********
“Kalungku . . . .” Ucap seorang gadis kecil berusia sembilan tahun, wajahnya merengut karena baru saja ia menjatuhkan kalung kesayangannya ke dalam danau buatan.
“Tunggu sebentar, biar kakak yang ambil kalungnya . . . .” Ujar seorang anak laki-laki yang sontak membuat wajah si gadis kecil itu berbinar.
“Janji jangan menghilangkannya lagi kalau kakak udah menemukannya?” Si anak laki-laki mengacungkan jari kelingkingnya. Gadis kecil itu lantas mengangguk cepat sembari menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking si anak laki-laki.
Tak lama, si anak laki-laki menceburkan dirinya ke dalam danau buatan untuk mengambil kalung milik si gadis kecil itu.
Dengan setia si gadis kecil berdiri menunggunya di sisi danau, berharap si anak laki-laki itu menemukan kalungnya yang tak sengaja terjatuh ke dalam danau tersebut saat ia tengah bermain.
Si gadis kecil terus menunggu, namun sudah lebih dari satu jam anak laki-laki itu tak kunjung muncul ke permukaan.
“Mimpi buruk ini lagi . . . .”
“Lihat kakakmu, Shien. Papa sudah bilang kamu diam di rumah aja . . . .”
“Shawn . . . .” Seorang gadis cantik dengan wajah sepucat salju terbangun dari tidurnya dengan napas memburu, ia meremas baju di depan dadanya saat merasakan jantungnya berpacu dengan cepat.
Gadis itu lalu memejamkan mata seraya mengatur napas untuk membuat dirinya lebih tenang.
“Shien . . . .” Wanita paruh baya berambut ikal tiba-tiba masuk ke kamar gadis yang dipanggil Shien itu dengan langkah terburu-buru, kemudian menghampirinya dengan raut wajah khawatir.
“Kenapa, sayang? Mimpi buruk lagi?” Tanya wanita paruh baya bernama Hilda itu sembari mengusap keringat yang bercucuran di pelipis Shien.
“Enggak, Tante, aku cuma mimpiin orang jatuh dari atap gedung hotel aja.” Jawabnya berbohong sambil pura-pura meringis membayangkan orang terjatuh dari bagian teratas gedung hotel dengan patah tulang parah dan darah yang mengalir deras di kepalanya begitu orang tersebut menyentuh lantai dasar, kemudian arwahnya bergentayangan. Ahh, ia terlalu banyak menonton film horor rupanya.
“Gak usah ngebayangin sampai dihantui segala . . . .” Tante Hilda mengusap penuh wajah keponakannya dengan gemas.
“Tapi kalau sampai dia mati, hantunya gak bakal terlalu nyeremin, Shi.” Ucap Tante Hilda kemudian, membuat Shien mengerutkan dahinya tak mengerti. Di dunia ini, mana ada hantu yang tidak menyeramkan.
“Dia siapa, Tante?” Tanya Shien. “Itu lho, cowok yang tadi malam kamu lihat mau bunuh diri. Ternyata dia orangnya ganteng lho, Shi.” Shien ber-ohh ria sambil manggut-manggut tak peduli saat mengingat orang yang ia lihat tadi malam hendak bunuh diri dari atap gedung hotel.
“Ya udah, kalau ganteng cepetan jadiin dia Om aku.” Ledek Shien pada tantenya yang memang perawan tua itu.
“Ehh, ini anak malah ngeledek orang tua.” Tante Hilda memukul pelan paha Shien, gadis itu hanya terkekeh seraya mengacungkan dua jarinya membentuk tanda V.
“Cepat mandi, kamu harus bertemu dokter barumu hari ini.” Tante Hilda menyerahkan kartu nama yang diambil dari saku celemeknya.
“Bukannya kita mau lihat kantor baru Snow Candy hari ini?” Tanya Shien heran, karena seingatnya hari ini ia bersama tante Hilda akan melihat kantor barunya yang mulai sekarang akan beroperasi di Indonesia. “Kamu bisa nyusul, kantornya dekat RH Hospital dimana dokter Nathan bekerja.” Jawab Tante Hilda seraya mengetuk-ngetuk kartu nama yang ada di tangan Shien.
“Okay. Aku mandi dulu sekarang.” Shien beranjak dari tempat tidurnya untuk segera membersihkan diri di kamar mandi.
Namun baru saja beberapa langkah ia berjalan, Tante Hilda kembali memanggil namanya hingga membuat Shien kembali membalikkan tubuhnya. “Kenapa, Tan?” Tanya Shien dengan alis bertaut. Tante Hilda menghela napasnya dalam, raut wajah wanita paruh baya itu tampak ragu untuk mengatakan sesuatu pada keponakannya.
“Eung . . . .” Tante Hilda sejenak terdiam, ia menatap Shien dengan ragu, untuk kemudian ia berujar. “Tadi Mama sama Papa kamu telepon Tan . . . .”
“Aku udah yatim piatu sejak 16 tahun yang lalu, kalau Tante lupa.” Sambar Shien yang tiba-tiba berubah dingin. Kedua tangannya terlihat mengepal, rahangnya mengeras, dan wajahnya memerah. Gadis itu seolah tengah menahan amarah.
Papa dan Mama. Jika Shien ditanya kata apa yang tidak disukainya, jawabannya adalah dua kata itu. Orang tua yang sudah mengabaikannya sejak ia kecil, bolehkan ia anggap tidak ada?
“Shien . . . .” Tegur Tante Hilda tak suka.
“Orang tua aku itu cuma Tante, gak ada yang lain.” Sambar Shien lagi, ia menatap Tante Hilda tanpa ekspresi. Baginya, orang tuanya adalah Tante Hilda yang telah merawat dan menyayanginya melebihi orang tuanya sendiri.
“Oke, lupakan pembicaraan tentang orang tua kamu. Tapi, setidaknya temui kakak kamu Shanna. Apa kamu gak kangen sama dia?” Tanya Tante Hilda mengalihkan pembicaraan mengenai orang tua Shien. Gadis itu terlalu sensitif jika disinggung tentang orang tuanya.
Sejenak, Shien terdiam saat mendengar nama kakaknya disebut. Dalam hatinya ia bertanya tanya, terselip rasa ingin tahu akan kabar kakaknya yang sudah enam belas tahun tidak ditemuinya itu. Bagaimana rupanya saat ini? Ahh, kalau itu pasti sama dengannya karena mereka anak kembar.
“Kalau itu aku tinggal berdiri di depan cermin aja, Tan.” Jawab Shien enteng seraya berlalu pergi dari hadapan Tante Hilda.
“Nanti Tante shareloc tempat kerjanya . . . .” Teriak Tante Hilda sebelum kemudian Shien menghilang di balik pintu kamar mandi.
********
Suasana teras balkon di sebuah caffe mendadak heboh dengan gelak tawa Albi, Bian, dan Bisma begitu Albi menceritakan kejadian yang menimpa Langit di malam resepsi Biru dan Jingga tadi malam.
Masih jelas dalam ingatan Langit, tadi malam ada seorang ibu-ibu berpenampilan gonjreng melebihi Princess Syahrini dengan dua orang petugas keamanan tiba-tiba menarik dirinya yang sedang berdiri di atas pembatas beton dari atap gedung hotel.
“Pak, ini apa-apaan?” Langit berusaha melepaskan dirinya yang dipegangi dua petugas keamanan seolah ia adalah seorang penjahat atau pasien dari rumah sakit jiwa yang kabur.
“Ini ih, Pak. Dia mau bunuh diri.” Ibu-ibu itu menunjuk-nunjuk Langit dengan kipas lipat yang dipegangnya. Sontak saja Langit melongo mendengar penuturan ibu-ibu itu.
“Anda kalau mau berbuat kerusuhan jangan disini, Pak.” Tukas salah satu petugas keamanan bertubuh tinggi besar dengan kumis tebal, terlihat cukup garang. Langit yakin, dia adalah mantan preman pasar.
“Tapi saya bukan mau bu . . . .”
“Kalau bukan mau bunuh diri, ngapain kamu berdiri di sana sambil teriak-teriak gak jelas? Kamu ini masih muda, masa depan kamu masih panjang, jangan putus asa kayak gini.” Sambar si ibu-ibu berceloteh panjang lebar sambil memukili Langit dengan kipas lipatnya.
“Tante, siapa yang mau bunuh di . . . .”
“Jangan mengelak. Bawa dia keluar, Pak. Jangan sampai dia mati di sini, terus arwahnya gentayangan menghantui kita.” Ibu-ibu itu kembali memotong ucapan Langit. Hingga tak butuh waktu lama, dua petugas keamanan itu menyeret Langit untuk keluar dari gedung hotel.
Di lobby hotel, Albi yang memang hendak pulang tak sengaja berpapasan dengan Langit yang baru keluar dari lift bersama dua petugas keamanan yang mengapitnya.
“Lepasin saya, Pak!” Langit meronta, tapi tenaga kedua petugas keamanan itu lebih besar darinya. Jangankan tenaga, tubuhnya saja sudah kalah saing. Langit sudah seperti miniatur action figure saat disandingkan dengan kedua petugas keamanan ini.
Albi yang melihat keributan itu lantas menghampirinya, ia bertanya dan petugas mengatakan kalau temannya ini hendak menjatuhkan dirinya dari atap gedung hotel.
Langit sudah berusaha menjelaskan, namun si petugas keamanan tak ingin mendengarkannya. Alhasil, dia dilempar keluar dari gedung hotel dengan harga dirinya yang berceceran. Bagaimana tidak? Di sana Langit menjadi pusat perhatian banyak orang yang menatapnya dengan berbagai ekspresi. Kasihan, anak muda stress, depresi, dan sebagainya. Mungkin itu yang dipikirkan orang-orang yang melihatnya.
“Sialan banget gak, tuh?” Langit meletakkan gelas berisi jus jeruk miliknya dengan sedikit sentakan. Ia kesal, siapa sih orang iseng yang memanggil petugas keamanan dan menuduhnya akan melakukan percobaan bunuh diri? Ia yakin pasti si ibu-ibu gonjreng itu yang menuduhnya, megingat ibu-ibu itu datang bersama petugas keamanan dan mengomelinya. Dasar ibu-ibu berpikiran dangkal.
“Haha, lagian lo ngapain pake berdiri di sana?” Tanya Bisma di sela-sela gelak tawanya.
“Apa emang ada niatan bunuh diri gara-gara ditinggal nikah?” Tambah Albi meledek. Langit yang mendengarnya hanya mendengus, senang sekali mereka membully orang.
“Oh, what a pity. Our litte boy.” Bian ikut meledek dengan memasang wajah penuh prihatin. “Sini Papa peluk . . . .” Lanjutnya seraya merentangkan tangannya.
“Aiish, sialan. Seneng banget kalian ngeledekin gue.” Langit mendorong tubuh Bian agar menjauh darinya. Ia kemudian melempar pandangannya, menatap lurus pada tulisan timbul Snow Candy pada sebuah bangunan minimalis yang ada di seberang caffe.
“Lain kali, kalau suka sama cewek tuh gercep, jangan dipendam lama-lama. Keduluan baru tahu rasa kan, lo?” Cebik Bian sok bijak. Langit hanya mengedikkan bahunya tak pedulli.
“Contoh nih si Bisma. Kalau lo udah suka, lo langsung hamilin, terus nikahin, kan beres.” Lanjut Bian enteng.
“Gak gitu konsepnya, kambing.” Albi lantas menoyor kepala Bian dengan keras hingga membuatnya sedikit meringis.
“Kampret emang, lo. Harusnya dijadiin pelajaran, malah dijadiin kiat cepat buat dapetin cewek.” Bisma mendengus sebal. Mulut temannya yang satu ini memang tidak memiliki filter.
“Duhh, yang udah jadi bapak-bapak mah beda. Dulu aja sering ngajakin maksiat, sekarang lebih suka ngasih nasihat.” Cibir Bian kemudian.
“Gak asyik lo sekarang, Bis. Si Biru juga nanti pasti kayak elo gini, nih. Berubah jadi kanebo kering.” Lanjutnya sembari menunjuk-nunjuk Bisma. Laki-laki itu sedikit mengeluh karena temannya jadi tak seasyik dulu.
“By the way, Prof. kita lagi ngapain ya? Udah siang, tapi dia gak ada nongol di grup chat. Sombong banget beliau, mentang-mentang udah nikah, kita dilupain.” Mendengar nama Biru disebut, Albi berujar seraya memeriksa grup chat di ponselnya.
“Ya elah, lo jangan pura-pura polos, Al. Gak bakalan dia buka grup chat, yang ada sekarang dia lagi sibuk buka baju, terus bikin si Jingga tertekan dengan berbagai macam gaya.” Bian kembali berceloteh diiringi dengan gelak tawa. Bahkan ayam goreng yang tengah dikunyahnya muncrat sebagian hingga membuat semua orang bergidik jijik.
“Teman siapa, sih?” Tanya Albi melirik Langit dan Bisma bergantian. “Bukan teman gue.” Sahut Langit cepat, ia menatap jijik tangannya yang terkena semburan ayam goreng dari mulut Bian.
“Kepala lo isinya kotor banget ya, Yan. Buru sana berendam di air kembang tujuh rupa biar setan mesum di otak lo kabur.” Kali ini tangan Bisma yang gemas menoyor kepala Bian.
“Duhh, yang otaknya udah suci jadi ceramah terus.” Bian kembali meledek. Bisma jadi geram sendiri. Kerasukan apa, sih, temannya ini?
“Padahal dulu koleksi blue filmnya paling banyak, terus suka ngajakin gue sama Biru nonton bareng. Ehh, tahunya lo praktik dulu . . . .emmb.”
“Dasar lo kambing, makan niiiiiih.” Bisma yang gregetan lantas menjejali Bian dengan semua kentang goreng yang tersisa di piringnya untuk membuat laki-laki itu berhenti mengoceh tak jelas.
Sontak saja hal ini membuat Albi dan Langit tertawa puas melihatnya. “Pantesan gesrek, tiap hari dia makanannya blue film.” Cibir Albi seraya berdecak geli.
********
Mobil Shien berhenti tepat di depan gerbang sebuah bangunan yang terbuka. Bangunan di depannya adalah tempat dimana kakaknya Shanna berkerja. Entah apa yang menariknya untuk pergi ke tempat ini. Seingatnya, tadi pagi ia sama sekali tidak peduli saat Tante Hilda mengirimnya alamat tempat ini.
“Little Brown.” Shien membaca tulisan yang dicetak timbul di atas sebuah gedung yang cukup mewah untuk sebuah tempat les. Jelas saja, Little Brown adalah tempat les bahasa khusus untuk anak-anak yang cukup bonafide.
“Kak Shanna guru les anak-anak?” Tanya Shien pada seorang wanita yang umurnya tak jauh berbeda dengannya, Fina. Fina yang sebenarnya asisten Tante Hilda, tapi tugasnya lebih sering menjadi sopir Shien dan menjaga Shien. Mungkin, tepatnya dia lebih pantas disebut pengasuh Shien. Padahal, impiannya adalah menjadi sekretaris yang keren seperti sekretaris Kim. Tapi impiannya seketika meluap saat ia dipertemukan dengan Shien.
“Bukan hanya itu, dia juga pemilik Little Brown, tempat les khusus untuk anak-anak dengan fasilitas yang fantastis. Ada lima bahasa yang menjadi pilihan, bahasa inggris, korea, china, jepang, dan . . . .”
“Aku tahu itu.” Sambar Shien cepat, menghentikan Fina yang sudah percaya diri akan menjelaskannya secara detail.
“Selalu saja bersikap sesuka hatinya.” Fina yang kesal karena ucapannya dipotong hanya bisa menggerutu dalam hati.
“Apa dia suka anak-anak?” Gumam Shien tanpa melepaskan pandangannya dari pintu masuk utama gedung itu.
“Di dunia ini hanya kamu yang aneh, Nona Shien. Penulis buku cerita anak-anak, tapi sama sekali tidak menyukai mereka.” Cibir Fina membuat Shien mendengus ke arahnya. Namun, tak berniat menanggapinya.
“Dimana kakaku? Kenapa dia gak keluar?” Shien menurunkan sedikit kacamata hitam yang dikenakannya. Fina yang duduk di sebelahnya mendelik, ingin memaki tapi takut dipecat.
“Mana aku tahu. Kalau penasaran, masuk dan tanyakan pada staff front office di sana.” Fina yang sifat dasarnya cerewet dan suka mengumpat akhirnya tak tahan untuk mengoceh pada keponakan dari atasannya itu.
“Kalau kamu terus diam di dalam mobil seperti ini, sampai matipun kamu tidak akan pernah bertemu dengannya.” Lanjut Fina sersungut-sungut.
“Aiish, shut up! Jangan bahas kematian. Kalau malaikat maut datang, baru tahu rasa kamu.” Seru Shien yang berhasil membuat Fina menutup rapat mulutnya. Sial sekali, apa Shien baru saja mendoakannya mati secara tidak langsung?
Suasana hening, tak ada percakapan lagi setelah itu. Baik Shien atau Fina, mata mereka mengawasi pintu masuk utama tanpa kedip, berharap kakak dari Shien yang bernama Shanna itu keluar.
Yang diawasi tak kunjung muncul, Shien yang merasa tenggorokannya kering lantas meraih botol air mineral dari dashboard, lalu meneguknya dengan pandangan yang tetap menatap lurus ke depan.
BUUUUURS
Tiba-tiba air yang tengah diminumnya menyembur dan sebagian masuk ke hidungnya saat ia melihat seseorang berwajah mirip dirinya berjalan keluar dari dalam gedung tempat les tersebut.
“Are you okay?” Tanya Fina khawatir saat melihat Shien terbatuk-batuk sembari menyerahkan kotak tissue pada gadis itu. Namun, Shien mengabaikannya.
“Beraninya dia . . . .” Shien mendengus sembari memperhatikan penampilan Shanna yang tidak mencerminkan seperti seorang guru sama sekali. Rambut panjang sepunggung yang diombre dengan perpaduan warna coklat, orange, dan pink, nyaris seperti lolipop. Ditambah gaya berpakaiannya yang swag dengan hanya mengenakan school girl skirt dan kaus polos warna merah ketat hingga memperlihatkan pusarnya, serta anting-anting dengan warna mencolok. Di mata Shien, itu terlihat . . . . kampungan.
“Beraninya dia dengan wajahku . . . .” Dia menunjuk Shanna yang tengah berjalan keluar gedung sambil bergelayutan di lengan seorang pria bule dengan tatapan geram.
“Dia idola K-Pop atau apa?” Fina malah berdecak kagum. Ia bisa menilai jika orang di seberang sana lebih seru dibandingkan dengan orang yang ada di sebelahnya saat ini yang tidak ada seru-serunya sama sekali. Shien adalah patung es tak berperasaan.
“Idola matamu. I think, she has some bugs in the brain.” Cibir Shien yang mengatakan kakak kembarnya sendiri sudah gila. Fina yang mendengarnya hanya mendengus, padahal ia suka dengan penampilan Shanna yang terlihat lebih berani daripada Shien. Gadis itu hanya memilih warna-warna monokrom untuk outfit yang dikenakannya.
“Ayo pergi ke salon, Fina.” Perintah Shien kemudian. Ia memiliki wajah yang sama dengan kakaknya, tapi ia tak akan membiarkan rambutnya sama-sama panjang. Sejak dulu ia tidak pernah menyukai sesuatu yang sama dengan kembarannya itu, baik barang ataupun penampilannya. Semua harus berbeda.
“Mau apa ke sana?” Tanya Fina. Shien yang mendengarnya hanya memutar bola matanya malas, sebelum kemudian ia berujar. “Nyari tuyul.” Shien menatap Fina dengan tatapan tajam hingga membuatnya sedikit ketakutan.
“Okay. Kita ke sana sekarang.” Lebih baik Fina menurut dan tak banyak bicara daripada kena amukan dari Shien.
********
To be continued . . . .
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Nur Yuliastuti
apiik 😍
semangaaat dan sehat sll 🤗😍😍
2023-06-08
0
Kania Indah
baca yg langit dulu deh sambil nunggu biru dan jigga di revisi. ternyata gak kalas seru. 😍
2023-01-30
0
Salsadilla
Nangkring di rank 26 tadi pagi, subcribenya sedikit tapi emang bagus tulisannya.
2023-01-23
0