********
Beberapa minggu berlalu, Langit benar-benar menerima kenyataan bahwa Jingga si cinta pertamanya sudah menjadi milik orang lain sepenuhnya.
Tidak ada yang berubah setelah gadis itu menikah, ia tetap berteman dengan akrab seperti biasanya. Mengobrol bersama di waktu luang, makan siang bersama, dan melakukan hal-hal menyenangkan lainnya bersama gadis itu. Tidak ada yang berubah sama sekali. Ahh, mungkin yang sedikit berubah adalah suami Jingga yang terkadang hadir di tengah-tengah mereka. Dan kalau sudah ada Biru, bisa dipastikan ia akan menjadi kambing congek. Dan itu sedikit . . . ., menyebalkan.
Pagi itu, Langit berjalan di koridor rumah sakit menuju ruang NICU. Langit tak berhenti tersenyum, entah kenapa pagi ini ia merasa lebih bersemangat dan hatinya sangat senang. Ahh, mungkin karena tadi malam ia mendapatkan jam tangan branded incarannya.
Langit berjalan sambil melempar-tangkap koin perak Australia berlambang koala, kemarin seorang pasien anak laki-laki memberikannya sebagai imbalan karena Langit sudah berhasil mengoperasi lambungnya. Katanya itu koin adalah keberuntungan, padahal itu koin perak biasa. Langit tersenyum geli sambil geleng-geleng kepala mengingatnya.
“Mana ada koin keberuntungan, dasar bocah.” Gumamnya seraya berdecak geli.
Benar saja, alih-alih keberuntungan, justru kesialan yang menghampirinya pagi ini. Langit yang sedang berjalan dengan santai tiba-tiba jatuh tersungkur saat seseorang menabrak punggungnya dengan keras. Sialan, ingin sekali Langit mengumpat pada orang yang sudah merusak pagi indahnya. Apa orang itu tidak punya mata sampai dirinya ditabrak seperti ini?
“Koinku . . . .” Langit memekik begitu koin keberuntungannya terlepas dari genggamannya dan menggelinding begitu saja.
“Langit.” Mendengar seseorang meneriakan namanya, Langit lalu menoleh. Didapatinya Jingga yang memasang wajah terkejut dan lega sekaligus, ekspresi yang aneh. Ia tebak, pasti gadis itu sedang terburu-buru hingga menabraknya seperti ini.
“Ji, kamu punya mata, tapi kok gak dipake?” Dan Langit langsung saja mengomeli Jingga dengan penuh kekesalan. Sudah sejak tadi ia ingin menegur orang yang menabraknya.
“Duhh, Lang. Aku lagi buru-buru, nih. kamu bisa bangun sendiri, kan?” Gadis itu berujar tanpa merasa bersalah sedikitpun. Jingga malah sibuk melihat jam di pergelangan tangannya, lalu pergi begitu saja tanpa berniat membantunya untuk beranjak.
“Ji, bantuin aku dulu.” Langit kembali berteriak kesal. Sudah ditabrak, ehh yang nabrak tidak bertanggung jawab pula.
“Aku minta maaf.” Sahut Jingga ikut berteriak, namun tanpa menoleh ke arahnya sama sekali.
“Sialan.” Umpat Langit benar-benar merasa kesal, gadis itu sudah merusak semangat paginya. Sial sekali, ia juga kehilangan koinnya. Dimana koin pembawa sial itu?
Sementara itu tepat di seberang Langit terjatuh, Shien yang hendak keluar dari gedung rumah sakit setelah beberapa saat lalu menemui dokternya untuk mengambil obatnya yang tertinggal seketika menghentikan langkahnya saat sebuah koin menggelinding dan berhenti tepat di kakinya.
Pandangan Shien mengikuti arah kedatangan koin tersebut. Ia sedikit meringis saat melihat seseorang yang tentunya itu Langit tersungkur dengan cara aesthetic, itu pasti sakit sekali. Beruntung gadis yang menabrak tidak menimpanya.
Namun, Shien dibuat heran. Alih-alih merasa sakit karena terjatuh, laki-laki itu malah mengkhawatirkan koinnya.
“Lumayan, lah. Dijual dapat dua juta.” Gumam Shien saat ia menyelisik logam mulia silver koin koala Australia itu. Shien mengira, pantas saja laki-laki itu lebih mengkhawatirkan koinnya, koin ini ternyata ada harganya kalau dijual pada kolektor. Cukup untuk membeli beberapa pack plester untuk mengobati lutut dan sikut laki-laki itu yang mungkin hanya lecet sedikit.
Melihat laki-laki itu yang masih anteng dalam posisi tersungkurnya, Shien lantas menghampiri laki-laki itu dan berdiri tepat di hadapannya.
“Tenang aja, aku juga gak tertarik sama koin jelek ini.” Shien mendengus dalam hati saat ia melihat laki-laki itu mengulurkan tangannya seolah meminta Shien untuk segera mengembalikan koinnya.
Lalu tanpa berbicara sepatah katapun, Shien menyerahkan koin itu tepat ke telapak tangan laki-laki itu untuk kemudian ia berlalu pergi dengan acuh.
“Unbelievable.” Langit terbengong-bengong, gadis itu buta atau apa? Ia terperangah, tak percaya bahwa gadis yang baru saja berlalu itu tak menerima uluran tangannya. Gadis itu baru saja mengabaikan orang ganteng. Ahh, ini seperi sebuah penghinaan baginya. Tunggu, apa sekarang ia kurang ganteng sampai-sampai gadis itu mengabaikannya?
“Kalau gak tertarik, setidaknya dia bantuin gue berdiri kek, dasar gak peka.” Langit menggerutu seraya berusaha untuk berdiri. Ia kesal saat mengingat tatapan gadis itu yang sama sekali tidak menunjukan ketertarikan padanya, tapi ia lebih kesal lagi karena gadis itu tidak menolongnya. Padahal, tadi ia mengulurkan tangannya untuk meminta gadis itu membantunya beranjak, bukan meminta koinnya untuk dikembalikan.
********
Sementara itu, Shien yang baru kembali dari rumah sakit turun dari taksi dengan langkah terburu-buru.
Dengan langkah tergesa, ia berjalan memasuki bangunan kantor minimalis yang cukup homey itu. Ya, suasana kantor penerbitan ini dibuat sesantai mungkin agar orang-orang yang bekerja di sini tidak merasa bosan. Mereka bahkan tidak perlu menggunakan baju formal dan bisa berbicara sesantai mungkin baik antara atasan maupun bawahan, asalkan masih tahu batasan sopan santun.
Snow Candy, sebuah perusahaan penerbitan buku anak-anak yang didirikan tante Hilda 20 tahun lalu. Track record perusahaan ini sangat bagus, sehingga sangat dihormati, terlebih di Amerika dan Asia.
Perusahaan ini menerbitkan sekitar 135 buku anak-anak setiap tahunnya. Selain anak-anak, lingkup target penerbit ini meliputi pembaca muda dan juga dewasa. Banyak penulis yang digaet untuk bekerja sama dengan penerbit ini. Termasuk Shien yang setiap tahunnya tidak ketinggalan memborong beberapa medali penghargaan untuk karyanya.
Perusahaan penerbitan Snow Candy sebelumnya beroperasi di Amerika. Namun karena beberapa alasan, tante Hilda memindahkan kantor pusatnya ke Indonesia.
Sejak usianya memasuki 20 tahun, Shien sudah bergabung di perusahaan ini sebagai penulis sastra anak-anak dengan tante Hilda yang turun langsung sebagai editor cerita dongeng yang ditulis Shien. Wanita itu tidak keberatan menjalankan tugasnya sebagai CEO yang merangkap dengan editor, hal itu semata-mata ia lakukan untuk membantu keponakannya mengembangkan kemampuan menulisnya. Dan tak disangka, Shien meraih pencapaian besar bahkan sejak awal kemunculannya.
“Shien, kenapa kamu terburu-buru?” Tanya Fina yang mengekori Shien masuk ke ruangannya.
“Aku belum siap-siap. Hari ini ada meeting sama tim editor, kan?” Tanya Shien mengingat ia sedang menggarap buku barunya. Ia kemudian mengeluarkan tablet dari laci meja kerjanya dengan tak sabaran.
“Besok, tuh.” Sahut Fina santai.
“Ck, orang yang terbaring di ranjang pasien selama tiga hari, kalau tahu hari ini tanggal berapa baru aneh namanya.” Gumam Fina santai menatap Shien tak heran. Tidak heran kalau gadis itu lupa jadwalnya hari ini sampai panik seperti itu, karena Shien baru saja bangun dari pembaringannya.
“So, sekarang aku free?” Tanya Shien seraya mendudukkan diri di kursi kerjanya.
“Yes. Dan jangan lupa besok lusa kamu ada wawancara untuk penulis berbakat tahun ini di restoran Perancis.” Ujar Fina mengingatkan. Shien hanya mengangkat tangan membentuk tanda oke menggunakan telunjuk dan ibu jarinya.
“Satu lagi, jangan kecapekan kayak kemarin. Aku gak mau kamu pingsan lagi, itu merepotkanku. Jaga kesehatanmu, Shien.” Fina kemudian memperingati agar Shien tidak memforsir dirinya untuk bekerja terlalu keras.
“Cerewet! Udah sana pergi.” Fina mendengus saat melihat Shien malah mengusirnya seperti seekor ayam.
“Terakhir, Bu Hilda bilang kamu jangan baca dongeng putri duyung lagi.” Fina kembali memperingati begitu ia melihat Shien mengeluarkan buku cerita bergambar berjudul The Little Mermaid dari laci mejanya. Ia tahu betul gadis itu akan menangis dalam tidurnya setelah membaca cerita itu. Entah kenapa, ia juga tidak tahu.
“Terserah aku mau baca apapun.” Seru Shien tak peduli. Ia lalu membuka buku cerita bergambar yang sudah cukup usang itu dan mulai membacanya.
“Aneh banget. Cerita itu sudah kamu baca ribuan kali, apa kamu gak bosan?” Tanya Fina penasaran, dan alih-alih pergi dari ruangan Shien, ia malah duduk di hadapannya.
“Kamu aja makan tiap hari, apa gak bosan?” Sahut Shien ketus tanpa mengalihkan perhatian dari bukunya.
Fina yang mendengar itu hanya bisa menggerutu tanpa suara dengan mulut komat-kamit seolah sedang menumpahkan segala umpatan kasar untuk gadis yang ada di hadapannya.
“Siapa tokoh dongeng yang paling kamu sukai, Fina?” Tanya Shien tiba-tiba, sehingga membuat Fina keheranan. Tak biasanya gadis di hadapannya ini menanyakan sesuatu yang tidak penting seperti ini.
“Emm. . . ., aku suka Alice.” Jawab Fina setelah beberapa saat berpikir.
“Karena itulah, waktu kecil aku suka kabur dari rumah untuk mencari kelinci putih.” Lanjut Fina seraya mengingat masa kecil yang sering dimarahi ibunya karena ia sering kabur untuk mencari kelinci putih seperti dalam kisah Alice in Wonderland.
“Dasar bodoh.” Cibir Shien yang kembali pada bacaannya. Fina hanya mendengus kesal mendengar Shien mencibirnya. Bukankah tadi dia bertanya? Dasar menyebalkan.
“Tapi itu hal yang paling berkesan di masa kecilku.” Timpal Fina yang tak terima dirinya dikatai Shien bodoh.
“Shien, hal apa yang paling berkesan di masa kecilmu?” Tanya Fina kemudian, hingga membuat Shien yang mendengarnya tertegun.
“Berkesan?” Gumam Shien dalam hati, salah satu sudut bibirya lantas tertarik membentuk sebuah senyuman kecut.
Tidak ada yang berkesan di masa kecil Shien. Terkurung di kamar setiap hari dengan setumpuk buku, tidak boleh melihat dunia, ia bahkan tidak memiliki teman selain kakaknya Shanna dan Shawn. Itu pun jarang sekali Shien bermain bersama mereka karena Shanna dan Shawn sibuk dengan kegiatannya di luar.
Berbeda dengan dirinya yang home schooling, kedua saudaranya bebas bersekolah biasa dan menjalani kehidupannya dengan normal.
Bukannya Shien tidak bisa bersekkolah biasa, hanya saja Shien divonis memiliki riwayat penyakit jantung bawaan sejak lahir. Hal inilah yang menyebabkan orang tua Shien memperlakukannya sedikit berbeda dengan kedua saudaranya.
Selama sembilan tahun hidupnya, Shien tidak memiliki kebebasan layaknya Shanna dan Shawn, orang tuanya meminta Shien untuk melakukan semua kegiatannya di rumah termasuk sekolah. Walaupun Shien diberikan fasilitas lengkap tanpa kekurangan suatu apapun, namun ia sangat kesepian. Ini lebih seperti sebuah kekangan untuknya.
Shien yang sakit dan selalu di rumah, tidak berarti ia mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang lebih dari kedua orang tuanya. Justru karena Shien sakit, orang tuanya lebih fokus memperhatikan Shanna dan Shawn yang lebih sehat.
Terkadang Shien iri saat setiap pagi ia melihat ibunya menyiapkan segala keperluan Shanna dan Shawn yang hendak berangkat sekolah, ia iri melihat ibunya memandikan mereka dan mendandaninya dengan rapi, ia iri melihat ibunya menyuapi Shanna dan Shawn saat sarapan, dan ia juga iri melihat ibunya membacakan dongeng sebelum tidur pada mereka. Sementara Shien, ibunya jarang sekali melakukan itu padanya. Sangat jarang, bahkan bisa dihitung dengan jari. Setiap hari yang merawatnya adalah suster dan bibi pengasuh.
Shien di masa kecil seperti putri duyung yang tidak boleh menampakkan dirinya ke permukaan karena ia memiliki tubuh yang sangat lemah. Ayahnya mengatakan karena Shien sakit, maka ia tidak boleh keluar dari rumah karena akan merepotkan orang di sekitarnya, terlebih jika saja penyakit jantungnya kambuh sewaktu-waktu.
Shien jadi berpikir, mungkin karena itulah ayahnya sama sekali tidak pernah ingin mengajaknya jalan-jalan saat liburan sekolah tiba. Karena Shien sangat merepotkan, ayahnya hanya mengajak Shanna dan Shawn saja.
Selalu seperti itu saat liburan tiba. Shien selalu tertinggal. Ia hanya bisa menatap nanar kepergian orang tua dan saudaranya yang hendak pergi berlibur dari balkon kamarnya.
Shien tidak tahu seperti apa keadaan kebun binatang, ia tidak tahu seperti apa itu Dufan, dan tempat hiburan lainnya, Shien tidak tahu karena tidak pernah pergi ke sana. Beruntung Shanna selalu bisa menceritakannya secara detail, Shien jadi bisa sedikit membayangkan seperti apa serunya jika ia ada di sana.
“Shi, kok bengong?” Shien terkejut saat tiba-tiba Fina menyentuh lengannya.
“Ohh . . . .” Shien dengan cepat mengusap sudut matanya yang tahu-tahu menjatuhkan air mata begitu saja. Padahal, ia tidak pernah ingin menangis. Terlebih jika itu karena ia mengingat kenangan masa kecilnya yang sama sekali tidak menyenangkan.
“Kamu nanya apa tadi?” Fina mendengus sebal. Apa pertanyaannya tadi hanya angin lalu bagi Shien sampai-sampai ia menanyakannya lagi?
“Ahh, sudahlah. Kamu emang gak asyik diajak ngobrol.” Fina yang suasana hatinya hari ini sedang sensitif memilih untuk beranjak dari hadapan Shien. Namun, Shien sama sekali tidak peduli melihat Fina yang kesal padanya.
“Jangan balik lagi.” Teriak Shien begitu Fina sampai di ambang pintu. Fina seklilas berbalik, menatap Shien dengan tatapan kesal sebelum kemudian ia menghentakkan kakinya dan berlalu keluar dari ruangan Shien.
********
Langit baru saja menutup sambungan telepon dari kakaknya Senja yang meminta untuk mengantarnya ke restoran Perancis nanti siang.
“Hiish . . . .” Ia berguling-guling di kasurnya sambil menggerutu. Sebenarnya ia sangat malas harus menemani kakaknya yang sedang mengandung itu, pasti wanita hamil itu akan sangat merepotkannya dengan segala macam keinginan dan permintaan yang aneh-aneh.
Menghela napas dalam-dalam, ia kemudian menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Sebenarnya ia hanya ingin tidur seharian di hari liburnya ini, tapi kakak perempuannya itu berhasil mengacaukan rencananya dalam sekejap mata. Ingin menolak, tapi Senja pasti menggunakan keponakannya yang masih ada di dalam kandungan untuk mengancamnya.
“Kamu mau keponakanmu ileran?” Langit mengacak-acak rambutnya frustrasi saat kata-kata ancaman itu terngiang-ngiang di kepalanya.
Dengan malas, Langit kemudian beranjak dari tempat tidurnya untuk membersihkan diri di kamar mandi.
Setelah selesai membersihkan dirinya, Langit lantas melangkah keluar dari kamarnya, lalu berjalan ke ruang makan mengambil sarapan, untuk kemudian menghampiri ayahnya yang sedang menonton berita pagi di ruang keluarga.
Ya, Langit ada di rumah orang tuanya karena hari ini hari libur. Sebenarnya ayah Langit memintanya untuk tinggal bersamanya daripada di apartemen, namun jarak rumah dengan rumah sakit tempatnya bekerja yang terbilang cukup jauh memaksanya untuk tinggal terpisah dari orang tuanya yang tinggal sebelah itu.
“Pa . . . .” Sapa Langit yang langsung mendudukkan dirinya di sebelah Papa.
“Tumben udah bangun.” Ledek Papa tanpa mengalihkan perhatiannya dari televisi. Beliau tahu betul anaknya hanya akan hibernasi di kamarnya sepanjang hari libur.
“Kak Senja pagi-pagi udah gangguin, minta diantar ke restoran Perancis.” Adunya seraya memasukkan sosis goreng ke dalam mulutnya.
“Udah gak usah ngeluh, turutin aja apa mau kakak kamu. Itung-itung belajar, jadi nanti kalau istri kamu hamil dan ngidam kamu udah biasa ngadepinnya.” Tutur Papa yang sontak membuat Langit menelan sosisnya bulat-bulat, hingga membuat dadanya terasa sakit. Buru-buru ia meneguk airnya untuk mendorong sosis itu masuk ke saluran pencernaannya.
“Kenapa? Terkejut sampai kamu tersedak begitu?” Cebik Papa sama sekali tak peduli dengan putranya yang kini tampak kesulitan mendorong makanannya.
“Papa gak salah ngomong, kok. Suatu saat kamu bakal nikah, kan?” Imbuh Papa santai.
“Gak salah sih, Pa. Tapi Papa tiba-tiba ngomongin istri aku hamil. Ya terkejut aku, nikah aja belum, udah ngomongin hamil aja.” Balas Langit dengan sedikit dengusan sebal.
“Makannya kamu cepetan nikah dong, Lang. Itu Jingga udah nikah, masa kamu belum.” Keluh Papa akhirnya. Ia khawatir karena usia anaknya yang sudah terbilang tidak muda lagi, tapi tak kunjung menikah juga.
“Iya deh, nanti.” Sahut Langit santai, lalu kembali melanjutkan memakan sosisnya.
“Nanti tuh kapan, Lang? Nunggu Papa mati?” Papa mendelik sewot ke arah Langit.
“Papa ngomong apaan, sih? Santai aja kenapa, sih? Papa juga masih muda, kok.” Sambar Langit yang tak suka mendengar Papa mengatakan kata mati, walaupun ia tahu Papa hanya becanda. Mamanya sudah meninggalkannya lebih dulu, rasanya ia tak akan sanggup jika harus ditinggal pergi lagi oleh Papa yang saat ini menjadi orang tua satu-satunya untuk Langit.
“Aku tuh lagi nyari yang pas aja.” Lanjut Langit memberi alasan.
“Kalau udah ada yang kamu suka, langsung gercep. Jangan sampai diembat orang lagi kayak Jingga.” Langit yang mendengar penuturan Papa kembali dibuat tersedak, ia kemudian menoleh ke arah Papa dengan pandangan melongo sambil mengerjap-erjapkan matanya tak percaya. Darimana Papa tahu hal ini? Seingatnya, ia tidak pernah menceritakan apapun tentang ini pada Papa.
“Kamu itu anak Papa. Ya Papa tahu, lah.” Ujar Papa seolah tahu apa yang sedang dipikirkan anaknya sambil memukul paha Langit dengan gemas.
Ya, sebagai seorang ayah, Papa tahu kalau putra satu-satunya itu menyimpan perasaan pada temannya, Jingga. Walaupun Langit tidak pernah bercerita, tapi Papa bisa melihatnya dari sorot mata Langit yang selalu berbinar saat anak lelakinya itu bercerita tentang kebersamaannya bersama Jingga yang selalu dilakukan baik di sekolah, tempat kerja, ataupun di luar itu.
“Kalau aja kamu gak pengecut, mungkin sekarang Jingga udah jadi menantu Papa.” Cibir Papa kemudian membuat Langit mendelik sebal.
Tak ingin menanggapi cibiran Papa, Langit memilih untuk diam dan melanjutkan sarapannya. Kalau diladeni, Papa Langit itu bisa meledeknya habis-habisan.
“Ohh, iya. Sabtu depan kamu ikut Papa makan malam sama teman Papa, ya?” Pinta Papa setelah beberapa saat terdiam dan hanya suara dari televisi yang terdengar.
“Ngapain? Gak ahh, males. Gabut aku nanti dengerin kalian bahas masa lalu.” Langit menolak permintaan Papa mentah-mentah. Karena dari pengalamannya, ia hanya akan diam sampai terkantuk-kantuk saat menemani Papa bertemu dengan temannya. Atau yang paling membuatnya sangat malas adalah ketika mereka berusaha mempromosikan anak gadisnya padanya.
“Tenang, kamu gak bakal gabut kali ini. Teman Papa nanti juga bawa anaknya, kamu bisa ngobrol sama dia.” Ujar Papa menenangkan. Namun, Langit malah menatapnya penuh curiga.
“Papa gak lagi mau jodohin aku sama anak teman Papa itu, kan?” Tanya Langit curiga. Ia mulai menatap Papa dengan pandangan tak suka.
“Ya enggak, lah. Papa yakin kamu masih laku, ngapain Papa main jodoh-jodohin segala?” Jawab Papa jenaka.
Sejak dulu, Papa Langit bukanlah orang yang akan mencampuri urusan anak-anaknya. Baik cita-cita atau cinta mereka, Papa hanya cukup mendukung keputusan anak-anaknya.
“Beneran?” Tanya Langit memastikan, tatapannya terlihat mengancam. Papa yang melihat itu hanya mendengus geli seraya menganggukkan kepalanya yakin.
“Uhh, big LOVE buat Papa.” Langit mengangkat sebelah tangannya membentuk mini love menggunakan ibu jari dan telunjuknya yang berlumuran saus. Ia senang memiliki seorang ayah yang tidak pernah meuntut apapun darinya.
“Jadi?” Tanya Papa penuh harap.
“Ikut, doong. Tapi, beliin mobil baru. Nanti aku share katalognya.” Jawab Langit seraya beranjak dari duduknya untuk menyimpan piring yang sudah kosong ke dapur.
“Anak itu . . . .” Gumam Papa sambil berdecak geli. Putra semata wayangnya itu selalu saja bisa memanfaatkan situasi.
********
To be continued . . . .
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Mommy Gyo
3 like hadir thor mampir di karyaku cantik tapi berbahaya
2021-07-11
0
🍓🍓🍓🍓🍓
Padahal tulisan nya bagus gini, rapih tertata dengan pilihan kosa kata yg apik dan pas, cerita yg nyambung dan masuk akal, halu yg gak keterlaluan tetep berasa reallife, tp knp sepi gini ya kakak??? Ada apa dengan selera pembaca ya???
But it's ok... ini soal selera dan Kegemaran kita gak bsa menge judge orang lain ttg selera dan kegemaran.. tiap org pasti punya pilhan masing2 ✌️✌️✌️
2021-05-20
5
Seul Ye
Ah jadi ini alesan shien benci orang tuanya. Well, aku kalo jadi langit pun bakal benci. Karna seharusnya perhatian orang tua shien harus sepenuhnya ke shien, bukan digantiin ke suster sama pengasuh.
Akur banget ini langig sama bapaknya. Beda banget sama kingston, duel mulu sama bapaknya 🤣
2021-04-09
0