"Jingggaaaa ... kenapa muntahnya tidak kira-kira!" ucap Alan dengan penuh penekanan. Menekan emosi yang ingin meledak begitu saja.
"Maaf...! " ucap Jingga dengan menengadahkan wajah, kali ini tatapannya memelas.
Hampir saja lelaki berhidung mancung itu tersulut emosi, tapi saat melihat mata indah yang menatapnya dengan memelas malah membuat alan tak tega. Seperti ada yang menyadarkannya, jika perempuan itu adalah istrinya.
"Hukumannya besok kamu yang nyuci baju itu!" ujar Alan melepas kemejanya dan hanya menyisakan kaos putih yang mencetak tubuh bergelombangnya.
"Iya... " jawab Jingga dengan lirih.
"Ayo, masuk mobil! Masih ada satu jam perjalanan." titah Alan dengan membukakan pintu mobil untuk Jingga.
"Mas Alan, bisakah kita mencari minuman hangat dulu! " pinta Jingga yang masih merasakan tubuhnya masih lemas.
"Iya, sebentar lagi ya!" jawab Alan yang kemudian kembali di balik kemudi.
Sesekali di liriknya Jingga yang hanya terdiam. Alan merasa cemas ketika melihat wajah Jingga terterlihat pucat.
"Apa kita ke dokter saja? " tanya Alan dengan melirik Jingga.
"Nggak usah, Mas! Aku cuma ingin minum yang hangat." lirih Jingga masih dengan menyandarkan kepala di jok mobil.
Sesaat kemudian Alan membelokkan mobilnya menuju sebuah rumah makan terdekat. Dengan menggandeng lengan kecil itu, Alan memasuki rumah makan yang tidak terlalu ramai.
"Kamu mau makan apa, Ngga?"
"Nggak pengen makan, aku minum teh hangat saja! Perutku mual, takutnya muntah dan aku juga inginnya cepat sampai."
Alan meninggalkan Jingga yang meletakkan kepalanya di meja. sesaat kemudian Alan membawa teh hangat dalam kemasan agar bisa diminum dalam mobil.
"Mau minum di sini? Apa di mobil? "
"Di mobil saja! " jawab Jingga yang kemudian memaksa tubuhnya untuk bangkit. Selain kepalanya yang terasa pusing, kini tubuhnya juga mulai terasa lemas.
Alan berjalan dengan merengkuh bahu kecil istrinya, takut jika sampai tiba-tiba Jingga pingsan, karena Alan melihat tubuh Jingga mulai mengeluarkan keringat dingin.
"Ini... minum dulu! " Alan menyerahkan kemasan teh hangat untuk Jingga, kemudian kembali melajukan mobilnya.
"Kamu biasa mabok kendaraan? " selidik Alan.
"Nggak juga, tapi dari kemarin udah nggak enak badan! " jelas Jingga sambil menyesap teh hangat.
Setelah Lima belasan menit, mobil jeep itu sudah memasuki garasi rumah minimalis berlantai dua yang di desain sangat unik.
"Mau makan dulu? " tanya Alan setelah mereka sampai di ruang tengah.
"Aku ingin tidur dulu, Mas." jawab Jingga dengan cepat, seolah ingin segera mengakhiri percakapan dengan Alan.
"Kamu tidur di kamarku dulu! "Jingga menelan salivanya dengan susah, tenggorokannya terasa tercekat, saat mendengar mereka harus satu kamar lagi.
"Nggak usah mikir macem-macem! Aku cuma takut kamu makin drop! " ucap Alan dengan mencubit pucuk hidung mungil itu. Wajah Jingga menjadi merona saat Alan mampu menebak apa isi dari otaknya.
"Cuma ada kamarku dan perpustakaan di lantai satu. " lanjut Alan saat melangkah menuju kamarnya.
Jingga mengekor di belakang Alan yang saat ini membuka kamarnya. Wouuu... kata yang terlintas di otak Jingga, kamar yang terlihat besar dan nyaman dengan cat dan parfum ruangan yang maskulin.
"Istirahatlah! Aku akan keluar sebentar."
"Jangan pergi jauh! Aku takut sendirian. " pinta Jingga.
"Hhmmm....Kalo butuh apa-apa aku di ruang tengah." ujar Alan yang kemudian meninggalkan Jingga yang sudah merebahkan tubuh di ranjang.
###
Jingga mengerjapkan mata, alam bawah sadarnya seperti membangunkan dirinya tepat jam lima pagi, itu seperti sebuah alarm sendiri untuk Jingga. Saat tangan dan kakinya menindih sesuatu yang besar, seketika membuat matanya membelalak dengan mulut hampir saja berteriak jika tidak segera dibungkam dengan satu telapak tangannya.
"Waduh... " keluhnya seperti bergumam saat posisi tangan dan kakinya melingkar di tubuh Alan. Berlahan dia menggeser tubuhnya agar Alan tidak tahu jika dia yang sudah menindihnya.
Diperhatikannya lagi wajah lelaki di sampingnya, sebelum dia beranjak dari tempat tidur.
"Kenapa mengendap-endapan? " ucap Alan dengan menarik satu lengan Jingga yang menjadi tumpuan, sehingga membuat tubuh Jingga terjatuh di dada bidangnya.
" Aaauuuhhh...aku tidak mengendap. Aku juga tidak menindih tubuh Mas Alan. Aku hanya tidak ingin Mas Alan terbangun saja! " jawab Jingga dengan wajah mendongak menatap wajah Alan.
"Benarkah? " tanya Alan masih menahan tubuh Jingga yang terjatuh di dadanya. Pertanyaan yang sebenarnya tidak butuh jawaban bohong dari Jingga, dari tadi lelaki itu sudah terbangun meski matanya masih terpejam, bahkan dia sempat menatap wajah ayu Jingga yang pulas dengan cukup lama sebelum Jingga terbangun.
"Aku akan solat dulu, Mas." ucap Jingga ingin segera melarikan diri dari situasi yang membuat jantungnya berdetak tak beraturan.
Alan melepaskan tubuh kecil yang beranjak ke kamar mandi. Matanya mengekor ke arah perempuan yang mulai dikenalnya itu.
Jingga Andini, gadis yang seperti tiba-tiba dinikahinya. Padahal sudah sepuluh tahun tahun perjodohan itu terjadi. Senyum tersemat di bibir tipis Alan saat mengingat dia sudah menikahi gadis belia. Gadis yang baru berumur sembilan belas tahun, sementara dirinya saat ini sudah berumur dua puluh delapan tahun, "Seperti pedofil." gumamnya lirih seperti ingin menertawakan dirinya sendiri.
Jingga mencepol rambut panjangnya ke atas, setelah sholat subuh dia keluar dari kamar mencari dapur. Perutnya terasa lapar apalagi semalam dia memang melewatkan makan malam untuk memilih tidur lebih cepat.
Sebelum mencari bahan yang akan di masak, dia ingin membuat minuman hangat terlebih dahulu. Matanya mengedar mencari letak teh dan gula. Perempuan itu mendengus, saat melihat benda yang di carinya itu terletak di dalam lemari kitchen set yang cukup tinggi.
Kakinya berjinjit dengan tangan menggapai toples yang dia tuju.
"Aaarrghhhh.... "
"Praaakkkk ....! " Teriakannya beriringan dengan jatuhnya toples kopi. Sementara, tubuhnya membentur tubuh Alan karena tangan kekar itu lebih cepat menariknya ke belakang sebelum kejatuhan toples kopi. Untung saja, toples itu terbuat dari plastik.
"Jangan memaksakan tinggi badanmu! " ledek Alan dengan wajah datar.
"Lah, kitchen setnya ketinggian, sih! " jawab Jingga masih membantah.
"Aku pikir istriku tingginya nggak jauh beda denganku! " mendengar ucapan Alan membuat Jingga mendorong tubuh tinggi itu untuk menjauh.
Tidak ada bantahan lagi dari Jingga, kalimat Alan seketika mengena di hatinya. Jingga kembali lagi merasa dia bukan istri yang diharapkan Alan.
"Ngga, bikinin aku teh sekalian, gulanya setengah sendok saja. " ucap Alan sebelum meninggalkan Jingga. Tapi, hanya beberapa langkah dia menjauh, Alan kembali menoleh ke arah Jingga. Bingung, apa ada yang salah dengan ucapannya? Hingga mendadak membuat Jingga terdiam dengan wajah kesal.
Jingga membawa secangkir teh untuk Alan. masih dengan mode diam, Jingga meletakkan teh dan berlalu begitu saja. Belum sampai dia kembali ke dapur, sudah terdengar suara bel berbunyi secara beruntun, membuat Jingga memilih untuk membukakan pintu.
"Maaf, Bang Alannya ada? " Seorang gadis dengan tinggi semampai dan berkulit putih itu sudah berdiri di depan pintu.
"Ada, sebentar aku panggilkan. "
"Eh, nggak usah! Aku cuma mau nitip ini buat Bang Alan. Kamu siapa? " tanya gadis itu dengan menyerahkan paper bag yang berisi sebuah kotak makan dan buku.
"Aku pembantu baru! " jawab Jingga singkat dengan menahan kekesalan.
"Oh ... kalau begitu, aku permisi dulu! Kapan-kapan aku akan mampir lagi! " Setelah kepergian gadis itu, Jingga kembali menutup pintu. Langkahnya terhenti saat sosok yang mendapat titipan itu ada di depannya.
"Ada titipan...! " Jingga menyerahkan paper bag itu pada Alan.
"Ngga, kenapa menjawabnya seperti itu? " Alan mengejar Jingga ke dapur. Dia sudah membaca wajah masam Jingga.
"Dari pada kepanjangan alasan, Mas! "
"Jinggaaaa.....! "
"Iya..., aku mau membersihkan ceceran kopi dulu! " Alan terdiam sejenak, melihat Jingga yang keras kepala. Mungkin wajar saja, jika gadis seusia Jingga masih labil.
"Eyang... kenapa harus menjodohkanku dengan gadis belia yang masih labil? Apa Eyang ingin menguji kesabaranku? " gumam Alan dengan geram. Bagaimana dia bisa menerima pernikahan ini jika perbedaannya cukup significant? Alan hanya bisa mengacak rambut, melampiaskan kekesalannya.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Nurul Laila
kyk prnh baca tp lupa judul novelnya apa , kyk hampir mirip sama kata2nya
2022-10-13
0
(✿ ♡‿♡)Yatun~Borsel 💞ιиɑ͜͡✦
bang folback aku meh ngomong
2022-03-22
0
ᵉLiˢ📴
sabar lan
2021-07-21
0