Pesonanya selalu mengundang kekaguman kaum hawa. Tidak hanya sekedar tampan, aura yang terpancar kuat membentuk sebuah kharismatik tersendiri, meskipun dia sering tampil dengan lebih casual hanya mengenakan kaos oblong yang dirangkap kemeja yang tidak dikancingkan seperti saat ini. Tapi, itu tidak memudarkan daya tarik seorang Alando Mahesa Putra.
Alan memasuki gedung bertingkat yang cukup megah. Hampir seluruh karyawan yang satu lantai dengan orang nomer dua di perusahaan itu mengenalnya sebagai sahabat dekat dari Dave Gunawan, putra dari Gunawan Hartanto pemilik GH company.
"Silahkan masuk, tuan! " ujar sekretaris Dave saat melihat kedatangan Alan. Lelaki yang terlihat cool untuk orang yang belum mengenalnya itu pun hanya mengangguk sebelum memasuki ruangan Dave.
"Alan, tumben... ada perlu apa? Sepertinya penting. " ujar Dave saat menyambut kedatangan Alan saat tiba di ruangannya.
"Apa aku mengganggumu? " tanya Alan yang kemudian duduk di depan Dave.
"Tentu tidak, aku hanya memeriksa laporan keuangan saja. " jawab Dave dengan menutup map yang ada di depannya. Mereka berpindah posisi duduk di sofa, agar bisa sedikit rileks untuk mengobrol.
"Ada apa, Al? Apa ada yang membuatmu ke sini? " ucap Dave yang kemudian menyilangkan kakinya.
"Cuma ingin ngobrol, kebetulan lewat! " jawab Alan kemudian menyandarkan punggungnya di sofa. Hari ini, Alan hanya meninjau pembangunan sebuah hotel berbintang di dekat kantor Dave.
"Mungkin aku akan memulainya dari bisnis property! Sudah lama Eyang menawarkan usahanya itu, tapi baru kali ini aku menginginkannya. "
"What...? " pekik Dave dengan membenarkan posisi duduknya, betapa terkejutnya dia mendengar keputusan Alan yang terkesan tiba-tiba.
"Yes, I'll do it! Maybe... aku akan banyak meminta bantuanmu! " ujar Alan penuh dengan keyakinan.
"Ohhhh...tidak masalah, aku senang mendengarnya. Kenapa tidak dari dulu, memilih perusahaan Papamu yang ada di swiss, bukankah itu lebih menguntungkan? Apa karena Jingga? " cecar Dave pada Alan dengan beberapa pertanyaan.
"Bukan, aku hanya merasa sudah waktunya saja. Lagian, ketika aku memilih bisnis property, itu tidak jauh dari basic profesiku. " ujar Alan dengan memutar-mutar ponsel di tangannya.
"Coba saja kamu mau memulainya dari dulu, mungkin Dea tidak akan jatuh pada Crazy Rich itu. "
"Jangan membicarakan Dea!" tegas Alan dengan seringai sinisnya karena tak ingin mengungkit cerita masa lalu itu.
"Apa kau sudah jatuh cinta dengan Jingga? Kamu belum bercerita tentang pernikahanmu! "
Alan terdiam sejenak. Dia sendiri tidak mengerti harus bercerita apa. Semua terasa tiba-tiba, meski sudah terencana jauh sebelumnya.
"Jingga ...aku menyayanginya! Dia terlalu naif dan sangat muda untuk hidup dalam sebuah pernikahan. Bagaimana bisa aku jatuh cinta dengan gadis belia?" ujar Alan merubah posisinya dari yang bersandar kemudian membungkukkan badannya ke depan.
"Apa cuma itu, alasan untuk tidak jatuh cinta? " senyum cemeh menghias di bibir Dave tatkala mendengar alasan Alan. Bagi Dave, Jingga memberi warna tersendiri bagi Alan, apalagi semangatnya saat ini.
"Satu yang pasti, aku tidak ingin mengecewakan Eyangku, bagaimanapun beliau sudah menggantikan posisi Mama. " ujar Alan dengan pandangan menerawang, bisa terlihat ada kilatan-kilatan kesedihan yang terpancar dari manik mata birunya.
Mereka menghabiskan waktu untuk membahas bisnis yang akan di ambil alih Alan. Biar bagaimanapun Dave lebih berpengalaman dalam menangani perusahaan.
###
Terdengar riuh sorak mahasiswa saat berakhirnya jam perkuliahan, tapi Jingga masih enggan beranjak, perempuan berkulit putih itu tidak ingin berdesakkan saat keluar kelas.
" Nunggu dijemput Babang Bule, ya? " tebak Nelly sambil membereskan bukunya untuk di masukkan ke dalam tas.
"Nggak tau nih, belum ada kabar!" jawab Jingga dengan bertopang dagu.
"Sebenarnya dia siapa, Ngga?" tanya Nelly dengan hati-hati.
"Sebenarnya, dia suamiku! " bisik Jingga mendekat di telinga Nelly.
"Haaahh.... apa? Jangan becanda lo, Ngga! "
pelik Nelly setengah histeris sebelum mulutnya dibungkam Jingga dengan tangannya.
"Husss... jangan brisik! " lirih Jingga dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya yang sudah mengatup rapat.
"Really? " ulang Nelly yang hanya di jawab Jingga dengan anggukan pelan.
"Ya Allah, beruntung banget lo dapet suami guanteng, sexy dan kayaknya tajir! " ujar Nelly dengan memelankan suaranya.
"Ngantin dulu yuk! Sambil kamu nunggu jemputan dan aku juga mau jemput sepupuku di bandara."
"Baiklah." Jingga mengiyakan apa yang di katakan temannya.
Mereka berjalan menuruni tangga, menelusuri koridor kampus menuju kantin yang terletak di dekat parkir depan kampus. Mereka memilih meja yang ada di sudut depan kantin, agar lebih leluasa untuk mengobrol.
Sesekali Jingga melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah pukul tiga tapi Mas Alannya belum juga terlihat, Dia mulai berfikir untuk mencari taxi online saja.
"Iyaa... Okey!" ujar Nelly saat mengangkat telpon dari sebrang.
"Ngga, sorry aku duluan! Sepupuku sudah menunggu di bandara! "
"oke... hati-hati di jalan! " teriak Jingga saat Nelly meninggalkannya. Perempuan yang menguncir rambutnya asal-asalnya kini kembali mengaduk aduk jus di depannya.
"Dek, boleh duduk? " Laki-laki popular di kampus itu langsung duduk di depan Jingga, tanpa menunggu jawaban dari Jingga.
"Silahkan, Kak! " ujar Jingga mempersilahkan begitu saja tanpa menyadari jika sepasang mata tajam itu sudah memperhatikannya dari jauh.
"Dek, apa kamu nggak minat ikut BEM?" tanya Arga yang akan menawari Jingga untuk ikut berpartisipasi di BEM.
"Tidak, dia banyak kegiatan di luar kampus! " suara bariton itu membuat keduanya menoleh.
"Mas Alan! " lirih Jingga saat mendapati Alan sudah berdiri di dekatnya. Bisa terlihat rasa tidak senang Alan saat tatapannya mengarah kepada keduanya.
"Ayo pulang! " suara Alan masih terdengar dingin seperti wajahnya yang jauh dari senyuman.
Tanpa menunggu Jingga, Alan langsung pergi meninggalkan Jingga yang masih berlari mengejarnya.
"Mas Alan...! apa aku harus terjatuh dulu agar kamu mau menungguku? " mendengar ucapan Jingga, seketika langkah Alan terhenti. Bodoh, kata itu yang ingin dia umpatkan seketika untuk dirinya sendiri. Lelaki yang tengah menghentikan langkahnya itu seketika membuang nafas dalam, menyadarkan kembali pikirannya dari sesuatu yang meletup di hatinya.
Tangan kecil itu menjulur meraih lengan kokoh yang kini menggantung, "jangan biarkan aku terus mengejarmu! Jika aku lelah kamu akan benar-benar kehilanganku! " mendengar kata kehilangan, membuat Alan menoleh pada perempuan mungil yang saat ini berdiri di sampingnya dengan tangan memegang erat lengannya.
"Apa maksutmu, Ngga? Apa kamu akan pergi bersamanya? " ucap Alan dengan jari yang menunjuk ke arah di mana tadi Arga dan Jingga duduk.
"Apa aku perempuan seperti itu? " balasan Jingga seperti membungkamnya. Ah, apa yang sebenarnya dia lakukan? Kesadarannya mulai kembali. Sorot matanya menatap tajam manik mata hitam yang kini seperti melemahkannya.
"Ayo, kita pulang! " ujar Alan lirih. seperti mengakhiri ketegangan diantara mereka. Tidak seharusnya dia bersikap arogan terhadap Jingga.
Sejak kejadian di kampus Jingga, Alan memilih menghabiskan waktunya di belakang rumah dengan peralatan gymnya. Ada tempat khusus di belakang di dekat kolam renang yang di khususkan untuk olahraga.
"Kenapa aku begitu kesal, saat melihat lelaki yang berada di dekat Jingga?" gumamnya dalam hati mencoba mencerna perasaannya. "Mana mungkin aku jatuh cinta dengan gadis kecil sepertinya."
Sementara Jingga, memilih menghabiskan waktunya di dapur untuk menyiapkan makan malam. Hanya masakan simple saja, sayur soup dengan ayam yang sudah di bumbu merah. Rasanya dia sudah ingin menikmati makanan pedas, tapi sayang dia harus mengalah karena Alan tak bisa makan makanan yang terlalu pedas.
"Ngga...! " ujar Alan dengan mengambilkan bahan puding, saat tangan kecil itu tak sampai untuk menggapainya di lemari kitchen set.
"Mas Alan, ada apa ke sini? " lirih Jingga menormalkan detak jantungnya, saat matanya melihat tubuh kekar yang hanya terbungkus sebagian saja dengan singlet. Apa lagi Aroma maskulin yang menguar di hidungnya membuat Jingga menjadi salah tingkah.
"Pertanyaan macam apa itu, Ngga? Ini rumahku jelas saja aku bebas ke mana saja!" ujar Alan dengan tersenyum tipis saat melihat Jingga memundurkan tubuhnya hingga menatap pantry.
"Ma-maksutnya, Mas Alan butuh apa? " mendengar Jingga tergagap dengan mata masih menatap tajam pada sosok di depannya.
Melihat Jingga tergagap bahkan tubuhnya menegang membuat Alan malah sengaja memangkas jarak di antara mereka.
Tbc.
Jangan lupa vote n like ya, agar to
thornya tambah semangat nyiapin energy untuk next part yang sementara lagi lebih menegangkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Rifiq Mimah
wah sudah kembali semangatnya jingga ya lan…❤
ditambah Winda mampir tambah top next chapternya...👍👍
2021-03-10
2
Distiana Anhari
lanjut
2021-03-09
1
Isna Eni
lanjut thor
2021-03-09
1