EP. 4. Cacingan

********

Siang ini, Langit tengah kerepotan menangani pasien anak berusia tiga tahun yang mengeluh sakit perut. Selalu seperti ini, ruang praktik Langit tidak pernah sepi setiap harinya. Suara tangisan anak-anak sudah seperti musik jazz untuknya yang biasa ia dengar setiap hari.

“Wahh, Jackson hari ini datang bersama bayi hiu.” Ucap Langit seramah mungkin pada anak laki-laki bernama Jackson dengan boneka baby shark di dekapannya.

“Ayo kita lihat, apa di dalam mulutmu ada bayi hiu, aaaa . . . .” Langit membuka mulutnya sendiri untuk menginstruksi agar Jackson mengikutinya. Namun, bukannya mengikuti, Jackson malah menangis kencang karena ketakutan.

“Oh my God.” Langit sedikit tersentak dan otomatis menjauhkan tubuhnya.

“Sayang, jangan nangis. Dokternya cuma mau periksa, biar sakit perutnya hilang.” Sang ibu yang memangku Jackson berusaha menenangkan sambil mengusap-usap perut anak itu.

“Uh . .uh, udah sayang, jangan nangis.” Langit yang melihat itu hanya memasang raut wajah biingung sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia cukup bingung menghadapi anak kecil yang menangis meraung-raung seperti ini.

Mendesis, sejenak si ibu berpikir untuk membujuk anaknya agar tidak menangis lagi. “Kalau kamu terus nangis, nanti dokternya ngasih kamu suntikan besar sambil bilang kamu anak nakal. Ya kan, Dokter?” Langit mengangguk, mengikuti sandiwara yang dibuat Ibu Jackson.

“Anak nakal! Suntikan ada dimana, ya?” Langit lantas mengerlingkan matanya jahil.

“Suster, suntikan yang sangat besar untuk Jackson ada dimana?” Asisten perawat yang selalu mendampingi Langit hanya bisa menahan tawanya saat ia dilibatkan dalam sandiwara kekanak-kanakkan ini.

Memicingkan matanya pada Jackson, Langit lalu berbalik dan mengambil suntikan mainan yang cukup besar.

“Jackson, shuut. Lihat, dokternya bawa suntikan.” Dan tangis Jackson seketika terhenti saat melihat Langit berbalik dengan suntikan mainan besar di tangannya. Begitupula wajah Langit yang dibuat sedikit menyeramkan, namun tetap menggemaskan.

“Huwaaaaa . . ., hiks . . . hiks . . ..” Baru saja Langit dan semua orang yang ada di sana hendak bernapas lega, tapi Jackson malah menangis semakin kencang.

“Eung . . ., sebentar. Aku punya banyak snack untuk Jackson di sini.” Langit jadi salah tingkah karena malah menakuti anak orang. Kemudian dengan gelagapan ia mencari snack yang sengaja ia siapkan untuk menghadapi situasi seperti ini dari dalam lacinya.

“Uh . .uh, sayang. Kamu gak nakal, kok. Dokternya yang nakal.” Si Ibu kembali menenangkan anaknya. Langit yang mendengar itu hanya mendengus. Dasar ibu-ibu tidak konsisten.

“Dokternya nakal banget, anak ganteng Mama jadi ketakutan sampai nagis kayak gini.” Lanjut Ibu Jackson.

“Shuuut, jangan nagis lagi. Biar mama pukul dokternya.” Gerakan tangan Langit yang tengah mencari snack yang cocok seketika terhenti saat mendengar itu.

“Pukul.” Ibu Jackson dengan keras memukul lengan bahu Langit. Perawat yang melihatnya hanya menahan tawa sambil menutup mulutnya.

“Nah, Mama udah hukum dokter nakalnya.” Dan Jackson mulai berhenti menangis saat itu juga.

“Dokter, kenapa kamu menakuti anakku? Jackson kan anak baik.” Langit tak menyahuti, ia hanya menatap si ibu dengan pandangan melongo sambil mengusap-usap lengannya yang terkena pukulan tadi.

“Dokter, kamu tidak akan menakuti Jackson lagi, kan?”

“Ya kan, Dokter?” Ibu Jackson memberi isyarat kedipan mata agar Langit menjawabnya.

Langit yang menangkap isyarat si ibu lantas tertawa dipaksakan, sebelum kemudian ia berujar. “Maafkan dokter, ya, Jackson.” Langit berujar dengan penuh penekanan.

“Aku akan memberi kamu snack, bukan suntikan.” Langit kemudian mengacungkan biskuit oatbits ke arah Jackson, lalu menyerahkannya.

“Makan setelah sembuh nanti, oke?” Langit mengedipkan sebelah matanya seraya mengelus lembut kepala Jackson. Anak laki-laki itu hanya mengangguk seraya menerima snack tersebut.

Langit mengusap wajahnya sembari bernapas lega saat anak laki-laki itu tidak rewel dan tidak menolak lagi untuk ia periksa.

Sepanjang memeriksa Jackson, ia tak berhenti menggerutu dalam hatinya. Kalau tahu Jackson akan mudah luluh hanya dengan satu bungkus snack, kenapa juga tadi ia harus ikut main drama suntik-suntikan segala hingga dirinya harus kena pukul? Ck, menyebalkan.

“Masih ada lagi?” Tanya Langit pada perawat sesaat setelah Jackson dan ibunya keluar dari ruangannya.

“Jackson yang terakhir.” Jawab perawat yang bernama Mia itu. “Jangan lupa jam dua siang nanti ada operasi.” Lanjut Mia mengingatkan.

“Oke. Kalau gitu aku pergi ke kedai kopi sebentar.” Langit meregangkan otot-ototnya yang kaku sejenak, untuk kemudian ia beranjak dari duduknya.

“Sendiri?” Tanya Mia, membuat Langit harus menoleh ke arahnya dengan kening yang sedikit berkerut heran.

“Yes!” Jawab Langit singkat. “Aku gak diajak?” Tanya Mia kemudian.

“Lain kali, aku akan ngajak kamu sama yang lain.” Mia yang mendengar jawaban Langit hanya mendengus. Selalu seperti itu. Padahal, ia berharap Langit akan mengajak dirinya saja, tidak bersama timnya yang lain.

“Dokter sering ngajak Hana dari bagian bedah jantung makan atau hangout berdua. Kenapa gak pernah ngajak aku kayak gitu?” Protes Mia dengan wajah merengut lucu. Ia cukup iri melihat kedekatan Langit dengan Hana. Padahal, yang lebih sering menghabiskan waktu bersama Langit adalah dirinya. Mengingat Mia adalah asisten perawat yang selalu bekerja bersama Langit setiap hari.

“Apa kalian ada affair?” Tanya Mia mengerlingkan matanya penuh arti sembari menyatukan kedua telunjuknya.

“Jangan ngaco.” Seru Langit tak terima seraya mengusap penuh wajah Mia dengan gemas. Ia kemudian berlalu untuk keluar dari ruang praktiknya, meninggalkan Mia yang tertegun karena baru saja Langit menyentuh wajahnya.

“Dokter Langit nyentuh wajah aku? Aaaakh.” Mia menjerit tertahan saking senangnya. Ini seperti mimpi. Dalam mimpinya pun, Mia hanya pernah berharap Langit menyentuh tangannya saja.

********

Langit turun dari lift tepat di lobby rumah sakit. Alisnya seketika saling bertaut tatkala ia melihat sahabatnya Biru dan Jingga berdiri di ambang pintu masuk utama.

“Ngapain mereka ribut-ribut di sana? Kayak gak ada tempat lain aja.” Gumam Langit seraya terus melangkahkan kakinya untuk menghampiri Biru dan Jingga.

“Kalian ngapain berdiri di sini? Ngalangin jalan orang aja.” Tegurnya begitu ia menghampiri kedua sahabatnya itu.

“Jadi patung selamat datang.” Sahut Jingga ketus, membuat Langit mengernyitkan keningnya bingung karena Jingga pergi begitu saja dari hadapannya. Sepertinya gadis itu sedang kesal, terlihat dari raut wajahnya yang ditekuk.

“Kenapa?” Tanya Langit mengalihkan perhatiannya pada Biru. Namun, yang ditanya malah tak mengindahkannya. Sama halnya dengan Jingga, laki-laki itu juga berlalu begitu saja meninggalkannya.

“Ji, tunggu . . . .” Biru pergi begitu saja meninggalkan Langit. Jelas saja ini membuatnya sangat kesal, bukan sekali dua kali pasangan itu mengabaikannya seperti ini.

“Awas aja mereka kalau minta bantuan sama gue nanti.” Langit menggerutu kesal sekesal-kesalnya dengan raut wajah ditekuk masam.

“Wow! Perfect. Cocok untukku.” Mendengar seseorang berbicara, Langit lantas menoleh ke arah sumber suara. Karena sejak tadi perhatiannya hanya tertuju pada Biru dan Jingga, ia tidak menyadari kalau ternyata ada orang lain di sana. Tampak seorang gadis mengenakan penyangga leher tersenyum lebar ke arahnya. Shanna. Si gadis pecicilan yang Biru kira gila karena selalu menggodanya.

“Kamu single? Punya pacar? Atau istri?” Langit membelalakkan matanya tatkala menyadari siapa gadis yang ada di hadapannya saat ini.

“Ahh, aku gak peduli. Yang jelas, aku menyukaimu sekarang. Ayo mendekatkan diri.” Langit masih tak bergeming bahkan disaat gadis itu mengulurkan tangannya. Ia tertegun karena dipertemukan lagi dengan wajah ini, wajah yang akhir-akhir ini selalu mengganggu pikirannya setelah beberapa waktu lalu mengabaikannya di pertemuan pertama mereka.

“Kamu . . . .” Langit menunjuk wajah gadis itu setelah beberapa saat dirinya diam tak bergeming.

Langit jelas mengingat wajah ini, namun anehnya tampak berbeda. Wajah yang ia lihat beberapa waktu lalu sepucat salju, tapi yang ia lihat saat ini secerah bunga di musim semi.

Bukan hanya itu. Rambutnya. Ada apa dengan rambutnya sekarang? Dulu rambut gadis ini tampak pendek dengan potongan layering sebahu. Tapi sekarang, rambutnya terlihat panjang dan sangat aneh. Rambutnya diwarnai seperti lolipop warna-warni.

“Kenapa? Aku cantik? Haha, emang gak ada yang bisa nolak pesona Shanna, kecuali si dokter kanebo kering tadi.” Gadis yang meyebut dirinya Shanna itu lantas menyibak rambutnya bak model iklan shampo dengan hati-hati karena masih harus menjaga lehernya yang sakit.

Langit yang melihatnya terheran-heran, apa seseorang bisa berubah begitu saja dalam waktu dekat? Apa mungkin gadis ini berkepribadian ganda? Jelas-jelas dulu gadis ini terlihat tak tertarik sama sekali dengan dirinya.

“Tunggu sebentar . . . .” Langit tak mengindahkan penuturan Shanna yang sangat percaya diri itu. Lalu dengan ragu, Langit mengulurkan tangannya, menggenggam sejumput rambut Shanna, kemudian menariknya dengan tarikan sedikit kuat.

“Aaaawww . . . .” Shanna memekik tatkala Langit tiba-tiba menarik rambutnya, lehernya yang sakit kini semakin sakit akibat tarikan rambut di kepalanya. Ya, Langit menarik rambut Shanna untuk memastikan itu rambut palsu atau bukan.

“Leherku . . . .” Shanna terus berteriak kesakitan sambil memegangi lehernya yang kini semakin sakit. “Lepaskan aku.” Shanna meronta, ia memukuli lengan Langit yang masih mampu ia jangkau.

Langit yang merasa rambut itu tidak terlepas, lantas menjauhkan tangannya.

“Ini asli?” Tanya Langit memasang ekspresi tanpa dosa. Shanna yang masih merapikan rambutnya hanya mendelikkan matanya sebal. Dasar orang aneh.

Menurut Shanna, Langit lebih buruk dari si kanebo kering Biru. Dimana-mana, setiap orang yang bertemu pertama kali yang dipastikan itu namanya, bukan asli atau palsu rambutnya.

“Hiiish, kamu ini dokter gadungan atau apa? Gak lihat aku ini pasien?” Shanna bersungut-sungut kesal seraya menunjuk lehernya yang masih dipasang penyangga akibat kecelakaan beberapa waktu lalu.

Sementara Langit, ia sedikit meringis saat gadis itu memarahinya. Benar, pasti lehernya tambah sakit saat Langit menarik rambutnya tadi.

“Maaf, saya tidak bermaksud untuk menyakitimu. Tadi saya hanya ingin memastikan ini asli atau bukan.” Jelas Langit berbicara formal seraya menunjuk rambut lolipop Shanna dengan takut-takut.

“Asli atau palsu, apa masalahnya?” Tanya Shanna ketus.

“Gadis ini bukan dia.” Gumam Langit dalam hati. Ia berpikir kalau gadis yang ada di hadapannya ini hanya mirip dengan yang ia temui beberapa waktu lalu saat ia terjatuh. Jelas, dari penampilan saja sudah berbeda.

“Sekali lagi, saya minta maaf.” Ucap Langit sopan dengan raut wajah penuh penyesalan.

“Leherku jadi tambah sakit dan kamu cuma minta maaf?” Tanya Shanna masih dengan kekesalannnya. Salah satu sudut bibirnya sedikit tersungging saat sebuah ide licik terlintas di kepalanya.

“Gimana kalau leherku patah lagi?” Tambah Shanna kembali menunjuk lehernya.

“Emm, saya akan bertanggung jawab.” Sahut Langit tegas, tidak ingin memperpanjang masalah.

“Dokter yakin?” Tanya Shanna memastikan.

“Iya. Saya tidak masalah membayar biaya pengobatanmu, jika lehermu memang patah lagi.” Jawab Langit yakin. Seketika Shanna bersorak senang dalam hatinya.

“Ponsel.” Shanna tiba-tiba menadahkan tangannya ke arah Langit.

“Ponsel kamu, Dokter.” Shanna menggerak-gerakan tangannya, memberi isyarat agar Langit segera menyerahkan ponselnya.

“Untuk apa?” Tanya Langit tidak serta merta menyerahkan ponselnya begitu saja.

“Dokter, aku harus menghubungi kamu buat minta pertanggungjawaban kalau sampai terjadi sesuatu pada leherku.” Terang Shanna sejelas-jelasnya. Langit yang mendengar itu lantas mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.

Namun, alih-alih mengambil ponsel, Langit memilih untuk mengambil kartu nama di dompetnya, lalu menyerahkannya pada Shanna. “Kamu bisa menghubungi saya ke nomor ini.” Shanna lantas menerima kartu nama yang diberikan Langit dengan senang hati.

“Oke. Dokter . . . Langit. I will call you.” Ucap Shanna sesaat setelah ia membaca nama yang tertera dalam kartu nama tersebut sembari mengedipkan sebelah matanya genit, untuk kemudian ia berlalu pergi dari hadapan Langit.

Langit mengernyitkan alisnya heran. Tadi saja gadis itu marah-marah, tapi sekarang malah terlihat senang begitu dia mendapatkan kartu namanya.

Tak ingin memikirkannya lagi, Langit lantas memilih untuk segera pergi dari tempatnya saat ini menuju kedai kopi.

********

Sementara itu di tempat lain, Shien yang tengah berkonsultasi mengenai keadaannya bersama dokter Nathan tiba-tiba terhenti saat seorang perawat masuk membawa beberapa catatan medis pasien.

“Dokter Nathan, maaf mengganggu sebentar.” Ujar perawat itu tak enak hati.

“Ini catatan pasien dokter Jingga yang diserahkan padamu.” Lanjut si perawat sembari menyerahkan berkas pasien itu.

“Kenapa diserahkan padaku?” Tanya dokter muda berusia dua puluh delapan tahun itu.

“Dokter Jingga mengambil cuti selama beberapa bulan.” Jawab perawat itu seraya tersenyum kaku.

“Cuti? Baru beberapa bulan dia kembali bekerja, sekarang sudah cuti lagi? Enak sekali.” Gerutu dokter Nathan, mengingat Jingga dulu mengambil cuti enam bulan saat menjadi dokter lintas batas di Pakistan dan Yaman.

“Kali ini dia kenapa?” Tanya dokter Nathan julid. Ia iri dengan Jingga yang bisa cuti seenaknya dan prosesnya secepat kilat. Begitulah kekuatan orang dalam.

“Aku kurang tahu. Tapi, tadi siang bagian Obgyn heboh karena dokter Jingga dan Prof. Biru datang ke sana . . . .”

“Ohh, dokter Jingga sepertinya sudah keracunan jamur. Aku yakin dia bukan hanya cuti beberapa bulan, tapi sampai melahirkan.” Sambar dokter Nathan masih dengan kejulidannya.

“Pokoknya, aku hanya menyampaikan ini, Dokter. Permisi.” Perawat itu segera berlalu pergi dari hadapan dokter Nathan. Ia tidak mau ketularan kejulidan dokter itu, terlebih yang dibicarakan adalah menantu pemilik rumah sakit.

“Hiish, menyebalkan.” Shien tersentak saat dokter Nathan tiba-tiba melempar berkas pasien dalam tempat file berwarna bening itu ke mejanya.

“Dokter Nathan, kamu buat aku kena serangan jantung?” Protes Shien kesal.

“Ahh, sorry.” Dokter Nathan mengangkat sebelah tangannya seraya nyengir lebar.

Usia dokter Nathan yang tak jauh berbeda dengannya membuat Shien tidak harus bersikap formal pada dokter itu. Terlebih, dokter Nathan dengan kepribadiannya yang humble membuatnya mudah mendekatkan diri dengan Shien walaupun mereka belum lama kenal.

“Sampai dimana tadi?” Shien memutar bola matanya malas mendengar pertanyaan dokter Nathan.

“Tadi kita bahas tentang kegiatan aku.” Pada akhirnya, mau tidak mau Shien menjawab pertanyaan dokter Nathan.

“Ahh, iya. Aku juga dengar dari tante kamu. Katanya kamu mengurangi waktu tidur demi menggarap buku baru kamu.” Ujar dokter Nathan.

“Emm. Itu gak apa-apa, kan?” Jawab dan tanya Shien. Ia merasa akhir-akhir ini tubuhnya sangat sehat dan baik-baik saja walaupun ia begadang semalaman.

Menghela napas, dokter Nathan lantas menatap Shien dengan tatapan prihatin. Tatapan yang tidak pernah Shien sukai bagi siapapun yang menatapnya seperti itu. Shien merasa dirinya dikasihani jika ia ditatap seperti itu, dan ia sangat tidak suka.

Walaupun Shien sakit, ia bukanlah orang yang akan meratapi dan berlarut dalam kesedihan dengan menangisi penyakitnya. Justru sebaliknya, Shien selalu berusaha menjalani hidup seolah ia sangat sehat dan kuat. Penyakitnya sama sekali tidak menghalangi Shien untuk terus semangat menjalani kehidupan dan melakukan semua hal yang diinginkannya.

“Walaupun kamu baik-baik aja. Tapi kamu jangan memaksakan diri, Shi. Kamu punya jantung yang lemah.” Dokter Nathan menasehati. Penuturannya jelas membuat raut wajah Shien berubah sedih, namun sebisa mungkin gadis itu menyembunyikannya.

“Lagian, ini bukan pertama kalinya aku sakit.” Sahutnya terdengar dingin. Ucapannya itu menandakan kalau Shien sudah sering keluar masuk rumah sakit.

“Dan berkutat di depan tablet atau laptop setiap hari juga gak baik. Sesekali cari suasana baru. Nongkrong di caffe sambil nyari cowok misalnya. Kamu jomblo kan, Shi?” Ujar dokter Nathan kemudian, mencoba mengalihkan perhatian Shien yang terlihat sedih.

“Sok tahu.” Ucap Shien ketus.

“Tante kamu yang bilang kalau kamu jomblo, setiap hari cuma duduk di meja kerja, dan berkencan dengan laptop atau tablet. Gak baik jadi orang yang anti sosial, Shi.” Cibir dokter Nathan membuat Shien mendengus sebal. Tante Hilda benar-benar bermulut besar. Sebenarnya apa saja yang wanita paruh baya itu ceritakan pada dokter Nathan?

“Kamu ini dokter atau tukang nyinyir?” Tukas Shien kesal karena dokter Nathan mencibirnya.

“Ohh, aku emang udah niat jadi host rumpi kalau dipecat dari rumah sakit ini.” Sahut dokter Nathan santai. Shien hanya mendelik sewot ke arah dokter pribadinya yang terlihat petakilan ini. Sepertinya tante Hilda salah memilih dokter untuknya. Shien lebih suka dokter yang lebih tua walaupun kaku, daripada yang muda tapi kelakuannya seperti ini.

“Okay, let’s end this now. Mana resep obat baruku?” Shien lantas menadahkan tangan ke arah dokter Nathan untuk meminta resep obat barunya.

“Ingat! Jangan terlalu memforsir diri.” Dokter Nathan kembali memberi Shien peringatan sembari menyerahkan resep obatnya.

“Cerewet.” Shien menyambar resep obat dari tangan dokter Nathan untuk kemudian ia beranjak hendak keluar dari ruangannya. Namun, terurungkan tatkala dokter Nathan menahannya untuk jangan dulu pergi.

“Apa lagi?” Tanya Shien tak sabaran.

“Tanda tangan ini dulu. Keponakanku benar-benar menyukai semua bukumu, Shien.” Dokter Nathan lalu mengeluarkan buku cerita bergambar yang berjudul Good Morning Sun. Buku cerita anak-anak karya Shien yang menceritakan seekor kelinci putih yang baru bangun tidur, lalu mengucapkan selamat pagi pada semua hal yang ia lihat di pagi hari sebagai bentuk rasa syukur karena si kelinci masih bisa diberi kehidupan hingga hari ini.

“Buku ini baru akan diterbitkan besok. Kenapa kamu udah punya?” Tanya Shien heran.

“Ahh, pasti tante Hilda.” Tak butuh waktu lama lagi bagi Shien untuk menebak darimana dokter Nathan mendapatkan bukunya. Ia lalu merampas buku cerita itu dan dengan segera menandatanganinya.

“Aku gak nyangka, ternyata penulisnya gak seindah dan seimut ceritanya.” Cibir Dokter Nathan sembari memperhatikan Shien yang tengah membubuhkan tanda tangannya.

“Ngomong sekali lagi, aku robek buku ini.” Ancam Shien yang sontak membuat dokter Nathan mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

“Lain kali, kamu harus bayar.” Shien menyerahkan buku cerita yag sudah ditanda tanganinya.

“Thank . . . .” Dokter Nathan mendengus sebal karena Shien pergi begitu saja. Padahal, ia baru saja akan mengucapkan terima kasih.

********

Sore harinya, Langit bersiap-siap untuk pulang dengan menenteng tas kerjanya. Ia menyandarkan tubuhnya pada dinding lift seraya sesekali menguap, pekerjaannya hari ini benar-benar menguras tenaganya.

Langit kembali menegakkan tubuhnya begitu pintu lift terbuka. Ia tertegun saat melihat gadis yang kini berdiri di hadapannya. Gadis itu tampil semi formal dengan memadukan blazzer merah muda dan t-shirt, trousers serta mule shoes warna senada. Shien.

Langit mengerjap-erjapkan matanya. Gadis yang tadi siang ia lihat tampil nyentrik kini berubah lagi. Benar, Langit tidak salah. Wajah gadis ini tidak berubah, tapi kenapa penampilannya berubah-ubah?

“Dia kenapa? Cacingan?” Shien bertanya-tanya dalam hatinya melihat sikap aneh Langit. Tak terlalu mempedulikannya, Shien kemudian dengan cuek masuk ke dalam lift.

********

To be continued . . . .

Terpopuler

Comments

Puput Adejea

Puput Adejea

shine aku suka peranmu,,👍🥰🥰🥰🥰

2021-08-20

0

ce_ngOh

ce_ngOh

like

2021-06-06

0

R.F

R.F

3 like hadir. like balik ya

2021-03-06

1

lihat semua
Episodes
1 EP. 1. On Your Wedding Day
2 EP. 2. Patung Es
3 EP. 3. Big LOVE
4 EP. 4. Cacingan
5 EP. 5. See You Again
6 EP. 6. Lolipop
7 EP. 07. One Night Stand
8 EP. 08. Tidak Diinginkan
9 EP. 09. Licik
10 EP. 10. Psycho
11 EP. 11. Love You More Than Anything
12 EP. 12. Dia Tersenyum
13 EP. 13. I Don't Want To See You Again
14 EP. 14. Jodoh Tak Akan Kemana
15 EP. 15. The Prince
16 EP. 16. I Fell In Love With You At First Sight
17 EP. 17. Menggali Informasi
18 EP. 18. Berdebar Terus
19 EP. 19. First Date
20 EP. 20. Dokter Cabul
21 EP. 21. Membohongi Diri Sendiri
22 EP. 22. Kecewa
23 EP. 23. Terbawa Suasana
24 EP. 24. Orang Asing
25 EP. 25. Notice Me
26 EP. 26. Closer
27 EP. 27. Menikah
28 EP. 28. Pergi
29 EP. 29. Rasa Aman
30 EP. 30. Merindukannya
31 EP. 31. Never Too Late
32 EP. 32. Three Things
33 EP. 33. Someone He Misses
34 EP. 34. Be With You
35 EP. 35. Three Magic Words
36 EP. 36. Finest Moment
37 EP. 37. Pelarian
38 EP. 38. Trust Me
39 EP. 39. Bad Day
40 EP. 40. Di Luar Dugaan
41 EP. 41. Berandal
42 EP. 42. No Comment
43 EP. 43. Bekal
44 EP. 44. Jangan Genit
45 EP. 45. Promise
46 EP. 46. Dilema
47 EP. 47. Aku Udah Gak Nahan
48 EP. 48. Kesal
49 EP. 49. Pasangan Absurd
50 EP. 50. Kucing Garong dan Tikus Mesum
51 EP. 51. Kenyataan
52 PENGUMUMAN
53 EP. 52. Terlambat
54 EP. 53. Hilang
55 EP. 54. Memaksa
56 EP. 55. Fine
57 EP. 56. Aku Mau Menikah
58 EP. 57. Makanan Pembuka
59 EP. 58. One Sided Love
60 EP. 59. Pohon Harapan
61 EP. 60. Bukan
62 EP. 61. Khilaf
63 EP. 62. Just Remember I Love You
64 63. You Love Him Too
65 EP. 64. To be Honest
66 EP. 65. Beda Bukan Berarti Tidak Cocok
67 EP. 66. We Love Each Other
68 EP. 67. Menyesal
69 EP. 68. Terlalu Baik
70 EP. 69. Mempertimbangkannya Lagi
71 EP. 70. I Hate How Much I Love You
72 EP. 71. Fortune Cookies
73 EP. 72. Luar Negeri?
74 EP. 73. Kenapa?
75 EP. 74. Mengakhiri Semuanya?
76 EP. 75. The Gift Of A Friend
77 EP. 76. Keputusan Terbodoh
78 EP. 77. Kurang Waras
79 EP. 78. See You
80 EP. 79. Let It Go
81 EP. 80. Stay With Me
82 EP. 81. Bukan Sleeping Beauty
83 EP. 82. Without You
84 EP. 83. Regret
85 EP. 84. Berapa Lama Lagi?
86 EP. 85. Scandal
87 EP. 86. Thanks For Coming Back
88 EP. 87. Terlambat Menepatinya
89 EP. 88. Where Should I Go?
90 EP. 89. Terlalu Bodoh
91 EP. 90. Tidur
92 EP. 91. Where Are You
93 EP. 92. Selamat Jalan
94 EP. 93. I'll Be Waiting
95 EP. 94. I'll Always Love You
96 EP. 95. Tunangan
97 EP. 96. Adik Ipar
98 EP. 97. Belum Punya Pengalaman
99 EP. 98. D-Day
100 EP. 99. I Want you
101 EP. 100. Bohong
102 EP. 101. Takut
103 EP. 102. Banyak Tingkah
104 EP. 103. Ngidam
105 EP. 104. Sesuatu yang Disembunyikan
106 EP. 105. Vitamin
107 EP. 106. Anak Kita
108 EP. 107. Manja
109 EP. 108. Sakit
110 EP. 109. Till Death Do Us Part
111 EP. 110. Together, Forever (END)
Episodes

Updated 111 Episodes

1
EP. 1. On Your Wedding Day
2
EP. 2. Patung Es
3
EP. 3. Big LOVE
4
EP. 4. Cacingan
5
EP. 5. See You Again
6
EP. 6. Lolipop
7
EP. 07. One Night Stand
8
EP. 08. Tidak Diinginkan
9
EP. 09. Licik
10
EP. 10. Psycho
11
EP. 11. Love You More Than Anything
12
EP. 12. Dia Tersenyum
13
EP. 13. I Don't Want To See You Again
14
EP. 14. Jodoh Tak Akan Kemana
15
EP. 15. The Prince
16
EP. 16. I Fell In Love With You At First Sight
17
EP. 17. Menggali Informasi
18
EP. 18. Berdebar Terus
19
EP. 19. First Date
20
EP. 20. Dokter Cabul
21
EP. 21. Membohongi Diri Sendiri
22
EP. 22. Kecewa
23
EP. 23. Terbawa Suasana
24
EP. 24. Orang Asing
25
EP. 25. Notice Me
26
EP. 26. Closer
27
EP. 27. Menikah
28
EP. 28. Pergi
29
EP. 29. Rasa Aman
30
EP. 30. Merindukannya
31
EP. 31. Never Too Late
32
EP. 32. Three Things
33
EP. 33. Someone He Misses
34
EP. 34. Be With You
35
EP. 35. Three Magic Words
36
EP. 36. Finest Moment
37
EP. 37. Pelarian
38
EP. 38. Trust Me
39
EP. 39. Bad Day
40
EP. 40. Di Luar Dugaan
41
EP. 41. Berandal
42
EP. 42. No Comment
43
EP. 43. Bekal
44
EP. 44. Jangan Genit
45
EP. 45. Promise
46
EP. 46. Dilema
47
EP. 47. Aku Udah Gak Nahan
48
EP. 48. Kesal
49
EP. 49. Pasangan Absurd
50
EP. 50. Kucing Garong dan Tikus Mesum
51
EP. 51. Kenyataan
52
PENGUMUMAN
53
EP. 52. Terlambat
54
EP. 53. Hilang
55
EP. 54. Memaksa
56
EP. 55. Fine
57
EP. 56. Aku Mau Menikah
58
EP. 57. Makanan Pembuka
59
EP. 58. One Sided Love
60
EP. 59. Pohon Harapan
61
EP. 60. Bukan
62
EP. 61. Khilaf
63
EP. 62. Just Remember I Love You
64
63. You Love Him Too
65
EP. 64. To be Honest
66
EP. 65. Beda Bukan Berarti Tidak Cocok
67
EP. 66. We Love Each Other
68
EP. 67. Menyesal
69
EP. 68. Terlalu Baik
70
EP. 69. Mempertimbangkannya Lagi
71
EP. 70. I Hate How Much I Love You
72
EP. 71. Fortune Cookies
73
EP. 72. Luar Negeri?
74
EP. 73. Kenapa?
75
EP. 74. Mengakhiri Semuanya?
76
EP. 75. The Gift Of A Friend
77
EP. 76. Keputusan Terbodoh
78
EP. 77. Kurang Waras
79
EP. 78. See You
80
EP. 79. Let It Go
81
EP. 80. Stay With Me
82
EP. 81. Bukan Sleeping Beauty
83
EP. 82. Without You
84
EP. 83. Regret
85
EP. 84. Berapa Lama Lagi?
86
EP. 85. Scandal
87
EP. 86. Thanks For Coming Back
88
EP. 87. Terlambat Menepatinya
89
EP. 88. Where Should I Go?
90
EP. 89. Terlalu Bodoh
91
EP. 90. Tidur
92
EP. 91. Where Are You
93
EP. 92. Selamat Jalan
94
EP. 93. I'll Be Waiting
95
EP. 94. I'll Always Love You
96
EP. 95. Tunangan
97
EP. 96. Adik Ipar
98
EP. 97. Belum Punya Pengalaman
99
EP. 98. D-Day
100
EP. 99. I Want you
101
EP. 100. Bohong
102
EP. 101. Takut
103
EP. 102. Banyak Tingkah
104
EP. 103. Ngidam
105
EP. 104. Sesuatu yang Disembunyikan
106
EP. 105. Vitamin
107
EP. 106. Anak Kita
108
EP. 107. Manja
109
EP. 108. Sakit
110
EP. 109. Till Death Do Us Part
111
EP. 110. Together, Forever (END)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!