"Mata biru." Gumam Ghani dengan sangat pelan, diiringi seulas senyum yang tampak mengembang di bibirnya.
"Kau kenapa Bang?" tanya Arron sambil mengernyit heran.
"Tidak apa-apa." Jawab Ghani sambil tetap tersenyum.
"Kau seperti orang yang sedang jatuh cinta Bang, senyum-senyum sendiri, tanpa alasan yang jelas." Kata Arron sambil menyimpan uangnya ke dalam kantong.
"Alasanku jelas Ron, aku tersenyum karena aku bahagia melihatmu pulang membawa uang." Kilah Ghani.
"Tidak percaya, kau seperti sedang membayangkan seseorang Bang." Cibir Arron.
"Terserah kau saja, aku tidak memaksamu untuk percaya!" Kata Ghani sambil beranjak dari duduknya. Ia melangkah masuk ke dalam rumahnya, tak lupa ia juga membawa gitar yang selalu menemaninya.
"Sudah selesai?" tanya Ghani pada anak-anak asuhnya.
"Sudah Bang." Jawab Bayu, bocah berumur 12 tahun, dia adalah bocah yang paling besar, karena yang lainnya masih berusia 7 sampai 10 tahun.
"Sangat kenyang Bang." Sahut Alina sambil tersenyum senang.
Alina adalah satu-satunya bocah perempuan yang ada di sini. Di antara temannya, dia yang paling kecil. Umurnya baru menginjak 7 tahun, kendati demikian dia sangat cerdas, dia gemar sekali melukis. Ghani sangat menyayanginya, dia merasa sangat iba dengan anak itu.
Alina menjadi yatim piatu sejak berusia 4 tahun, orang tua dan kakaknya meninggal dalam kecelakaan.
Sebenarnya Alina terlahir ditengah keluarga yang berada, namun sejak keluarganya tiada, Alina hidup di jalanan. Harta milik orang tuanya, diambil paksa oleh bibi dan pamannya. Alina kecil tak bisa apa-apa, dia hanya bisa menangis di pinggir jalan, saat dirinya dibuang ke Kota Surabaya. Sebuah kota yang cukup jauh dari tempat tinggalnya dahulu, yakni Kota Jakarta. Alina mulai bisa tersenyum, saat Ghani menolongnya, dan merawatnya.
"Sudah berdoa?" tanya Ghani sambil menatap ketujuh anak asuhnya. Bayu, Doni, Sandi, Albi, Ian, Raffi, dan Alina.
"Belum Bang." Jawab mereka serempak.
"Ayo sekarang berdoa dulu, ingat ya selesai makan kita wajib berdoa. Kita bersyukur karena Allah masih menurunkan rezekinya untuk kita. Ayo Abang bimbing!" kata Ghani sambil duduk di antara mereka.
"Alhamdulillahilladzi At'amana wasakhaana waja'alana minalmuslimin aamiin." Ucap mereka bersama-sama.
"Pinter sekali adik-adik Abang ini. Ayo sekarang cuci tangan, cuci kaki, setelah itu tidur ya, sudah malam. Besok tidak boleh bangun telat ya, harus bangun sebelum adzan shubuh, okey?" ucap Ghani sambil mengacungkan kedua jempolnya.
"Okey Bang!" Jawab mereka serempak.
Kemudian mereka berlarian menuju ke kamar mandi. Ghani mengikutinya di belakang. Melihat mereka tertawa, Ghani merasa sangat bahagia.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah berbaring di atas tikar, yang digelar di dalam kamar. Mereka tidur bersama, kecuali Alina. Karena dia perempuan, ia tidur sendiri di atas tikar kecil, namun masih berada dalam satu ruangan. Panti ini memiliki dua kamar, satu kamarnya anak-anak, dan satu lagi kamarnya Ghani dan Arron.
"Dongeng Bang, ayo bacakan dongeng!" rengek mereka, ketika melihat Ghani hendak keluar dari kamar.
"Iya Bang, aku ingin mendengar cerita seorang putri yang baik hati," sahut Alina sambil menatap Ghani.
Ghani tersenyum, lalu ia kembali ke dalam kamar. Ia duduk bersimpuh di antara anak-anak asuhnya yang sedang berbaring.
"Setelah dongengnya selesai, kalian langsung tidur ya," ucap Ghani.
"Iya Bang."
"Janji Bang."
"Pada zaman dahulu, di sebuah istana yang sangat megah. Istana ini dibangun dengan emas, kekayaannya sudah tak terhingga, raja dan ratu adalah orang yang paling kaya di wilayah itu.
Mereka memiliki seorang putri yang cantik jelita, anggun, lemah lembut, dan sangat bijaksana. Tutur sapanya menenangkan, senyumannya membuat orang terpesona, dan lagi dia memiliki mata biru yang sangat menawan." Kata Ghani dengan panjang lebar. Ia menatap anak-anak yang mendengarkan ceritanya dengan seksama.
"Banyak pangeran dari beberapa kerajaan yang datang melamarnya. Namun sang putri menolak, karena kebanyakan pangeran-pangeran itu sombong, sedangkan sang putri, ia sangat sederhana, dan baik hati.
Pada suatu hari sang putri pergi berburu di tengah hutan belantara, dan ia tersesat." Sambung Ghani.
"Kasihan putrinya Bang." Kata Bayu.
"Iya Bang, dia baik hati kenapa tidak bahagia?" tanya Ian.
"Sstt, kalian diam dulu, ceritanya belum selesai!" Kata Ghani.
"Lanjut Bang, lanjut Bang!"
"Dengarkan baik-baik ya, putri itu tersesat, dan tidak bisa menemukan jalan pulang. Hingga malam tiba, ia tetap berputar-putar di dalam hutan.
Namun tak lama kemudian, ada seorang lelaki yang baru saja pulang dari sungai. Lelaki itu menolong sang putri, dan membawanya pulang ke gubuknya. Lelaki itu menjamu sang putri dengan ikan yang baru saja ia tangkap. Dan lelaki itu juga yang menunjukkan jalan pulang, untuk sang putri.
Semakin lama hubungan mereka semakin dekat, lelaki baik hati itu berhasil menarik perhatian sang putri. Akhir cerita, sang putri menikah dengan lelaki sederhana yang berhati mulia. Mereka hidup bahagia selama-lamanya. Tamat." Kata Ghani mengakhiri ceritanya.
"Kenapa menikah dengan lelaki sederhana Bang, seorang putri kan harusnya menikah dengan pangeran?" tanya Albi.
"Iya Bang, kenapa putrinya malah memilih lelaki itu. Dia pasti tidak punya apa-apa, mana bisa menbahagiakan sang putri." Sahut Ian.
"Kebahagiaan tidak diukur dari harta, tapi dari hati yang tidak murka. Sesorang akan selalu merasa cukup, jika hatinya mau bersyukur, hatinya mau puas dengan pemberian Tuhan. Sebaliknya, sebanyak apapun harta yang telah ia punya, seseorang akan terus merasa kurang, jika hatinya telah dikuasi oleh hawa nafsu.
Dan satu lagi, jangan menilai seseorang dari harta, ataupun rupa. Tapi nilailah dari hati, dan akhlaknya. Kalian mengerti?"
"Jadi kita juga harus bersyukur Bang?" Tanya Alina.
"Tentu saja. Kalian masih bisa makan, punya tempat tinggal, punya satu sama lain. Kalian tahu, di luar sana masih banyak orang yang hidup sebatang kara, tidak punya tempat tinggal, dan jarang makan." Jawab Ghani.
"Aku selalu bersyukur, karena masih punya Abang." Sahut Raffi.
"Aku juga."
"Aku juga."
"Abang juga bersyukur, punya anak-anak pintar seperti kalian. Ya sudah sekarang ayo tidur, sudah malam!" kata Ghani.
"Baik Bang."
"Dongeng, akankah suatu saat nanti hidupku bisa berakhir seperti dongeng. Ahh apa yang kupikirkan, mimpi ini terlalu tinggi, aku tak tahu bagaimana cara menggapainya." Batin Ghani sambil menghela nafas panjang.
***
Semburat sinar fajar sudah menyingsing di kaki langit timur. Semilir angin pagi, berhembus perlahan, menjatuhkan buliran-buliran embun yang sebening kristal. Dengan berbalut celana panjang lusuh, dan kemeja kusam, Ghani melangkah meninggalkan rumahnya. Ia pergi ke warung depan, membeli sarapan untuk anak-anak.
Ghani menghentikan langkahnya, di depan warung nasi yang berada di pinggir jalan.
"Pagi Mel!" Sapa Ghani pada Melani, anak dari pemilik warung itu.
"Eh Bang Ghani, silakan duduk Bang!" kata Melani sambil tersenyum. Sejak lama ia menyimpan perasaan untuk Ghani, namun sepertinya lelaki itu tak pernah menganggapnya lebih dari teman.
"Nasi seperti biasa, lauknya soto saja ya Mel," kata Ghani sambil menatap Melani.
"Iya Bang, tunggu sebentar ya," jawab Melani.
Ghani tersenyum sambil mengangguk.
"Sudah lama anak-anak tidak makan enak, pasti nanti mereka sangat bahagia." Batin Ghani sambil menatap lembaran uang ratusan ribu yang sedang digenggamnya.
Tak berapa lama kemudian, Melani sudah selesai membungkuskan pesanannya.
"Ini Bang." Ucap Melani sambil meletakkan bungkusan itu di atas meja, di hadapan Ghani.
"Terima kasih, ini uangnya Mel," ucap Ghani sambil menyerahkan uang yang tadi ia genggam.
Melani menerima uang itu, dan kemudian memberikan kembaliannya. Ghani beranjak dari duduknya, ia bersiap untuk meninggalkan warung milik Melani.
"Bang Ghani!" panggil Melani.
"Kenapa Mel?" tanya Ghani sambil menoleh, dan menatap Melani.
"Kita, kita sudah lama berteman. Apakah Bang Ghani tidak merasakan hal lain?" tanya Melani dengan gugup.
"Hal lain apa ya Mel? Aku tidak merasakan apa-apa, aku nyaman-nyaman saja berteman dengan kamu." Jawab Ghani.
"Maksudku bukan itu Bang."
"Lalu?"
"Apa tidak ada sedikit saja perasaan yang lain Bang? Perasaan yang, perasaan yang mirip-mirip cinta gitu Bang." Ucap Melani sambil menunduk.
Sesungguhnya ia sangat malu untuk mengatakan hal ini, namun disisi lain, ia juga ingin Ghani tahu bagaimana perasaannya. Sekian tahun saling mengenal, namun hubungannya dengan Ghani tetap seperti dulu, hanya sekadar teman.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Siti Fatimah Fatimah
waduh..... mbaknya agresif nih
2022-03-03
0
Yatik Elram
salut sama Melani...
2021-10-21
0
Zabdan N Iren
apa Ghani akan berjodoh dg Salsabila otor?
2021-03-20
0