So In Love
Cerita ini adalah sequel dari cerita Biru dan Jingga STILL IN LOVE. Disarankan untuk membaca cerita sebelumnya sebelum membaca ini. 😉
********
Kesepian di tengah keramaian, itulah yang dirasakan Langit sekarang. Alunan musik yang terdengar begitu mendayu yang dimainkan instrumental musik untuk menambah kesan romantis resepsi pernikahan malam itu, justru malah membuat hati Langit semakin teriris. Alunan musik itu begitu menyayat hatinya, tidak terdengar indah sama sekali.
Dari kejauhan, ia tersenyum getir, menatap sepasang anak manusia yang tengah menjadi raja dan ratu sehari itu. Biru dan Jingga.
“Cantik.” Gumamnya dengan tatapan nanar. Ia pandangi sang mempelai pengantin wanita dengan gaun mewahnya itu tanpa kedip. Dia benar-benar seperti putri kerajaan. Namun, sayang sekali laki-laki yang berdiri di sampingnya bukanlah dia.
Gadis itu, Jingga. Gadis yang selalu bersamanya sejak kecil, hingga menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Jingga, si gadis kecil dan tengil yang selalu bersikap menyebalkan, serta selalu mengejeknya anak kurus krempeng dan bocah ingusan. Sial sekali, gadis itu malah tumbuh besar menjadi seorang gadis yang sangat cantik bahkan di luar fantasinya, hingga akhirnya si gadis cantik bak peri itu perlahan hadir memenuhi setiap mimpi-mimpinya.
Langit selalu bermimpi memiliki kisah yang indah bersama Jingga. Berdiri di pelaminan dengannya, lalu tersenyum bahagia bersama, kemudian memiliki anak yang lucu-lucu, and happily ever after.
Tapi sayang sekali, Tuhan membuat kisahnya dengan Jingga hanya terabadikan sebagai teman. Hanya teman, tidak akan pernah menjadi lebih. Mereka tidak dalam satu perasaan yang sama, sudah sangat jelas sejak awal irama jantungnya dengan Jingga berbeda.
Langit memang sudah merelakan Jingga, tapi bukan berarti gadis itu sudah hilang dari hatinya. Jika ditanya bagaimana perasaannya saat ini, maka jawabannya adalah bahagia dan sakit sekaligus.
Langit bahagia karena melihat Jingga tersenyum bahagia bersama pilihan hatinya, namun tak dapat dipungkiri bahwa hatinya juga sangat sakit karena orang yang bisa membuatnya tersenyum bahagia bukanlah dirinya.
“Ayo, mumpung antriannya lagi sepi.” Seseorang tiba-tiba menepuk pundaknya, hingga ia yang tengah melamun nyaris saja menjatuhkan gelas berisi minuman yang dipegangnya.
“Sialan, lo ngagetin gue aja, Al.” Gerutunya kesal. Ia kemudian meletakkan gelas di tangannya ke atas meja.
“Lagian lo ngelamunin apaan, sih? Kesambet, baru tahu rasa lo.” Cibir orang yang tadi menepuk pundaknya, Albi.
“Kesambet-kesambet, setannya gak berani masuk kesini, mereka takut sama elo yang lebih nyeremin.” Ledek Langit tak mau kalah. Albi yang mendengarnya hanya mendengus. Laki-laki yang merupakan rekan kerja sesama dokternya itu lantas mengatakan untuk segera menyusul Bisma dan Bian, teman mereka yang sudah lebih dulu berjalan menghampiri pengantin untuk bersalaman.
Langit lalu menguatkan hatinya, menarik napas dalam-dalam, ia kemudian memasang wajah setenang mungkin agar terlihat baik-baik saja saat ia menyalami Jingga di sana.
“Harusnya aku yang di sana, dampingimu dan bukan . . . .” Langit yang berjalan di depan Albi seketika berbalik saat mendengar Albi meledeknya dengan sebuah lagu yang biasa dijadikan soundtrack untuk seseorang yang ditinggal menikah. Ahh, Langit ingin memukul orang yang sudah menciptakan lagu itu. Ia tak menyangka jika lagu ini akan menjadi soundtrack dalam salah satu episode hidupnya.
“Diem, atau gue jahit mulut lo!” Ancam Langit memasang raut wajah kesal, seketika Albi mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Namun, tatapannya tetap penuh dengan ledekan.
Langit merasakan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.
Jantungnya berdegup cepat begitu gilirannya dalam antrian kian mendekat. Ia kembali menarik napas dalam-dalam dan memasang senyum terbaiknya, ia harus tetap terlihat tampan walaupun hatinya sangat sedih.
“Ji . . . .” Langit melihat Jingga tersenyum senang ke arahnya begitu ia tiba untuk memberinya ucapan selamat.
“Langit . . . .” Serunya senang. Gadis itu kemudian berhambur memeluknya hingga ia sedikit terhuyung ke belakang. Tak peduli dengan Biru yang melihatnya dengan kesal, Langit membalas pelukan Jingga dengan erat. Sebentar saja, biarkan ia memeluk cinta pertamanya sebentar saja.
Ia sudah mengalah dan merelakan Jingga pada laki-laki itu, setidaknya biarkan ini menjadi imbalan dari Biru untuknya.
“Rasanya, baru kemarin kita main rumah-rumahan di playground, dan sekarang kamu melakukannya di dunia nyata. Aku ikut bahagia buat kamu, Ji. Congrats on your wedding day.” Ujar Langit yang terdengar penuh haru di telinga Jingga. Namun, yang terjadi sebenarnya adalah Langit tengah berusaha mati-matian untuk tidak menangis, hatinya begitu sakit saat mengucapkan kata demi kata dari kalimat ucapan selamat yang ia berikan untuk Jingga.
“Terima kasih. Terima kasih untuk selalu ada di sisiku selama ini, my best friend.” Langit merasakan Jingga semakin mengeratkan pelukannya. Mendengar itu, hatinya semakin sakit. Teman, Jingga menganggapnya sebagai teman sampai akhir.
Langit tersenyum miris, matanya mulai berkabut sekarang, namun ia dengan segera mengerjap-erjapkannya agar air mata yang hampir menggenang itu tidak jatuh.
“Temenan boleh, tapi peluk-peluk jangan.” Langit mendengus kesal saat Biru si mempelai pengantin laki-laki melepas paksa pelukannya dengan Jingga. Ia menatap laki-laki yang sekarang menjadi suami Jingga itu dengan kesal. Namun, sejurus kemudian seringai jahil menghiasi wajahnya. Walaupun hatinya sedih, tapi ia tidak tahan untuk tidak menjahili musuh yang sudah menjadi sahabatnya ini.
“Ji, kalau kamu lagi bosan dan butuh selingkuhan, panggil aku aja, ya.” Ujar Langit dengan usil, membuat Biru mendelik tajam padanya.
“Selamat, Bro. Jaga dan bahagiain dia dengan baik.” Ucap Langit tulus seraya menepuk lengan bahu Biru.
“Tanpa lo suruh.” Jawab Biru ketus, sepertinya laki-laki itu masaih kesal karena Langit menggoda dan menjahilinya. Tak lama setelah itu, Langit beranjak dan pergi dengan hati yang begitu kosong.
********
“A . . . .” Ini adalah percobaan kesekian kalinya Langit mencoba berteriak. Ia memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Ia ingin meluapkan kesedihannya, namun setiap kali ia mencoba berteriak, suaranya tiba-tiba tercekat dan yang keluar malah air mata. Ahh, memalukan sekali. Untung di tempatnya berdiri saat ini tidak ada orang.
“Aaaaaaaaaah.” Teriak Langit akhirnya, menggema di ruang terbuka di atas bagian paling tinggi dari gedung hotel.
Sejurus kemudian, ia lalu menangis sejadi-jadinya. Seketika memorinya selama ia bersama Jingga berputar seperti sebuah roll film.
“Hei, bocah ingusan. Kalau kamu dipukul, kamu harus bisa mukul balik. Dasar lembek.” Langit tersenyum, itulah kali pertamanya ia bertemu Jingga. Gadis itu dengan berani memukul orang yang tengah merundungnya waktu itu, benar-benar seperti preman.
“Langit. Gimana penampilanku?” Itu adalah kenangan dimana Langit mulai melihat Jingga sebagai perempuan. Gadis itu berputar di hadapannya untuk memperlihatkan penampilan barunya yang mengenakan seragam SMA, cantik sekali.
Langit tertawa getir saat ingatan kebersamaannya dengan Jingga terus bermunculan. Tuhan sungguh tidak adil, kenapa Dia tidak menakdirkan Jingga menjadi saudaranya saja? Cintanya pada gadis itu terlalu besar, namun sia-sia saja karena itu tak terbalas. Ini terlalu menyakitkan, walaupun ia sudah berusaha berbesar hati merelakannya.
“Langit, gendong aku.”
“Langit, biarkan aku memelukmu seperti ini sebentar.”
“Langit, ayo kita main tenis sampai lenganku patah.”
“Langit, ayo naik gunung.”
“Langit, ayo pergi ke laut.”
“Langit, ajak kau ke tempat yang bagus.”
“Langit, traktir aku makan.”
Langit berdecih, ia menarik salah satu sudut bibirnya hingga membentuk senyuman kecut. Seketika ia ingin mengumpat pada Jingga yang hanya memanfaatkannya sebagai sandaran saat gadis itu sedih. Namun, itu tidak sungguh-sungguh. Ia hanya ingin meluapkan kesedihannya saja.
********
Semetara itu, di balik pintu yang menghubungkan rooftop gedung hotel. Seorang gadis dengan gaun pesta mengurungkan niatnya untuk melangkahkan kakinya memasuki atap gedung tatkala ia melihat seorang laki-laki berteriak-teriak tidak jelas.
Gadis itu mengintip dari balik pintu, mengawasi laki-laki yang tengah berteriak sambil berdiri di atas pembatas atap gedung hotel yang terbuat dari beton itu.
“Dia mau bunuh diri atau apa?” Tanyanya menerka-nerka, matanya terus mengawasi laki-laki itu, siapa tahu saja tiba-tiba melompat. Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Laki-laki itu tidak boleh mati di depan matanya, ia tidak mau digentayangi hantunya.
“Sialan, aku susah payah bertahan hidup. Dia seenaknya mau bunuh diri.” Gerutunya kesal, ia lalu meraih ponsel dari tasnya untuk menghubungi seseorang.
“Tante . . . .” Serunya begitu sambungan telepon terhubung. Ia sedikit menghalangi mulutnya dengan telapak tangan untuk meredam suaranya agar tak terdengar orang di seberang sana yang sedang ia awasi saat ini. Padahal, jaraknya cukup jauh, namun gadis itu tetap saja takut jika saja laki-laki itu mendengar suaranya.
“Tolong panggil petugas keamanan ke atap gedung. Ada orang yang mau bunuh diri.” Ujarnya kemudian, ia lalu menutup sambungan teleponnya.
********
To be continued . . . . .
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Sri Wahyuni
mampir dulu, spertinya bagus
2023-06-07
0
Neni Nuraeni
kesini dulu sambil nunggu seq pertama direvisi.
2023-01-24
0
Aumy Re
ceritanya bagus 👍👍
2021-07-30
0