Jingga masih mengerucutkan bibirnya. Ada kekecewaan yang menjadi, saat sikap Alan yang bertolak belakang dengan apa yang sudah dia impikan selama ini. Kisah cinta bagaikan dalam dongeng, menunggu sang kekasih yang berakhir dengan indah pada waktunya. Semua ternyata cuma cerita isapan jempol belaka. Dia merasa terlalu cepat menyimpulkan sebuah hubungan dan status. Tapi, pernikahan ini sudah telanjur terjadi dan kenyataannya dia sudah menjadi Nyonya Alando Mahesa Putra.
Jingga masih mengepack semua barang barangnya yang penting, dadanya terasa sesak saat memikirkan telah menikah dengan orang yang tak pernah menginginkannya. Tapi, dia tak ingin kesedihannya dilihat oleh ibunya. Wanita yang paling dia sayangi di dunia ini.
Sesekali diusap matanya yang terasa berair dengan salah satu punggung tangannya. Dari jauh, Alan memperhatikan Jingga yang hanya bungkam dan menunduk dengan tangan yang masih sibuk mengepack semua barangnya ke dalam koper.
Memang hubungan mereka masih terlihat canggung. Dia saja tidak mudah menerima hubungan ini, semua butuh waktu, apalagi Jingga yang masih terlalu muda. Tapi semua sudah telanjur, Alan kembali menyadari jika istrinya adalah gadis remaja bukan perempuan dewasa dengan pemikiran yang cukup matang.
"Ngga, sudah selesai? " Mendengar pertanyaan Alan dari jauh, membuat Jingga langsung menyelesaikan packingnya.
"Iya sudah, Mas. " jawab Jingga.
Alan menghampiri Jingga dan mengambil koper yang akan dibawa istrinya. Biarkan waktu yang menjawab semua hubungan yang terkesan dipaksakan ini, pikir Alan yang hanya ingin menatap ke depan.
"Ijazah sudah dibawa? " tanya Alan sekali lagi pada Jingga.
"Sudah, Mas! " jawab Jingga dengan mengekori tubuh tinggi tegap itu. Alan memelankan langkahnya, saat dia merasa Jingga tertinggal di belakang.
"Ayo, keburu petang! " Lelaki berwajah Indo itu menggandeng pergelangan tangan Jingga untuk berpamitan pada Bu Sasmita.
Di halaman rumah joglo itu dua orang, ibu dan anak saling berpelukan. Berat rasanya melepaskan anak gadis yang selama ini tidak pernah jauh darinya.
"Hati-hati di sana. Belajar jadi istri yang baik! " tangis Sasmita pecah. Sosok ibu yang selama ini terlihat tangguh dalam membesarkan anak semata wayangnya, kini tak bisa menahan air mata.
"Ibu... jaga kesehatan! Jangan sedih, nanti Jingga pasti akan sering menjenguk Ibu! " ucap Jingga dengan meneteskan air mata saat melepas Ibunya.
"Kalian, cepatlah berangkat keburu malam! " ucap Sasmita tak ingin melihat Jingga Terlarut dalam kesedihannya.
Setelah berpamitan, Jingga dan Alan menaiki mobil Jeep yang sudah disiapkannya. Senja mulai berangsur beralih petang, diliriknya Jingga yang terdiam menatap ke luar jendela dengan mata yang sudah mengembun.
"Jangan cengeng! Kalo libur kita akan menjenguk Ibu! " ucap Alan dengan mengacak pelan rambut Jingga meskipun pandangannya masih fokus pada jalan terjal menuju rumah Eyang Putri.
Jingga tersenyum, mengalihkan tatapannya pada lelaki di sampingnya. Hatinya mencair, saat melihat Alan yang sedikit terbuka. Hanya butuh waktu dua puluh menit mereka sudah sampai di depan rumah Eyang Putri.
"Kita, akan menginap semalam di sini! " ucap Alan saat membelokan mobilnya di halaman rumah Eyang Putri.
"Iya... " jawab Jingga.
Jingga turun dari mobil. Dia memang sudah terbiasa datang ke rumah ini sebagai utusan dari ibunya.
"Ngga, sudah biasa ke sini? "
"Beberapa kali, Mas. "
Alan menggandeng tangan Jingga yang masih tampak malu-malu menuju ke dalam. Rumah khas milik orang Jawa itu memang sering terlihat sepi karena cuma ada Eyang Putri dan beberapa asisten rumah tangga.
"Duch... cucu Eyang sudah sampai. " suara itu membuat keduanya menoleh.
Alan dan Jingga berjalan mendekat ke arah Eyang Putri yang sudah berdiri tidak jauh dari mereka.
Alan memeluk Eyangnya, sementara Jingga hanya sungkem seperti biasa saat bertemu Eyang Putri.
"Wes-wes, kalian istirahat dulu,Cah Bagus! Nanti bawa istrimu untuk makan malam, kita akan makan di belakang saja." Wanita sepuh berkebaya itu meninggalkan mereka.
Alan mengajak Jingga ke kamar. Kamar Alan memang terkesan seperti kamar tamu, Iya hanya barang-barang masa kecil Alan yang ada di dalamnya.
"Mas, aku akan ambil koperku dulu! " ucap Jingga yang teringat bajunya masih ada di dalam mobil.
"Nggak usah, Ngga! Besok, biar kita nggak repot. " jawab Alan yang kemudian duduk dan mengecek ponselnya.
"Aku ganti pakai apa, kalau mau tidur? "
"Coba check lemari, biasanya Eyang sudah nyiapin semuanya. " Mendengar ucapan Alan, Jingga langsung membuka lemari pakaian.
"Mas... "
Panggilan Jingga membuat Alan menoleh. Tatapannya menanyakan apa yang sudah terjadi pada Jingga yang saat ini juga menatapnya.
"Cuma ada ini! " ucap Jingga yang menunjukkan lingerie yang di gantung rangkap dengan kimononya.
"Nanti biar aku saja yang ambil koper di mobil. Kamu istirahat dulu! Jam delapan kita makan malam dan besok kita akan melakukan perjalanan jauh." ujar Alan masih dengan menjawab pesan masuk dari teman temannya.
Jam delapan malam, Alan dan Jingga berjalan menuju meja makan. Di sana Eyang Putri sudah menunggu dengan secangkir kopi yang menjadi favoritnya.
Semua menu sudah tertata di meja makan termasuk piring dan sendok yang sudah siap di depan kursi masing-masing.
"Nduk... layani suamimu makan terlebih dahulu!" titah Eyang Putri yang kemudian mendapat tatapan dari kedua cucunya.
"Iya... Eyang! " jawab Jingga yang kemudian akan mengambilkan nasi di piring milik Alan.
"Eyang... apa perlu seperti ini?" tanya Alan yang ingin protes pada Eyangnya yang terlalu banyak aturan. Dia tak ingin membebani Jingga sebelum dia bisa menerima sepenuhnya pernikahan itu.
"Harus Cah Bagus, Kalian iki garwo istilah sigare nyowo, kudu saling memberi, saling menerima dan saling membutuhkan. Istilah anak jaman sekarang itu soulmate, jadinya harus take and give. "
"Apalah itu Eyang. Tapi Jingga masih terlalu kecil untuk memahami hubungan yang seperti itu? "
"Apa? " protes Jingga saat mendengar di bilang anak kecil membuat Eyang Rumana tersenyum. Itu yang disukai Eyang Rumana dari Jingga. Jiwa tegasnya dari Hadinoto tetap terpancar pada jiwa gadis itu, meskipun dia hidup bukan di lingkungan Ningrat. Yah, dia hanya perlu sedikit dibentuk saja karena selama ini Sasmita sangat memanjakannya.
"Maaf, maksutnya bukan seperti itu! " ujar Alan memelankan suaranya dan menatap Jingga.
"Lihat saja Cah Bagus, orang-orang jaman dulu kui meskio beda umur yang sangat jauh dan dijodohkan, tetep saja mereka bisa saling melengkapi, saling menerima, itu semua karena tresno jalaran soko kulino. Mung siji pesennya Eyang, belajarlah untuk saling membuka diri." Alan hanya terdiam, percuma membantah wanita super power itu. Mereka melanjutkan makan malam tanpa ada perdebatan lagi.
###
"Hati-hati di jalan! Kalau kalian lama tidak mengunjungi Eyang, Eyang pastikan akan mengunjungi kalian! " ucap Eyang Putri saat akan melepaskan kepergian Alan dan Jingga di kala sore itu.
"Eyang, sudah tua! Jangan kebanyakan berpetualang nanti sakit encoknya kambuh! " jawab Alan sambil memeluk Eyangnya. Perempuan yang sudah merawatnya setelah sepeninggalan mamanya.
"Jangankan masih di Indonesia, di Austria pun Eyang juga menyusulmu, kan?" sergah Eyang Putri.
"Eyang, sayang kalian. Baik-baik di sana! " lirihnya dengan wajah sedih yang tak biasa.
Jeep Wrangler itu melaju dengan pelan karena medan jalan yang kurang mumpuni.
"Kalo ngantuk tidur saja, Ngga! "
"Iya, Mas. " Tapi Jingga tidak ingin melewatkan perjalanan ini dengan cuma-cuma. Dia ingin menikmati pemandangan hutan karena jarang sekali dia bisa melakukannya.
Beberapa jam mereka melalui jalan terjal dengan medan menanjak dan menurun bahkan menukik. Dari tadi Jingga terdiam tapi matanya terbuka dengan wajah yang sudah memucat membuat Alan menghentikan mobilnya.
"Ngga, kamu kenapa? " tanya Alan sedikit cemas.
"Perutku mual dan kepalaku pusing, Mas! " Mendengar jawaban Jingga membuat Alan terkekeh.
"Jangan terlalu kampungan, Ngga! Naik mobil beberapa jam saja sudah mabok." Ledekan Alan membuat lirikan tajam Jingga ke arahnya. Jingga dibuat kesal oleh Alan, seandainya dia tau menderitanya orang mabok kendaraan itu.
Alan turun dari mobil dan berjalan memutar untuk membuka pintu mobil di sebelah.
"Ayo turun, Ngga! Biar mendapat udara segar." Alan membantu Jingga keluar dari mobil.
"Huekkkk.... " Jingga memuntahkan isi perutnya tepat di kemeja Alan.
"Jingggaaaaa.... ! " Lelaki itu mengeram kesal saat kemejanya terkena muntahan isi perut Jingga yang cukup berbau.
"Maaf... " jawab Jingga dengan tersenyum tipis. Sepertinya itu sudah jadi pembalasan untuk ledekan Alan.
tbc
hallo para readers... jangan lupa kasih vote, like or follow ya. Biar nulisnya tambah semangat....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
yosya
pengen nya mah gak mabok ya ngga...
2022-07-14
0
Mirwani Adwa Azizah
hahaha.. bau bajunya bang
2022-05-15
0
🅿!💤©€$_--🦈 🐬
hahahaaa....basah dh baju babng Alan...😅😅🤭
2022-01-25
0