Bibir Ghani tampak bergerak-gerak, namun hingga beberapa detik lamanya, tak kunjung ada kata yang keluar dari mulutnya.
Ghani menatap wanita yang berdiri tepat di hadapannya, wajahnya tampak ayu natural. Bulu mata yang lentik menghiasi matanya yang bulat, hidungnya tidak terlalu mancung, tapi sangat serasi dengan bibirnya yang tipis dan ranum. Rambutnya lurus sebahu dengan poni depan yang tebal dan rapi, terlihat menggemaskan dengan pipinya yang sedikit chuby.
Bukan gambaran yang buruk, baik dari segi rupa, maupun dari segi akhlak. Namun bertahun-tahun saling mengenal, Ghani sama sekali tak memiliki perasaan istimewa untuknya.
"Bang!" Panggil Melani.
Ia menatap Ghani dengan harap-harap cemas. Mungkinkah lelaki itu aku akan mematahkan hatinya. Dalam hati ia sangat berharap, lelaki itu akan menyimpan perasaan yang sama untuknya. Namun jika kenyataan tak sesuai dengan harapan, ia mencoba untuk menerima. Soal hati memang tidak bisa dipaksakan.
"Melani, aku...aku..."
"Katakan saja Bang, jangan ragu-ragu! Apapun yang kau rasakan, aku mencoba untuk mengerti," sahut Melani.
Ghani menghela nafas panjang, lalu ia kembali menatap Melani.
"Sebenarnya, sampai saat ini aku masih belum berani memiliki perasaan yang seperti itu." Ucap Ghani dengan pelan.
"Maksudnya bagaimana Bang?" tanya Melani.
"Kau tahu bagaimana keadaanku Mel, aku belum pantas mencintai, ataupun dicintai. Saat ini, tujuan hidupku hanya satu, membahagiakan anak-anak. Aku harus memberikan kehidupan yang layak bagi mereka, aku tidak ingin masa depan mereka sama sepertiku." Kata Ghani sambil tertawa hambar.
"Aku mengerti apa yang kamu rasakan Bang, tapi, bukankah semua orang itu berhak punya cinta, tak peduli bagaimanapun keadaannya." Ucap Melani.
"Yang kamu katakan memang benar, tapi bagiku, sekali aku berani mencintai, aku harus bisa membuatnya bahagia. Dan sekarang, aku tidak punya apa-apa untuk membahagiakan seseorang. Melani, aku belum berani mencintai, karena aku takut cinta ini justru akan membuat sengsara."
"Kebahagiaan tidak hanya tentang harta Bang."
"Aku tahu Mel, tapi jika untuk membuatnya kenyang saja, aku belum tentu mampu. Apa kira-kira dia akan bahagia?"
Melani tidak menjawab, karena tak tahu lagi harus bicara apa. Sesungguhnya ia mau menerima apapun keadaan Ghani, tapi ia juga tidak bisa memaksa, ia mencoba untuk menghargai pilihannya.
"Aku mengerti Bang, maaf sudah lancang membicarakan hal ini." Kata Melani sambil menunduk.
"Tidak apa-apa, justru aku yang seharusnya meminta maaf. Mungkin jawabanku mengecewakan kamu, tapi mau bagaimana lagi, aku belum pantas untuk memilikimu Mel." Jawab Ghani.
"Tapi kita tetap berteman kan Bang?" tanya Melani.
"Tentu saja."
"Jangan bilang siapa-siapa ya Bang," pinta Melani sambil menggenggam lengan Ghani.
"Tidak, cukup kita saja yang tahu," jawab Ghani sambil tersenyum.
"Aku menunggumu Bang, semoga suatu saat nanti, wanita pertama yang kau cintai adalah aku," batin Melani sambil melepaskan tangan Ghani.
Ia menatap kepergian lelaki itu dengan senyum yang terulas manis di bibirnya. Melani baru beranjak dari tempatnya, saat tubuh Ghani sudah menghilang di belokan.
***
Di dunia ini memang tak ada yang abadi. Segala sesuatunya berputar dengan semestinya. Setiap hal merasakan di titik atas, dan juga di titik bawah. Tak peduli sekuat apapun dia, adakalanya akan menghilang jua.
Seperti sang surya, meskipun tampak perkasa, dan berada di titik yang paling tinggi, namun itu tak abadi. Kala malam menjelang, surya mulai menghilang, berganti bulan dan bintang, yang menghiasi angkasa raya.
Dalam tatanan alam, semua hal berjalan sesuai dengan garis edarnya. Sedangkan manusia, mereka berjalan sesuai dengan garis takdirnya.
Seperti halnya detik ini, begitu cepat siang berlalu menjadi malam. Sang surya yang beberapa jam lalu masih bersinar terang, kini sudah tenggelam di ufuk barat. Waktu memang tak mau menunggu, ia terus berjalan meskipun kita menghendakinya untuk berhenti.
Itu jua yang dirasakan oleh Bylla. Ia sedang berdiri terpaku di depan pusat perbelanjaan, raut wajahnya terlihat sangat gelisah. Hari sudah malam, sedangkan dirinya masih tidak tahu berapa lama lagi harus menunggu.
"Mana ya Kak Leon, katanya akan menjemputku, tapi sudah hampir satu jam belum nongol-nongol juga." Gerutu Bylla seorang diri.
Hari ini dia tidak membawa mobil, karena tadi pagi ia berangkat ke kantor bersama Reymond. Namun sore tadi Reymond ada rapat, sehingga tidak bisa mengantarkannya pulang.
Alhasil Bylla pulang sendiri dengan menggunakan taxi, namun ia mampir belanja terlebih dahulu. Dalam perjalanan tadi, Bylla mendapatkan telfon dari Leon, dia mengajak Bylla untuk mengunjungi Nenek Halimah. Leon berjanji akan menjemputnya, karena kebetulan letak kantornya tidak jauh dari pusat perbelanjaan.
"Mana ponsel low bat, bagaimana caranya aku menghubungi Kak Leon," gumam Bylla sambil menoleh kesana kemari.
Tak berapa lama kemudian, samar-samar Bylla mendengar suara nyanyian yang mengalun cukup merdu. Bylla menoleh, menatap ke arah sumber suara. Bylla memicingkan matanya, menatap sosok di depannya dengan lebih intens.
"Dia mirip dengan lelaki yang waktu itu." Gumam Bylla dengan pelan.
Selang beberapa detik lelaki itu mulai berjalan ke arahnya. Kini ia berdiri tak jauh dari tempat Bylla. Lelaki itu kembali memetik senar gitarnya, yang kini terdengar lebih jelas di telinga Bylla.
Ia menyanyikan sebuah lagu yang belum pernah Bylla dengar.
Kusambut pagi dengan sebuah tawa
Tak peduli meski diri tak punya harta
Kusematkan mimpi di dalam jiwa
Berharap suatu masa
kan menjelma menjadi nyata
Aku hanya insan biasa
Yang hanya pandai merangkai asa
Namun aku tak pernah menyerah
Aku tetap bertahan meski kaki terasa lelah
Akulah insan pemimpi
Yang berharap menggapai rembulan
Akulah insan pemimpi
Yang berharap meraih bintang
Bylla tersenyum, seakan ikut terhanyut dalam alunan melodi yang ia dengarkan. Tak lama kemudian, lelaki itu mengakhiri petikan jemarinya. Beberapa orang di sekitarnya, mulai memasukkan koin uang ke dalam kantong plastik yang ia bawa.
Bylla melangkahkan kakinya, ia berjalan menghampiri lelaki itu, sambil menggenggam lembaran uang ratusan ribu.
"Lagu yang sangat merdu," ucap Bylla sambil memasukkan uang ke dalam kantong plastik milik lelaki itu.
Lelaki itu mendongak, menatap Bylla tanpa kedip. Dan tak lama kemudian, ia menatap ke dalam kantong plastik yang ada di tangannya.
"Jangan banyak-banyak Nona," kata lelaki itu.
"Tidak apa-apa," jawab Bylla sambil menggeleng.
"Tapi..."
"Apakah kau lelaki yang waktu itu?" tanya Bylla memotong ucapan lawan bicaranya.
"Kau, kau masih mengingatku?"
Lelaki yang tak lain adalah Ghani, ia menunduk menyembunyikan senyumannya. Tak pernah ia membayangkan, akan bertemu kembali dengan pemilik mata biru. Apa lagi sampai dia mengingatnya.
"Iya, tapi aku tadi sempat ragu." Jawab Bylla.
Belum sempat Ghani bertanya lebih jauh, tiba-tiba ada lelaki yang datang menghampiri mereka.
"Bylla, sorry aku sedikit terlambat, tadi aku masih mengantarkan temanku." Kata Leon yang baru saja datang.
Ghani menoleh, menatap lelaki tampan yang memakai setelan formal. Lelaki yang satu kasta dengan wanita yang akhir-akhir ini sering ia rindukan.
"Aku sudah lama menunggumu, Kak." Ucap Bylla merajuk.
"Maaf, aku tadi sudah berkali-kali menelfonmu, tapi nomormu tidak aktif." Kata Leon.
"Ponselku low bat," jawab Bylla sambil tersenyum lebar.
"Dasar pelupa!" Umpat Leon.
"Siapa dia? mungkinkah dia kekasihnya? Kenapa hatiku jadi tidak ya," batin Ghani sambil meremas kantong plastik yang ada dalam genggamannya.
"Ayo!" ajak Leon sambil membalikkan badannya, dan melangkah menuju mobilnya.
"Iya."
"Aku pergi dulu ya," ucap Bylla sambil menatap Ghani.
Ghani menjawabnya dengan anggukan.
Namun baru beberapa langkah Bylla berjalan, tiba-tiba Ghani berteriak padanya.
"Tunggu!" teriak Ghani, sambil melangkah mendekati Bylla.
"Ada apa?" tanya Bylla.
"Ghani," ucap Ghani sambil mengulurkan tangannya.
"Bylla," jawab Bylla seraya menyambut tangan Ghani.
"Maaf, aku...aku..."
"Ada apa?"
"Mmm."
"Ada apa? Katakan saja!" kata Bylla sambil menatap Ghani.
"Apa dia kekasihmu? Mmmm maaf bukan apa-apa, aku hanya, aku...aku..." ucap Ghani dengan gugup.
"Aduh bodoh sekali aku, untuk apa menanyakan hal ini," batin Ghani sambil menggigit bibirnya.
"Bukan, dia kakakku." Jawab Bylla.
"Kakak?" tanya Ghani sambil mengernyitkan keningnya. Benarkah itu kakaknya, kenapa wajahnya sangat jauh berbeda.
"Iya, dia kakakku, tapi kakak sepupu, bukan kakak kandung." Jawab Bylla.
"Oh."
"Ayo Byl!" teriak Leon dari kejauhan.
"Iya." Jawab Bylla dengan suara yang sedikit keras.
"Aku pergi dulu ya," ucap Bylla sambil melangkah pergi meninggalkan Ghani.
"Semoga kita bisa bertemu lagi," bisik Ghani sambil tersenyum lebar. Sebuah bisikan, yang tentu saja hanya dirinya sendiri yang mendengar.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
gaby
Halah Melani omong doang, nyatain cinta tapi Ghani beli soto mbayar, kasih gratis dong kalo emang cinta. Lagian kan itung2 amal sm anak2 terlantar di panti. Melani pelit, pantesnya pny jodoh org pelit jg.
2023-10-30
1
Siti Fatimah Fatimah
disini karakternya berani semua ya.....
2022-03-03
0
Yatik Elram
semoga Gani
2021-10-21
0