Alan masih terdiam, sorot matanya tetap terlihat dingin menatap jalan di depannya. Tidak ada sepatah katapun yang terucap dari lelaki berahang tegas itu selama mereka berada di perjalanan. Jingga terdiam, sebenarnya dia tidak mengerti apa yang sudah terjadi dengan suaminya. Alan melajukan mobilnya dengan kencang, bahkan hampir saja dia tidak sabar menunggu lampu merah di pertigaan. Ada rasa yang meledak-ledak dalam hatinya saat melihat Jingga dan Arga berjalan bersama dan saling melempar senyum.
"Chiiittt ....... " Alan mengerem mobilnya dengan mendadak saat akan menabrak seekor kucing yang akan menyebrangi jalan.
"Mas Alan, jangan ngebut! " Jingga memberanikan diri untuk mengingatkannya. Wajah Alan masih saja terlihat dingin.
Tanpa melihat atau menyahut Jingga, Alan melajukan kembali mobilnya dengan sedikit lambat dari sebelumnya. Jalan yang sepi dan angin yang berhembus dingin disertai rintik gerimis yang mulai turun membuat suasana semakin membeku.
Alan membelokkan mobil memasuki halaman rumah yang berbentuk minimalis modern. Dia memarkir mobil warna grey itu dengan sembarangan di halaman, bahkan tanpa menoleh ke arah Jingga, lelaki berbibir tipis itu turun dari mobilnya dengan membanting pintu mobil hingga membuat Jingga berjingkat.
Sikap Alan yang tak peduli menyisakan rasa nyeri di hati jingga yang terus menatapnya, seperti merasa di sia-siakan tanpa tau alasannya.
Perempuan berambut panjang itu menghela nafas lemah sebelum keluar dari mobil. Langkahnya begitu pelan dengan mata yang terus mengekor ke arah tubuh tegap di depannya.
Punggung tangannya mengusap sudut mata yang sudah berair. Setelah masuk rumah, Jingga mengurungkan niatnya untuk naik ke lantai atas menuju ke kamar. Dia tau, Alan mengurung diri di dalam kamar dengan menampakkan emosi terhadapnya. Jingga memutuskan untuk duduk di anak tangga, menunggu Alan membuka pintu. Matanya terus saja menatap pintu kamar yang tertutup rapat itu.
Jam menunjukkan sudah pukul tujuh malam, tapi tidak ada tanda-tanda Alan keluar kamar. Sedangkan di luar, hujan mulai deras, gemuruh petir pun saling bersahutan membuat Jingga melingkarkan kedua lengan mendekap kedua kaki yang sudah ditekuknya.
Air matanya mengalir deras, dia tidak ngerti, kenapa Alan begitu marah padanya? Bahkan, Alan seperti tidak memberinya kesempatan untuk bertanya. Tangisnya mulai terdengar lirih, diantara suasana rumah yang sepi.
"Hik... hik ... hik... " Betapa terkejutnya Jingga ketika listrik padam diantara suara petir yang saling bersahutan. Wajahnya menelangkup dengan dahi berbantal pada ke dua lengannya yang berada di atas dengkulnya. Ketakutan akan gelap dan kilatan petir sudah menjalar di otaknya.
Mendengar sayup-sayup suara Isak tangis seseorang seperti menyadarkan Alan diantara suasana gelap gulita dengan hujan lebat di luar.
"Jingga...!" Seperti tersentak kaget, Alan berlari keluar mencari Jingga, yang ternyata masih duduk di tangga depan kamarnya.
Masih dengan mengandalkan penyinaran ponsel, Alan melihat Jingga menelangkupkan wajahnya dengan menangis sesenggukan.
"Jingga...! Aku di sini! " ujar Alan dengan menggoyang goyangkan tubuh Jingga, tapi tidak mendapatkan respon apapun yang membuat Alan segera menekuk lututnya mensejajarkan diri dan memeluk tubuh kecil yang sudah bergetar.
"Jingga...! Maafkan aku. " Masih mengusap-usap tubuh kecil yang masih menangis. Untung saja pemadaman tidak berlangsung lama, sehingga Alan bisa melihat keadaan Jingga dengan sempurna.
"Jingga... ini sudah terang! " Alan mencoba menyadarkan Jingga, jika semua akan baik baik saja. Lampu sudah menyala, bisa terlihat ketakutan di wajah Jingga.
Tangan Alan sedikit memaksa Jingga mendongakkan wajah mungilnya. Membingkai wajah sendu itu dengan kedua telapak tangan. Ya Allah, wajah istrinya kini sudah basah dengan air mata, membuat Alan tidak tahan untuk kembali memeluk Jingga.
"Aku takut! " lirih Jingga masih dalam dekapan Alan. Jingga mengeratkan pelukannya dalam tubuh Alan. Tubuhnya masih gemetaran dengan isakkan yang tak terkendali.
"Seperti bukan ketakutan biasa! " pikir Alan saat mencoba memahami keadaan Jingga.
"Ayo masuk ke kamar! Mau digendong? " tawar Alan mencoba mencairkan keadaan yang sempat membeku. Tapi, Jingga hanya menggelengkan kepala pelan. Kemudian masih diiringi Alan, jingga berjalan dengan pelan menaiki tangga menuju ke kamarnya.
"Kenapa kamu setakut itu? Bukankah petir hal biasa di saat hujan?" tanya Alan saat mereka duduk di tepi ranjang, menatap Jingga penuh dengan selidik.
"Ngga...Jingga!" panggil Alan saat melihat Jingga hanya terdiam dan meremas-remas jemari tangannya.
Jingga hanya menggeleng pelan, mulutnya mengatup kuat seperti terkunci rapat. Alan merengkuh tubuh Jingga yang menegang dalam pelukannya.
"Tidak ada yang perlu ditakutkan, Ngga! " ujar Alan dengan mencium puncak kepala Jingga dengan lembut. Berlahan tubuh kaku Jingga mulai melemas, ketakutannya berlahan mencair saat wajah cantik itu menelusup di dada bidang suaminya. Ada rasa nyaman saat berada dalam dekapan tubuh kekar itu.
"Sebaiknya, Kamu mandi dulu! Nanti kita bikin coklat hangat biar bisa mengurangi keteganganmu. "
"Tungguin, ya! " lirih Jingga.
"Tungguin atau mandiin juga? " kelakar Alan membuat Jingga mencubit perutnya.
"Tungguin di sini saja! " ujar Jingga kemudian beranjak ke kamar mandi.
Sambil menunggu Jingga keluar dari kamar mandi, Alan melihat ponselnya yang penuh dengan notifikasi pesan. Ternyata ada beberapa proyek yang harus ditinjaunya minggu depan.
"Aku sudah selesai! " Kalimat Jingga membuat Alan menoleh ke arah pintu kamar mandi.
"Coba sini aku cium dulu! Udah wangi apa belum? " kelakar Alan sambil terkekeh.
"Modus! Emang aku anak kecil? Ayok... katanya mau bikinin coklat hangat? " Mendengar ajakan Jingga membuat Alan beringsut dari tempat tidur menuju dapur. Mereka berjalan beriringan menuju dapur.
Jingga memilih duduk di kursi bar yang ada di dapur. Sementara, Alan memulai membuatkan Jingga coklat hangat agar bisa memberi rasa rileks untuk Jingga. Saat ini mereka sama-sama berada di depan pantry.
Seperti anak kecil yang menempeli orang dewasa, Jingga melingkarkan kedua lengannya di pinggang Alan sambil menyanderkan kepala di pinggang lelaki yang saat ini berdiri di dekatnya. Alan masih mengaduk coklat hangat dengan tangan kanannya sementara lengan kirinya merengkuh tubuh yang saat ini menempelinya.
"Mas, seumpama kamu menemukan cintamu, mungkinkah kamu akan cepat melupakanku?" ujar Jingga dengan wajah menengadah menunggu jawaban dari Alan.
Sementara Alan malah terdiam, tangannya berhenti mengaduk coklat yang ada di gelas. "Cinta." gumamnya dalam hati membuat senyum sinis terbit di sudut bibir Alan.
"Kenapa hanya tersenyum? " desak Jingga dengan semakin mengeratkan tangannya di pinggang Alan berharap dia bisa mendapatkan jawaban yang lebih memuaskan.
"Tau apa kamu tentang cinta, Ngga? " decihnya dengan memindahkan satu tangan untuk mengelus kepala jingga, sementara pikirannya malah teringat akan Deandra. Wanita yang pernah ada dalam kisah cintanya. Entah apa kabarnya perempuan itu sekarang, pikirnya.
"Sudah minum dulu coklatnya! " ujar Alan dengan mengulurkan segelas coklat hangat ke arah Jingga.
"Kenapa tidak menjawab pertanyaanku? " cecar Jingga membuat Alan menarik nafas panjang dan membuangnya dengan pelan. Alan menatap tajam Jingga yang juga menatapnya.
"Untung saja aku bukan dosenmu! "
"Kenapa nggak mau menjawab pertanyaanku?"Jingga masih mengejar Alan dengan pertanyaan tanpa berfikir, mungkin saja jawaban itu akan menyakiti hatinya.
"Bukannya nggak mau, Ngga! Cuma dijalani saja. Setidaknya kita bertanggung jawab dengan pernikahan ini."
Jawaban yang sebenarnya tidak diinginkan Jingga karena hatinya sudah tertaut pada seorang Alando.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Nurcahyani Nurr
Kereeeeeeeennnnn
2021-04-21
0
Seri Mendrofa
lanjut kak
2021-03-08
1
SitiNuraeni
Yg pasti cintanya jingga mantap
2021-03-08
2