Mereka, Jingga dan Alan masih bermain pasir di pantai. Terkadang banyak hal yang bisa diceritakan oleh alam, tanpa harus berucap. Hembusan angin dan suara deburan ombak seperti nyanyian tersendiri yang mengiringi langit senja menuju ke peraduannya. Seperti halnya sebuah perasaan, terkadang kita hanya bisa merasakan tanpa harus bisa menamainya.
"Ngga, ayuk kita pulang!" Alan mengajak Jingga untuk pulang karena hawa dingin yang dibawa oleh angin.
"Coba lihat tangannya! " Alan mengambil tangan Jingga dan melihatnya lebih teliti. Ada sedikit kelegaan di hatinya, saat melihat kulit Jingga yang tidak melepuh meskipun masih terlihat memerah.
"Aku cuma tidak enak, Mas. Hubungan kalian rusak karena aku! " ujar Jingga membuat Alan menghentikan langkahnya dan kembali melirik wajah Jingga yang dipenuhi rasa bersalah.
"Bukan karenamu, Dia-nya saja yang kurang ajar! Mana bisa kebiasaan di Austria dibawa ke Indonesia! " ujar Alan kembali mengayunkan langkahnya dengan merengkuh bahu kecil milik Jingga.
"Sudah, jangan membahasnya lagi! Aku masih kesal saat mengingatnya." lanjut Alan mendapat tatapan sendu dari manik hitam jingga.
"Jangan melihatku seperti itu! Aku memang emosional." ujar Alan dengan membukakan pintu mobil untuk Jingga.
Mereka memilih untuk segera meninggalkan pantai karena angin yang bertiup semakin kuat. Alan melajukan Jeep kesayangannya dengan kecepatan tinggi. Di liriknya, Jingga yang tertidur dengan mulut menganga membuatnya tersenyum. Tidak mensia-siakan kesempatan, Alan mengambil ponsel untuk memotretnya. Perempuan itu pasti akan mengamuk jika mengetahui hal itu. Membayangkan saja membuat Alan ingin tertawa.
"Kenapa aku senang menggodanya?" gumam Alan dengan tersenyum. Yah, membuat uring-uringan Jingga baginya adalah hal yang menyenangkan.
Mobil Jeep itu membelok di garasi rumah minimalisnya. Lelaki berhidung mancung itu memicingkan mata, saat melihat sebuah mobil Jaguar sudah terparkir di sana.
"Dave." cicitnya saat melihat lelaki bermata sipit itu sudah duduk di teras rumahnya.
Alan pun berjalan ke arah Dave, diikuti Jingga yang juga akan masuk ke dalam rumah.
"Mas Alan, Aku masuk dulu! " pamit Jingga yang hanya di angguki Alan.
"Mari, Mas! " ujar Jingga mengganggukkan kepala pada Dave sebelum meninggalkan keduanya.
"Busyet... belibet banget istrimu! " ujar Dave karena merasa Jingga yang masih memperlihatkan sopan santun.
"Ya gitu deh, kebiasaan di kampung. Tapi jangan tanya kalo udah keluar taringnya! "
"Maksutnya...? " selidik Dave penuh antusias, saat dia merasa penasaran dengan apa yang sudah dikatakan Alan.
"Kalo udah jengkel bisa digigit kayak gini! " jelas Alan dengan menunjukan bekas gigitan Jingga.
Tidak ada komentar dari lelaki berkulit putih itu kecuali tawa yang menggelegar.
"Lo, apain sampai segitunya? Jangan-jangan kamu terlalu keras ya menyodoknya? Ha hahaha...? " Dave tertawa keras bermain dengan imajinasi liarnya.
"Sialan lo.... dasar otak kotor! " umpat Alan menebak apa yang sedang dipikirkan sahabatnya itu.
Mereka terdiam sejenak, saat Jingga keluar membawa dua cangkir teh dan camilan untuk tuan rumah dan tamunya itu.
"Terima kasih! " ucap Dave saat Jingga meletakkan secangkir teh tepat di depannya. sambil menunggu Jingga berlalu mereka masih terdiam.
"Soal kejadian tadi sore, aku harap kamu tidak memasukkannya di hati. Reyhan sedikit mabuk." Wajah Dave mendadak serius saat mengutarakan tujuan utamanya berkunjung.
"Sebenarnya aku masih kesal, dia tidak hanya akan melecehkan istriku. Tapi juga meremahkan keberadaanku! " jawab Alan tak kalah serius.
Mereka menghabiskan waktu bersama dengan memperbincangkan banyak hal, termasuk juga pekerjaan yang akhir-akhir ini menentukan masa depan posisi Dave di perusahaannya.
Sepulangnya Dave, Alan langsung menuju kamar istrinya. Rasanya dia sudah tidak sabar menggoda Jingga dengan foto-fotonya saat tertidur dengan mulut menganga. Langkahnya begitu bersemangat. Bahkan, saat Alan membuka pintu kamar milik Jingga pun dengan tergesa, membuat Jingga yang baru saja keluar dari kamar mandi pun terkaget.
"Arrgggh.... ! " teriak Jingga begitu histeris.
"Kenapa main nyelonong saja? "ketus Jingga dengan menyilangkan ke dua tangannya di depan dada. Wajahnya memanas menahan malu karena dia hanya menggunakan tengtop dan rok pendeknya.
Alan hanya terdiam kali ini tenggorokannya seperti tercekat bahkan pendengarannya seperti tak berfungsi lagi. Dia hanya bisa menatap bahu putih di depannya dengan degupan jantung yang tak beraturan.
"Kenapa dia jadi seksi sekali! " gumaman Alan berusaha menormalkan kembali perasaan aneh yang terjangkit di otaknya.
"Mau apa, Mas Alan? " ucap Jingga dengan wajah masih merona setelah memakai blus merangkapi tengtopnya.
"Bisakah membuatkan aku kopi? " jawab Alan sekenanya. Alan mencoba menormalkan kembali satu sisi jiwanya yang sedang bergelora.
"Bukanya tadi habis minum teh? " jawab Jingga dengan heran.
"Hmmm... tiba-tiba saja aku ingin kopi! " ujarnya langsung meninggalkan Jingga yang pasti akan mengejarnya dengan beberapa pertanyaan jika dia masih di sana.
Jingga hanya menggedikkan bahu dan mencebikkan bibirnya seraya menuruti keinginan suaminya.
###
Pagi buta sekali, Jingga berlari-lari menuruni anak tangga, wajahnya terlihat menegang saat dia tahu waktunya pergi ke kampus sudah sangat mepet.
"Jangan berlarian, Ngga! " ujar Alan di bawah tangga dengan melipat lengan kemejanya.
"Aku takut telat, Mas! Hari pertama ospek! " ujar Jingga sedikit mengatur nafasnya dengan sedikit ngos-ngosan.
"Sarapan dulu! Aku sudah membuatkanmu susu sama roti! " ujar Alan saat berada di dekat Jingga.
"Makasih, Mas!" ujar Jingga sambil berjinjit mencium pipi Alan dengan girangnnya, sambil berlalu mencari meja makan.
Alan, hanya mengelus pipinya sambil menyungging senyum diantara decihannya.
Secepat kilat jingga menghabiskan sarapannnya kemudian menyusul Alan yang sudah berada di luar memanasi mesin motornya. Ospek memang semuanya special termasuk waktu berkumpulnya mahasiswa baru.
Alan mengantarkan Jingga dengan motornya. perempuan yang saat ini dengan rambut berkepang dua itu melingkarkan lengannya di perut keras Alan. Hanya butuh lima belasan menit mereka sudah sampai di depan kampus. Suasana kampus sudah sangat ramai dengan anak-anak berseragam hitam putih.
"Kamu berani, kan? " ujar Alan yang mengkhwatirkan Jingga yang belum punya kenalan di kota ini.
"Jangan khawatir, anak gunung ini cukup pintar beradaptasi! " ujar Jingga dengan mencium punggung tangan Alan.
"Hati-hati, kalo ada apa-apa telpon aku saja! "
"Oke, deh! " Jingga langsung berlari membaur di kerumunan masa.
Hampir seharian Jingga melalui kegiatan ospek, tubuhnya benar-benar terasa lelah. Belum lagi, setelah pulang dia harus menjalin hukuman dari kakak senior karena tas bawaanya menghilang saat ditinggal shalat dhuhur. Rasanya dia sudah ingin pisan saja saat ini.
"Jingga, aku duluan! " ujar Nelly teman baru Jingga yang sudah bersiap untuk pulang. Anak anak lainnya sudah menunjukkan raut wajah bahagia kecuali Jingga.
"Iya, Nell! " jawab Jingga dengan lemas. Jingga berjalan menuju kantor sekretariat BEM, disitulah seniornya sudah menunggu.
"Kamu tau apa salahmu? " tanya senior yang bernama Arga dengan suara tegasnya.
"Siap tau, Kak! " jawab Jingga.
"Berdiri dengan satu kaki! Boleh bergantian posisi tapi tetap dengan satu kaki! selama dua jam! " perintah Arga.
"Siap, Kak! " jawab Jingga yang kemudian melaksanakan apa yang di perintahkan seniornya itu. sementara Arga langsung masuk ke dalam kantor BEM.
Jingga melirik jam tangan yang melingkar di lengannya. Sudah pukul tuju malam, hatinya semakin cemas karena Alan pasti akan kebingungan mencarinya. Apalagi sejak tadi ponselnya mati karena semalam lupa mencharge ponselnya.
"Selesai...! " suara keras Arga membuat Jingga merasa lega. Kakinya sudah mulai kesemutan, bahkan rasanya tubuh kecilnya itu sudah hampir kehilangan keseimbangan.
"Kamu boleh pulang! Besok jangan ada yang terlupakan barang yang akan di bawa! " ujarnya sebelum pergi meninggalkan Jingga.
Dengan langkah gontai Jingga melangkah ke luar kampus. Suasana sudah mulai sepi hanya beberapa mahasiswa non regular yang yang masih berlalu lalang. Tubuh yang sudah terasa lemas itu terus diajaknya untuk melangkah pulang, yang dia tau saat ini kakinya melangkah ke arah yang sama seperti saat dia berangkat.
Jingga terus memaksa kakinya melangkah, meski perutnya yang sudah terasa lapar pun tak lagi dihiraukannya. Kali ini yang terlintas di pikirannya, Alan pasti sudah berada di rumah dan mencari keberadaannya seperti biasa. Bibir mungil itu meringis dengan lengan tangan menutup sebagian wajah dan matanya karena sorotan lampu yang terlalu terang tepat di arahkan kepadanya.
bersambung....
Jangan lupa tinggalkan jejak ya gengs... kasih like, vote atau tipsnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
SitiNuraeni
Mantap
2021-03-06
1
Rifiq Mimah
Winda mampir ya ngga....
kayaknya alan deh yang lg nyariin istri gunungnya.
2021-03-06
1
Nuridah Dumai
next kak,semangat
2021-03-06
1