Salah Paham

Belistirahat berbunyi.

Yana dan teman-temannya pergi ke kantin untuk mengisi perut. Pilihan makanan mereka adalah mie ayam Bang Asoy, langganan mereka di kantin sekolah. Mila tak banyak bicara dan hanya mengikuti teman-temannya dari belakang dengan muka ditekuk. Perutnya juga tak sabar ingin segera diisi. Mungkin setelah cacing-cacingnya

diam, sakit di perutnya akan segera hilang.

“Yan, kenape lu? Diem aja dari tadi.” tegur Seno.

“Udah lu diem aja.” Yana merangkul Seno dan membisikan di kupingnya. Seno yang bingung dengan tingkah Yana, berusaha untuk diam saja.

“Bang Asoy, mie ayam lima!” teriak Wahyu yang sudah tak sabar ingin makan. Cacing-cacing di perutnya sudah menggelitik minta makan.

“Oke siap, Bosku.” kata Bang Asoy dengan sigap. Beberapa menit kemudian pesanan mereka datang. “Silahkan semuanya. Mie ayam spesial siap disantap.” Dengan semangat dia memberikan pesanannya pada Yana, Mila, Tian, Seno dan Wahyu.

“Makasih, Bang.” Wahyu menerima mangkuk mie ayam dengan cepat dan langsung melahapnya tanpa peduli panas akan membakar lidahnya.

“Amar kemana?” tanya Mila tak melihat Amar bersama dengan mereka.

“Lagi antar buku ke perpus.” jawab Tian karna tak ada yang menjawab Mila. Yang lain asik dengan mangkuk mie ayamnya masing-masing.

“Yan, mau sambel.” Mila mengulurkan tangannya tapi Yana cuek dan tak menghiraukan. Akhirnya Tian juga yang memberikan botol sambal untuknya. Mila yang merasa Yana sangat cuek memilih meninggalkan makanannya dan pergi dari kantin. “Besok gak usah jemput gue lagi!” teriak Mila kesal. Emosinya mengalahkan rasa lapar di perut. Dia melupakan sakitnya karna tak tahan lagi dengan sikap Yana yang sangat menyebelkan. Mila pergi dengan menghentakkan keras kakinya ke lantai dengan muka jutek akut.

“Yah, Mil. Habisin dulu makanannya. Mubazir tau.” teriak Wahyu melihat Mila pergi begitu saja meninggalkan

makanannya.

“Lu kenapa sih, Yan? Kasian itu si Mila lu cuekin gitu dari tadi. “ saut Seno yang tak mengerti dengan sikap Yana.

“Kenapa sih, Yan?” tanya Tian lagi, menepuk pundak Yana.

“Biar dia berenti diem juga! Kalau gak gue cuekin gitu. Dia pasti masih diem aja kaya kemarin!” katanya sambil mengunyah mie ayam. “Dah lah. Ayo ke warung.” Yana menyudahi makannya dan pergi.

“Buset, Yan. Bentaran napa, masih banyak ini.” kata Wahyu dengan mulut penuh makanan.

Tian juga menyudahi makanannya dan membeli air mineral untuk Mila. Seno menarik kerah Wahyu yang masih ingin menyuap makanannya. Wahyu menolak karna masih ingin menyelesaikan makannya tapi Seno memaksanya untuk ikut. Wahyu meratapi mie ayam yang masih tersisa satu suap saja untuk mendarat lepas di perutnya. Amar yang baru saja mendarat ke kantin, bingung karna mereka sudah bubar secepat kilat lalu ikut menyusul keluar sekolah.

🌻

Mila kesal lantaran Yana masih bersikap cuek padanya. Padahal dia sudah minta maaf dan berniat menceritakan masalahnya tapi justru sikap Yana membuatnya semakin tambah keki hari ini. Mila berjalan di lorong sekolah dengan wajah jengkel. Sangking jengkelnya sampai dia tidak melihat jalan dengan benar dan membuatnya menabrak seseorang.

Bruk!!!

“Aduh,,,,,” suara Mila terjatuh ke lantai.

“Eh, sorry.” seseorang mengulurkan tangan pada Mila.

“Maaf juga gak lihat-lihat.” Mila menerima uluran tangannya.

“Eh, Mila. Maaf ya. Gak lihat juga tadi, sakit ya?” Bian memeriksa keadaan Mila.

“Bian, gpp kok.” Mila mengusap-usap roknya.

Tian yang melihat Mila jatuh berlari ke arahnya. “Mil, gpp?” tanyanya khawatir.

“Gpp kok, Tian.” memaksa senyum sambil meringis menahan sakit.

“Nih minum dulu, belum minumkan tadi.” Tian menyodorkan air mineral yang sengaja dibawakan untuknya.

Bian melihat mereka dengan rasa cemburu. “Gue duluan ya. Sorry ya, Mil.” Memilih meninggalkan mereka berdua yang tengah asyik melempar perhatian.

“Eh, tunggu.” Mila menarik tangan Bian. “Thank’s ya, Tian. Gue ke perpus dulu.” Mila berjalan dengan menggandeng tangan Bian dan meninggalkan Tian. Entah apa yang membuatnya melakukan itu. Padahalkan masalah dia dengan Yana, kenapa imbasnya pada Tian?

Melihat mereka pergi berdua dengan tangan Mila yang menggandeng tangan Bian membuat rasa cemburu itu berpindah padanya. Tian menatap kesal ke arah mereka dan pergi menyusul teman-temannya saja ke warung. Dia berjalan dengan tangan yang menggenggam kuat karna kesal. Kenapa terus saja Bian yang merebut perhatiannya

dari Mila.

Bian menghentikan langkah. “Gue gak ajak lu ke perpus?” tanyanya bingung.

“Ya,,, emang enggak.” Mila melepaskan gandengannya.

“Lah teruss?” tanyanya heran. “Ohhhhh,,,,,” tiba-tiba dia tersentak senang.

“Ohhh,,, Apaa?” Mila kebingungan.

“Gpp. Hari ini ya?” tanyanya menebak.

“Apanya yang hari ini?” tanya balik Mila dengan heran.

“Pulang barengnya?” Bian mengingatkan Mila kembali.

“Idih, GR,,,!” Mila mengerutkan dahinya lalu tertawa.

Mereka lalu tertawa dan  memutuskan untuk ke perpustakaan bersama namun bel masuk berbunyi. Jadinya mereka mengurungkan niat mereka untuk mencari buku yang menjadi perbincangan mereka tadi. Saat hendak ke kelas, Mila merasakan sakit lagi pada perutnya. Kali ini sakitnya semakin menjadi-jadi karna egonya sendiri yang mementingkan amarah dari pada kesehatannya

“Aw....,” rintih Mila memegang perut. Dia sudah tak tahan lagi, keringat dingin sudah mulai mengalir dari dahi.

“Kenapa, Mil?” tanya Bian.

“Aduh, Bi. Kayanya perut gue sakit. Lu duluan ke kelas deh, gue ke toilet dulu.” Mila berlari ke toilet. Bian hanya tersenyum melihat tingkah Mila, yang dia kira karna kebelet. Padahal itu karna asam lambung di perutnya yang semakin naik.

🌻

Yana mencari keberadaan Mila yang tak ada di kelas. Kemana perginya cewek jutek satu ini, gumam Yana. Dia seperti menyesal dengan sikapnya tadi di kantin dan ingin menyudahi drama menyebalkan hari ini. Namun sampai guru datang, Mila pun tak kunjung masuk ke dalam kelas. Yana celingak-celinguk mencarinya. Sedangkan di toilet Mila sedang merintih kesakitan.

“Aww,,, sakit banget.” Mila meremas perutnya merasakan sakit luar biasa. “Obatnya di tas lagi.” Peluh terus mengalir sambil dia berusaha menekan dengan cepat nomor Yana. “Kenapa gak diangkat sih?” gumamnya kesal. Mila tak sempat menelepon yang lain. Sakit sudah membuat nafasnya sesak. “Ahhh,,, sakittt banget lagi. Tolongggggg! Ada orang gak?" teriak Mila.

Mila berusaha berteriak sekuatnya namun tidak ada yang mendengar. Murid-murid sepertinya sudah masuk ke

dalam kelas. Keringat sudah mengalir hebat, sakitnya sudah tak tertahankan lagi dan Mila pun harus ambruk di toilet.

Guru datang ke kelas dan melihat kursi Mila yang masih kosong. “Mila kemana ya? Kok belum masuk?” tanya Bu Tari.

“Tadi ke toilet, Bu. Sakit perut katanya.” jelas Bian. Dia juga bertanya dalam hati, kenapa Mila kok gak balik-balik ke kelas?

Pelajaran dimulai dan murid-murid mengerjakan tugas yang diberikan. Yana gelisah dan bertanya-tanya kemana perginya Mila? Kenapa belum masuk kelas juga? Begitu juga dengan pikiran Tian dan Bian. Sudah 20 menit pelajaran berlalu namun Mila tak kunjung kembali. Membuat resah teman-temannya dan juga guru yang mengajar.

“Bian, benar Mila ke toilet?” tanya Bu Tari lagi.

“Waktu mau ke kelas bareng saya, dia bilang perutnya sakit dan pergi ke toilet, Bu.” Bian menjelaskan dengan lebih jelas.

Yana heran mendengar cerita Bian dan mencoba menghubungi ponsel Mila. Saat melihat ponsel, ada panggilan tak terjawab dari Mila. Yana tersentak dari duduknya dan langsung berlari menuju toilet cewek mencari Mila.

"Hei, Yana! Mau kemana kamu?" panggil Bu Tari saat melihat Yana keluar kelas tanpa seizinnya.

Ternyata di toilet cewek sudah banyak murid yang bergerumbul mencoba membangunkan Mila. Yana masuk ke dalam dan melihat Mila yang tak sadarkan diri dengan tubuh dingin dan wajah pucat. Yana mengangkat tubuh Mila dari lantai. Dia langsung membawa Mila keluar dari toilet.

“Minggir! Panggil guru, cepet!” teriak Yana yang panik. Guru yang datang ikut panik melihat keadaan Mila dan meminta Yana untuk segera membawa Mila ke UKS.

“Ada yang pingsan,,,,” teriak murid kelas sebelah.

“MILAAA,,,!” teriak Bian, Tian, Wahyu, Amar dan Seno. Mereka bergegas keluar kelas dan menyusul Yana yang setengah berlari membawa Mila ke UKS. Cila dan teman-temannya saling melihat satu sama lain dengan raut wajah bahagia.

Lantai 1 sekolah tiba-tiba ramai karna kejadian ini. Guru dan murid-murid keluar dari kelas karna mendengar ada yang pingsan. Ada juga yang menjadikan alasan mereka untuk buru-buru pergi ke kantin untuk membolos pelajaran atau sekedar membeli cemilan di kantin. Guru piket mengambil alih dan membubarkan mereka yang berkerumun di

depan UKS agar kembali lagi ke dalam kelas masing-masing.

“Bu, ini gimana?” dengan panik Yana mencoba terus menyadarkan Mila.

“Sabar dulu, Yana. Kamu bisa tunggu di luar sebentar. Tolong ya,,,” perintahnya.

Yana menunggu di luar dengan rasa bersalah di hati. Dia menyalahkan dirinya atas kejadian ini. “Aaaagggghhhhh Begooo,,,! Kenapa harus gue cuekin dia sih tadiiii,,,!” Yana meninju tembok.

Bian, Tian, Wahyu, Amar dan Seno datang. Wahyu menenangkan Yana yang terlihat sedih dengan keadaan Mila sekarang. Semuanya juga sedih melihat Mila yang terbaring di dalam sana. Mereka melihat Mila dari kaca jendela. Guru sedang berusaha menyadarkannya.

“Kenapa Mila, Yan?” Tian yang terlihat paling panik dari yang lain.

“Yanaaa.” teriak Seno karna Yana tak menjawab.

Bian memberanikan diri mengetuk pintu. “Boleh saya masuk, Bu.” katanya meminta izin guru yang ada di dalam agar bisa masuk ke dalam.

“Lu kenapa main masuk-masuk aja sih? Gue aja nunggu di sini,,,!” Yana menarik keras tangan Bian yang hendak masuk ke dalam.

Bian menepis tangan Yana.“Kalau elu aja gak bisa jagain dia untuk apa larang-larang gue.” tunjuk Bian lalu masuk ke dalam UKS. Bian membantu guru untuk menyadarkan Mila. Dia sedikit mengerti cara menangani orang yang sakit karna pernah menjadi petugas PMI.

“Aagggghhhh sialan!” Yana meninju lagi tembok yang ada dihadapannya.

“Yan, udahlah sabar dulu.” Tian berusaha menenangkan Yana.

“Emang sialan si Bian! Sok ngerti banget dia!” saut Seno kesal.

“Sssst,,, udahlah, Sen. Biarin dulu. Siapa tau dia ngerti cara buat Mila sadar?” Amar berusaha menenangkan teman-temannya.

🌻

Guru piket masih berusaha membuat Mila sadar. “Sebelumnya Mila sudah makan?” bertanya pada Bian.

“Kurang tau deh, Bu. Soalnya tadi ketemu saya di depan perpustakaan. Saya tidak sengaja nabrak dia. Dia kelihatan buru-buru gitu dan pas waktu mau masuk kelas dia bilang kalau perutnya sakit. Saya kira dia ingin ke toilet, taunya kaya gini kejadiannya.” ujar Bian menjelaskan.

Yana dan yang lain mendengarkan dengan menyesal. Pasalnya mereka semua bersama Mila sebelum Bian tapi

tak ada satu pun dari mereka yang tau kalau Mila sedang sakit. Yana yang terlihat paling  menyesal. Dia menyesal

karna terlalu memikirkan egonya hari ini.  Sampai membuat sahabatnya menahan sakit. Seharusnya dia orang pertama yang mengetahuinya karna sejak pagi Yana bersama dengan Mila.

Yana membuka pintu UKS. “Maaf, Bu. Ini salah saya. Tadi saya dan Mila terlambat masuk sekolah dan dihukum di lapangan. Sepertinya Mila belum sarapan dan waktu istirahat dia juga belum sempat makan karna marah dengan saya.” katanya dengan rasa bersalah. “Asam lambungnya pasti kambuh, Bu. Mila punya riwayat sakit asam lambung.” jelasnya lagi pada Guru piket yang mengetahui keterlambatan mereka dan Bu Tari.

“Kenapa bisa seperti itu, Yana? Harusnya kamu bisa ingatkan dia untuk makan.” Bu Tari sedikit marah setelah mendengar cerita dari Yana.

“Sekarang Ibu bantu menyadarkan Mila. Jika sudah sadar, Mila akan Ibu izinkan untuk pulang lebih cepat. Jika keadaannya semakin buruk kita bawa segera ke klinik terdekat.” Guru piket berusaha menenangkan hati murid-muridnya agar tidak terlalu khawatir. “Sekarang kalian bisa kembali ke kelas dan lanjutkan pelajaran.”

“Tapi, Bu.” Yana sedikit memohon agar bisa menjaga Mila.

“Kembali ke kelas!" perintah Bu Tari lebih keras. "Lagi pula ada Bu Ratih yang akan menjaga Mila.”

“Udah, Yan. Ayoo.” ajak Seno.

Yana dan yang lain kembali ke kelas bersama Bu Tari. Dengan rasa cemas Tian memperhatikan Mila tanpa lepas. Tian juga menyimpan penyesalan. Mengapa tak ikut menemani Mila saja tadi saat dia bersama dengan Bian? Mengapa malah langsung terbakar api cemburu dan pergi begitu saja? Yana berjalan dengan rasa sedih. Bian ikut khawatir setelah mendengar penjelasan Yana tentang penyakit Mila.

Mereka semua ingin terus menemani Mila sampai sadar tapi apa daya. Mereka harus kembali ke kelas dan menunggu kabar Mila di sana. Genx Axepink terlihat begitu bahagia karna melihat teman-teman Mila yang masuk ke kelas dengan wajah sedih. Bagi Cila itu adalah sebuah kemenangan untuknya hari ini. Berbeda dari yang lain Ayana atau biasa dipanggil Aya, dia justru ikut khawatir akan kondisi Mila. Entah apa yang membuatnya khawatir?

“Milaaa, bisa denger Ibu?” kata Bu Ratih. Guru piket yang juga bertugas di UKS hari ini. Mila yang setengah sadar mulai menggerakkan tangannya. Mila masih merasakan sakit di perut. Dia meringis kesakitan. “Mila, apa yang dirasa sayang?" tanya Bu Ratih dengan lembut sambil menyentuh wajah Mila.

“Perut Mila sakit sekali, Bu.” katanya terbata-bata dengan menahan rasa sakit.

“Kamu sudah makan?” menyeka keringat Mila.

“Sedikit. Bu, bisa minta tolong ambilkan obat Mila yang ada di tas?” tuturnya pelan.

Mila memang selalu membawa dompet kecil tempat menyimpan obat-obatan di tasnya. Mila yang sadar dirinya tak bisa telat makan tapi selalu saja telat. Mengharuskan dirinya untuk membawa obat itu selalu kemana pun. Jadi sewaktu-waktu sakitnya kumat, dia tak perlu susah mencari. Namun hari ini karna emosi yang terlalu, jadi lupa juga

akhirnya.

“Sebentar ya, Mila. Ibu ambilkan dulu." Bu Ratih pergi ke kelas Mila.

Yana yang masih khawatir dengan kondisi Mila terus saja melihat ke arah luar kelas. Pikirannya tak fokus pada pelajaran. Bahkan dia tak peduli dengan itu. Yang dia inginkan, pelajaran secepatnya berakhir dan dia dapat pergi menemani Mila.

 "Gpp, Yan. Sabar dulu. Sebentar lagi Mila sadar. Berdoa aja." Tian mencoba menenangkannya dari depan tempat duduk Yana. Memang dia duduk di depan Yana  bersama dengan Amar.

Meski teman-temannya berusaha menenangkannya, hati Yana masih di selimuti rasa gelisah. Kakinya tidak bisa berhenti bergerak karna rasa khawatir yang luar biasa. Kalau orangtua Mila sampai tau kejadian ini, bisa-bisa mereka marah besar dengannya dan juga Mila. Yang ada nanti Mila makin meradang dengannya. Gerakan kakinya terhenti ketika pintu kelas di ketuk dan Bu Ratih masuk ke dalam kelas.

 “Permisi, Ibu. Saya mau ambil tas Mila.” kata Bu Ratih saat masuk ke kelas menemui guru yang sedang mengajar.

“Oh baik, Ibu. Silakan.” Bu Tari mempersilahkan.

“Ini tas Mila, Bu.” Yana langsung bangun dari duduknya dan membawakan tas Mila. “Mila udah sadar, Bu?” tanyanya yang masih sangat khawatir dengan kondisi Mila.

“Sudah. Ini Ibu diminta untuk ambilkan obatnya di tas. Terima kasih ya.” Bu Ratih menerima tas Mila. "Bu, saya permisi." Lalu secepatnya pamit meninggalkan kelas agar bisa segera memberikan obat untuk Mila. Yana dan yang lain merasa lebih tenang setelah mendengar Mila sudah sadar.

Bu Ratih datang dengan membawa tas Mila. Mila masih terbaring dengan lemas dan meringis kesakitan. “Mila,

ini minum dulu ya obatnya.” Bu Ratih memberikan tas pada Mila. Mila langsung mencari obat dan meminumnya. Bu Ratih memberikan segelas air hangat untuknya. “Kalau sudah enakan perutnya bilang Ibu ya. Biar Ibu izinkan kamu untuk pulang lebih cepat.”

“Tidak usah, Bu. Saya tunggu sampai jam pulang saja. Mila mau istirahat dulu di sini. Bolehkan Bu?” pintanya.

“Baiklah, Mila. Nanti Ibu panggilkan teman kamu ya untuk jagain kamu. Ibu ada kelas habis ini, jadi tidak bisa temani Mila.”

“Tidak usah, Bu. Mila sebentar lagi juga membaik kok.” Mila merasa tak ingin di ganggu oleh siapa pun dan juga masih kesal dengan Yana.

“Kamu sudah sering seperti ini? Lain kali harus sarapan ya, Mila.” memeriksa suhu tubuh Mila.

“Engga kok, Bu. Kalau telat makan aja. Baik, Bu.”

Setelah minum obat dan makan roti pemberian Bu Ratih, Mila pun tidur untuk istirahat. Bu Ratih meninggalkan Mila setelah melihat kondisinya sudah sedikit membaik. Mila enggan untuk pulang ke rumah. Dia tidak ingin Ayah dan ibunya khawatir. Mereka juga pasti akan marah padanya karna sudah dua hari ini dia selalu telat makan. Mila tak ingin menambah masalahnya. Apalagi menambah pikiran orang tuanya. Mila juga tak ingin kondisinya yang lemah ini akan semakin menjadi alasan kuat Ayah melarang dia untuk bekerja setelah lulus sekolah. Jadi dia memilih istirahat di sekolah saja agar nanti jika sampai rumah keadaanya sudah lebih baik dan tidak terlihat sehabis sakit.

🌻

Bel pulang sekolah berdering. Mila masih terlelap dalam tidurnya. Tian berjalan menuju UKS tapi Yana menahan dan melarangnya menemui Mila dengan alasan Bian sudah lebih dulu ke sana. Yana tak ingin melihat mereka berdebat di sana dan di dengar oleh Mila. Nanti yang ada Mila akan tambah sakit dan tambah kesal dengan mereka. Jadi atas perintah Yana, mereka semua memilih menunggu Mila di depan sekolah saja.

Suara pintu terbuka. Seseorang datang untuk mengunjungi Mila. Dia duduk di samping Mila dan memperhatikannya yang sedang tertidur. Bahkan dia memotret moment Mila yang sedang tidur. Pikirnya moment berdua bersama Mila dapat terwujud juga. Meski dalam kondisi yang tidak terlalu baik tapi setidaknya dia dapat dengan leluasa memandang wajah Mila dengan lebih hangat.

Mila terbangun dari tidur. Saat membuka mata, dia melihat Bian ada di hadapannya. Memperhatikan dia yang sedari tadi tertidur pulas.

“Ihh,,, Bian. Kenapa gak di bangunin?” Mila kaget melihat kehadiran Bian.

“Gpp, kan lagi tidur.” jawab Bian dengan tersenyum senang melihat Mila sudah membaik.

“Kenapa senyum?” tanya Mila mengerutkan dahi. “Gue ngiler yaa” tanyanya panik. Takut-takut saat tidur tadi ilernya mengalir dan Bian melihatnya (huek).

“Enggak kok. Cuma seneng aja lihat lu tidur. Lain kali makannya jangan telat ya?” Bian mencubit hidung Mila.

“Ih,,, apaan sih. Iya-iya.” Mila mengelus hidungnya sambil menyembunyikan senyumnya. Padahal dalam hati dia senang bukan main karna diperhatikan Bian.

“Udah bisa pulang belum?” Bian mengelus rambut Mila.

“Udah kok, yuk!” Ajaknya.

Mila bangun perlahan di bantu Bian dan melipat selimut yang habis dipakainya. Bian memakai tas Mila di pundak lalu memapah Mila bangun dari tempat tidur. Mila yang masih belum stabil berjalan dengan pelan-pelan. Mila mencari keberadaan teman-temannya tapi tak terlihat. Dia juga menanyakannya pada Bian tapi Bian jawab tidak tau. Setelah sampai di depan gerbang Mila baru melihat teman-temannya yang sedang berkumpul di sana. Mereka duduk di atas motor seperti sengaja menunggunya keluar. Yana yang sudah menanti Mila sejak tadi melihatnya dengan tersenyum senang. Mila sudah dapat berjalan meski harus dipapah oleh Bian.

“Yan, itu Mila.” Wahyu menunjuk ke arah datangnya Mila.

“Mila,,,,,” Panggil Yana dengan melambaikan tangan.

Namun disambut dengan wajah jutek Mila. Dia kesal pada teman-temannya. Mengapa yang dia lihat pertama kali dari sadar bukannya Yana atau yang lain melainkan Bian? Tak pedulikah mereka padanya? Mila tak menghiraukan Yana yang melambaikan tangan padanya. Dia memilih lanjut berjalan melewati mereka semua yang sudah menunggunya.

“Jalan terus, Bi.” bisik Mila ke Bian.

“Eh kok jalan terus sih, Mil?” Yana menghalangi jalan mereka. “Gue nunggu loh dari tadi.”

“Ngapain?” kata Mila ketus.

“Lah kan kita mau pulang, Ayo!” Yana menggapai tangan Mila dan hendak memapahnya tapi langsung dilepas Mila.

“Gue kan tadi bilang di kantin. Gak usah jemput gue lagi” Mila mengulang kata-katanya.

“Gue kan mau anter pulang bukan jemput.” Yana membalikan perkataan Mila.

“Udah deh, Yan! Gue gak mau debat.” Mila merangkul Bian lagi dan lanjut jalan pergi.

Yang lain hanya dapat diam saat mereka berdua sedang berdebat. Tidak ada yang bisa menengahi mereka berdua jika sudah berdebat. Yana menghela nafas panjang dan kembali menghalangi Mila tapi kali ini Bian harus ikut campur karna Yana memaksa Mila.

“Sorry nih ya, Yan. Bukannya gue mau ikut campur tapi kan tadi Mila bilang gak mau.” Bian bersuara.

“Kok lu ikut campur sih?” Seno menyenggol Bian yang memancing emosinya.

“Aduh,,, udah deh stop. Kenapa jadi ribut gini sih?” Mila mendorong Seno dengan keras sampai sakit di perutnya kumat lagi. “Aww,,,” rintih Mila.

“Mila, gpp?” Tian yang dari tadi menahan suaranya karna kesal melihat Bian dan Mila dekat. Langsung bertindak saat Mila kesakitan lagi. “Pulang bareng gue aja ya. Naik mobil biar bisa istirahat. Mau ya?” bujuk Tian pada Mila. “Bolehkan, Bian?” dengan nada penuh penekanan dan tatapan tajam Tian meminta izin agar Bian secepatnya

melepaskan tangan Mila dari pundaknya.

Walau hati menolak dan berharap jika dia yang akan mengantar Mila sampai ke rumahnya. Namun Bian harus

memikirkan lagi keadaan Mila yang juga belum sehat 100%. Jika Mila harus ikut pulang dengannya naik motor. Pasti akan membuatnya makin sakit lagi. Akhirnya dengan berbesar hati, dia menurunkan ego. Merelakan Tian yang mengantar Mila pulang dan melepaskan tangan Mila dari pundaknya.

“Eh, Bi. Kok dilepas?” Bian melepaskan tangan Mila dan mengalihkannya pada Tian.

“Pulang sama Tian aja ya. Biar bisa istirahat. Pulang barengnya lain kali aja kalau udah sehat lagi, okee?” suara Bian lirih sambil membiarkan Tian memapah Mila.

Mila memikirkan kondisinya juga. Jika sampai rumah masih dalam keadaan sakit kaya gini. Pasti Ayah sama Ibu khawatir. “Yaudah deh gue balik sama Tian aja.” Mila mendengarkan permintaan Bian. “Thank’s ya, Bi.” Mila melambaikan tangan pada Bian lalu masuk ke mobil Tian.

Yana yang melihat Mila pulang dengan Tian merasa lebih tenang.  Lalu bersama dengan yang lain pergi dan melupakan kekesalannya pada Bian. Bian melihat Mila dan Tian yang pergi dengan rasa kecewa di hati. Bian harus merelakannya lagi untuk kali ini. Padahal dia sudah selangkah lebih dekat dengan Mila tapi selalu saja ada benteng

menghalangi yaitu Yana dan teman-temannya.

Akankah kesalahpahaman ini berakhir?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!