Happy Reading
***
Edward POV
"Tidak ada lukisan yang ingin kau beli?" aku bertanya pada Jasmine yang sedang berdiri menatap sebuah lukisan.
"Entahlah..."
Jawaban apa itu?
"Lukisan mana yang paling menarik perhatianmu?"
Dia melihat ke arahku, "The Stary Night..."
Pilihan bagus, Jasmine....
"Bagaimana lukisan yang lain?"
"Bagus, tapi aku tidak ingin memilikinya. Aku ingin melukis milikku sendiri..."
"Kau belum pernah melukis yang seperti ini?"
Dia menggeleng, "Aku pernah hanya saja tidak dengan warna-warna yang begitu berani seperti ini. Jika aku melukis gunung, aku akan memilih warna seperti gunung pada umumnya. Hijau, biru, dan kecoklatan. Namun di sini... Kuning, ungu, dan warna lain yang tidak pernah kubayangkan...."
Aku bukanlah penggiat seni, tapi aku mengerti apa yang dimaksud Jasmine.
"Aku ingin ke kamar mandi..." ucap Jasmine dan aku mengangguk kecil.
Aku melihat arah kepergiannya lalu aku memutar tubuhku untuk mengikutinya. Aku hanya berbeda beberapa langkah dari dia, tapi dia tidak menyadarinya. Aku mengikutinya dalam diam dan seperti yang kuduga, dia tidak menuju kamar mandi.
Dia menemui petugas wanita paruh baya yang ada di pameran ini. Jasmine dan petugas itu berdiri menyamping. Mereka berdua berbicara dan kemudian muncul ekspresi penuh keterkejutan di wajahnya. Jasmine segera mengangguk kecil lalu beralih dari petugas itu dan pergi menuju kamar mandi.
Aku menyesap sedikit wineku kemudian berjalan ke arah petugas itu.
"Selama malam, Sir. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya petugas itu.
"Wanita yang sebelumnya menemui anda, apa dia bertanya tentang sesuatu?"
Dia nampak heran, jelas bertanya-tanya apa hubunganku dengannya.
"Dia kekasihku. Tenanglah..." ucapku akhirnya.
"Ah.. Kekasih anda bertanya harga lukisan The Stary Night...."
"Apa dia membelinya?"
"No, sir.. Dia hanya ingin menanyakan harganya..."
"Saya ingin membelinya..."
"Harganya 4.500 poundsterling Sir..."
"Kalian menerima pembayaran kartu debit?"
"Yes, Sir..."
Setelahnya aku mengikuti petugas itu untuk melanjutkan pembayaran. Aku menandatangai bukti pembayaran dan lainnya.
"Lukisan akan dikemas setelah pameran selesai, apa anda tidak keberatan?" tanyanya.
Aku menggeleng.
"Apakah kalian bisa mengirimkannya langsung?" tanyaku.
"Yes, Sir.. Kami membutuhkan alamat dan nama penerimanya."
Aku menulis nama dan alamat apartemen milik Jasmine. Petugas itu memandangnya.
"Tulis saja pengirimnya adalah pihak pameran ini..."
Dia mengangguk kecil, "Yes, Sir. Senang bertransaksi dengan anda."
"Yah. Terimakasih, Mam..."
Aku segera beralih dari sana dan melihat Jasmine sedang mencariku. Aku bersandar pada tiang dinding dan menunggu dia menyadari keberadaanku. Dia bahkan tidak berdiri jauh dariku. Lalu mata kami bertemu dan dia segera tersenyum lebar. Tanpa sadar, aku tersenyum kecil. Sebahagia itu dia melihatku?
"Kau dari mana saja?" tanyanya.
"Mengurus sesuatu...."
"Apa?"
Rasa penasarannya benar-benar membuatku ingin mengigit bibirnya agar berhenti bertanya.
"Ini sudah hampir pukul tujuh malam. Kau masih ingin melihat sesuatu?" tanyaku, mengabaikan pertanyaannya.
"Sepertinya tidak ada lagi. Bagaimana denganmu?"
"Tidak ada lagi..." aku berjalan dan Jasmine mengikut. Aku menaruh kembali gelasku yang kosong ke meja.
"Kau tidak tertarik untuk membeli sesuatu?" tanyanya.
"Tidak. Bagaimana denganmu?"
"Tidak ada..." aku bisa mendengar nada sedih di sana.
"Jadi kita pulang?"
Dia mengangguk kecil dan kami berjalan menuju pintu keluar. Namun, semakin malam keadaan pameran ini semakin padat membuat kami kesusahan bergerak. Seseorang tidak sengaja menabrak bahu Jasmine dan aku menatap wanita yang menabraknya dengan tatapan tajam.
"I'm so sorry" ucap Jasmine dan itu membuatku kesal. Jelas sekali wanita tadilah yang salah.
"Lain kali gunakan matamu..." ucapnya kasar. Nampaknya dia ingim mengomeli Jasmine lagi, tapi mengurungkan niatnya karena dia menatapku yang berdiri di belakang Jasmine, dia segera pergi dengan kesal.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku.
"Yah. aku tidak apa...'
Padahal bukan dia yang salah. Aku segera menarik Jasmine berdiri di samping kiriku dan melingkarkan tanganku di pinggulnya. Aku tau dia menatapku heran dan aku menatapnya kembali.
"Agar kejadian tadi tidak terulang lagi..." ucapku dan kami segera berjalan lagi.
Kami sampai di depan pintu keluar. Aku dan Jasmine memakai kembali mantel, syal, sarung tangan, dan lainnya.
"Ayo.." ucapnya dan kami segera berjalan keluar.
Udara dingin menampar wajahku dan kami berjalan turun. Mobilku sudah ada di depan lobi dan aku mengambil kembali kunci mobilku dari seorang valet. Aku memberi tip untuk valet tersebut. Lalu aku dan Jasmine masuk ke dalam mobil.
"Whoa... Brr... London dan cuaca dinginnya.." celoteh Jasmine.
Aku menyalakan mesin mobil dan penghangat udara lalu melihat raut wajah Jasmine berubah tenang.
"Kita pergi makan malam, okay?" ucapku seraya melajukan mobil ke jalan raya.
"Makan malam?"
"Kita akan makan..." ucapku akhirnya.
"Kau tau? Ibuku hari ini menikah.." Dia sangat suka mengucapkan hal random secara tiba-tiba.
Aku tahu itu jelas, Jasmine.
"Menikah? Lalu bagaimana kau berakhir di sini?"
"Dia tidak menikah di London. Namun di Maldives..."
"Kau tidak pergi menghadiri pernikahan Ibumu?"
Dia diam dan aku pun diam. Dia menarik napas panjang kemudian membuangnya seolah membuang seton beban di dadanya.
"Kau keberatan jika aku menyalakan musik?" tanyanya
"Silakan..."
Dia menyalakan radio dan memainkan musik piano yang begitu sedih. Ah. Sial.. Aku tidak suka suasana ini. Aku tidak suka dia sedih. Betapa cepatnya suasana berganti.
"Beberapa keluarga selalu memiliki sebuah masalah, bukan begitu?"
"Yah.." ucapku pelan.
"Itulah yang terjadi dengan Ibuku. Aku memiliki hubungan tidak biasa dengannya. Namun, aku menyayanginya sepenuh hati dan aku berharap dia bahagia dengan pria pilihannya...." aku bisa merasakan nada pilu di sana. Apa yang membuat dia sedih?
"Kau tidak menghubunginya?"
"Aku sudah menghubunginya dan mungkin akan bicara dengannya besok..."
"Baguslah..."
Lalu diam. Itu mencengkam. Entah apa yang sedang dia pikirkan saat ini. Aku benar-benar berharap bisa membaca pikirannya saat ini juga.
"Kau masih selera untuk makan malam?"
"Kau keberatan jika kita pulang saja, Edward?"
"Sure... Kita akan pulang."
"Maafkan aku..." bisiknya.
"Kenapa kau harus meminta maaf?" aku terganggu dengan permintaan maafnya yang tidka perlu.
"Karena kita tidak bisa makan malam...."
"It's okay.. Kau tidak perlu meminta maaf. Kita akan makan malam bersama lain kali..."
Dia tertawa kecil tawa yang lembut dan nyaring. Begitu renyah dan membuat hatiku terenyuh. Ah.. Inilah yang kuinginkan.
"Kau sangat baik. Kau tau itu?"
"Jika kau berusaha menghiburku karena kita tidak bisa makan malam maka--"
"Aku serius... Aku bertanya-tanya betapa beruntungnya wanita yang pernah mengencanimu.."
Kencan?
"Aku tidak pernah berkencan dengan siapa pun..."
"Kau pembohong yang cukup handal..."
Aku memperlambat mesin mobil saat lampu merah menyala. Lalu aku menoleh ke arah Jasmine.
"Aku belum pernah berkencan dengan siapa pun sebelumnya, Jasmine. Percayalah."
Dia menatapku dengan mulut setengah terbuka. Lampu hijau menyala kembali dan aku beralih ke arah jalan untuk melajukan kembali mobil.
"Tapi aku sudah menemui puluhan wanita..." lanjutku.
"Hanya menemui?" dia bertanya layaknya dia anak polos. Apa aku perlu menjelaskan bahwa aku bersetubuh dengan mereka. Hubungan semalam.
"Seex merupakan kebutuhan, Jasmine. Terutama untuk pria seusiaku..."
"Kau benar. Itu kebutuhan..." suaranya terdengar... Tegang?
Bagaimana pun aku akan berusaha jujur tentang gaya hidupku. Kejujuran penting dalam keberhasilan sebuah hubungan.
"Kau keberatan jika aku tahu berapa usiamu?"
"32 tahun.." jawabku cepat. kuharap dia tidak mempermasalahkan soal usia dalam hubungan. Dia masih berusia 24 tahun saat ini.
"Itu usia yang matang." komentarnya pelan.
"Bagaimana denganmu, Jasmine?"
"Aku 25 tahun.."
Lebih tepatnya kau akan berusia 25 tahun sekitar delapan bulan lagi.
"Kau keberatan berkencan dengan pria matang, Jasmine?" aku melirik sekilas ke arahnya.
Dia menggeleng, "Nope... Aku tidak mempermasalahkan usia. Ibu berkata, ketika kau menjalin hubungan kau tidak perlu mempermasalahkan usia, ukuran, suku, ras, dan lainnya. Selama kau mencintainya, kenapa tidak?"
Aku diam dan bertanya-tanya, seandainya dia mencintaiku, mungkinkah dia bisa menerima keadaanku yang berbeda ini?
"Kau yakin? Cinta bisa mengatasi segala perbedaan dan masalah?"
"Tergantung seberapa besar cintamu..."
Aku diam dan dia diam. Sisa perjalanan, tidak ada satu pun dari kami yang bicara. Aku memperlambat laju mobilku untuk memasuki basement apartemen.
"Here we are..." ucapku seraya mematikan mesin mobil. Aku dan Jasmine keluar dari mobil dan berjalan dalam diam menuju lift. Kami masuk ke dalam lift dan menunggu juga dalam diam. Hingga kami keluar dan aku mengantarnya ke depan pintu apartemennya.
Jasmine tertawa kecil, "Mengetahui jarak tempat tinggal kita yang dekat membuatnya sedikit lucu..." ucapnya dan aku tidak tahan untuk tersenyum. Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang lucu dari itu. Selera humor kami mungkin berbeda. Namun melihat dia tertawa, tawanya itu menular padaku.
"Thank you for today, Edward...." bisiknya pelan.
"Yah... Selamat malam, Jasmine..."
"Aku akan mantraktirmu lain kali...."
"Aku menganggapnya sebagai ajakan kencan..." ucapku dan dia tertawa kecil.
"Kita bisa menganggapnya begitu. Bye, Edward. Selamat malam..."
Jasmine membuka pintunya dan segera masuk. Dia tersenyum lebar dan melambaikan tangannya ke arahku kemudian dia menghilang dibalik pintu.
"Good night, Jasmine..." bisikku dan segera beralih dari sana
****
MrsFox
Jangan bosan yah kalo konfilknya belum muncul. Sabar yah. hehe. Lop yuh semuanya yang selalu setia dari awal. Itu benar-benar author hargai. Have a nice day yall.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
ikhaa
suka gaya bahasanya, asyik, dibaca seperti ikut ada didalamnya, jadi nga pengen lepas baca...semangat yg nulis..
2022-05-31
0
dewi
q baru muncul Thor... 😥
2022-04-19
0
Riska Wulandari
sebenarnya siapakah Edward,,dia sangat mengenal Jasmine..
2022-02-11
0