari Alina Bang. Aku tidak mau kehilangan dia Bang!" ucap Bayu dengan tangis yang semakin pecah.
Ghani menghela nafas panjang, tidak ada gunanya memarahi Bayu. Dia masih anak-anak, dia tidak akan bisa mengerti dengan apa yang dirasakannya.
"Kalian masuklah! Ingat jangan kemana-mana. Abang akan mencari Alina," kata Ghani dengan tegas.
"Maafkan aku ya Bang." Bayu masih terus meminta maaf.
"Sudah, jangan terus meminta maaf. Abang tidak marah, asalkan kamu berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Sekarang masuklah! Jangan lupa tutup pintunya!" kata Ghani sambil beranjak dari duduknya.
"Iya Bang." jawab mereka sambil menyeka air matanya.
Lalu satu persatu dari mereka mulai masuk ke dalam rumah.
"Hati-hati ya Bang!" kata Bayu sebelum menutup pintu.
"Iya." Jawab Ghani.
***
Hari sudah berganti malam, namun guyuran hujan tak juga reda. Ghani melangkah ditengah dinginnya malam, mencari sosok kecil yang menemani hari-harinya. Entah di mana dia sekarang, berjam-jam Ghani mencari, namun tak jua ia temui. Ghani tak peduli dengan tubuhnya yang basah kuyup, bahkan jemari tangan dan kakinya sudah keriput.
"Ya Allah di mana Alina, dia pasti sendirian di luar sana, dia pasti kedinginan, juga ketakutan. Ke mana lagi aku harus mencarinya," gumam Ghani sambil mengusap air hujan yang mengalir di wajahnya.
Sekitar satu jam kemudian, Ghani memutuskan untuk pulang. Ia gagal menemukan sosok Alina. Ghani melangkah gontai, menyusuri gang kecil yang tak jauh dari rumahnya. Hati dan pikirannya sangat kacau, ia sangat mengkhawatirkan Alina.
Hati Ghani teriris sakit, kala menatap rumahnya yang sudah ada di depan mata. Apa yang akan ia katakan nanti, saat anak-anak lainnya menanyakan tentang Alina. Bagaimana perasaan mereka, jika satu di antaranya hilang entah ke mana.
Semakin berat Ghani melangkahkan kakinya, rasanya ia tak sanggup bertemu dengan anak-anak asuhnya. Ia tidak ingin mengecewakan mereka. Namun disisi lain, Ghani juga tahu, jika kejujuran itu adalah hal yang wajib. Ia tak mungkin membohongi anak-anak, dengan memberikan harapan, yang belum tentu sesuai dengan kenyataan.
Ghani mulai menginjakkan kakinya di teras rumah. Hujan tak lagi mengguyur tubuhnya, namun kini berganti air mata yang mengalir dari sudut matanya. Gadis kecil yang seharusnya ia jaga, kini entah bagaimana keadaannya.
Disaat Ghani sedang menunduk pilu, tiba-tiba ada sorot lampu yang bersinar cukup terang.
Ghani menoleh ke belakang, mencari sumber cahaya yang sedang menyinarinya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Jong Nyuk Tjen
ceritanya bagus thor , beda am cerita yang lain. Biasanya yg tajir itu s cowok tp kali ini yg tajir s cewekny .
2022-09-27
0
khairi
👯👯👯Allina di antar Billa 😂😂😂salah apa benar.
2021-07-06
1
IrnaMahdaR
alur yang mengalun lembut
2021-03-11
0