Merindukan Jingga
Masih dengan gaya yang sama, lelaki cool dengan perawakan tubuh tinggi kekar itu membuka kaca mata hitamnya yang sedari tadi bertengger di hidung mancung miliknya, saat turun dari motor.
Alando Mahesa Putra adalah seorang arsitek yang cukup handal dan ambisius untuk setiap target yang sudah di list dalam kehidupannya. Tapi, tidak dengan cintanya. Sejak perjodohan yang di sepakati keluarga Mahesa dengan keluarga Cokrohadinoto itu terjalin, Alan memilih untuk tidak memupuk perasaan cinta terhadap wanita manapun termasuk dengan Jingga Andini, perempuan yang sudah lama dijodohkan dengannya itu.
Lelaki berahang tegas itu masih menggendong tas ransel di sebelah bahu kirinya dan membawa beberapa lembar kertas lebar yang digulung saat memasuki rumah minimalis yang didesain desain dengan sangat apik.
"Ceklek... " Lengan kekar Alan yang dipenuhi rambut tipis itu membuka pintu kamar miliknya.
Langkah lelaki itu kini tertuju pada sofa yang terletak di sebelah tempat tidur. Dengan memijit pangkal hidungnya, dia duduk dan menyandarkan kepalanya di sofa. Pikirannya kini terbebani dengan panggilan pulang dari Eyang Putri untuk menjemput Jingga. Menjemput, berarti harus menikahi perempuan yang sudah dijodohkan dengannya saat mereka masih kecil. Perjodohan yang sangat tidak masuk akal. Tapi, itulah kenyataannya.
"Sial... kenapa mereka tak pernah mengerti? Ini bukan lagi jaman Siti Nurbaya. Lagian, kenapa mereka tidak memikirkannya lagi, jika kita terpaut umur yang cukup jauh. Sembilan tahun, itu hanya akan membuatku seperti mengasuh bocah remaja. Anak perempuan yang tomboy dan sangat menyebalkan." Kepalanya begitu pusing memikirkan alasan untuk menghindar dan mengakhiri perjodohan itu. Selama ini, Alan sudah berusaha menghindari perjodohan itu dengan meneruskan kuliahnya di Austria tepatnya di kota Wina. Tapi Indonesia tetap seperti magnet baginya, hingga dia pun harus kembali ke negeri ini.
Saat inilah, perjanjian dengan Eyang Rumana tidak bisa diingkarinya lagi. Kali ini, dia harus menepati perjanjian yang pernah dia buat dengan Eyangnya. Saat itu, dia boleh saja melanjutkan cita-citanya menjadi seorang arsitek, asalkan Alan tetap kembali dan akan menerima perjodohan dengan seorang anak gadis yang menjadi penerus keluarga Cokrohadinoto. Entah apa istimewanya gadis itu, hingga Eyang Putri tergila-gila dengan gadis bernama Jingga Andini.
"Drt... drt... drt... " Alan meraih tasnya untuk mengambil ponsel yang dia selipkan di saku ransel.
"Assalamualaikum Eyang... " ucapnya saat panggilan dengan nama 'Eyang Galakku' itu terpampang di layar.
"Waalaikum salam, kapan kamu sudah siap, Lan? Pulang secepatnya sebelum Eyangmu ini mati. " ucap suara tua itu dari seberang.
"Iya Eyang, proyek Alan di Bali baru saja selesai. Ini Alan baru sampai di rumah. Besok Alan akan pulang ke rumah Eyang. " jawab Alan dengan nada malas.
"Oke... Eyang tunggu dirimu menepati janji! " desak Eyang Rumana pada Alan.
"Baiklah, Assalamualaikum. " jawab Alan yang kemudian menggeletakkan begitu saja ponselnya di sofa.
Lelaki yang terlihat lelah itu kemudian beranjak pergi menuju kamar mandi untuk menyegarkan kembali tubuhnya di bawah kucuran air yang mengalir dari shower.
###
Jingga, anak perempuan yang beranjak dewasa, dia tumbuh dari gadis kecil yang tomboi kini menjelma menjadi perempuan cantik dengan kulit putih dan rambut panjang yang memberi kesan sedikit feminim.
Gadis berbibir mungil itu masih berada di dekat sebuah tebing di mana dia selalu melihat mentari yang sebentar lagi akan terbenam. Sebentar lagi, mungkin dia akan merindukan suasana yang seperti ini karena Mas Alan akan membawanya ke kota setelah pernikahan mereka di lakukan.
"Mas Alan, sudah hampir sepuluh tahun aku selalu menunggumu. Bahkan, aku tak pernah melihatmu selama itu. Seperti apa kamu sekarang? Apa kamu akan menolakku setelah mengetahui aku yang sekarang? " gumam Jingga dalam hati. Ada rasa cemas yang menelisik hatinya saat memikirkan perjodohan yang dilakukan saat usianya masih sembilan tahun, sedangkan Alan saat itu baru lulus SMA sebelum meneruskan kuliahnya di Austria. Gadis itu kemudian menatap kembali warna jingga yang menggantung di ufuk barat sebelum meninggalkan tempat itu.
Dengan sangat tergesa gadis berambut panjang yang diikat asal-asalan itu mengayuh pedal sepedanya dengan kuat, ibunya selalu memarahi Jingga karena dia selalu menghabiskan waktunya di kala senja di dekat tebing itu. Bagi Bu Sasmita, tabu bagi seorang gadis masih keluyuran di kala senja. Tapi Jingga yang bandel selalu membiarkan begitu saja ibunya mengomel setiap dia pulang menjelang petang.
"Ibu.. Jingga pulang! " ucap Jingga saat memasuki rumah tua yang terbuat dari papan kayu jati itu.
"Kamu ini anak gadis, sudah hampir petang kok malah baru pulang. Pamali, Ngga! " ucap Bu Sasmita dengan mengaduk teh panas di cangkir.
"Sebentar lagi kamu akan menikah, seharusnya kamu mulai menyiapkan diri menjadi seorang istri yang baik." jelas Bu Sasmita menghampiri anaknya yang sedang duduk meja makan.
"Bu, gimana kalo Mas Alan tidak mau menikah dengan Jingga? Gimana kalo Mas Alan sudah punya pacar? " ucap Jingga dengan pelan. Pandangannya menerawang menatap cangkir teh yang baru saja diletakkan ibunya di depannya.
"Mana mungkin, dia akan menolak gadis secantik anak Ibu? " jawab Sasmita dengan tersenyum ke arah anak gadisnya.
"Bu, Jingga cuma gadis kampung, Jingga juga belum kuliah. Sedangkan Mas Alan lulusan luar negeri, apa Mas Alan bisa menerima Jingga? " Gadis itu kembali terlihat cemas, membuat senyum mengembang di bibir wanita paruh baya itu.
"Kamu akan kuliah di sana. Eyang Rumana sudah menjelaskan semua pada Ibu. Jangan khawatirkan Alan, tidak ada yang bisa mengelak dari pesona anak gadis Ibu. " Bu Sasmita kembali membesarkan hati anaknya. Jingga pun kembali tersenyum ke arah wanita yang sebenarnya menjadi beban pikirannya. Lalu pada siapa ibunya akan tinggal? Jika dia pergi bersama Alan ke kota.
"Jangan mencemaskan ibu, masih ada Mbok Nah yang akan tinggal bersama Ibu." jelas Sasmita yang sudah bisa membaca kecemasan Jingga akan dirinya. Setelah kepergiaan Ayahnya dan Eyang Hadi, kakeknya Jingga, Sasmita dan Jingga terusir dari keluarga besar Cokrohadinoto.
Tapi tidak masalah bagi Sasmita dan Jingga. Hidup di pedesaan membuatnya jauh lebih tenang. Ayah Jingga, mempunyai beberapa hektar tanah yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali istrinya. Mereka hidup dari hasil pertanian dan peternakan di daerah pegunungan itu.
"Sudah sana, kamu mandi dulu! " usir Sasmita membuat Jingga pergi ke kamarnya. Bukannya mandi, gadis itu malah mematut diri di cermin membayangkan jika dia bertemu Alan.
Senyumnya mengembangkan membayangkan sosok Alan yang sekarang. Mungkin dia akan jauh lebih ganteng dan tetap menjadi seorang Alan yang pendiam. Membayangkan calon suaminya itu, membuat Jingga tersenyum sendiri di depan cermin. rasanya dia sudah tidak sabar untuk bertemu calon suaminya itu.
####
Sudah hampir empat jam Alan mengemudikan mobil jeepnya menuju rumah Eyang Rumana yang ada di pegunungan. Jalan yang cukup terjal dan menanjak membuatnya lebih berhati-hati dengan medan jalan di pegunungan.
Pikirannya masih gelisah dengan perjodohannya itu. Mana bisa dia menikah dengan gadis yang tak pernah dilihatnya lagi. Bagaimana ...? Apa dia sudah berubah? Atau masih saja sama, tetap menjadi gadis tomboy dengan pipi gembulnya itu. Membayangkan Jingga kecil membuat Alan menggelengkan kepala karena merasa geli.
"Chiiiittt..... " Alan mendadak mengerem mobilnya.
"Bruuuughhh" seorang gadis terjatuh dari sepeda saat jalan menukik berbelok menurun membuatnya menabrak sebuah mobil yang sedang berjalan menanjak.
"Aduhhh.... hati hati dong kalo naik mobil! " teriak Jingga dengan memegangi kakinya dengan kulit yang sedikit terkelupas.
Alan turun dari mobil dan menghampiri gadis berambut panjang yang masih gelesotan di jalan.
"Kamu itu yang ngawur. Udah tau mau belok main kebut saja. " sinis Alan yang hanya berdiri di dekat Jingga.
"Ayo bangun...! " ujar Alan dengan mendirikan kembali sepada buntut milik Jingga.
Dengan tertatih gadis itu berdiri mengambil kembali sepedanya dengan menggerutu, "Kenapa yang di tolong sepadaku dulu, bukannya aku. " Meski terdengar lirih, namun masih sempat terdengar oleh lelaki yang punya tatapan elang itu.
"Apa? " tanya Alan dengan mengarahkan telinganya ke arah Jingga.
"Nggak....! " teriak Jingga dengan kembali mengayuh sepedanya.
Lelaki itu menggelengkan kepala dan menaiki mobilnya, rasanya dia ingin cepat sampai rumah Eyang Rumana dan segera beristirahat.
Visual Alan
Visual Jingga
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Oh Dewi
Mampir ah...
Sekalian rekomen buat yang kesusahan nyari novel yang seru dan bagus, mending coba baca yang judulnya (Siapa) Aku Tanpamu, searchnya pakek tanda kurung biar gak melenceng yaa
2022-12-30
0
yosya
hadir kak
2022-07-14
0
Mirwani Adwa Azizah
jinggaaa.. cantik
2022-05-15
0